NovelToon NovelToon

Godaan Pelakor Belia

Bab 1 : Om Gagah

“Om Gagah!”

Ariel membuka pintu apartemen malam itu, dia terkejut mendapati pria yang tiga bulan ini menjadi kekasihnya nampak kacau. Tidak ada bau minuman keras yang tercium dari tubuh pria itu, tapi dada Gagah naik turun seperti menahan sesuatu yang hampir meledak dari dalam sana.

“Om sendirian? Apa sama mas Roni?”

Pertanyaan gadis berumur sembilan belas tahun itu tidak dijawab oleh Gagah - pria matang berumur tiga puluh lima tahun yang menjadi sugar daddy-nya. Gagah melangkahkan kaki masuk lantas menutup pintu apartemen yang sudah sebulan ini ditempati oleh Ariel.

“Om Gagah, apa terjadi sesuatu?”

Ariel menangkup pria tampan di hadapannya. Matanya memindai setiap pahatan wajah Gagah yang memang sangat gagah. Sesuai namanya, pria itu memiliki tubuh tegap, perut dengan enam kotak layaknya roti sobek, dan lengan yang kekar.

“Ariel!”

Ariel mengedip saat Gagah memanggilnya seperti itu, bulu mata lentiknya yang natural membuat Gagah terpesona. Wajah ayu dan kecerdasan gadis belia itu membuatnya sampai berpaling dari Meta – wanita yang sudah dia nikahi selama tujuh tahun, bahkan sudah memberinya seorang putra yang sangat mirip dengannya.

“Iya … Om.”

Gagah tak mengeluarkan kata-kata lagi, sebenarnya dia baru saja bertengkar hebat dengan Meta sebelum pergi ke sana - ke markas perselingkuhannya dan Ariel. Sebuah apartemen mewah yang dia beli secara diam-diam.

Gagah meraba tangan Ariel yang masih menyentuh pipinya, dia mengusap punggung tangan gadis itu lembut setelahnya berkata, ”Aku ingin memilikimu seutuhnya, Riel.”

“Bukankah aku memang milik Om? Meski hanya kekasih gelap, tapi Om tahu aku sangat mencintai Om.”

Dusta. Ya, Ariel berdusta, dia tidak akan bisa mencintai seorang pria dengan sangat mudah. Enam bulan ini dia memang sengaja mendekati Gagah, dan tiga bulan sudah mereka menjalin kisah kasih terlarang. Gadis itu berniat menghancurkan rumah tangga pria itu. Ariel ingin balas dendam, membuat orang yang sudah menyebabkan orangtuanya meninggal merasakan penderitaan.

Gagah mengangguk, dia menunduk menekuri jemari kakinya sebelum Ariel mengalihkan tangan dari pipi ke tangannya. Pria yang digadang-gadang akan menjadi wali kota termuda di kotanya itu pun mengangkat kepala.

“Benarkah kamu mencintaiku? Atau mendekatiku hanya karena status, pekerjaan dan apa yang aku miliki sekarang?”

Sorot mata Gagah menuntut jawaban. Ia sejatinya juga bingung kenapa bisa jatuh cinta ke gadis belia ini. Namun, ini lah cinta. Bagi Gagah cinta terkadang memang buta, jika tidak, sudah pasti dia tidak akan menuruti apa keinginan Meta dan mertuanya selama ini.

“Om, aku mencintai Om.”

Ariel kembali mengulang ucapannya. Mata indahnya bersirobok dengan mata Gagah. Tak lama, secara impulsif pria itu menautkan bibir mereka. Ariel pun membuka sedikit mulut untuk meraup oksigen sebanyak paru-parunya bisa menampung, dia sadar Gagah tidak akan melepaskan pagutan bibir mereka sampai dia meremas pinggang atau mendorong dada pria itu menjauh.

