"Aku sedang sakit. Tapi, jangan khawatir. Bekerjalah dengan baik tanpa memikirkan kondisiku. Percayalah! Aku mampu mengurus diriku sendiri, Sayang!"
Helaan nafas terdengar dari seorang gadis 24 tahun bermata hijau yang baru saja selesai menyerahkan dua porsi pasta pesanan pelanggan kepada seorang pelayan. Suasana hatinya mendadak buruk meski hari yang sibuk baru saja dimulai. Rasanya tak tenang saat tahu bahwa sang pujaan hati ternyata sedang sakit hingga tak masuk kerja hari ini.
"Diana, ada apa?" tegur kepala koki saat melihat salah satu bawahannya yang bertugas sebagai Saute chef atau koki khusus yang menangani saus pelengkap nampak melamun. Meski dapur belum terlalu sibuk karena baru saja restoran buka, namun sang kepala koki tetap saja merasa asing mendapati pemandangan didepannya. Seorang Diana Steel melamun di jam kerja? Yang benar saja. Itu bukan karakter Diana sama sekali.
Sejauh yang kepala koki tahu, Diana adalah sosok paling bersemangat. Sosok paling menggebu-gebu bahkan nyaris tak mengenal lelah. Bahkan, Diana adalah kesayangan semua orang karena selalu mampu menyebar energi positif kepada setiap orang.
"Tidak ada apa-apa, Chef," jawab Diana tersenyum. Ponsel yang sedari tadi menjadi fokusnya lekas ia masukkan kembali ke dalam saku celana.
"Apa ada masalah? Atau ada sesuatu yang sedang terjadi?"
Diana menggeleng. Mencoba berbohong namun sepertinya raut wajahnya tak mampu diajak bekerjasama.
"Kau ingin izin pulang?"
"Bolehkah?" Tanpa sadar, Diana menyahut penuh semangat. Jujur saja, jika diizinkan, dia hanya akan izin selama dua jam saja. Sekadar untuk menengok tunangannyanya dan membawakan makanan serta obat saja. Setelah itu, ia akan kembali bekerja bahkan rela lembur sekalipun.
Sang kepala koki tertawa melihat reaksi polos Diana. Beginilah gadis yang ia kenal. Selalu blak-blakan mengenai keinginan dan perasaannya.
"Maaf, Chef!" Menyadari dirinya terlalu bersemangat, Diana segera mengutarakan permintaan maaf.
"Santai saja, Di! Jika ingin izin pulang, silahkan saja! Tapi, selesaikan dulu 4 pesanan yang sedang mengantre itu," tutur kepala koki sambil menunjuk 4 kertas berisi pesanan yang ditempel di depan tempat penerimaan pesanan.
"Siap, Chef!" sahut Diana sambil memberi hormat pada kepala Koki. Pria bermata biru itu hanya tertawa lebar. Menaikkan kedua jempolnya sebelum berlalu mengawasi pekerjaan chef yang lain.
Penuh dedikasi, Diana mulai memasak saus spaghetti dan lekas menyajikannya dengan sempurna. Meski tak sabar lagi untuk memberi kejutan kepada Gerald, namun Diana tetap berusaha fokus dan memastikan bahwa rasa masakan yang ia sajikan kepada pelanggan tetap terasa lezat dan menggugah selera. Bahkan, Kepala koki pun selalu memuji saus buatan Diana.
******
Sampai di flat milik Gerald, Diana masuk begitu saja karena pintu yang memang tak pernah dikunci Gerald jika sedang berada di tempat. Senyum Diana mengembang sambil melihat makanan yang ia bawa didalam sebuah plastik yang ia tenteng. Namun, Diana berhenti tepat didepan kamar Gerald saat melihat lelaki itu sedang bertukar peluh dengan seorang wanita yang begitu Diana kenal.
"Ah...Ah...Ah...," ******* liar itu memenuhi Indra pendengaran Diana. Gadis itu bahkan nyaris memuntahkan isi perutnya saking jijiknya.
Vanya, sahabat baik Diana adalah wanita yang sedang bersama Gerald. Tanpa pikir panjang, makanan yang dibawa Diana dilempar dengan keras ke arah dua manusia yang hanya tertutup sehelai selimut tipis itu. Keduanya langsung terperanjat kaget saat melihat Diana di sana tengah menatap mereka penuh luka dan kebencian.
"Di?" lirih Vanya dengan sepasang bola mata yang membulat sempurna. Gerald melompat dengan sigap meraih celananya yang teronggok dibawah ranjang. Sementara, wanita selingkuhannya hanya bisa mengeratkan selimut menutupi tubuhnya yang tak mengenakan apa-apa.
