HAI!
Namaku Airin Daranize
Pangil saja aku, Airin ya.
Usiaku sudah angka dua delapan, tepatnya Juni kemarin. Angka yang sudah cukup matang kata orang- orang untuk menikah.
Nyatanya aku masih sendiri alias jomblo! Jangankan untuk menikah, punya calon atau pacar saja aku belum.
Apa karena aku terlalu jelek sehingga sulit mendapatkan pacar? Banyak yang memuji wajahku manis. Bentuk tubuhku proporsional. Tinggi badanku 160cm dengan berat tubuhku 55 kg. Rambutku ikal sebahu, kulitku sawo matang.
Malah jadi promosiin diri, sih.😘
Jadi jelas bukan salah di wajah atau bentuk tubuhku. Hanya saja, aku memang termasuk orang pemalu.
Butuh waktu yang agak lama bagiku untuk akrab bergaul atau kenal seseorang.
Aku juga agak pemilih dalam menjalin persahabatan dengan seseorang. Hanya dengan orang- orang tertentu, atau mereka yang bisa membuatku merasa nyaman berinteraksi dengan mereka. Yang akan bertahan berteman denganku.
Aku tidak menghindari mereka. Hanya saja
enggan ber akrab ria dengan mereka. Kalo aku merasa tak nyaman. Jika hanya sekedar menyapa atau melempar senyum, tentu aku akan sangat mudah melakukan itu pada mereka.
Bahkan orang yang baru aku kenal sekalipun, aku bisa kok bersikap ramah.
Tapi, untuk menjadi akrab dalam waktu dekat, akan sangat sulit aku lakukan. Setidaknya aku butuh waktu lama, untuk bisa menerimanya. Tapi begitu aku merasa nyaman berteman dengannya. Persahabatan itu akan awet.
Karena itulah kenapa sahabatku hanya terhitung bilangan jari saja. Bahkan mereka yang menjadi sahabatku sekarang inipun adalah dari masa aku sekolah dari SD, SMP, SMA.
Aku gak pernah kuliah. Selulus dari SMA, aku kursus desain dan menjahit. Lalu membuka usaha butik yang aku labeli " Bi' dare" .
Mereka semua adalah teman masa kecilku. Ada yang datang dan pergi. Dan yang bertahan hingga kini adalah Risa, Imel dan Fani.
Ketiganya adalah sahabat terbaikku. Persahabatan kami telah melalui banyak percobaan hingga bisa bertahan sampai sekarang.
Benar- benar teruji oleh waktu!
Tapi sekarang ketiganya telah menikah dan sibuk mengurus rumah tangga mereka masing-masing.
Mengurus bocil dan suami tersayang mereka.
Dan karena aku juga begitu sibuk dengan butik yang aku kelola, durasi pertemuan kami akhir - akhir ini berkurang.
Yap! Sejak ke tiga sobat ku itu menikah, boleh di kata kami hanya akrab lewat medsos. Lewat Wa atau vidio call. Itu pun kesempatannya sudah langka.
Setiap kali kami mau janji temu, salah satu dari kami akan susah menyesuaikan jadwal. Jadi terkadang saat janji ke temuan, gak pernah lagi klop.
Hari ini mungkin Risa yang absen, besok lusa bisa saja Emil atau Fani. Dan setelah di hitung- hitung justru aku yang paling banyak absennya.
Tak jarang, saking susahnya aku ikut nge date sama ke tiga sobat ku itu. Mereka yang datang ke butikku, membuat pesta huru hara. Betapa tidak, tempatku mengais rejeki itu akan berubah bak pasar malam.
Suara tangis bocil- bocil yang gak pake peredam suara di tambah lengkingan mamah- mamah muda itu yang nyaingin suara tarzan! Sungguh alunan melodi super bas.
Mana datangnya gak pernah ngasih aba- aba. Kata mereka nanti aku minggat, atau ngumpetlah
Makanya mereka sengaja datang dadakan.
Risa lagi yang paling konyol, dia ngoceh ginian sama aku. Membuat ku pusing satu putaran.
