Happy reading 😘😘😘
"Kau hanya menantu di sini! Selesaikan semua pekerjaan, baru boleh makan!"
Hampir setiap hari, kata-kata pedas itu meluncur tanpa beban dari bibir ibu mertua Derana.
Dari mulai membuka kelopak mata hingga memejamkannya kembali, Derana harus melakukan semua yang dititahkan oleh suami dan ibu mertuanya sebagai tanda bakti seorang menantu—keluarga Atmajaya.
“Saya sudah menyelesaikan semua pekerjaan, Bu. Saya juga sudah menyiapkan makan siang untuk Ibu dan Mas Farel –“
Farel yang baru saja keluar dari dalam kamar, memangkas ucapan Derana. “Dia bohong, Bu. Seharian ... dia hanya tidur-tiduran sambil menonton televisi di kamar. Farel yang mengerjakan semua pekerjaan di rumah, bukan menantu ibu yang pemalas itu.”
Dusta. Farel selalu berkata dusta untuk merusak citra Derana di mata ibu dan keluarganya. Sehingga seluruh keluarga Farel menyangka bahwa Derana seorang istri yang sangat pemalas dan tidak patuh.
Derana menggeleng kepala. Ia berusaha membela diri. “Mas Farel berdusta, Bu. Sungguh, saya yang mengerjakan semua pekerjaan rumah –“
“Diam! Kau memang menantu ndak tahu diuntung. Seharusnya kau bersyukur dan berterima kasih pada Farel, karena putraku mau menikahi gadis udik sepertimu. Bukan malah melontarkan kalimat fitnah.” Arimbi meninggikan intonasi suara dan menatap tajam manik mata menantunya yang kini terbingkai titik-titik embun.
“Demi Allah, saya ndak berkata dusta, Bu. Saya ndak memfitnah Mas Farel –“
“Jangan bawa-bawa nama Tuhan! Sekarang, masuk ke kamarmu dan jangan makan sampai besok pagi!” titah Arimbi tanpa merendahkan nada suara.
“Asal Ibu tahu, lisan saya ndak pernah berkata dusta. Saya tidak memfitnah Mas Farel seperti yang Ibu tuduhkan –“
Lagi-lagi Farel memangkas ucapan Derana sambil melayangkan telapak tangan di udara. "Beraninya kau melawan ibuku?! Dasar istri sampah, tidak berguna!"
PLAK
Telapak tangan Farel mendarat tepat di pipi mulus Derana dan meninggalkan jejak semburat merah.
Derana memejamkan netra dalam-dalam dan memegang pipinya yang terasa nyeri.
Bukannya tidak ingin melawan. Sebagai seorang istri, Derana hanya berusaha menahan diri tanpa menanggalkan bakti. Sebab ia meyakini, suatu saat nanti ... suaminya akan berubah.
Derana mengayun tungkai—meninggalkan suami dan mertuanya dengan membawa sayatan luka yang mengoyak ulu hati.
Setelah punggung Derana lenyap dari pandangan netra, Farel menyungging seutas senyum. Batinnya bersorak, seolah ia telah memenangkan peperangan.
Lihatlah, Dera! Aku yang selalu menang. Semua orang mempercayaiku. Bahkan, ayah dan ibumu pun lebih percaya padaku dari pada putrinya yang tolol—serunya yang hanya terlisan di dalam hati.
....
Derana Larasati, seorang gadis desa berwajah manis dan berakhlak mulia.
Demi membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, Derana rela bekerja menjadi seorang pembantu sedari kecil. Tepatnya, ketika usia Derana menginjak 10 tahun.
Segumpal daging yang bersemayam di dalam dada, selalu terasa nyeri setiap melihat teman-teman seusianya pergi ke sekolah.
Terselip keinginan untuk melanjutkan studi. Namun apa daya. Kedua orang tuanya bukanlah orang yang berkecukupan.
Bisa makan setiap hari saja, merupakan suatu anugerah yang patut disyukuri olehnya dan keluarga.
Takdir seolah turut mencekik dengan erat. Selimut bahagia pun seakan enggan mendekap hangat.
Di usianya yang masih sangat belia--17 tahun, ia terpaksa menikah dengan seorang pemuda yang berusia 27 tahun, 10 tahun lebih tua darinya.
Indahnya ucapan ikrar janji suci sebuah pernikahan malah justru menjadi awal dari kisah hidup berderai air mata.
Derana yang malang, berusaha tegar dan tabah menjalani goresan takdir yang telah tertulis di dalam lembar kitab-Nya.