Diana tak menjawab panggilan itu. Tanpa pikir panjang, ia lekas menghampiri wanita yang begitu ia sayangi layaknya saudara itu lalu melampiaskan kekecewaannya yang teramat dalam.
"Perempuan j*Lang! Tega sekali kau!" ucap Diana marah sambil menjambak rambut panjang Vanya.
"Ampun, Di! Jangan sakiti aku," kata Vanya berurai air mata. Wanita itu merasa serba salah. Hendak melepaskan tangan Diana dari rambutnya, namun tetap harus mempertahankan selimut tipis yang menjadi pembungkus tubuh satu-satunya.
"Aku sudah menganggapmu seperti saudara, Vanya! Aku bahkan membiarkanmu tinggal dirumahku secara gratis selama ini. Tapi apa balasannya, hah? Begini caramu berterimakasih pada orang yang sudah menyayangimu?"
Plak! Tamparan Diana mendarat di pipi perempuan yang selalu terlihat polos itu. Bahkan, sampai detik ini, wajah polos Vanya masih saja terpasang sempurna.
"Berhenti, Diana! Jangan sakiti Vanya!" kata Gerald sambil mendorong keras calon istrinya demi membela selingkuhannya. Lelaki yang baru berhasil mengenakan celana boksernya itu lalu menyeret Diana dengan kasar keluar kamar lalu menghempaskan tubuh tunangannya begitu saja ke lantai yang dingin.
Diana tak percaya pada apa yang baru saja ia saksikan. Gerald ternyata lebih membela Vanya dibanding dirinya yang merupakan tunangan dari pria itu. Bahkan, pernikahan impian mereka sebulan lagi akan terlaksana. Namun, hari ini semuanya hancur. Impian itu tinggal hanya sebuah kenangan pahit.
"Hah! Jadi, kau lebih membela dia dibanding aku?" tanya Diana usai berhasil bangkit kembali. Mata hijaunya yang indah menatap penuh amarah. Membuat rasa cinta yang selalu bisa Gerald lihat dengan jelas kini berubah suram.
"Vanya tidak salah apa-apa, Di. Aku yang memulai semuanya. Aku yang jatuh cinta padanya terlebih dulu." Gerald berusaha menjelaskan situasinya.
"Lalu, aku ini kau anggap apa, Gerald? Aku calon istrimu, tapi dengan teganya kau selingkuh dengan sahabatku sendiri? Dan Vanya, bukankah kau teman baikku? Sekalipun Gerald menyukaimu, tidakkah kau berniat untuk menolak atau menjauhinya? Dia tunangan sahabat baikmu, Vanya," teriak Diana di akhir kalimat. Vanya masih berdiam didalam kamar. Wanita itu masih tak berani beranjak ke mana pun. Ia bahkan bergetar hebat saat teriakan Vanya menggema meneriakkan kemarahannya.
"Kau membuat Vanya takut, Di! Pulanglah! Kita bicarakan hal ini nanti saja." Sekali lagi, Gerald hanya memikirkan perasaan Vanya. Hal itu membuat Diana semakin bertambah hancur. Untuk sesaat, Diana hanya diam. Berusaha menetralkan rasa yang berkecamuk sambil menatap nanar pada sup hangat yang berakhir tumpah diatas tempat tidur karena dilemparnya tadi.
"Sejak kapan?" Pertanyaan itu meluncur sembari berusaha menahan isak tangis. Sudah cukup ia merendahkan diri dihadapan pria seperti Gerald. Ia tak perlu banyak berbasa-basi lagi. Yang perlu ia ketahui hanya satu yaitu sejak kapan pengkhianatan yang begitu kejam ini mereka lakukan.
Gerald tertunduk sesaat. "Sudah berlangsung selama 6 bulan. Sejak... Kau selalu memutuskan untuk bekerja lembur dan tak memiliki waktu untuk bersamaku lagi."
Mendengar jawaban dari mulut lelaki pengkhianat itu, Diana tertawa sumbang. "Kau lupa karena siapa aku harus bekerja keras, hah? Itu karena kau! Andai kau tidak tertipu investasi bodong, aku juga tidak mungkin terus-menerus lembur ditempat kerja demi membayar hutang yang katanya tak mampu kau tanggung sendiri itu, Gerald. Aku bahkan tidak keberatan saat kau bilang, kau tidak bisa membantuku membayar hutang itu lagi karena adikmu juga memerlukan uang yang banyak untuk biaya sekolah. Aku mengerti. Aku sangat mengerti meski lelah harus aku pendam sendiri. Tapi, ternyata, aku di tipu mentah-mentah. Kau tidak lagi mau membayar hutangmu karena ada perempuan murah itu yang kau biayai. Iya, kan?" pekik Diana meluap-luap.