Gagah menunduk, perbedaan tinggi badan mengharuskan dia melakukan itu agar Ariel merasa nyaman saat berciuma. Gagah menangkup pinggang sang sugar baby, langkah kaki mereka terayun seiring dengan bunyi decapan bibir yang beradu, hingga tubuh Ariel membentur meja pajangan dan Gagah pun menahan dengan satu tangan sedangkan tangan yang lain masih menempel di pinggang ramping Ariel.

Terkadang Gagah masih tak habis pikir, bagaimana bisa gadis yang dia yakini tidak pernah berciuman dengan laki-laki seperti Ariel berani mendekatinya yang notabene pria beristri. Namun, kembali lagi bahwa cinta itu buta. Ariel bagi Gagah seperti oase di padang pasir, mengisi kekeringan hati karena biduk rumah tangganya yang sudah tak lagi harmonis dengan Meta.

“Om!” Ariel mendorong tubuh Gagah. Dadanya naik turun memompa oksigen ke paru-paru.

“Ariel, maukah kamu menjadi milikku seutuhnya malam ini? Roni sedang memanggil penghulu ke sini, aku ingin menikah siri denganmu.”

“Om!”

Ariel ketakutan, tapi untuk mundur sekarang jelas tidak bisa dia lakukan, tujuannya mendekati Gagah belum tercapai. Ia sudah mendapatkan cinta dan kepercayaan Gagah, tapi belum menghancur leburkan orang yang membuat hidupnya berantakan.

“Roni akan menjadi walimu, bukankah kamu bilang dia adik almarhum ayahmu?”

Ariel membeku, dia tidak bisa melakukan apa-apa selain pasrah menerima permintaan Gagah. Meski hanya untuk menjadi pemuas nafsu pria itu, tapi Ariel merasa cukup lega karena Gagah memikirkan menikahinya terlebih dulu meski secara siri. Setidaknya dia bukan pelacuur. Ya, dia hanya pelakor tapi bukan wanita yang bisa sembarangan digagaahi pria.

***

Dua jam kemudian, semuanya berakhir. Gagah menutup pintu apartemen setelah memastikan ke Roni bahwa acara malam itu tidak akan bocor ke telinga orang lain. Pria itu menoleh Ariel yang duduk dengan celana jeans dan kemeja berwarna putih dengan aksen renda di dada. Sebagai gadis, tentu saja Ariel menginginkan sesuatu yang indah dan meriah di hari pernikahannya. Namun, Ariel tidak bisa mendapatkannya malam itu. Ia bahkan tidak mendapatkan cincin pernikahan dari Gagah. Pria yang kini berstatus suaminya secara agama.

Ariel duduk dengan ke dua tangan bertumpu pada paha. Ia menatap Gagah yang juga mengenakan kemeja berwarna putih seperti dirinya. Pria itu berlutut di depannya lalu meraih jemari lentiknya.

“Aku berjanji akan menikahimu secara resmi nanti, bisakah sampai hari itu kamu bersabar untuk menunggu?” tanya Gagah dengan suaranya yang sedikit bergetar. Ariel tahu bahwa Gagah ragu.

“Om tenang saja! aku tahu posisiku,” ucap gadis belia yang baru saja menginjak usia sembilan belas tahun lima bulan yang lalu itu.

“Kenapa memanggilku Om?”

“Lalu, aku harus memanggil apa?” Ariel tersenyum, dia tak menampik bahwa dadanya berdetak tak karuan saat berada di dekat Gagah. “Ah … Bang Gagah, atau Mas Gagah?” candanya.

“Sayang, panggil aku sayangku!” titah Gagah.

“Baik, sayangku.” Ariel tersenyum lebar. “Mulai sekarang aku akan memanggil kamu suamiku mas Gagah sayang.”

Gagah tertawa, apa lagi saat Ariel membiarkannya menyentuh pipi dan mengusap bibir gadis itu. Kejantanannya mulai bereaksi, dia ingin menjadikan Ariel benar-benar miliknya secara utuh malam ini.

