NovelToon NovelToon

Kadarsih ( Pelet Pengasihan Lintrik )

Episode 1 : Wanita Hebat

# Kadarsih ( Pelet Pengasihan Lintrik)

Kadarsih adalah ibu dari dua orang anak bernama Aminah dan Adrian. Di usia muda dia harus berjuang mencari nafkah untuk kedua buah hatinya. Tiga bulan yang lalu, Wiranto suaminya pergi merantau ke kota mencari pekerjaan. Tanpa mengirim uang ataupun kabar, suaminya hilang bagai ditelan bumi. Usut punya usut ternyata sang suami sudah menikah lagi di kota dengan seorang janda kaya beranak tiga dengan identitas yang berbeda.

Sakit, itulah yang dirasakan Kadarsih selama ini. Selama tiga bulan menunggu kabar dari suaminya, ternyata sang suami sudah menikah lagi. Terpaksa dengan rasa sakit dan hati yang hancur, Kadarsih harus bisa berdiri dan kuat menjalani hidupnya. Semua itu dia lakukan agar kedua buah hatinya tidak ikut bersedih.

Kadarsih, sebenarnya wanita yang cukup cantik. Namun karena kemiskinan yang melanda hidupnya, dia terlihat kumal, kotor, dan tidak terawat. Kulitnya hitam legam, terkena paparan sinar matahari terus menerus.

Dia terpaksa harus mencari rongsok yang kemudian ia jual, untuk menghidupi kedua buah hatinya. Pulang dari menjual rongsok, ia membeli satu bungkus nasi dengan lauk tempe atau tahu goreng saja. Menurutnya itu sudah lebih dari cukup untuk membuat perut kedua anaknya kenyang. Dan jika ada sisanya, akan ia makan untuk mengganjal perutnya sendiri.

Sebenarnya hatinya sangat sedih melihat keadaannya sekarang. Kadarsih hanya bisa memberikan makan nasi ala kadarnya saja. Tidak ada telur, ayam, ataupun daging. Tapi, dia masih bisa bersyukur kedua buah hatinya bisa makan dengan kenyang.

Ibu mana yang tidak bersedih melihat anak-anaknya hanya makan nasi dan tempe tahu saja? Tentu dia sangat bersedih. Setiap malam, saat kedua buah hatinya terlelap, dia menangis sendiri sambil memandang sendu keduanya. Namun apa daya, hanya inilah yang bisa ia lakukan untuk sekarang ini.

Pernah Kadarsih membawa kedua buah hatinya, bekerja membersihkan rumah salah satu tetangga. Bukannya uang yang ia dapatkan, justru makian. Pasalnya, kedua buah hatinya yang sangat aktif sudah memecahkan barang-barang mahal dirumah itu. Hari itu juga, Kadarsih diusir secara kasar tanpa gaji sepeserpun.

Dari kejadian itu, ia enggan untuk bekerja di rumah orang. Melihat kedua buah hatinya juga masih kecil, dan belum bisa ditinggal sendirian di rumah.

Kadarsih terpaksa harus mencari rongsok berupa botol bekas, kardus dan besi. Nilai jual dari barang-barang tersebut berbeda-beda. Kalau botol bekas, ia akan dibayar sangat murah. Sedangkan untuk kardus agak lumayan. Dan untuk besi, harganya juga cukup bagus. Tapi, dijaman serba susah seperti ini, besi menjadi rebutan semua tukang rongsok. Karena memiliki nilai jual yang lumayan bagus. Terkadang jika ada proyek pemerintah, besi menjadi rebutan tukang proyek itu sendiri.

Dengan tertatih-tatih Kadarsih dan kedua anaknya membawa dua karung rongsok, yang diperkirakan mungkin banyak rongsok yang mereka cari hari ini. Wanita itu menyuruh kedua buah hatinya untuk duduk beristirahat, sambil menyeka peluh dan keringat.

"Aminah, Adrian! Sini duduk dulu! Kita tunggu Bang Jali disini!" suruh Kadarsih kepada anak-anaknya untuk duduk di kursi butut yang terletak di depan rumah Bang Jali. Bang Jali adalah pengepul barang-barang rongsokan.