Gerald terdiam. Lelaki itu hanya tertunduk diam. "Dan kau!" Diana menunjuk Vanya yang berdiri mematung di depan pintu kamar. Wanita itu kini telah memakai dress ketatnya meski tanpa mengenakan pakaian dalam. "Aku sudah berbaik hati menampungmu dan memberimu makan selama ini. Kau malas bekerja pun, aku tak masalah. Tapi, begini caramu membalas ku? Dasar perempuan murahan!"
Mata Vanya membulat mendengar hinaan yang keluar dari mulut Diana. Tampak, wanita dengan rambut pirang bergelombang itu sangat tak terima. Ia pun melangkah mendekati Diana. Berniat menampar Diana namun malah dirinyalah yang terkena tamparan.
"Hentikan, Diana!" Sekali lagi, Gerald berusaha mendorong Diana. Namun, kali ini gadis itu merasa lebih siap. Ia tidak terdorong sedikitpun, sebaliknya, ia kembali meraih rambut panjang Vanya dan menampar wajah wanita itu berkali-kali.
BUGH!
Karena kewalahan melerai, Gerald akhirnya meninju wajah Diana tanpa sadar. Tunangannya itu langsung melangkah mundur sambil memegang sudut bibirnya yang robek dan mengeluarkan cairan merah berbau amis.
"Kurang ajar kau, Gerald!" ringis Diana yang bukannya berhenti malah makin membabi buta. Kali ini, incarannya bukan hanya Vanya. Namun, tunangannya yang br*engsek pun menjadi sasaran pukulan yang memang sudah lama tak pernah di asah lagi. Ya, Diana adalah pemegang sabuk hitam Muay-Thai. Jadi, perkara menghajar orang, dulu merupakan hal yang biasa baginya.
Hampir 15 menit membuat Gerald babak belur, Diana menyudahi amukannya dengan embusan nafas lega. Terlihat Vanya yang meringkuk di daun pintu kamar. Sejak tadi, ia hanya berusaha menyelamatkan dirinya sendiri tanpa mau tahu bagaimana kondisi Gerald yang tak ubahnya sudah seperti samsak tinju ditangan Diana. Bahkan, gigi depan Gerald copot dua.
"Kau juga mau?" tanya Diana saat melihat pandangan Vanya terlihat ketakutan melihat dua buah gigi Gerald yang baru saja dimuntahkan lelaki itu.
Dengan cepat,Vanya menggeleng. Pegangannya pada daun pintu makin mengerat.
"Kalian berdua dengar! Mulai sekarang, aku tidak ingin ada hubungan lagi dengan kalian." Diana menatap dua peselingkuh itu dengan nanar. "Kau wanita penggoda!" Tunjuknya pada Vanya. "Ambil semua barang-barangmu segera dari rumahku. Dan kau, lelaki tak tahu diri," telunjuknya beralih pada Gerald yang masih meringkuk kesakitan. "Mulai hari ini, kita tak punya hubungan apa-apa lagi. Dan, masalah hutangmu, kau lunasi sendiri mulai hari ini."
"Apa maksudmu dengan tak punya hubungan?" tanya Gerald dengan mata membulat.
Diana menyeringai. "Pernikahan kita batal. Aku tak Sudi menikah dengan lelaki pengkhianat sepertimu."
"Kau tidak berhak memutuskan sendiri, Di. Apa kata orangtuaku nanti?" Gerald berucap sambil menahan perih di bawah rahangnya.
"Aku tidak peduli. Nikahi saja selingkuhanmu itu."
Melangkah terburu-buru meninggalkan flat milik Gerald, kini Diana sudah berada dijalan pulang menuju rumahnya. Tak perlu naik kendaraan, karena rumahnya berjarak tak terlalu jauh dari flat sewaan Gerald. Rasa sakit didada terasa makin menyesakkan. Berkali-kali gadis 24 tahun itu memukul-mukul dadanya agar sakitnya berkurang namun tak berhasil juga.
"Kenapa malah jadi begini?" tutur Diana sambil menangis. Air mata yang sempat ia tahan, kini kembali terjatuh. Ya, dia tak sekuat itu. Setidaknya, hatinya tak sekuat fisiknya. Diana tetap gadis seperti kebanyakan. Tetap merasa hancur jika cinta berkhianat dan akhirnya semenyedihkan ini.
Merasa tak bisa melanjutkan kerja dalam situasi sehancur ini, Diana berinisiatif meminta izin pada kepala koki untuk tidak masuk bekerja lagi hari ini. Sempat kepala koki bertanya alasannya, dan Diana terpaksa berbohong dengan mengatakan sedang tak enak badan. Beruntung, kepala koki orang yang sangat pengertian. Lelaki yang sebentar lagi akan pensiun itu memberi izin dan meminta Diana untuk kembali bekerja setelah kondisinya benar-benar sudah fit.