Perlahan Gagah meraih kancing kemeja Ariel, membukanya satu persatu hingga nampak jelas penutup dada berwarna nude milik gadis itu. Ariel tersenyum grogi, tangannya bahkan gemetar. Gagah yang menyadarinya langsung menggenggam erat. Pria itu memajukan kepala lantas mengangsurkan bibir. Ia menyesap manisnya bibir Ariel yang berwarna merah muda. Rasanya lembut dan kenyal, Gagah sampai tak bisa membayangkan bagaimana rasa inti tubuh istri sirinya itu yang akan membawanya terbang menembus surga dunia sebentar lagi.

“Om … ah … maksudku sayang, apa yang harus aku lakukan?” tanya Ariel bingung. Gagah membopong tubuhnya yang seringan kapas masuk ke dalam kamar.

“Seperti apa yang biasanya kita lakukan, tapi kali ini kita akan melepas seluruh pakaian kita dan mungkin kamu akan sedikit merasa sakit.”

Bab 2 : Hidup Berubah

Enam bulan yang lalu

“Jangan bengong! Cepetan! Kalau sampai kue pesanan itu tidak tepat waktu ke yang pesan, kita bisa dicap jelek dan kehilangan pelanggan.”

Ariel yang matanya fokus ke televisi harus dibuat kaget dengan bentakan sang bibi, sejak jam tiga pagi gadis itu membantu bibinya membuat kue. Puti – melirik tajam sang keponakan, dia melempar serbet ke arah Ariel lalu mematikan televisi.

“Sudah! kerjakan jangan jelalatan nonton acara gosip.”

Ariel menunduk, dia baru saja melihat berita tentang salah satu kandidat wali kota mereka. Gagah Wiryawan namanya, pengusaha muda yang entah ada angin apa berbelok terjun ke kancah politik.

Namun, bukan sosok pria itu yang sebenarnya mencuri perhatian Ariel, melainkan wanita yang terus berada di samping Gagah. Wanita yang membuat hidup Ariel menjadi sengsara seperti sekarang ini. Meta Pradana. Ya, wanita itu lalai saat berkendara dan menyebabkan kecelakaan yang menewaskan orangtua Ariel enam bulan yang lalu.

Ariel masih tekun memasukkan potongan bolu gulung ke dalam wadah dan menatanya, dia seolah menulikan telinga saat Puti berteriak membangunkan Sania, anaknya. Namun, teriakan Puti juga ikut mengganggu Abil – adik Ariel yang masih berumur empat tahun.

“Kakak!"

Abil merengek. Ariel dengan kondisi tubuh yang lelah karena bangun pagi memilih memangku sang adik. Berat memang untuknya kehilangan orangtua di umur delapan belas tahun, tapi lebih berat bagi Abil, adik angkatnya yang sudah diasuh orangtuanya sejak bayi. Kini, Ariel menjadi sosok orangtua tunggal untuk Abil.

Menahan nyeri di dada sudah biasa Ariel lakukan, perlakuan bibinya selalu kasar dan seperti setengah hati merawat mereka. Padahal rumah peninggalan orangtuanya sudah Puti jual, tapi untuk meminta haknya saja, bibinya itu tak memberikan. Jangankan untuk melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi, menyekolahkan Abil ke PAUD saja Puti tidak berkenan.

Dengan masih memangku Abil, Ariel melakukan pekerjaannya lagi, setidaknya dia akan mendapat upah dua puluh ribu dari Puti yang bisa dia tabung.

Mencoba membuat Abil tak mendengarkan amukan sang bibi, Ariel mengajak adiknya itu berbicara, Puti memang sering marah-marah setelah suaminya terkena PHK. Apa lagi Sania- putri tunggalnya sangat pemalas. Sudah dua kali juga gadis itu gagal ikut ujian masuk perguruan tinggi.

