Halo-halo, Assalamualaikum sahabat Teh Ijo. Selamat datang di Novel Separuh Hati Yang Hilang. Ini adalah kisah anak dari pasangan Nuri Dan Agung dalam novel pertama Teh Ijo yang berjudul Dinikahi Mr.A
Novel ini pernah pernah aku publish, tapi aku hapus kembali. Nah, kali ini aku angkat mereka lagi dalam judul yang berbeda.
Bismillah, semoga kalian suka ❤️
Sebuah kebanggaan bagi seseorang bisa lulus dengan predikat Jayyid Jiddan di Universitas Al Azhar, Mesir.
Hampir 4 tahun lamanya seorang Brayan Albani Jalaluddin mengenyam pahit dan manisnya kuliah di kota Kairo. Jauh dari keluarga adalah hal yang sangat menyiksa dirinya. Namun, hari ini dengan perasaan berat Brayan harus meninggalkan tempat di mana dia menimba ilmu selama 4 tahun terakhir ini. Kerena setelah kelulusannya, Brayan akan langsung pulang ke Indonesia.
Hampir 13 jam berada di dalam sebuah pesawat membuat Brayan sangat bosan. Namun, rasa itu hilang saat dia bisa melihat kedua orang tua serta adiknya yang berada di sisinya. Kali ini kepulangannya ke Indonesia dijemput langsung oleh keluarganya.
Tidak ada yang berubah dari rumah yang sudah dirindukan oleh Brayan. Hanya saja ada beberapa kamar yang telah direnovasi, termasuk kamarnya.
Jika dulu Brayan tidur satu kamar dengan saudara kembarnya, maka saat ini kamar mereka telah dipisahkan atas permintaan Brayan sendiri. Dia tidak mau lagi berbagi kamar dengan adik yang hanya beda 2 menit dari dirinya.
"Ray, setelah ini apa rencana mu?" tanya Agung, papa Brayan.
"Belum tahu Pa. Mungkin Rayan akan mengajar atau buka usaha," jawabnya.
"Mending kamu jadi tenaga pengajar di pondok. Mama dengar disana sedang membutuhkan tenaga pengajar," celetuk Nuri, mamanya.
"Nantilah, Ma. Rayan pikir dulu."
"Ya sudah kalian berdua istirahat dulu. Mama juga ingin beristirahat, capek sekali," kata mamanya, yang kemudian berlalu meninggalkan kedua anaknya.
Briyan tak lantas masuk ke dalam kamar, melainkan mengikuti Rayan untuk masuk ke kamarnya.
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Rayan dengan dahi mengerut.
"Aku 'kan juga masih kangen," celoteh Riyan.
Rayan merebahkan tubuhnya di kasur besar diikuti juga dengan Riyan membuat Rayan menautkan alisnya.
"Aku tahu kamu adalah saudara kembar ku, tetapi tidak seperti ini juga Riy! Kenapa kamu mengikuti semua gerakan ku?" protes Rayan.
"Aku hanya ingin bernostalgia saja Ray, kamu tidak merindukan masa kecil kita? Baru juga 4 tahun berpisah, sudah melupakan semuanya!" gerutu Riyan.
Hening untuk sejenak. Rayan mencoba memejamkan matanya. Dia ingin menyambung kembali tidurnya yang terputus.
"Ray, aku denger Fisya sudah di jodohkan oleh orang tuanya." Riyan mencairkan keheningan.
"Lalu?" sahut Brayan malas.
"Tidak ada. Aku hanya memberitahu mu saja. Semoga hatimu bisa lapangan," ucap Brayan.
"Aku tidak memiliki perasaan apapun kepada dia, untuk apa aku harus berlapang. Aku akan merasa bahagia jika telah telah menemukan jodohnya.
"Seharusnya kamu itu jodohnya Fisya! Aku dengar Fisya sempat menolak, tetapi pada akhirnya Fisya hanya bisa pasrah atas kehendak orang tuanya. Bahkan orang tua Fisya saja tidak tahu seluk beluk calon menantunya," imbuh Briyan.