Usai memasukkan kembali ponsel ke dalam tas selempangnya, Diana kembali melanjutkan langkah menuju rumah peninggalan orangtuanya. Gadis itu ingin sekali cepat-cepat merebahkan diri di kasurnya yang tak terlalu empuk namun mampu memberi ketenangan. Ia hanya ingin tidur sepanjang hari. Sampai sakit di hati berangsur membaik. Meski tak sembuh total, asal sudah tak terlalu hancur, itu sudah lebih dari cukup baginya. Lagipula, tak ada luka besar yang tak meninggalkan bekas, bukan?
Ditengah perjalanan, Diana bertemu dengan seorang Nenek penjual buku-buku tua yang tampak nyaris putus asa karena tak seorang pun yang mempedulikannya. Berkali-kali Nenek itu menghampiri orang-orang yang berlalu-lalang, namun tak satu pun yang berniat membeli atau sekadar hanya melihat-lihat. Lagipula, di zaman sekarang, mana ada kalangan anak muda yang berminat lagi pada buku lama seperti itu? Apalagi, sudah ada perangkat pintar yang mampu memberi informasi tanpa batas dibanding buku-buku tua yang entah apa isinya itu. Termasuk Diana.
Namun, sisi sentimental Diana terasa tercubit. Tak mungkin ia mengabaikan seorang Nenek tua yang begitu kelelahan dan sedang berjuang mencari sesuap nasi. Setelah berpikir sesaat, Diana mengeluarkan air mineral dari dalam tasnya dan mendekati Nenek tua itu.
"Anda ingin minum?" tawar Diana seraya menyodorkan air minum mineral yang baru ia buka segelnya pada sang Nenek.
Nenek tersebut tersenyum. Minuman yang ditawarkan Diana ia abaikan. Sebaliknya, ia mengambil sebuah buku bersampul berwarna hijau dan menyerahkannya kepada Diana.
"A-apa ini?" tanya Diana kikuk karena tak siap dijejali buku tak terlalu tebal tersebut.
"Buku itu akhirnya menemukan pemiliknya. Belilah, Nak! Kau dan buku itu ditakdirkan bertemu."
"Maaf, Nek! Tapi saya tidak terlalu suka buku," tolak Diana dengan halus. Buku itu hendak ia kembalikan namun si Nenek menolak.
"Harganya hanya satu dollar saja, Nak! Nenek mohon, belilah! Buku ini sangat cocok denganmu. Nama pemerannya saja sama dengan namamu, Diana."
"Anda tahu nama saya?" tanya Diana bingung.
"Tentu saja. Ada di gantungan kunci yang ada di tasmu," sahut Nenek sambil tertawa.
Diana menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Benar kata si Nenek. Nama Diana Steel terpampang jelas di gantungan kunci berbentuk persegi panjang yang ada di tas selempangnya.
"Tapi, Nek ...,"
"Percayalah! Kau dan buku itu berjodoh. Baca sampai selesai, dan kau akan menemukan sesuatu yang kau cari selama ini."
Diana tampak menimbang-nimbang. Satu dollar bukanlah uang yang terlalu besar. Selain itu, bukankah niatnya memang menolong sang Nenek? Pada akhirnya, Diana membeli buku itu.
"Ingat, baca sampai selesai agar kau tahu cara menghadapi masalahmu," peringat Nenek sebelum dia dan Diana berpisah.
******
Malam harinya, Diana tak bisa memejamkan mata. Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari dan tangisnya masih belum juga reda. Sore tadi, Vanya datang mengambil barang-barangnya. Tentu saja, Diana tak menyisakan apapun. Semua barang pengkhianat itu sudah ia kemas dalam koper dan melemparnya keluar begitu sang empu datang hendak mengambil.
Tak ada perlawanan berarti. Vanya hanya terus terdiam tanpa berniat keberatan pada sikap kasar Diana. Namun, yang mengherankan bagi Diana adalah bahwa tak ada sedikitpun sorot penyesalan di mata Vanya meski telah menghancurkan impian indah sahabat baiknya dengan sangat sadar. Ia melenggang pergi dengan langkah yang tegak. Sudut bibirnya bahkan terangkat sinis saat Gerald datang menjemputnya dihalaman rumah Diana.
Terus-menerus kepikiran pada pengkhianatan Gerald dan Vanya, Diana beranjak bangun dan mengambil segelas air putih diatas nakas. Dihabiskannya minuman itu hingga tandas lalu kembali membaringkan tubuhnya menatap langit-langit. Tiba-tiba, bayangan buku novel dengan sampul berwarna hijau terlintas dibenak Diana. Gadis itu kembali bangun. Bergerak mengambil buku yang berada didalam tas selempangnya tadi siang kemudian duduk bersandar di kepala ranjang sambil membaca isi novel tersebut.