“Kan sudah ada Ariel,” gerutu Sania saat Puti menariknya duduk untuk ikut membantu.

“Dia itu lelet, sudah biasa jadi anak emas, sekarang jadi yatim piatu kaget dia.”

Sungguh kejam ucapan Puti. Bahkan Abil yang masih polos pun terkena bentakan saat memperhatikan tingkahnya yang mengamuk pagi-pagi buta.

“Eh …. Jangan asal dimakan! itu masih bisa dijual ke tetangga,” cegah Puti saat Ariel ingin memberikan tepian kue bolu untuk Abil.

“Nanti kakak belikan ya,” bisik Ariel lalu mendaratkan ciuman ke pipi Abil yang masih berada di pangkuan, Bocah itu mengangguk seolah mengerti kondisi mereka.

Hati Ariel semakin merasa bersalah, Abil diangkat anak oleh ayah dan ibunya karena tak tega melihat kondisi bocah itu saat bayi, tapi sekarang bagi Ariel kondisi Abil malah lebih menderita, bahkan untuk membeli jajanpun dia terkadang tidak bisa menuruti.

“Heh … kamu beneran, jadi tukang bersih-bersih di panti Bu Niken?” tanya Sania.

“Jadi,” jawab Ariel singkat, dia tidak mau dibentak Puti lagi.

“Dibayar berapa? Udah deh nggak usah ngimpi bisa kuliah, mau ngumpulin duit sampai rambut kamu beruban juga kagak bakal bisa kuliah.” Sania tertawa, entah kenapa rasanya dia bahagia melihat sang sepupu menderita.

Ariel memilih diam, dia tidak mau mendengarkan kalimat negatif yang hanya membuatnya semakin berkecil hati dan tak bersemangat menjalani hidup.

_

_

Setelah membantu Puti dan mandi, Ariel pergi ke panti asuhan milik wanita yang dia panggil Bu Niken. Wanita itu adalah teman baik almarhum Ibunya.

Awalnya Bu Niken tidak mengizinkan Ariel bekerja di sana, tapi gadis itu memohon dengan alasan ingin mengumpulkan uang demi biaya sekolah Abil dan kuliah.

“Abil main dulu ya! main baik-baik sama yang lain. Kakak bersih-bersih dulu,” pesan Ariel ke sang adik. Bocah itu pun mengangguk lantas berlari dengan sandal doraemonnya yang sudah buluk dan hampir putus.

“Riel, kamu bersihkan kamar sinar rembulan dulu ya,” ucap bu Niken menyebutkan nama kamar khusus untuk anak panti yang berusia balita.

“Soalnya pak calon walikota mau kunjungan, itu lho Pak Gagah.” Niken tersenyum lebar, tentu saja dia semringah karena wanita itu bagian dari ibu-ibu yang sangat menggilai Pak calon wali kota.

Ariel tersenyum dan mengangguk, meski setelah Niken pergi wajahnya berubah murung. Ia tahu pasti Gagah akan datang bersama Meta. Wanita yang bahkan tidak mengucapkan belasungkawa dan datang ke pemakaman orangtuanya.

***

“Kamu itu bisa senyum dikit nggak sih Mas.”

Meta menyenggol lengan sang suami. Perdebatan mereka itu disaksikan oleh sang sopir pribadi. Namun, karena sudah lama mengabdi di keluarga Pradana, sang sopir pun memilih diam, dia tahu bagaimana sifat anak majikannya sejak remaja.

Gagah, sejatinya tidak ingin terjun ke dunia politik, tapi karena beberapa alasan dia terpaksa melakukan itu. Menjadikannya seorang penguasa adalah ambisi mertua dan keluarganya termasuk Meta.

“Ingat Mas, kalau mas terpilih. Mas akan lebih mudah membangun bisnis, orang-orang yang tidak membutuhkan Mas jadi membutuhkan,” ujar Meta. “Mas Gagah harus membangun image yang baik agar jalan menuju kursi wali kota semakin terbuka lebar,” imbuhnya.