Biarlah saat ini duka berkawan denganku. Namun keyakinanku tak akan pernah redup. Cinta-Mu akan menuntunku tuk temukan bahagia.
Kata-kata itu yang selalu ia lisankan untuk menguatkan hati dan menegarkan jiwa yang hampir menyerah.
Karena beratnya ujian hidup setelah dipersunting oleh Farel, Derana sering kali berusaha menghentikan nafasnya, memaksa nyawa agar terlepas dari raga.
Namun karena kasih sayang Sang Penggenggam Kehidupan, usaha Derana selalu gagal. Sampai detik ini, ia masih bisa menghirup udara dan menatap indahnya Arunnika serta menyaksikan lukisan tangan Tuhan ... dikala mentari kembali ke peraduan—lembayung senja.
🌹🌹🌹🌹
Bersambung ....
Kisah ini author persembahkan untuk salah seorang sahabat. Sebagai wujud apresiasi atas ketabahan dan ketegarannya menjalani hidup yang telah digariskan oleh Sang Penulis Skenario Kehidupan.
Untukmu sahabat, tetaplah yakin akan kasih sayang dan kuasa-Nya.
Jika saat ini duka masih berkawan denganmu, percayalah ... kelak Sang Maha Kasih akan menghadirkan sesosok malaikat yang mampu menyeka air mata duka dan menyentuhkan bahagia ....
Peluk online untukmu dan untuk Kakak-kakak ter love yang berkenan membaca kisah ini serta mengawal hingga ending ... 😘🙏
Jangan lupa untuk meninggalkan jejak dukungan berupa like 👍
Beri komentar
Tekan tanda ❤
Tabok Rate 5 ⭐
Vote atau gift 😉🙏
Terima kasih dan banyak cinta 💞
Happy reading 😘😘😘
Sang raja siang masih setia menemani dikala Derana duduk di atas sajadah tanpa melepas mukena yang masih membalut aurat.
Sudah hampir dua jam, ia duduk tanpa beralih, usai menunaikan kewajibannya sebagai seorang hamba.
Derana tampak termenung sembari sesekali menghela nafas dalam seraya menghempas rasa sesak yang memenuhi relung jiwa.
Terlintas di pikirannya perlakuan Farel—suami yang mestinya menjadi pengayom dan tempat untuk bersandar, semenjak keduanya melisankan ikrar suci di hadapan penghulu dan para saksi.
“Wanita ndak hanya butuh status sebagai seorang istri. Namun juga butuh perlakuan manis dan bahu untuk bersandar ... mas.” Derana bergumam lirih di sela-sela tarikan nafas.
Derana ingin seperti kaum Hawa yang beruntung. Yang dinikahi oleh pria seiman dan se-amin, serta berperilaku manis terhadap istri.
Setiap usai menunaikan kewajiban sebagai seorang hamba, mereka menengadahkan telapak tangan seraya memohon kepada Sang Maha Kasih, agar tautan cinta mereka dieratkan dan di satukan hingga ke alam abadi. Kemudian, mereka berpeluk dan berbagi kasih sayang seiring lantunan tasbih.
Suara derit pintu yang dibuka ... memecah kaca lamun. Derana terenyak dan seketika merotasikan kepala ke arah sumber suara.
Terlihat pria bertubuh tinggi dan berkulit sawo matang ... tersenyum menyeringai ke arahnya sambil melipat tangan di depan dada. Siapa lagi jika bukan Farel, pria yang berstatus sebagai suaminya.
“M-mas Farel –“ sapa Derana ter bata.
“Tidurlah, Ra! Aku ingin menyelupkan batang,” titahnya yang tak bisa dibantah. Farel lantas mengayun tungkai ke arah Derana yang tampak lemas sesaat setelah ia melontarkan kalimat perintah.
“Mas, aku lapar. Aku lemas. Beri aku makan terlebih dahulu, dan setelah itu ... aku akan melayanimu,“ pinta Derana mengiba.
Farel tertawa lebar. Dengan kasar, ia menarik lengan Derana lalu mendorong tubuh mungil istrinya itu hingga rebah di ranjang.
“Dengar Dera! Aku ndak butuh kau layani. Cukup pejamkan matamu dan biarkan aku melakukan semua yang aku mau.”
Derana menghembus nafas berat. Sebagai seorang istri, ia tidak kuasa menolak perintah sang suami karena bakti.
Dengan terpaksa, dilepaskannya mukena yang membalut aurat lantas menuruti perintah Farel—membaringkan tubuh di atas ranjang.