Lumayan lama mereka menunggu akhirnya Bang Jali nampak berjalan tergopoh-gopoh, dengan perut buncitnya yang bergoyang ke kanan dan ke kiri. Membuat Aminah dan Adrian tertawa geli melihatnya.

"Stttttttt. Jangan tertawa terus, kalau Bang Jali tahu kalian bisa dimarahi!" sungut ibunya.

"Habisnya perut Bang Jali lucu," sahut Adrian, anak bungsunya.

"Adrian!" kesal Kadarsih membulatkan matanya.

"Kadarsih, Kau sudah disini?"

"Iya, Bang,"

"Banyak juga bawaan mu," ucap Bang Jali.

"Alhamdulillah," jawabnya.

"Masukkan ke sini biar aku timbang!" suruhnya.

"Baik, Bang!" Kadarsih membongkar semua barang rongsokannya dan memindahkan ke karung yang lebih besar.

"Biar aku timbang," ucap pria tambun itu.

"Hey, Kalian, Jangan menyentuh barang-barangku!" ucap Jali menggelegar melarang anak-anak Kadarsih menyentuh barang-barang rongsok miliknya. Mereka langsung terdiam tidak berkutik.

"Berapa kilo, Bang?"

"10 kg," jawabnya, "Jadi uangnya hanya segini," ucap Jali memberikan satu lembar uang sepuluh ribuan.

Kadarsih membuang nafasnya kasar. Hingga tertatih-tatih dia membawanya, hanya satu lembar sepuluh ribuan yang ia dapatkan.

"Apakah tidak bisa ditambah, Bang?" tanya Kadarsih kepada Bang Jali.

"Itu kan harga yang sudah kita sepakati. Satu kilo kardus seribu rupiah. Dan untuk botol plastik sekilonya lima ratus rupiah. Jadi, Kau tidak bisa tawar-menawar lagi kepadaku," ujarnya.

"Hhhhhh, baiklah, Bang. Terima kasih banyak," jawabnya.

"Hem,"

Kadarsih pergi meninggalkan tempat rongsok itu dengan menggandeng dua buah hatinya. Mereka begitu girang setelah melihat ibunya menerima uang lembaran sepuluh ribu. Dengan uang itu mereka bisa membeli jajan yang selama ini mereka impikan.

Berbeda dengan Kadarsih, dia harus memutar otaknya untuk mencari uang dari tempat yang lain. Uang sepuluh ribu hanya cukup untuk membeli makan saja. Sedangkan ia membutuhkan banyak uang untuk membayar listrik yang sudah dua bulan ini dimatikan oleh PLN karena menunggak.

Kadarsih dan kedua anaknya berjalan melewati persawahan, kemudian terlihat jelas warung nasi Mak Onah dipinggir jalan persis. Perempuan separuh baya itu, berjualan nasi dipinggir jalan sudah cukup lama. Warung yang luasnya hanya 7 x 9 meter saja, lumayan ramai disinggahi orang-orang kampung. Bukan masalah enak bagi Kadarsih, tapi, dengan satu bungkus nasi, kedua buah hatinya bisa kenyang, termasuk dia bisa ikut makan sisa anaknya.

"Mak, biasa ya! Nasi dan tahu goreng saja. Dikasih kuah ikan ya, Mak!" ucap Kadarsih.

"Siap, Sih, Tunggu sebentar ya!" ucap Mak Onah.

"Sih, kamu nggak bosan setiap hari makan dengan tahu dan tempe goreng," ejek Bu Darno yang sedang mengantri, membeli lauk disitu. Ibu-ibu yang lain terkekeh mengejek.

"Gimana mau beli ayam, Bu Darno. Wong beli nasi saja susah," ucap Bu Heni.

"Bener tuh, Bu. Nasi sama kuah ikan saja bagi mereka sudah lezaaaaaaaat banget," ucap Bu Wati. Tentu tawa mereka pecah menghina Kadarsih.

"Apakah ibu-ibu puas menertawakan saya?" ketusnya. Sontak mereka terdiam mendengar suara keras Kadarsih.

"Yang terpenting saya tidak menyusahkan hidup ibu-ibu sekalian. Kenapa kalian harus mengurusi hidup saya?"