“Lalu, apa karena agar mempermudah jalanku? sampai kamu dan papa menutupi peristiwa kecelakan yang menewaskan pasangan suami istri itu dari publik?” sergah Gagah. “Kamu bahkan tidak memberitahuku siapa korban itu dan menutup semua aksesku untuk mencari tahu.”

“Untuk apa Mas mencari tahu?” Meta kikuk juga, dia memalingkan muka, karena malas meladeni perdebatan yang akan mengungkit rasa bersalah dan ketakutannya ini.

“Apa kamu tidak berpikir andai mereka punya anak dan keluarga? Bagaimana nasib mereka?” tanya Gagah lagi.

“Aku sudah memberikan kompensasi, aku kan sudah bilang berkali-kali, lagi pula itu sudah enam bulan yang lalu. Mereka tahu namaku, aku mengirim uang kok.” Meta tak mau kalah, dia memang tidak pernah menunjukkan sedikit pun penyesalan.

Beberapa menit kemudian, akhirnya pasangan suami istri itu berhenti berdebat. Mereka sadar mobil yang mereka tumpangi hampir memasuki halaman panti asuhan ‘Cahaya Pertiwi’.

Meta langsung memasang wajah riang, dia tahu beberapa wartawan sudah menunggu suaminya di sana.

Gagah pun turun, dia membenarkan lengan kemeja dan tersenyum menyapa, di luar panti ternyata banyak warga yang datang hanya untuk mengambil gambarnya. Saat Gagah melambaikan tangan sambil menatap ke segala penjuru, tanpa sengaja tatapannya bersirobok dengan seorang gadis yang sedang berdiri di dekat sebuah pilar dengan memegang sapu.

Ariel mengerjab, untuk beberapa saat dunianya seperti berhenti. Riuh suara di sekitarnya seketika hilang berganti dengan sebuah bisikan -

“Ariel, rusak rumah tangga Meta Pradana."

Bab 3 : Pencitraan

“Ariel, nanti bantu menjelaskan ya kalau Pak calon walikota tanya-tanya.”

Permintaan Niken membuyarkan lamunan Ariel. Gadis itu yang masih berdiri membeku di dekat pilar. Niken berucap sambil berjalan untuk menyambut sang tamu agung. Wanita itu bukannya tidak tahu bahwa orang seperti Gagah datang ke pantinya pasti dengan maksud pencitraan.

Namun, tak mengapa. Setidaknya panti asuhan Cahaya Pertiwi akan terekspos media dan berkesempatan mendapatkan banyak donatur, begitu pikir Niken.

Gagah masih terkesima melihat Ariel, menurutnya tatapan mata gadis itu sangat sendu. Gagah masih terus mengekori langkah Ariel yang berjalan masuk, hingga Meta menyenggol lenggannya agar kembali fokus ke orang-orang yang berada di sana.

***

Setelah beramah-tamah sebentar di halaman panti, Niken pun mempersilahkan tamunya untuk berkeliling melihat-lihat panti. Dan tempat yang pertama kali Niken tunjukkan tentu saja adalah kamar yang diperuntukkan anak-anak panti usia balita, kamar sinar rembulan yang sudah dibersihkan oleh Ariel tadi.

Gadis itu pun masih terlihat di sana. Ariel menggendong seorang bayi berumur sekitar sebelas bulan sambil mengajak anak-anak yang lain bernyanyi lagu ceria.

“Dia, apa juga anak panti?” tanya Gagah saat melihat sosok Ariel. Meta yang berdiri di sampingnya pun ikut menatap ke arah Ariel. Ia tidak memiliki perasaan apa-apa dan hanya berpikir bahwa suaminya penasaran dan sedang pencitraan di depan orang-orang.