Perlahan, ia pejamkan kelopak mata dan pasrah dengan apa yang akan dilakukan oleh suaminya.
Farel kembali tersenyum menyeringai tatkala Derana menuruti perintahnya.
Diulurkan jemari tangan untuk membuka satu persatu kancing baju Derana. Lantas dibuangnya ke sembarang arah semua kain yang semula membungkus tubuh indah istrinya itu.
Tanpa sabar, Farel mulai menjamah seluruh tubuh Derana dan mereguk madu yang menjadi candu—setelah memastikan wanita malang itu telah terlelap.
Farel memiliki kebiasaan yang sangat tidak lazim. Setiap ingin menyalurkan hasrat, ia selalu menyuruh Derana untuk tidur. Baru kemudian, ia menikmati tubuh istrinya yang indah sesuka hati.
Anehnya, setiap Farel menjamah tubuh dan mencelupkan batangnya yang menegang, Derana tidak pernah merasakan apa pun. Ia terlelap tanpa terjaga. Seperti orang yang dihipnotis atau pun diberi obat tidur. Sehingga Derana tidak pernah merasakan nikmatnya penyatuan raga.
Namun ketika Farel usai menyalurkan hasrat, Derana baru terjaga dan merasa seluruh tubuhnya sakit. Terutama di bagian sela-put marwahnya.
....
Farel Atmajaya Saputra. Ia adalah putra pasangan almarhum Hendri Atmajaya dan Arimbi Rahayu.
Farel bekerja sebagai seorang mandor bangunan. Meski bekerja sebagai seorang mandor dan bergaji lumayan besar, ia tidak pernah mencukupi kebutuhan istrinya.
Setiap hari, wanita malang itu hanya diberi uang ... dua ribu rupiah. Terlampau sedikit dan kalah banyak bila dibandingkan dengan uang jajan anak PAUD, anak TK, ataupun anak SD di zaman ini.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Derana terpaksa menerima uluran tangan kedua orang tuanya.
Miris. Seharusnya, seorang wanita yang sudah menikah adalah tanggung jawab sang suami, bukan malah menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya.
Arimbi Rahayu, ibu mertua Derana—wanita yang melahirkan Farel Atmajaya Saputra.
Wanita yang kini telah berusia setengah abad itu, tidak hanya menikah sekali seumur hidup. Namun, ia pernah menikah ... empat kali—setelah suami pertamanya meninggal dunia.
Sedangkan Tuan Atmajaya—kakek Farel, beliau pernah menikah sembilan kali. Dan dari ke sembilan wanita yang dinikahi oleh beliau—beberapa dicerai setelah menunaikan kewajiban di malam pertama.
Habis manis sepah dibuang. Setelah disesap madunya, langsung dicerai dan ditelantarkan.
Lantas, bagaimana dengan Farel? Cukupkah jika hanya memiliki satu istri? Jika Farel sama seperti ibu dan kakeknya, bagaimana nasib Derana ... kelak?
Derana hanya bisa pasrah dan berserah, mengikuti alur yang digoreskan oleh Sang Penulis Skenario Kehidupan ....
....
Mentari hampir kembali ke peraduan ketika Derana terjaga dari tidur lelapnya.
Wanita malang itu menggigit bibir bawahnya dan mengernyitkan dahi saat merasakan sakit di sekujur tubuhnya.
Perlahan ia bangkit lalu menyandarkan punggungnya pada headboard.
Disapu seluruh ruang dengan indra penglihatannya, mencari sosok yang baru saja menjamah dan mereguk madunya. Namun tak juga ditemukan.
Setelah puas menyalurkan hasrat, Farel lantas berlalu pergi, meninggalkan istrinya yang masih terlelap.
Derana tersenyum getir melihat tubuh polosnya yang terhias jejak merah.
Jejak merah yang ditinggalkan oleh Farel, adalah bukti bahwa ia benar-benar menikmati tubuh Derana—istrinya.
Bukan hanya jejak merah. Namun cairan berwarna putih yang membasahi sela-put marwah juga menjadi bukti penyatuan raga kedua insan--Farel dan Derana.
Farel merasakan kenikmatan yang luar biasa. Sementara Derana ... ia merasakan sakit setelah raga mereka bersatu. Bahkan rasa sakitnya menjalar sampai ke ubun-ubun.
“Ya Allah, aku lapar sekali,” gumamnya sambil mengusap perut yang berteriak nyaring.
Dari pagi hingga menjelang senja, wanita malang itu sama sekali tidak makan dan tidak minum. Seperti orang yang berpuasa, tetapi puasanya bukan karena menunaikan kewajiban, melainkan karena dipaksa ....