"Rin, kita- kita ini sengaja datang bawa armada, biar kamu ngiri sama kebahagian kita," ngocehnya tanpa rasa- rasa.
"Tul, Rin, biar kamu cepat nyusul deh. Biar kamu rasa nikmatnya jadi emak-emak berdaster." timpal Imel lebih konyol.
" Bener lo Rin, biar kamu rasa tuh, kek mana di manja suami. Iya kan, Mel, Ri?" ih Fani benar- benar sadis meng hack jantungku.
Nampak sekali ke tiganya sekongkol mau mengaduk- aduk perasaanku. Tapi aku gak bisa marah. Malah senyum - senyum aja menanggapi omongan mereka.
Eh, yang di senyumin malah tambah sadis ngomong ya.
" Cepetan deh, Rin nikahnya. Keburu perang dunia ke empat kamu tuh masih betah jomblo." ngakak Imel.
"Di ralat ya mami. Perang dunia ke tiganya belum terjadi, kok langsung ke empat sih." protesku sambil meleletkan lidah. Alhasil aku kena tabok sama bakpao.
" Ih, kamu itu Rin, kelewat banget sih. Gak pernah bisa di ajak serius." gerutu Imel mengerucutkan bibirnya.
" Ha...ha....Makasih deh atas perhatiannya teman - temin. Pada saatnya nanti, aku pasti menikah kok. Dan akan seperti kalian, berbahagia dengan suami n bocilnya. Makanya di doakan ya, bukannya di cereweti gini," aku sudahi saja konfrensi meja segi empatnya.
Kalo di ladeni, gak bakalan habis tujuh hari tujuh malam. Ketiga sobatku ini, akan super cerewet kalo di ladeni.
" Amin...." seru mereka serempak mengamini ucapanku. Aku tersenyum asem, melihat polah mereka.
Trus mereka pulang setelah sukses mengaduk- aduk koleksi butikku. Di bolak - balik , di pas in ke tubuh yang udah melar ke samping.
Trus di di bawa pulang, bayarnya nyicil. Ntar suamiku gajian dulu. Tau lah Rin, sufornya si bocil mahal. Apa - apa sekarang mahal. Jadi sabar ya, kalo emak- emak berdaster ini, ngutang dulu. Dalih mereka kompak.
Aku cuma bisa melotot, tapi di cuekin. Kupeluk ke tiganya, sambil tak lupa jewer kuping mereka satu- satu.
" Oke, bulan depan jangan lupa ngisi rekeningku, ya. Gembulin dikit, biar aku gak bangkrut. Nanti kalian juga yang susah. Aku gilir minta makan," kelakarku.
" Beres! Amanlah itu, Rin." sahut mereka serempak. Sambil tertawa riang menenteng paper bag dengan label " B' dare" besutan sobat terbaik mereka.
Kapan lagi ada kesempatan mengeroyok Airin, biar bisa belanja ala kreditan di butiknya. Alias ngutang, he..he.
Airin tersenyum melihat tingkah ke tiga sobat gokilnya. Yang perlahan menghilang di tikungan jalan.
Sepeninggal sobat- sobatnya, Airin membereskan butiknya. Seperti habis di landa tornado saja. Semua berantakan. Rini asistennya membantu Airin merapikan butik.
"Teman- teman ibu heboh ya semuanya," ucap Rini.
" Iya Rin, ada satu lagi teman ibu. Tapi dia merantau ke Jakarta. Kalau kami semua kumpul, dia yang paling heboh. Ada-ada saja idenya yang membuat kami ngakak. Namanya Inez, sudah lima tahun lebih kami tak bertemu." Airin jadi teringat semua ulah Inez, yang lebih jail di antara mereka.
" Teman ibu itu sudah menikah juga?"
" Oh, belum. Tinggal kami berdua yang masih single. Aku heran juga, kok dia lama juga menjomblo. Mengingat koleksi pacarnyalah yang paling banyak. Ha...ha..." tawa Airin pecah saat ingat Inez kewalahan membagi waktu kunjung pacarnya kala itu.