“Ah … Ariel, bukan. Dia membantu bersih-bersih saja di sini, dan seperti yang Anda lihat dia juga membantu mengajar dan mengajak bermain anak-anak,” jawab Niken.

Diam-diam, Ariel tahu bahwa rombongan calon walikota itu sudah masuk ke dalam kamar sinar rembulan, tapi dia memilih berpura-pura tidak sadar dan semakin asyik dengan para bocah-bocah itu. Ariel memang sudah biasa mengajak mereka bermain, tapi karena ada Gagah di sana dia berusaha mencari perhatian. Ariel memang berniat menjerat pria matang berusia tiga puluh lima tahun itu. Beberapa menit yang lalu Ariel yang baik hati itu memantapkan diri untuk menjadi seorang perebut laki orang.

“Ariel,” sapa Niken. Gadis yang dia panggil pun menoleh.

Ariel mendekat dengan senyuman manis, dia bahkan menyalami Meta seolah tidak menaruh dendam sama sekali. Ada rasa yang bertolak belakang di dalam hati Ariel - sedih sekaligus bahagia. Ariel menganggap takdir memihak pada rencana busuknya, karena ternyata Meta sama sekali tidak mengenalinya. Wanita itu hanya tahu korban meninggal dunia akibat kelalaiannya memiliki dua orang anak, tanpa tahu salah satunya adalah gadis yang kini tengah menyalami Gagah sambil terus menatap dalam mata suaminya. Bahkan Meta tak sadar saat Ariel mengusap punggung tangan Gagah sebelum melepaskannya.

“Dia ini gadis baik dan cerdas, tapi sayang karena ada satu dua hal Ariel belum bisa melanjutkan kuliah,” ucap Niken tanpa menjelaskan secara gamblang bahwa orangtua Ariel sudah tiada. Niken tahu kalau Ariel memang tidak suka jika penyebab dan cara meninggal orangtuanya dijadikan topik perbincangan.

“Apa kamu tidak mencoba mencari beasiswa?” Gagah buka suara, ada rasa iba di hati juga rasa aneh yang tidak bisa dia ungkapkan saat melihat Ariel.

“Sudah, tapi memang keberuntungan belum berpihak pada saya,” jawab Ariel, bahkan suara gadis itu terasa merdu di telinga Gagah yang setahun belakangan hanya mendengar suara bentakan dan tuntutan Meta yang menggebu.

Gagah mengangguk, dia lantas berkeliling melihat kondisi anak penghuni kamar itu, wartawan dan bahkan fotografer dari tim suksesnya beberapa kali mengambil foto Gagah. Dan semua itu tentu saja hanya sebagai bahan konten sosial media. Saat Gagah masih ingin mengajak bermain anak-anak penghuni kamar sinar rembulan, Meta langsung berbicara dengan cara berbisik ke telinga pria itu.

“Selesai, ayo kita pergi dari sini. Kamar ini bau.”

Meta menggosok hidung lalu tersenyum, padahal kamar itu tidak berbau apa-apa karena Ariel sudah mengganti semua sprei, mengepel lantai dengan karbol, bahkan menyemprotnya dengan pewangi.

Gagah pun menurunkan bocah yang dia pangku, dia seolah pasrah menjadi boneka setelah semua orang tahu bahwa dirinya ternyata bukanlah anak kandung Wiryawan. Mertuanya-Pradana menjadi menyepelekan, apalagi posisinya sebagai direktur utama perusahaan Wiryawan terancam direnggut oleh putri kandung pria itu. Meski masih berumur dua puluh tahun tapi tetap saja gadis itu adalah putri kandung, dan dia hanya anak angkat. Stigma ini membuat Pradana berkeras hati dan memaksanya menjadi walikota. Tak mengapa bukan putra kandung Wiryawan, dengan menjadi penguasa nantinya, semua orang pasti akan tunduk kepada Gagah.