"Hey, Kadarsih. Jangan sombong ya! Makan dengan tempe saja sombong! Bagaimana kalau makan ayam dan daging?" ejek Bu Darno.

"Saya tidak sombong! Saya hanya memeringatkan ibu-ibu saja! Saya tidak pernah merepotkan ibu-ibu, apalagi meminta bantuan kepada ibu-ibu. Kenapa jadi ibu-ibu mengurusi hidup keluarga saya?" ketus Kadarsih.

"Alah, miskin saja belagu!" nyinyir Bu Wati.

"Saya memang miskin, Bu. Setidaknya saya tidak pernah meminta-minta. Rezeki yang saya dapatkan halal. Dari keringat saya sendiri. Jadi, ibu jangan nyinyir!" kesal Kadarsih.

"Sudah, sudah, jangan bertengkar di warung saya. Saya jadi nggak enak sama pelanggan yang lain!" ucap Mak Onah, "Sih, ini nasimu. Dan ini kembaliannya," ucap Mak Onah dengan menyerahkan kembalian.

"Terimakasih, Mak, Saya mohon diri!" ucapnya. Mak Onah menganggukkan kepalanya dengen tersenyum.

Sebenarnya melihat Kadarsih seperti itu, wanita separuh baya itu tidak tega. Terkadang jika ada lauk lebih, sengaja ia sisihkan untuk Kadarsih dan juga anak-anaknya.

to be continued.....

Episode 2 : Bekerja Di perkebunan

# Kadarsih ( Pelet Pengasihan Lintrik )

Kadarsih berjalan dengan menggandeng dua buah hatinya. Dia benar-benar merasa jengkel dengan ucapan nyinyir tetangganya. Terutama Bu Darno.

Bu Darno adalah wanita separuh baya yang terkenal kaya di kampungnya. Rumah dan kontrakannya banyak, sawahnya berhektar-hektar. Wanita paruh baya itu, meskipun usianya sudah berkepala empat, namun tubuhnya masih singset seperti umur dua puluhan. Wajahnya juga nampak masih muda, mungkin perawatan dari salon mahal yang selama ini merawatnya.

Pak Darno sendiri adalah juragan tanah yang kaya raya. Pria separuh baya ini, bekerja sebagai makelar tanah, kebun dan sawah. Dia juga memiliki banyak sawah dan perkebunan. Persawahan dan perkebunan di kampung itu sebagian besar miliknya.

Pasangan separuh baya itu memiliki anak yang masih kecil. Sepantaran dengan usia anak Kadarsih. Karena dulu, memang Bu Darno sengaja menunda usia kehamilannya.

Anak Bu Darno bernama Mario. Anak laki-laki yang super nakal. Jika dijalan berpapasan dengan Amina dan Adrian, Mario akan membully mereka hingga menangis. Membuat Kadarsih terkadang geram sendiri melihat kelakuan nakal Mario.

Hari ini untuk mencari uang tambahan, Kadarsih terpaksa memohon kepada Pak Darno meminta pekerjaan. Salah satu karyawan Pak Darno, menyuruh Kadarsih untuk masuk ke kantor.

"Sih, jangan bawa anak. Tinggalkan saja mereka disini dulu. Jika ingin membahas masalah pekerjaan, Pak Darno paling tidak suka ada keributan atau suara berisik," ujar Tarman. Orang yang membantu Kadarsih mencarikan pekerjaan.

"Anak-anak, tunggu ibu disini. Ibu akan menemui Pak Darno dulu!" ucapnya.

"Baik, Bu," jawab Aminah. Berbeda dengan Andrian, dia merengek minta ikut masuk ke dalam.

"Jangan, Nak. Ibu mau membicarakan masalah penting dengan Pak Darno. Masalah pekerjaan, jika ibu punya uang banyak, nanti ibu ingin mengajak kalian ke pasar membeli baju, Bagaimana?"

"Hore, ke pasar," ujarnya riang.

Kadarsih masuk ke ruangan Pak Darno. Pak Darno yang sedang memeriksa buku laporan keuangan, menyuruh duduk wanita itu.