Pacarnya ada empat, dan ke empatnya datang bersamaan. Dan tanpa pemberitahuan pula. Betapa bingung dan paniknya Inez saat itu.
Akhirnya Inez minta bantuan Risa, Imel, Fany untuk datang ke rumahnya malam itu.
Jadilah pacarnya terbagi- bagi. Masing- masing satu untuk ke tiga temannya. Dan lucunya lagi, pacar Inez yang terpaksa ia jodohkan pada sahabatnya itu, malah jadi suami ketiga sobatnya.
Sementara pacarnya Rendy malah putus tiga bulan berikutnya.
Sedang Abi jadi suami Risa.
Tedy jadi pasangan Imel
Dan
Fany jadi istri Vandy
" Ha...ha....Lucu ya bu." ucap Rini sambil memegangi perutnya saat mendengar cerita Dara.
" Ibu gak ke bagian ya, bu." canda Rini di antara tawanya.
" Ha...ha...Iya, Rin. Kan pacarnya waktu itu cuma empat. Sedang kami berlima. Coba kalo Lima, ibu juga pasti ke bagian. " Dara juga tergelak ingat kejadian lucu dulu.
"Trus bu, kenapa kawan ibu itu bisa putus dengan pacarnya?"
" Gak taulah. Sampe sekarang itu menjadi misteri.Dan belum terpecahkan. Trus Inez dapat kerjaan di Jakarta, kamipun terpisah."
" Lucu juga ya bu, jangan- jangan di antara pacarnya yang terbagi itu, ada yang lebih dia cintai. Tapi karena ketauan belangnya, jadi gak berani nuntut kawannya, bu"
"Ah, kamu ada-ada saja. Tapi, kalo gak salah sejak saat itu hubungannya agak renggang dengan Risa. Aduh! Jangan- jangan dugaanmu betul, Rin!" beliak Airin seperti teringat sesuatu.*******
Bersambung.
Di saat Airin dan Rini asyik membereskan butik yang berantakan karena ulah ketiga sobatnya. Ponsel Airin yang tergeletak di meja kerjanya tak henti berbunyi.
" Bu, ponsel ibu sepertinya bunyi sedari tadi," ucap Rini.
" Oh, iya. Tolong rapikan dulu yang itu ya, Rin," tunjuk Airin pada tumpukan kain di atas sofa.
" Baik bu. Saya susun ke kotak atau ke lemari, bu."
" Ke kotak saja, Rin." Rini mengangguk dan gegas ke sofa untuk menyusun satu persatu gaun yang di bongkar sahabat, bosnya.
" Iya, hallo mama. Selamat sore, ma." sapa Airin saat melihat nomor panggilan di hand phonenya.
" Halo sayang! Mama mau ngomong sebentar sama kamu, bisa?" tanya bu Rista, mamanya Airin
" Tentu bisa, mamaku sayang. Ada apa sih, ma. Mama kok ngomongnya pake minta izin segala?
" Siapa tau kamu lagi sibuk, sayang. Makanya mama minta izin dulu."
" Ngak kok, ma. Airin lagi istirahat nih."
" Sabtu depan kamu bisa pulang, gak? Tante Tia mau bertamu ke rumah kita. Katanya kangen sama mama."
" Maksud mama, tante Tia tetangga kita dulu itu. Yang anaknya Dika ndut itu?"
" Iya sayang. Ternyata kamu masih ingat betul sama Dika, ya. Teman masa kecilmu dulu."
" Bagaimana aku bisa lupa, ma. Sama anak gendut yang lucu itu, ha..ha.." tawa Airin pecah saat ingat sosok Dika kecil dulu. Yang suka kali ngemil permen. Makanya tubuhnya paling gendut di kelas.
Airin sudah lama sekali tak bertemu dengan mereka. Mereka pindah saat Airin naik ke kelas lima, Sekolah Dasar.
Jadi bisa saja mereka tak saling kenal lagi. Mengingat waktu yang telah berlalu, 18 tahun silam.