Secara garis besar, novel itu bercerita tentang seorang putri yang sejak dilahirkan sudah diasingkan oleh sang Ayah yang merupakan seorang Raja yang berkuasa. Bukan hanya karena dianggap sebagai penyebab Ratu atau ibu kandungnya meninggal karena melahirkannya, tetapi juga karena tak memiliki kekuatan sihir apapun layaknya garis keturunan Raja. Gadis itu terus diasingkan selama 24 tahun hingga seorang Raja dari negeri lain datang menjajah dan merebut kerajaannya. Sesuai perjanjian, Raja yang terkenal bengis itu akan tetap membiarkan Ayah sang putri memerintah dibawah pengawasan kekuasaan miliknya. Dan, putri yang terasing diharuskan menikah dengan sang Raja penjajah. Pernikahan itu hanya berlangsung satu tahun lamanya. Hubungan mereka tak ada perkembangan. Bahkan, orang ketiga yang merupakan sepupu sang Putri sendiri mulai mengusik dan mengancam keberadaannya.
Puncaknya, pada suatu malam, sang Putri difitnah telah tidur bersama pria lain. Dalang di balik fitnah itu adalah bibi dan sepupu Putri sendiri. Sang Putri yang selama ini takut pada suaminya pun tak mampu memberi pembelaan apa-apa. Ia pun hanya bisa pasrah bahkan ketika dirinya dihukum pancung oleh suaminya sendiri. Sakit, perih dan hancur. Emosi itu seolah merasuk dalam diri Diana saat membaca Ending cerita. Ia merasa tak terima. Sekalipun hanya sebatas cerita, Diana tak terima sang Putri yang memiliki nama mirip dengannya itu hanya bisa pasrah seumur hidupnya.
"Seharusnya kau melawan, Di! Bukan terus-menerus pasrah seperti itu," lirih Diana sambil menutup buku novel itu. "Andai aku jadi kau, aku tidak mungkin akan diam saja. Akan ku beri pelajaran pada dua wanita ular itu dan juga membuat Kaisar kejam itu bertekuk lutut dibawah kakiku."
********
Merasa terpaan cahaya matahari mulai mengusik sepasang mata yang masih tertutup, Diana akhirnya mau tak mau harus segera terbangun. Rasa sakit dikepala ia abaikan. Ia tahu, semua itu adalah konsekuensi dari efek kurang tidur dan menangis semalaman. Diana bahkan merasa bahwa kedua kelopak matanya seperti di lem. Sulit sekali untuk sekadar dibuka.
"Apa ini?" gumamnya dengan mata yang mengerjab beberapa kali. Mungkin karena efek mata bengkak sehingga segala sesuatu didalam kamarnya terasa asing. Bahkan, kamarnya terasa jauh lebih luas. Semakin ia memandang dengan mata sembapnya, semakin banyak hal aneh yang ia tangkap.
Ada beberapa orang yang berlalu-lalang dengan pakaian maid berbentuk seperti gaun dengan atasan putih dan bawahan hitam selutut. Terdapat penutup kepala berwarna hitam pula di rambut mereka. Dan anehnya, saat melihat Diana membuka mata, mereka menunduk hormat seperti di film-film kerajaan yang sering Diana tonton.
"Sepertinya, putus cinta membuatku berhalusinasi," kata Diana seraya tertawa kecil.
"Yang Mulia Putri Diana sudah bangun?" sapa salah seorang wanita yang mendekat ke arahnya.
"Yang Mulia Putri Di-ana?" tanya Diana dengan tatapan tak mengerti. Dan....
"Aku dimana? Kalian siapa?" pekik Diana ketakutan saat menyadari bahwa di sekelilingnya benar-benar sudah berubah. Ini bukan kamarnya. Sama sekali bukan.
"Tuan Putri, ada apa? Anda baik-baik saja?" tanya pelayan yang tadi mendekatinya.
"Jangan mendekat!" peringat Diana sambil beringsut pelan menuruni tempat tidur. Ia memperhatikan sekitar. Semuanya asing. Benar-benar tak ada apapun yang ia kenali di tempat ini.
Apa dia di culik? Benarkah? Apa ini ulah pasangan selingkuh itu? Mereka ingin balas dendam pada Diana?
Hendak memastikan semuanya, Diana berlari menuju ke pintu keluar. Namun, begitu sampai di sana, yang ia jumpai hanyalah koridor panjang disisi kanan dan kiri yang entah mengarah ke mana.
"Tuan Putri, ada apa?" Pelayan tadi masih mendekatinya. Beberapa pelayan lain ikut mendekat dengan raut wajah panik.