"Duduklah!" ucapnya, "Apa keperluan mu? Katakan!"

"Saya ingin meminta pekerjaan, Pak. Saya mohon, terimalah saya bekerja di perkebunan, Bapak," pintanya. Manik tua itu menatap Kadarsih dengan tatapan memangsa.

"Baiklah, Kau aku terima bekerja disini. Tapi, kerja yang rajin!" tuturnya.

"Benarkah, Pak. Terimakasih banyak, Pak!" ucap Kadarsih lugu. Kadarsih mencium punggung tangan pria itu.

"Sudah, sudah. Besok kau sudah mulai bekerja!"

"Baik, Pak. Terimakasih banyak. Saya pamit dulu!" pamitnya dijawab anggukan kepala Pak Darno.

Wanita itu melangkahkan kakinya dengan hati berbunga-bunga, karena mulai besok dia akan bekerja. Dan hasilnya akan Ia belikan makanan kesukaan anak-anaknya.

Saat berjalan dengan menggandeng anak-anaknya, di pintu gerbang dia berpapasan dengan Bu Darno. Bu Darno menatapnya dengan sinis.

"Sedang apa kau dikantor suamiku?" tanyanya sinis.

"E-e-e, Saya ... !"

"A-e-a-e. Ditanya seperti orang bisu saja," kesal Bu Darno, "Apa yang kau lakukan di kantor suamiku? Kau mau menggoda suamiku dengan tampang jelekmu itu?" ejeknya.

"Ciiiiih, dasar munafik. Kau bilang tidak membutuhkan bantuan siapapun, nyatanya kau kesini meminta sumbangan kan?" cecar wanita itu.

"Ibu salah paham. Saya datang kesini untuk ... !" belum menyelesaikan kalimatnya, Bu Darno kembali mengejeknya.

"Dasar wanita miskin, gembel, bau. Sana jauh-jauh dari kantor suamiku. Keluargaku akan ketiban sial jika kau dan anak-anakmu datang kesini," ejeknya sambil mengusir tubuh kurus itu.

"Ayo anak-anak kita pergi," ajak Kadarsih kepada kedua anaknya.

☄️☄️☄️☄️☄️

Keesokkan harinya, sebelum pergi ke perkebunan. Kadarsih membawa bekal makanan dan minuman, supaya saat anaknya kelaparan dan kehausan, mereka tidak rewel. Singkong rebus dan air putih cukup mengenyangkan, menurut Kadarsih.

Pukul tujuh pagi mereka berangkat dari rumah menuju perkebunan. Para karyawan Pak Darno yang sudah mengenal baik wanita itu, tidak membutuhkan waktu yang lama untuk bersosialisasi. Mereka langsung akrab. "Sih, buang sampah plastiknya. Dan daun yang kering-kering kumpulkan menjadi satu didalam wadah, untuk pupuk organik," suruh Pak Mat. Seorang pria tua yang sudah lama bekerja di perkebunan itu.

"Baik, Pak Mat," ujarnya.

Dengan dibantu oleh kedua anaknya, Kadarsih membersihkan sampah-sampah yang memenuhi perkebunan Pak Darno. Rencananya perkebunan ini akan ditanami pohon pisang disisi kanan, dan tanaman singkong disisi kiri.

Jam makan siang Kadarsih dan anak-anaknya sudah tiba, begitu juga karyawan yang lain. Mereka membuka bekalnya masing-masing. Pak Mat sedari tadi memperhatikan Kadarsih dan kedua anaknya, mereka hanya makan siang dengan singkong dan air putih. Pak Mat merasa sangat iba. Dia pun memberikan sebagian makan siangnya untuk Aminah dan Adrian.

"Terimakasih banyak, Pak Mat," ucap Kadarsih kepada pria tua itu. Aminah dan Adrian makan dengan lahap, padahal hanya dengan sayur lompong dan ikan asin saja.

"Kenapa kau tidak menikah lagi saja, Sih?" tanya Pak Mat.

DEGH ...

Tatapan Kadarsih beralih ke Pak Mat. Kemudian dia tersenyum getir. Bagaimana dia mau menikah lagi? Siapa yang akan melirik ke wanita jelek, lusuh, jauh dari kata cantik dan berkulit hitam seperti dirinya.