" Halo, kamu masih di sana gak Airin Kok mama di cuekin sih!" seru Rista di seberang.
" Sory Mam, Aku lagi berhayal kira- kira seperti apa wajah Dika sekarang, he..he," gelakku.
" Yang jelas berubahlah, Rin. Kamu pasti pangling liatnya. Jangan lupa ya, mama tunggu kamu Sabtu depan." belum sempat Airin menjawab , ibu Rista telah memutus sepihak.
Airin cuma bisa menatap gawainya dengan mata menyipit. Gak biasanya mamanya tiba- tiba memutus pembicaraan seperti itu. Tanpa basa - basi.
Hem, apa mama tengah merencanakan sesuatu ya? Tapi apa?
Ah, buat apa sih, pusing mikirin sikap mama. Bisa saja mama cuma lagi rindu. Jadi sengaja ngarang cerita biar aku penasaran, sehinnga aku mau pulang.
Soalnya bukan kali pertama mama suka ngerjain aku. Terakhir, mama bilang dia sakit. Hingga aku buru- buru pulang. Padahal saat itu, job ku lagi padat.
Eh, begitu aku nyampe di rumah, mamaku sehat tak kurang suatu apa. Dan mamapun akhirnya minta maaf, karena telah bohong.
Mama terpaksa, karena waktu itu aku sudah enam bulan gak pulang ke rumah. Padahal jarak aku tinggal dengan mama cuma makan waktu satu jam.
Tapi karena kesibukanku, aku lalai untuk pulang!
Nah, sekarang juga sudah hampir tiga bulan aku tak pulang. Bisa sajakan mama cari alasan lagi agar aku pulang, karena penasaran.
Sebaiknya aku turuti saja kemauan mama. Kasihan mama yang tinggal bersama bik Ati, di kampung. Bapak sudah meninggal sepuluh tahun lalu.
Sementara anaknya cuma dua orang saja. Bang Tiar saudara lelakiku, merantau ke Lampung. Pulkam hanya pas Hari Natal saja.
Bang Tiar sudah terlalu sibuk dengan pekerjaan dan keluarganya.
Sementara aku juga tak jauh beda dengan bangTiar. Juga disibukkan oleh pekerjaanku. Hanya saja aku belum menikah. Belum bisa membahagiakan mama dengan memberinya menantu dan cucu.
Dan jujur saja hal itulah yang membuat aku malas untuk pulang.
Karena di kampung, orang seusia aku pada sudah menikah dan punya anak satu atau tiga.
Jadi setiap aku pulang mereka akan menatapku heran.
Bahkan serbuan pertayaan yang sungguh membuat dadaku sesak, kerap kali mereka lontarkan.
Kapan menikahnya, Rin?
Kan sudah sukses, hidup di kota.
Jangan terlalu pemilih lo, Rin!
Ingat usia kamu itu, tiap tahun pasti bertambah angkanya.
Hello!
Aku juga pengen segera nikah, punya anak dan suami yang mencintaiku. Hidup bahagia dan sejahtera!
Ingin sekali Airin teriak dan mejawab semua pertanyaan itu. Agar mereka bungkam!
Aneh sekali, mereka suka kepo kehidupan pribadi ku. Padahal aku enjoy saja menikmati kesendirianku. Dengan berkarya dan hidup mandiri.
Sambil menanti jodohku datang! Toh, Tuhanlah yang mengatur semua rejeki manusia.
Yakin semua penantian itu akan berakhir indah.
" Tapi Rin, kamu itu harus tetap usaha juga dong. Bukan menunggu diam begitu saja. Biar jodoh kamu segera datang!" tohok sanubari Airin tepat di jantungnya.
" Gimana mau dapet jodoh, kalo kamunya tenggelam dengan pekerjaan mulu." lanjutnya lagi.
Kamu ikut biro jodoh aja, Rin. Siapa tau ada rejeki.
Atau terima saja lamaran duda beranak satu, yang dekat rumah kamu itu.