“Silahkan diminum!" Niken mempersilahkan setelah Ariel meletakkan tiga cangkir teh ke meja tamu yang ada di kantor panti.

Ruangan itu tertutup, wartawan pun sudah tidak mengikuti mereka. Meta tanpa berlama-lama menyodorkan amplop ke Niken berisi uang. Wanita itu pun berkata, “Isinya lebih dari tiga puluh juta, jadi tolong buatlah taman atau apa di panti ini asal kelihatan bahwa kami menyumbang.”

Gagah sangat malu, dia melengos dan Niken melihat dengan jelas pria itu sangat tidak suka dengan omongan Meta. Gagah sampai membuang napas dan berdiri. Ia izin ke kamar mandi dan Ariel pun mengikuti.

“Pak maaf, bisa tunggu sebentar, tisu toilet habis, saya akan mengambilkannya dulu.” Tanpa menunggu Gagah menjawab Ariel pun berlari. Tingkah gadis itu membuat Gagah menipiskan bibir.

Tak lama Ariel pun kembali, dia memberikan tisu baru ke Gagah dan setelahnya pamit undur diri.

“Tunggu!”

Ariel menghentikan langkah kaki, dia memutar badan karena Gagah seperti mencegahnya pergi. “Apa kamu ingin kuliah, Ariel? Benar ‘kan nama kamu Ariel?” tanya Gagah

“Benar.”

“Bisakah kamu berikan nomormu? Aku akan memberikan nomormu ke temanku yang sepertinya bisa membantu,” ujar Gagah.

Otak cerdas Ariel yang saat itu sedang dibumbui kelicikan pun bereaksi. Ia tak langsung memberikan apa yang Gagah minta, gadis itu malah balik bertanya, “Apa Anda ingat nomor ponsel Anda?”

“Tentu,” jawab Gagah tanpa berpikir.

Ariel pun tersenyum, dia berjalan mendekat. Wajah yang cantik, aura yang polos, mata bening dan bulunya yang lentik membuat Gagah sebagai pria normal terpesona.

“Saya tidak ingat nomor ponsel saya sendiri, jadi bisakah Anda memberikan nomor ponsel Anda, saya akan menghubungi nanti,” ucap Ariel memelas.

Gagah bingung, jika tidak memberikannya sama saja dia berbohong dan seperti tidak bisa dipercaya, padahal dia seorang kandidat walikota. Akhirnya pria itu memberikan nomornya ke Ariel, Gagah bahkan tidak keberatan saat Ariel memintanya menuliskan nomor ponsel ke telapak tangan secara langsung menggunakan pulpennya. Gagah benar-benar tidak bisa berpikir hal lain.

“Terima kasih, Anda harapan saya Pak,” ujar Ariel. Matanya penuh optimisme dan entah kenapa Gagah seperti tersihir.

_

_

Lampu kamar temaram, aroma vanila dari diffuser membuat suasana begitu romantis dan intim.

Ariel menatap dalam mata Gagah yang sedang mengurung tubuhnya, dia belai pipi pria yang baru saja menikahinya beberapa menit yang lalu. Kenangan saat pertama kali bertemu Gagah terlukis kembali bagai sebuah rekaman yang berputar di otak.

Ariel membelai pipi Gagah, dia sendiri bingung bagaimana perasaan yang dia miliki untuk pria itu. Ia hanya bisa memejamkan mata saat Gagah mencium bibirnya.

Mereka memang sudah biasa melakukan ini, berciuman dan bahkan terkadang Gagah menghisap puncak dada Ariel dari balik kaos yang dikenakan gadis itu. Namun, untuk sesuatu yang kini sedang berkedut di bawah sana, Ariel benar-benar tidak mau memberikannya sampai Gagah menikahinya meski hanya secara agama seperti ini.

“Aku tidak akan memakai pengaman, jadi haruskah aku mengeluarkannya di luar?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!