"Pak Mat ada-ada saja," gelaknya.

"Lho, Saya serius, Sih!"

"Mana ada laki-laki yang mau dengan saya, Pak?"

"Jika ada, kamu mau?" tanya Pak Mat. Kadarsih membuang nafasnya kasar.

"Saya belum sempat berpikir kearah situ, Pak. Saya ingin membesarkan anak-anak dulu," jawabnya.

"Tapi, mereka butuh figur seorang ayah, Sih," ujar Pak Mat, "Dengan kamu menikah lagi, beban dipundak mu akan sedikit berkurang," imbuh Pak Mat. Kadarsih nampak berfikir.

"Saya belum berpikiran sejauh itu, Pak Mat,"

"Sebaiknya kau pikirkan lagi ucapanku,"

"Memangnya Pak Mat mempunyai teman atau saudara yang mau menikah dengan janda seperti saya?" tanya Kadarsih penasaran.

"Ada, teman saya. Dia memang sudah tidak muda lagi. Dia seorang duda dengan dua belas anak. Tapi dia sangat kaya," jawab Pak Mat, "Usianya kira-kira lima puluh lima tahun,"

"Apa?" Kadarsih tersenyum kecut, "Itu pantasnya jadi bapak saya, Pak,"

"Darsih, Darsih. Jaman sekarang banyak Kakek-kakek menikahi perawan. Dan perawan juga nggak nolak. Nah, kamu kan janda, anak dua. Menurut saya, jika menikah dengan orang seperti dia, hidup kamu dan anak-anakmu akan makmur dan sejahtera," tutur Pak Mat.

"Nanti akan saya pikirkan dulu, Pak," sahutnya.

"Baiklah. Pikirkan saja dulu," ujar Pak Mat, "Jika kamu memang bersedia, akan saya pertemukan kamu dengannya,"

"Baik, Pak. Nanti saya akan memberikan kabar kepada Bapak, jika hati saya sudah mantap,"

"Baiklah, saya tunggu," sahutnya, "Pikirkan dengan matang. Pikirkan untuk kebaikan anak-anakmu. Masa depannya, dan kehidupannya kelak,"

"Baik, Pak. Terimakasih banyak,"

Selesai jam kerja, Kadarsih bersiap-siap untuk pulang. Sedari tadi kedua anaknya sangat rewel, mungkin karena tubuh mereka kecapean.

"Baiklah, Ayo kita pulang!" ajak Kadarsih kepada anak-anaknya.

to be continued ...

Episode 3 : Kecurangan Bu Darno

# Kadarsih ( Pelet Pengasihan Lintrik )

Satu Minggu Berlalu

Hari yang dinanti-nanti oleh Kadarsih dan juga anaknya telah tiba. Hari ini dia akan mendapatkan upah atas kerjanya selama satu Minggu. Dia ikut mengantri seperti karyawan yang lain untuk menerima upah. Hasil kerja mereka diperkebunan.

Karena antrian terlalu panjang, Darno membaginya menjadi dua barisan. Barisan yang pertama Darno sendiri yang membagikan amplop, sedangkan barisan kedua Bu Darno yang membagikannya.

Tiba giliran Kadarsih. Kadarsih mengantri di barisan kedua. Dimana Bu Darno yang membagikan amplop tersebut. Dengan menundukkan kepalanya, dia melangkah ke depan. Ada tatapan tidak suka dimata Bu Darno terhadap wanita didepannya.

"Nih, upah kamu," ketusnya.

"Terimakasih, Bu," jawabnya. Dengan riang gembira, Kadarsih membawa amplop itu. Anak-anak sudah menunggu dengan tidak sabar, melihat ibunya datang mereka bersorak-sorai bahagia.

"Asyik ibu sudah gajian," ucap Aminah.

"Nanti kita beli makanan yang enak ya, Bu," ucap Adrian.

Ibu mana yang tidak sedih mendengar ucapan-ucapan polos kedua buah hatinya. Mereka begitu menginginkan makanan yang enak. Makanan yang seperti teman-temannya makan.

"Ayo buka, Bu!" pinta Aminah.