Diana tak mempedulikan keberadaan mereka. Ia kembali lagi ke dalam kamar. Cermin besar di sisi kanan ruangan adalah tujuannya. Dan, begitu sampai, ia memperhatikan lamat-lamat wajah didalam cermin itu. Ya, itu masih wajahnya. Kulit putih, mata hijau serta rambut kecoklatan bergelombang masih miliknya. Namun, gaun tidur yang ia pakai jelas bukan miliknya. Lalu, sebuah kalung berliontin permata Jadeite berwarna hijau terang tembus pandang jelas pula bukan miliknya.
"Siapa yang menyuruh kalian menculikku, hah? Apa Gerald dan Vanya?" tanya Diana garang pada sekelompok wanita yang terus mengikutinya sedari tadi.
"Apa maksud Anda, Tuan Putri?"
"Jangan berlagak bodoh. Kalian dibayar berapa untuk mengerjai aku, hah? Kalian pikir aku takut pada kalian, begitu?"
"Ampun, Tuan Putri. Kami tidak bermaksud seperti itu." Salah satu pelayan menyahut dengan takut-takut. Sedikit terkejut akan reaksi Tuan Putri mereka yang selama ini terkenal pemurung dan nyaris tak pernah bicara. "Kami tidak mungkin berani bermain-main dengan Putri Mahkota kerajaan seperti Anda."
"A-aku siapa?" tanya Diana memastikan apa yang baru saja dia dengar.
"Anda tentu saja Yang Mulia Putri Diana, putri tunggal Yang Mulia Kaisar Sean." Pelayan wanita itu menjawab dengan kebingungan.
"Hah?"
Diana tercengang. Sejenak,ia mematung mencoba mencerna keadaan yang sedang terjadi.
"Aku Putri Diana?" tanyanya menunjuk diri sendiri.
Semua wanita berseragam maid itu menganggukkan kepala secara serentak.
"Tuan Putri harus segera bersiap. Sebentar lagi, rombongan Yang Mulia Kaisar Ashlan akan segera tiba. Yang Mulia Kaisar Sean mengatakan bahwa Anda harus bersiap sebaik mungkin menyambut kedatangan beliau."
Putri Diana,Kaisar Sean dan Kaisar Ashlan. Tiga nama itu terasa tak asing di ingatan Diana. Dan.. Duarrrr!! Bagai terkena kejutan listrik, Diana langsung jatuh terduduk saat menyadari suatu hal. Ia telah masuk ke dalam dunia novel yang ia baca semalam. Tapi, bagaimana bisa? Apa yang sebenarnya terjadi?
"Tuan Putri, Anda baik-baik saja?" Para pelayan itu lekas mendekati Diana. Berusaha membantu wanita muda itu berdiri dan memapahnya ke tempat tidur.
"Minum dulu, Tuan Putri!" Salah satu diantaranya sigap mengambil air minum dan membantu Diana untuk meminumnya.
"Apa aku ada di kerajaan Timur?" tanya Diana mencoba memastikan.
"Iya, Tuan Putri. Anda masih berada di Kerajaan Timur. Dan, hari ini adalah hari pernikahan Anda dengan pemimpin Kerajaan Barat. Yang Mulia Kaisar Ashlan," jawab pelayan yang memberinya minum.
Diana masih belum sepenuhnya percaya. Bisa saja ada seseorang yang menyelinap ke dalam rumahnya semalam dan menculik Diana. Lalu, mungkin saja orang itu ikut membaca novel yang Diana beli. Satu-satunya cara yang kembali harus ia tempuh agar kewarasannya tidak terganggu adalah dengan memastikan segalanya.
Tanpa aba-aba, Diana langsung berlari keluar kamar. Sekelompok pelayan yang tadi mengerumuninya mau tak mau ikut berlari mengejar Diana yang tiba-tiba seperti itu.
"Tuan Putri, Anda tidak boleh berlari seperti itu. Itu dilarang!" kata salah satu pelayan yang paling dekat jaraknya dengan Diana.
Diana masih tak peduli. Di perhatikannya kiri-kanan dan tak ada satu pun yang ia kenali. Dari koridor yang begitu panjang, akhirnya Diana tiba di halaman yang begitu luas. Ada air mancur tepat dihadapannya. Disisi kanannya terdapat taman bunga yang luas. Dan, di sisi kirinya terdapat sebuah bangunan megah yang bertolak belakang dengan tempatnya tadi keluar. Ya, bisa dibilang, tempatnya tadi seperti tempat pengasingan. Terlampau jauh untuk keluar bahkan membuat Diana merasa ngos-ngosan hanya sekedar lari dari sana menuju kemari.
"Tuan Putri, kita harus kembali. Yang Mulia Kaisar pasti akan marah jika melihat Anda berada ditempat terbuka seperti ini," kata pelayan lagi.