Wues...sudah..sudah! Stop kata- katanya. Jaga perasaanku dong! Airin menghentikan monolog hatinya. Seraya mengelus dadanya.
***
Hari Sabtu, datangnya begitu cepat. Airin mengemasi barang bawaannya untuk pulang ke rumah mama. Tak lupa oleh- oleh untuk mama, dan bi Ati.
Apel, jeruk, lapis legit, hingga kripik sambal ke sukaan bi Ati sudah lengkap semua. Dan juga telah di pak masuk karton.
Rencananya Airin akan libur satu minggu. Rini telah ia tugaskan menghandle pekerjaannya di butik. Dan kalau ada sesuatu hal penting, agar mengontaknya.
Airin menyetir sendiri Xenia putihnya, membelah sepanjang jalan Merdeka dengan santai. Satu jam berikutnya , Airin telah sampai di rumah masa kecilnya.
" Sayang, kamu akhirnya pulang juga. Mama kangen berat sama kamu." bu Rista memeluk tubuh putrinya erat.
Meluapkan rasa rindunya selama ini. Ada air bening merebak di netra mata mamanya. Membuat rasa bersalah di hati Airin begitu dalam.
" Maafin Airin, ma. Karena telah mengabaikan mama." ucap Airin terbata. Kerut tipis menghiasi kening mamanya yang sudah berusia setengah abad lebih.
" Ngomong apaan sih, sama mama. Kamu itu putri kebanggaan mama. Jangan ngomong seperti itu lagi, ya. Ayo, masuk ke dalam." bu Rista mengandeng tangan Airin masuk ke rumah.
Pagi harinya!
Di rumah Airin, kedatangan tamu sahabat lama bu Rista.
Tante Tia dan putranya, Dika. Teman masa kecil Airin.
Sungguh pertemuan yang mengharu biru. Mengingat mereka yang telah lama berpisah. Tante Tia datang untuk ziarah ke makam bapak ibunya yang telah lama meninggal.
Ini adalah ke datangan mereka yang pertama, sejak kepindahan mereka delapan belas tahun yang lalu.
Di temani Dika yang sudah dewasa, dan berubah jadi sosok pria ganteng. Dika yang dulunya gendut sekarang jangkung. Mungkin hanya senyum dan tawanya sajalah yang tersisa, yang mengingatkan Airin akan Dika. Selebihnya, Airin tak ingat apa- apa lagi.
Ada indikasi, sepertinya kedatangan Tante Tia menyiratkan sesuatu. Nampak sekali sikap tante Tia yang membicarakan perihal Dika.
Kerjanya apa dan di mana. Lulusan dari mana. Berapa penghasilan dan kesuksesan lainnya yang telah di raih Dika. Membuat kepala Airin pusing dan bawaannya ngantuk.
Tapi Airin tetap berusaha bersikap sopan, tak ingin tamu tersinggung akan sikapnya.
Tapi jauh dalam lubuk hati Airin, dia paling tak suka cerita seperti ini.
Pamer! Begitulah celetuk hati Airin
Akhirnya Airin pamit, dan diam- diam pergi ke belakang. Memberi makan ayam- ayam peliharaan mamanya.
Ternyata Dika juga, diam- diam mengikuti langkah Airin. Saat di lihatnya Airin memberi makan ayam, Dika menebak. Pasti Airin bosan mendengar cerita mamanya, soal dirinya.
Dari tadi juga Dika merasa tak enak karena , mamanya terlalu berlebihan cerita tentang dirinya.
Tapi Dika tak kuasa menghentikan cerita mamanya , meski Dika berkali-kali batuk memberi kode.
Toh, mamanya tetap tak mengerti juga.
" Hai...ayam- ayamnya sehat, ya?" puji Dika basa-basi.
" Egh...Iya. Peliharaan mama. Mama sangat telaten merawat ayam- ayam ini." sahut Airin kaget saat.melihat kemunculan Dika di kebun belakang.
" Di sini lebih, nyaman. aku suka sekali alam pedesaan. Udaranyanya bersih dan segar."