"Iya, Sayang,"

Dengan perlahan Kadarsih membuka amplop itu. Betapa terkejutnya dia, uang yang ada di amplop itu, hanyalah lembaran uang lima ribuan, berjumlah sepuluh lembar, jika ditotalkan semuanya berjumlah lima puluh ribu rupiah. Kenapa keringatku hanya dibayar lima puluh ribu rupiah? batin Kadarsih.

"Ada apa, Bu?" tanya Aminah.

"Eh, nggak apa-apa, Sayang," jawabnya, "Pergi ke pasarnya nanti ya. Sepertinya, Pak Darno salah menghitung uangnya," ucapnya.

"Nggak apa-apa kok, Bu," jawab gadis kecil itu sambil tersenyum manis.

"Mungkin Pak Darno salah memberikan upah, sebaiknya aku datangi rumahnya," batin Kadarsih.

"Ibu mau kemana?" tanya Aminah, dia melihat ibunya merapikan rambutnya.

"Aminah jaga adik ya! Ibu mau ke rumah Pak Darno. Mau menanyakan upah ibu, sepertinya Pak Darno salah deh," ucapnya.

"Tapi, Bu?"

"Sayang, pulangnya akan ibu bawakan makanan yang enak-enak," ucap Kadarsih lagi.

"Ehm, baiklah. Jangan lama-lama ya, Bu,"

"Iya, Sayang,"

Kadarsih pun buru-buru ingin menemui Pak Darno dirumahnya. Mumpung belum petang, ia sempatkan datang kekediaman Darno. Jika ditunda sampai besok pagi, Takutnya Pak Darno lupa.

Kadarsih sudah berdiri di depan pagar rumah bercat kuning. Pagarnya hanya sebatas dada saja. Dari luar rumah nampak sepi, namun mobil milik Darno ada di rumah. Dia masih berdiam diri di depan pintu pagar.

"Apakah harus masuk atau tidak? Tapi aku butuh penjelasan. Kenapa tenagaku hanya dibayar lima puluh ribu rupiah saja?" monolognya sendiri.

"Ah, lebih baik masuk saja. Aku sudah janji ingin membelikan baju dan makanan untuk anak-anak,"

Kadarsih memutuskan untuk masuk ke dalam. Dia mengetuk pintu berwarna coklat. Kayunya terbuat dari kayu jati, sehingga saat diketuk kayunya sangat keras, membuat tangannya kesakitan.

Tok ... Tok ... Tok

"Assalamualaikum?"

"Walaikumsalam," jawab seorang pria dari dalam.

"Kadarsih!" Darno mengerutkan keningnya. Dia heran dengan kedatangan wanita itu yang secara tiba-tiba.

"Masuklah!" ajaknya.

"Tidak, Pak. Disini saja,"

"Sudah masuk dulu. Nggak enak juga mengobrol diluar,"

"Baiklah," sahutnya saling menautkan jari-jarinya.

"Silahkan duduk!"

"Terimakasih banyak, Pak,"

"Ada apa? Tumben kamu datang kesini. Apakah ada masalah?"

"Ini, Pak. Saya mau menanyakan perihal uang gajian saya. Apakah benar upah saya segini, Pak?" tanya Kadarsih menyerahkan amplop kepada Darno. Darno memeriksanya. Pria separuh baya itu, nampak mengernyitkan alisnya.

"Ini pasti kerjaan ibu," batinnya.

"Maaf, mungkin istriku salah menghitung. Tunggu sebentar, akan aku ambilkan uangnya dulu," ucap pria itu berlalu ke sebuah ruangan. Dan dia keluar dengan amplop coklat juga.

"Ini!" Darno menyerahkan amplop tersebut, Kadarsih menghitung kembali uangnya.

"Pak ini terlalu banyak," ucap Kadarsih terkejut karena uang yang ada diamplop itu begitu banyaknya.

"Tidak apa-apa. Kau simpan saja lebihnya. Aku tahu, kau dan anak-anakmu sedang membutuhkan uang untuk makan dan membeli kebutuhan lain," ucapnya seraya duduk disebelah Kadarsih. Kadarsih yang diperlakukan seperti itu merasa risih. Tubuhnya beringsut sedikit untuk menjauh dari pria itu.