Dibawanya tubuh menuruni ranjang lalu dipungutnya semua kain yang terserak di lantai.
Sembari menahan rasa sakit, Derana berjalan menuju kamar mandi. Ia ingin segera membersihkan tubuh, sebelum terdengar suara kerinduan Tuhannya.
Air shower yang dingin dan menyejukkan, tidak mampu meluruhkan rasa sakit yang meluluh lantakkan kalbu.
Derana menangis tergugu, menumpahkan air mata duka dan lara yang membuatnya pilu.
Poor Derana ....
Tetaplah tegar menghadapi setiap ujian hidup yang disentuhkan oleh-Nya. Yakinlah, Sang Maha Kasih selalu berada di sisi. Dia tidak pernah meninggalkan hamba yang senantiasa menyebut asma-Nya dan memohon pertolongan.
Kelak ... bila saatnya tiba, Dia akan menuntunmu untuk temukan bahagia ....
🌹🌹🌹🌹
Bersambung ....
Mohon maaf jika ada salah kata dan berteberan typo 😊🙏
Jangan lupa untuk meninggalkan jejak dukungan. 😉
Terima kasih untuk Kakak-kakak ter love yang sudah bersedia membaca kisah DERANA dan mendukung karya baru author. Love love sekebon 😘🙏
Happy reading 😘😘😘
Mesin waktu menunjuk angka sepuluh malam. Namun batang hidung Farel belum juga terlihat. Entah pergi ke mana pria itu seusai membuat Derana kelelahan dan merasakan sakit di sekujur tubuh.
Meski tak pernah diperlakukan manis oleh Farel, Derana tidak pernah menanggalkan bakti. Ia berusaha menjadi istri yang baik dan penurut sesuai dengan nasehat ibunya.
Di bawah naungan langit malam, Derana duduk menanti di bangku yang berada di teras rumah. Raut wajahnya menyiratkan cemas.
Di dalam kalbu, ia tak henti-hentinya melantunkan pinta, memohon perlindungan dan penjagaan kepada Sang Maha Penggenggam Kehidupan, untuk Farel—suaminya.
Derana sangat berharap, suaminya akan segera pulang dalam keadaan utuh—tak kurang suatu apa pun.
Sementara yang dinanti dan dicemaskan, ternyata malah tengah tenggelam ke dalam asmaraloka, menyatukan raga dengan Sovia—sang kekasih gelap.
Sovia, teman sekaligus kekasih Farel semenjak mereka duduk di bangku SMP.
Keduanya sering menghabiskan malam panjang dengan melakukan ritual penyatuan raga, selayaknya sepasang kekasih yang telah halal.
“Rel, jangan lupa jatah bulanan untukku,” bisik Sovia dengan suaranya yang terdengar manja seiring jemari lentiknya membentuk pola-pola tak beraturan di dada bidang yang masih terbuka.
Farel menarik kedua sudut bibirnya dan mengecup lama pucuk kepala Sovia. “Tenang Sayang. Aku ndak bakal lupa. Sudah aku siapkan jatah bulanan untukmu di atas nakas. Aku lebihkan, karena pelayananmu sangat memuaskan.”
“Makasih Rel. Kau semakin membuatku jatuh cinta. Aku sangat mencintaimu Farel Atmajaya Saputra.”
“Aku juga sama sepertimu, Sovia Maharani. I Love you so much too."
Sepasang anak manusia itu kembali bercumbu, menuntaskan hasrat tanpa mengenal kata dosa.
Farel rela memberi sebagian besar gajinya untuk Sovia. Sedangkan untuk Derana yang jelas-jelas istri sahnya, ia merasa sangat tidak rela. Sehingga Farel hanya memberi uang jajan ... dua ribu rupiah untuk Derana—istrinya.
Malam semakin larut, cahaya bulan semakin meredup, disertai nafas alam yang kian menusuk hingga membuat Derana menggigil kedinginan.
Wanita malang itu masih setia menanti. Meski hati kecilnya berbisik, Farel tidak akan pulang malam ini.
Tepukan kasar yang mendarat di bahu, membuat Derana tersentak dan seketika merotasikan kepala. Ia lantas membawa tubuhnya beranjak dari posisi duduk.
“Ibu –“ lirihnya.
“Apa yang kau lakukan di sini? Seharusnya, kau menemani dan melayani suamimu di kamar, bukan malah asik melamun—membayangkan pria lain. Pantas saja Farel sering mengeluh ndak pernah kau layani. Ternyata kebiasaanmu melamun sambil menatap rembulan, seolah kau tengah menatap wajah pria yang kau taksir.” Kalimat tuduhan meluncur dengan deras, tanpa jeda, tanpa spasi dari mulut Arimbi.