" Kamu sudah punya pacar, gak Rin?" tanya Dika to the point, tanpa basa- basi.
Airin kaget!
Airin tak menyembunyikan ekspresi kagetnya. Matanya membulat, hampir terloncat. Bagaimana
Dika bisa bertanya segamblang itu?
Seolah ngomongin jagung rebus, suka apa tidak.
Mengingat mereka yang sudah seperti orang asing, karena sudah lama tak bersua. Meski mereka adalah teman bermain semasa kecil.
Itukan sudah delapan belas tahun berlalu!
So, semuanya sudah banyak berubah! Fisik saja sudah banyak berubah, apa lagi soal hati dan pikiran.
Airin membatu, benar - benar pusing. Padahal masih sebuah pertanyaan. Apa yang salah?
Itu tadi. Airin tak suka hal privasi seperti itu, jadi topik pembicaraan seperti membahas kacang rebus saja.
Memang kenapa, kalau sudah punya pacar atau tidak? Kan jawabnya akan merembes ke mana- mana.*****
bersambung.
Dika terkaget juga melihat reaksi Airin, saat dia mengajukan pertanyaan . Apakah Airin sudah punya pacar apa belum.
Salahnya di mana sih?
Apakah pertanyaannya itu terlalu sulit untuk di jawab? Reka hati Dika . Bingung juga Dika saat Airin meninggalkannya begitu saja di kebun belakang.
Alhasil, rencananya yang ingin bicara dari hati ke hati dengan Airin buyar total.
Bagi Dika pertanyaannya itu adalah hal yang biasa. Mungkin karena dia selama ini, lebih banyak tinggal di luar negri. Sehingga pola pikirnya lugas.
Dan gampang saja mengekspresikan perasaan- nya. Bertolak belakang dengan Airin yang lebih pendiam.
Dan lebih menjaga lisannya . Hanya kepada orang tertentu sikapnya akan lebih akrab.
Seperti dugaan Airin, akhirnya tante Tia bicara juga ke mamanya Airin. Keinginannya untuk menjodohkan putranya dengan Airin.
Tentu saja ibunya Airin kaget. Tak menyangka kalau kedatangan sahabat lamanya itu, punya niat mengambil putrinya jadi menantu.
Tapi Bu Rista juga sepertinya risau bagaimana sikap putrinya kalau tau hal ini.
Putrinya Airin memang sudah pantas untuk menikah. Umurnya sudah dua puluh delapan. Tapi bu Rista belum juga melihat gelagat putrinya itu memikirkan soal pernikahan.
Airin terlalu sibuk meniti karirnya mengurus butik.
Dan selama ini pun Airin belum pernah, bicara soal pernikahan.
Pernah sih dia menanyakan soal itu. Tapi jawab-
an putrinya tak pernah jelas
" Suatu saat Airin pasti menikah ya, ma. Kapan itu terjadi, hanya Tuhan yang tau mam." selalu begitu jawabannya. Membuat bu Rista enggan bertanya lain waktu.
" Bagaimana jawabannya, Ris. Saya serius lo, mau ngambil Airin jadi menantu saya. Karena itu kami datang, sekalian ziarah ke makam bapak. " Tia menatap Rista serius. Membuat Rista jengah.
" Sebenarnya soal ini di bicarakan saja langsung ke Airin, biar kita tau apa jawabannya."
" Iya sih, tapi kamukan bisa bujuk Airin supaya mau. Lagian dia itu sudah cukup umur. Iya kan?"
" Baiklah, akan aku sampaikan nanti sama Airin. Biar dia yang memutuskan apa mau atau tidak."
" Okelah, aku sangat berharap agar Airin menjadi menantuku. Mengingat persahabatan kita dulu." senyum Tia lembut menatap Rista penuh harap.
Rista seolah kesulitan menghirup nafasnya. Dia berpikir keras bagaimana caranya menyampaikan hal ini pada Airin, putrinya.
Karena Airin sepertinya menghindari Tia. Airin selalu pergi diam - diam. Dan saat di tanya jawabnya selalu sama.