"Sebenarnya kamu cantik, Sih. Di poles sedikit saja, kamu terlihat sangat cantik," ucapnya menggoda. Tangan Darno menyibak rambut Darsih yang menutupi sebagian wajahnya.

"Jangan, Pak," ucapnya menepis tangan Pak Darno.

"Tenang saja. Istriku sedang tidak ada dirumah. Dia sedang pergi ke rumah ibunya,"

"Jangan, Pak. Saya nggak bisa," ucap Darsih beranjak dari tempat duduknya.

Namun Darno menahan tangan Darsih, membuat tubuh kurus itu terhuyung ke belakang, dan jatuh tepat di pangkuan Darno. Darno memeluk tubuh kurus itu, dan berniat untuk menciumnya. Namun ada suara seseorang membuka pagar rumah. Pagar itu berderit keras, membuat keduanya terkejut. Darsih langsung beranjak dari pangkuan Darno.

"Ayah?" panggil Mario.

"Sudah jauh-jauh datang kesana, tenyata ayah dan ibu sedang ke Surabaya," sungutnya. Bu Darno bermonolog sendiri.

"Apa yang kau lakukan disini?" Bu Darno membulatkan matanya melihat kedatangan Darsih.

"Maaf, Bu. Kedatangan saya kesini, saya ingin ... !" belum selesai bicara, Bu Darno sudah memotongnya.

"Kamu pasti berniat ingin menggoda suami saya. Dasar wanita murahan, tidak tahu diri!" Bu Darno memukuli tubuh Darsih dengan tasnya. Darno yang melihat aksi brutal sang istri, dia berusaha untuk mencegahnya.

"Hentikan, Bu!" bentak Darno.

"Kenapa? Bapak mau membelanya?" ketus Bu Darno.

"Tidak, ibu salah paham! Darsih datang kesini untuk menanyakan perihal uang gajinya. Kenapa ibu hanya memberikan upah lima puluh ribu kepada Darsih?" bentak suaminya. Bu Darno terhenyak. Dia menundukkan kepalanya tidak berani menatap sang suami.

"Itu-itu karena ... !"

"Sudah, Bapak sudah tahu, ibu nggak suka sama Darsih. Tapi, bukan berarti ibu bisa mengurangi upah karyawan begitu saja. Lama-lama para karyawan tidak mau bekerja ditempat kita, kalau cara ibu seperti itu!" kesal Darno.

"Maafkan ibu, Pak," ucap Bu Darno masih menundukkan kepalanya.

"Pak, Bu. Sebaiknya saya pamit. Kasihan anak-anak di rumah sendirian," ucap Darsih.

"Pulanglah, Darsih. Kasih makan anakmu dengan layak," ucap Darno memandang Darsih penuh arti.

"Iya, Pak. Terimakasih banyak,"

Bergegas Darsih pun keluar dari rumah Pak Darno. Sebelum pulang ke rumah, Darsih mampir dulu ke warung Mak Onah. Dia membeli dua porsi nasi dengan lauk ayam goreng dan rendang daging. Dia juga membeli jajanan yang diinginkan anak-anaknya selama ini.

Jika ada temannya yang memakan jajanan itu. Aminah dan Adrian hanya bisa menelan ludahnya sendiri. Pernah mereka meminta sedikit, bukannya memberi. Mereka malah mengejek dan mencaci maki. Pulang ke rumah mereka menangis sedih. Melihat kedua anaknya menangis, tentu hati seorang ibu pastinya sangat bersedih.

"Tumben, Sih. Kamu membeli banyak makanan?" tanya Mak Onah.

"Iya, Mak. Saya kan habis gajian. Saya ingin membelikan makanan yang enak untuk anak-anak saya," ucapnya senang.

"Syukurlah kalau begitu. Mak ikut senang mendengarnya," ucap Mak Onah tulus.

"Terimakasih banyak ya, Mak. Saya pamit dulu!"

"Hati-hati, Sih!"

to be continued ...

Tap Love...❤️❤️

Tap Like ...👍👍

Tap bunga ....💐💐💐

Tap kopi ...☕☕☕☕

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!