Diana tak menghiraukan. Tujuannya berlari saat ini adalah bangunan megah disisi kiri. Teriakan peringatan dari para pelayan itu ia abaikan.
"Kau... Kenapa kau bisa ada disini?" Seorang wanita dengan gaun megah berwarna merah maroon,memegang kipas dan mengenakan topi bundar diatas kepalanya berseru saat Diana memasuki ruangan megah itu.
"Pengawal! Pengawal!" teriak wanita itu marah.
Dua orang pengawal yang tadi berusaha menahan Diana didepan pintu masuk berlari dengan tergopoh-gopoh menuju ke dalam.
"Kenapa Putri Diana bisa sampai kemari? Apa kalian tak bisa mencegahnya, hah?"
Dua penjaga tersebut diam. Tentu mereka tak bisa menjawab apapun. Bagaimana bisa ia melarang seorang Putri Mahkota memasuki ruangan milik Ayahnya sendiri?
"Bibi Levrina?" tebak Diana setelah memperhatikan apa yang wanita angkuh itu lakukan.
Duchess Levrina membulatkan kedua matanya. Baru kali ini ia mendengar sang keponakan memanggil namanya tanpa ada kesan takut dalam suara merdu itu.
"Beraninya kau memanggil namaku, Diana!" geram Duchess marah.
"Ada apa ini ribut-ribut?" Tiba-tiba saja Kaisar Sean muncul dari dalam ruangan kerjanya. Seketika, suasana mendadak hening. Ada rasa sakit seiring detakan jantung yang kian bertambah cepat saat Diana melihat dengan jelas rupa Kaisar Sean yang bahkan Putri Diana sekalipun tak pernah melihatnya hingga ajal menjemput.
Mata hijau itu sama dengan matanya. Namun, hanya itu sebatas kemiripan mereka. Saat pandangan keduanya beradu, Diana meneteskan air mata tanpa diminta. Gadis itu bahkan tak menyadari bahwa dirinya kini sedang menangis hanya karena menatap lelaki paruh baya yang nampak masih begitu gagah diusianya yang sudah senja. Ada rindu yang menyeruak begitu saja.
"Kenapa anak itu ada disini?" tanya Kaisar Sean dengan nada datar terkesan dingin.
Pelayan wanita yang tadi mengejar Diana akhirnya sampai juga. Mereka langsung bersujud didepan Kaisar Sean dengan ketakutan.
"Maafkan kami Yang Mulia. Tuan Putri tadi tiba-tiba berlari dan kami tidak sanggup mencegahnya."
"Bawa dia kembali ke kamarnya dan pastikan kalian mendandani dia dengan baik. Satu lagi, pastikan gadis itu tak berbuat ulah lagi atau kepala kalian yang akan jadi taruhannya," kata Kaisar Sean dingin sambil membelakangi Diana.
"Ayah...," panggil Diana tertahan. Entahlah! Ia pun tak sadar mengucap nama itu.
"Apalagi yang kalian tunggu? Cepat seret gadis itu pergi dari hadapan Kaisar!" titah Duchess Levrina angkuh. Ia seolah tak ingin Anak dan Ayah itu bersitatap lebih lama lagi.
Para pelayan itu mengangguk. Mereka membawa Diana kembali ke tempat pengasingan dengan tatapan kasihan. Seorang Putri yang seharusnya menikmati kemewahan dan kekuasaan justru berakhir di pengasingan dan kini malah akan diusir secara halus dari negerinya sendiri.
*******
"Anda cantik sekali, Tuan Putri!" puji pelayan yang bertugas meriasnya.
Tak ada senyuman di wajah Diana. Hari pernikahan yang ia nantikan bersama kekasihnya malah harus terjadi dengan seorang lelaki yang sama sekali tak ia kenal. Parahnya lagi, lelaki itu adalah seorang pemimpin yang bengis lagi kejam. Masa depan Diana terasa suram. Apalagi, ia tak tahu kemana harus kabur dan bagaimana caranya dia keluar dari dunia paralel ini. Ditambah lagi, bayangan kematian di depan mata makin menambah betapa mencekamnya masa depannya.
"Sang Kaisar telah tiba. Tuan Putri diharapkan menuju ke aula pernikahan, sekarang!" kata seorang pengawal memberitahu.
Diana masih terdiam dengan tatapan kosong. Tak ada celah untuk lari. Terdapat 6 pengawal laki-laki yang disiagakan oleh Duchess Levrina agar ia tak bisa kemana-mana.