" Mau cari angin segar, ma"
Dan kini Rista telah berhadapan dengan putrinya.
Dan telah ia jelaskan juga maksud kedatangan tante Tia, yang ingin menjadikannya menantu.
Rista menatap wajah putrinya, menanti jawaban!
Yang di tatap malah balik menatap!
"Bagaimana pendapat mama , soal lamaran itu?" tanya Airin menyapu seluruh wajah mamanya dengan tatapan selidiknya.
" Menurut mama itu terserah kamu nak. Yang mau menjalaninyakan kamu. Mama serahkan jawabannya sama kamu. Jadi kamu harus mikir yang matang. Kamu yang lebih tau mana yang terbaik buat kamu," tutur Rista panjang lebar.
" Baiklah ma, aku akan memikirkannya dalam beberapa hari ini." ucap Airin memutus pembicaraan.
Detik berikutnya, setelah mamanya ke luar dari kamarnya. Airin mengontak Risa.
" Halo Ris, kamu punya waktu bentar gak?"
" Ada apa Rin, tumben nelpon segini hari?" jawab Risa di seberang
" Iya nih, aku ada masalah yang membuatku serba salah, Ris."
" Sepertinya rumit ya Ris. Tak biasanya minta bantuan. Selama ini cari solusi sendiri,"
" Heh! Sebenernya kamu mau gak sih, bantuin aku. Bikin keki aja." rutuk Airin karena Risa sobatnya malah kayak ngejek.
"Ha...ha...." terdengar tawa membahana dari seberang. Airin menjauhkan ponselnya dari telinganya. Bisa pecah gendang telinganya nanti.
" Sori ya, Rin. Aku cuma becanda. Biar kamu gak koslet, aja. Oke, aku udah siap mau jadi ember," celetuk Risa.
Airinpun mengisahkan secara detail semua tentang tante Tia dan Dika. Risa menyimak dengan serius.
"Lalu apa yang salah dengan lamaran itu, Rin. Bukannya kalian sudah saling kenal."
"Kenalnya di masa kecil lo,Ris. Selama ini gak pernah saling kasih kabar. Masa, setelah dewasa tiba- tiba saja ngajak menikah. Gak lucu ah! Kami seperti orang asing saja."
" Kan bisa saling kenal dulu, Rin. Tapi kalo memang gak suka sih, jangan di paksakan deh. Karena yang mau nikah itu, kamu. Bukan orang lain. Kalo aku sih ngedukung apa keputusan kamu Rin." tutur Risa
" Dari awal aku udah gak sreg lo, Ris. Entah kenapa. Padahal Dika itu cowok ganteng, mapan pastinya dia tuh rebutan cewek- cewek" tukas Airin.
" Trus apa yang salah dong, Rin? Barang bagus kok di biarin lewat aja gitu. Lagian kan kamu masih sendiri. Kalo aku sih udah ku embat, he..he..." kelakar Risa.
" Emang jajanan, pake embat segala." rajuk Airin.
" Ini perkara hati, Ris. Aku suka dengan orang yang saat pertama kali liatnya sudah jatuh cinta,"
" Fall in love maksudmu, Rin?" Aduh , mata juga bisa menipu lo. Ati- ati Rin! Aku paling gak ngeh dengan soal gituan, ha..ha..." tawa Risa kembali mekar.
" Kalo gitu, kamu ambil aja deh," tawar Airin konyol.
" What? Ha..ha...mau di kemanain suamiku tersayang, Rin. Udah deh, jangan ngaco kamu! Sama kamu aja deh, Rin. Kasih kesempatan dong untuk saling kenal. Masa sih, belum apa- apa kamu itu udah bangun tembok. Tembok Berlin aja bisa runtuh kok."
" Udah deh, saran kamu gak jelas. Tadi ngedukung aku. Sekarang malah nyuruh, ngasih
kesempatan, sebel." rungut Airin. Kembali Risa tertawa. Dia sudah bisa bayangkan seperti apa rupa Airin kalau kesal.