“Bu, saya sedang memikirkan dan menunggu mas Farel. Setelah menggauli saya, mas Farel pergi entah ke mana. Mas Farel ndak pamit –“
Arimbi memangkas ucapan Derana dengan mengibaskan tangan ke udara. “Ck ... kau memang istri yang berakhlak jongkok. Suka sekali berkata dusta dan memfitnah suami sendiri. Dengar Dera! Jika kau berani memfitnah putraku lagi, jangan harap hidupmu akan tenang selama tinggal di rumah kami. Kau pikir, aku akan percaya ... Farel menggaulimu?”
Dilemparkannya tatapan tajam seiring senyum smirk yang membingkai wajah. Lantas ia pun kembali bersuara dengan nada penuh penekanan “Ndak. Aku sama sekali ndak percaya dengan ucapanmu. Farel ndak mungkin menggaulimu. Karena putraku itu selalu mengeluh ... punya istri tetapi seperti ndak mempunyai istri. Kau selalu berpura-pura tidur setiap Farel meminta dilayani.”
“Tapi Bu, mas Farel benar-benar menggauli saya. Jika Ibu ndak percaya, saya akan menunjukkan bukti –“
Sebelum Derana menunjukkan jejak semburat merah hasil karya Farel yang tercetak di bagian leher dan dadanya, Arimbi berlalu pergi dengan memutar bola mata malas tanpa mengacuhkan menantunya.
“Lebih baik, aku menemui Farel. Aku yakin, Farel berada di kamarnya. Ndak mungkin putra kesayanganku itu pergi tanpa ijin pada ibunya dan belum pulang sampai selarut ini,” gumamnya tetapi bisa didengar oleh Derana.
Dengan langkah gontai, Derana mengayun tungkai—menyusul ibu mertuanya.
Perlahan, Arimbi membuka pintu kamar sang putra. Manik mata wanita paruh baya itu berotasi sempurna saat indra penglihatannya menangkap objek yang dicari.
Rupanya, Farel sudah berada di dalam kamar. Ia tampak memejamkan mata dan membalut tubuhnya dengan selimut tebal. Entah, sejak kapan pria itu pulang dari rumah kekasih gelapnya yang hanya berjarak lima langkah dari kediaman Atmajaya.
“Mas Farel –“ lirih Derana sembari menutup bibirnya dengan telapak tangan. Ia sangat terkejut kala mendapati suaminya sudah tertidur di ranjang king size.
Arimbi mengepalkan tangan dan memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Derana.
Netranya memerah karena luapan api amarah.
“Dasar menantu tukang fitnah. Kau lihat sendiri ‘kan, Farel berada di dalam kamar? Pria murah hati yang bersedia menikahi gadis udik sepertimu, sudah tidur. Dia ndak pergi ke mana-mana. Berani-beraninya kau memfitnah putra Arimbi Rahayu.”
PLAK
Satu tamparan keras dihadiahkan oleh Arimbi tepat mengenai pipi mulus Derana.
Derana mengaduh dan mengusap pipinya yang terasa perih bercampur panas.
Puas melayangkan tamparan, Arimbi kembali melontarkan kata-kata bernada sarkasme sembari menunjuk wajah Derana.
“Sekali lagi kau memfitnah putraku, lebih baik ... kau pergi dari rumah ini! Kami ndak butuh manusia sampah sepertimu.”
Setiap untaian kata yang keluar dari bibir ibu mertua yang sangat ia hormati, sukses menyayat ulu hati. Derana menekan dadanya yang terasa sangat sakit dan berusaha menahan titik-titik air yang sudah menganak di kelopak mata.
Tuhan, cabut saja nyawaku dari pada harus hidup menjadi manusia sampah—pintanya yang hanya terlisan di dalam hati seiring kelopak mata yang mengatup sempurna.
Senyum penuh kemenangan terlukis jelas di wajah Farel setelah ibunya berlalu pergi.
Pria berkulit sawo matang itu selalu bersorak senang setiap menyaksikan Derana—istrinya menderita ....
🌹🌹🌹🌹
Bersambung ....
Jangan lupa untuk meninggalkan jejak dukungan ya Kakak-kakak ter love 😉
Mohon maaf jika ada salah kata dan bertebaran typo. 😊🙏
Terima kasih dan banyak cinta 😘😘😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!