Duchess Levrina adalah saudara kandung mendiang Ibu Putri Diana. Masih jelas diingatan Diana bahwa wanita licik itulah yang membuat sang Ayah menjadi makin membencinya dengan hasutan-hasutan yang kian hari kian dilancarkannya. Bahkan, wanita ular itu pulalah yang membuatnya harus mati di tangan Kaisar Ashlan akibat fitnah kejinya.
"Baiklah, Diana! Kau bukan Diana Emerald. Kau Diana Steel. Jika tak bisa menghindar, maka cukup kau hadapi! Ubah ceritanya sesuai keinginanmu dan jangan mau menjadi lemah seperti Diana Emerald." Diana mencoba meyakinkan diri sendiri dengan tekad untuk tak menyerah apalagi mati muda. Satu modal sudah ditangan yaitu dia tahu alur cerita ini.
Sampai di aula pernikahan, seorang lelaki dengan jubah hitam yang menjuntai serta sebuah topeng yang belum pernah ia lepas tampak menunggu Diana. Gadis itu pun menarik nafas panjang. Langkah pertama yang akan ia tempuh demi menghindari kematian adalah dengan menghilangkan pandangan gugup dan menggantinya dengan pandangan berani.
"Kalian berdua sudah siap?" tanya Pontifex, pimpinan tertinggi kuil kerajaan Timur saat kedua mempelai tiba dihadapannya.
"Kami siap," jawab keduanya dengan tegas dan lantang.
Lelaki di sebelah Diana tampak terkesiap saat mendengar betapa tegasnya wanita yang ia ketahui begitu lemah itu. Setidaknya, menurut informan yang ia utus untuk mencari tahu bagaimana kepribadian calon istrinya. Namun, keterkejutannya tak begitu ia tunjukkan. Apalagi, kini topengnya masih terpasang sempurna.
Banyak rumor mengenai mengapa sang Kaisar tak pernah membuka topengnya. Namun, rumor yang paling mendekati benar dan masuk akal adalah bahwa wajah sang Kaisar rusak saat berperang dengan kerajaan lain saat usianya masih sangat muda. Tapi, seberapa rusak dan parahnya luka itu masih ada yang belum tahu pasti karena para pelayan di kerajaan Barat sekalipun tak pernah melihat. Satu-satunya orang lain selain orangtuanya yang pernah bahkan sering melihat wajah sang Kaisar hanya Ksatria Bennett. Pengawal sekaligus sepupu dari pria itu sendiri. Namun, sayangnya rahasia seperti apa rupa sang Kaisar, tetap akan menjadi rahasia karena mustahil Ksatria Bennett membeberkannya tanpa izin sang Tuan.
Usai upacara pernikahan selesai, Kaisar Sean langsung meninggalkan tempat tanpa memberi ucapan apapun pada putri dan menantu barunya. Kaisar Ashlan sepertinya juga tak mempermasalahkan hal itu. Ia seolah mengerti bahwa seorang Raja yang baru saja menyerah tak mungkin bisa berdamai dengan cepat bersama musuhnya sekalipun sekarang mereka telah menjadi keluarga.
"Ksatria Bennett, antar Ratu Diana menuju kereta. Malam ini juga, kita akan kembali ke kerajaan Barat," titah Kaisar Ashlan pada ajudan pribadinya.
Diana terkesiap. Jujur, ia masih belum siap dan belum mampu menyesuaikan apa-apa. Tiba-tiba saja sudah langsung diminta untuk pergi ke kerajaan Barat tanpa persiapan apapun.
"Jangan persiapkan apapun. Semua kebutuhanmu sudah tersedia disana." Seolah mampu membaca pikiran Diana, Kaisar Ashlan sudah menyela bahkan sebelum Diana berucap.
"Ta-tapi...," Diana masih ingin protes namun Ksatria Bennett mencegahnya.
"Turuti saja apa yang dikatakan Yang Mulia Kaisar, Ratu! Itu akan lebih baik dan aman bagi Anda," tuturnya.
Diana mengangguk pasrah. Benar apa kata Ksatria Bennett. Ia tak boleh melakukan hal yang bisa memancing emosi Kaisar kejam itu. Salah-salah, umurnya bahkan bisa jauh lebih pendek dibanding Diana Emerald.
Malam itu, Diana pun pergi bersama suaminya menuju ke kerajaan Barat. Dan, entah kenapa, meski ia menyadari bahwa tubuh yang sekarang ia miliki bukanlah tubuhnya, namun rasa sakit hati karena tak ada yang melepas kepergiannya terasa begitu menyesakkan. Bahkan, air matanya terjatuh tanpa diminta.
"Kenapa aku menangis? Kenapa aku masih menoleh ke belakang dan berharap Yang Mulia Kaisar Sean berdiri disana untuk melepasku? Bukankah putrinya adalah Putri Diana Emerald? Sementara aku? Aku adalah Diana Steel," gumamnya dalam hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!