"Gak juga sih, Rin. Aku cuma mau bilang, kamu mikir yang tenang. Kalo memang gak suka, ngomong yang baik, biar gak ada yang tersinggung. Kan mama sama tante Tia itu sahabatan. Gitu lo."
" Ok, makasih ya Risa. " Airin memutus kontaknya dengan Risa, lima belas menit kemudian. Setelah mereka cerita ngarol ngidul. Cerita mereka terhenti setelah terdengar tangis bocilnya, Risa.
Paginya, saat Airin bersiap hendak lari pagi. Airin berpapasan dengan Dika. Dika juga berencana mau lari pagi.
" Hai, Dika! Mat' pagi ya." sapa Airin ramah. Gak enak hati juga Airin, tamunya di cuekin beberapa hari ini.
" Eh, Mat' pagi juga, Rin! Mau lari pagi juga, ya?"
" Hem, Iya. Bareng yok!"
" Oke, tunggu bentar ya. Topiku ketinggalan." Dika kembali masuk ke kamarnya. Airin menunggu di teras. Seraya melakukan pemanasan. Menunggu kemunculan Dika.
" Jalan, yuk!" ajak Dika. Airin mengikuti di belakang lalu mensejajarkan langkahnya di samping Dika.
Airin mencuri pandang wajah Dika, dari samping.Dika yang memandang lurus ke depan tak menyadari kalo Airin memerhatikannya.
Suasana di antara mereka serasa beku. Tak seorangpun mau memulai percakapan. Benak ke duanya sibuk sendiri.
" Istirahat yuk! " ucap Airin memecah keheningan di antara mereka. Setelah hampir setengah jam mereka berlari. Airin merasa nafasnya ngos- ngosan. Airin mengambil tempat duduk di bawah pohon akasia, yang di tanam berbaris di pinggir jalan.
Airin melap keringat di wajahnya dengan handuk kecil.
Dika tidak langsung mengikuti langkah Airin. Dika masih berkeliing dua putaran lagi.
Karena kebetulan tempat mereka lari, ke arah bukit. Jalannya menanjak. Membuat Airin cepat kehabisan tenaga.
Wajah Dika penuh keringat, Dika nampak begitu segar, karena wajahnya yang memerah.terpapar sinar matahari.
" Aku suka udara di sini, dingin dan sejuk. Tidak seperti di tempat tinggalku. Panas, karena polusi." Dika mengempaskan pantatnya di atas rerumputan yang masih basah oleh embun.
" Udara di sini memang masih bersih. Namanya juga alam pedesaan." ujar Airin.
" Tante Rista bilang, kamu jarang pulang. Padahal jarak tempat kamu kerja gak begitu jauh dari sini.
" Terkadang aku memang malas, pulang. Karena suasananya tidak seperti dulu lagi. Semua kawan telah menghilang pergi." pandangan mata Airin menerawang, mengikuti awan yang berarak.
" Semua memang sudah berubah. Tapi kenangan masa kecilku dulu tak pernah hilang. Aku selalu mengenangnya kemana saja aku pergi. Dan berharap suatu saat bisa pulang dan mengulang kembali kenangan itu, ha..ha... lebay." tawa Dika menghambur usai bicara.
Airin ikutan tertawa juga. Airin ingat, mereka mempunyai masa kecil yang heroik dulu.
Yang membuat seisi kampung kelabakan mencari mereka. Karena mereka menghilang satu hari. Yang kenyataannya mereka terjebak di loteng gudang rumah Dika.
Dika tertawa ngakak saat Airin mengingatkan kisah itu.
" Aku masih ingat, karena kelaparan kita keluar lewat jendela. Dan teriak- teriak tengah malam. Padahal seisi kampung tengah mencari kita di sungai.Karena mereka pikir kita tenggelam atau hanyut."
" Padahal kita sembunyi karena takut ketahuan karena mandi di sungai. Karena mau mengering- kan pakaian. Kita ketiduran. Dan entah kenapa kita terkunci dari luar, ha..ha..." *****
bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!