Sebenarnya Brayan tertarik untuk bertanya lebih, tetapi dia segera menepisnya. Itu sama saja dia hanya akan menjatuhkan dirinya sendiri. Namun, dia juga penasaran ingin mengetahui bagaimana kabar perempuan itu.
Setelah Rayan memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di kota Kairo, Rayan sama sekali tidak pernah mendengar kabar berita perempuan yang disebut namanya oleh Riyan tadi. Bibir Rayan terasa keluh saat ingin mengucap nama Nafisya, satu-satunya orang yang akan menentang keras dirinya dalam segi apapun, meskipun itu benar.
"Jadi apa hubungannya denganku?"
"Aku tidak tahu ada apa dengan kalian berdua. Tetapi aku yakin kalian memiliki hati yang sama, sama-sama ingin diperhatikan dan sama-sama suka cari masalah. Terlebih kalian juga sama-sama gengsi untuk mengakui perasaan kalian!" tandas Riyan.
Rayan menghela nafas kasarnya. Dia tidak percaya jika saat dirinya kembali, ternyata perempuan yang bernama Nafisya itu telah dijodohkan oleh orang tuanya. Antara rasa bahagia dan kesal beradu menjadi satu.
Semua orang juga sudah tahu bagaimana hubungan antara Brayan dengan Nafisya saat mereka masih duduk di Madrasah Aliyah.
Layaknya Tom dan Jerry yang tidak pernah akur. Akan ada saja bahan yang dipermasalahkan oleh keduanya, meskipun sebenarnya itu adalah masalah sepele.
Rayan hanya menarik kedua garis bibirnya saat mengenang masa-masa di mana dia masih duduk di bangku Madrasah Aliyah.
Empat tahun kini sudah berlalu, rasa rindu kepada teman-temannya pun tak terelakkan. Rayan berjanji setelah hari ini dia akan menghubungi satu persatu temannya dan akan mengadakan reuni bersama.
Semua anggota telah bersiap untuk melakukan makan malam. Moment ini telah ditunggu oleh sepasang orang tua yang merindukan momen seperti ini. Dimana mereka bisa berkumpul bersama.
Dengan penuh kasih sayang Nuri meladeni Rayan, bahkan dia hampir saja melupakan suaminya yang duduk termenung melihat pancaran bahagia dari raut wajah sang istri.
"Makan yang banyak!" seru mamanya sambil menyendokkan lauk ke piring Rayan.
"Sepertinya ada yang sudah dilupakan," sindir Agung.
Seketika itu Nuri menepuk jidatnya saat menyadari jika piring suaminya masih kosong.
"Astaga ... maaf Mas, lupa." Nuri tertawa kecil kemudian berpindah untuk meneladani suaminya.
"Apakah aku juga telah dilupakan?" celoteh Briyan yang ternyata terabaikan juga oleh mamanya.
"Hmm ... bilang saja iri," ejek mamanya yang kemudian juga melayani mengambilkan nasi serta lauk untuk Riyan.
"Nah ... ini baru adil," kelakar Riyan.
Makan malam keluarga kecil itu berjalan dengan khidmat. Tidak ada percakapan selama acara makan berlangsung, karena Agung sudah membiasakan hal itu sejak kedua anaknya masih kecil.
Setelah acara makan malam selesai, mereka memilih bersantai di depan televisi sambil mengobrol untuk melepaskan rasa rindu yang mendalam.
"Ray, apakah kamu tidak berminat untuk terjun ke perusahaan Papa?" tanya Papanya.
"Tidak, Pa. Rayan tidak tertarik. Rayan hanya ingin menjadi seorang pengajar saja karena itu adalah cita-cita Rayan semenjak kecil," ungkap Rayan.
"Jadi siapa yang akan meneruskan perusahaan Papa kelak?" tanya papanya lagi.
"Anak Papa 'kan tidak hanya aku saja, itu ada Riyan!" Tunjuk Rayan pada sang adik.
"Maaf aku tidak tertarik dengan dunia seperti itu. Aku mending menjadi youtuber saja, tidak terikat dan banyak duit yang masuk. Daripada menjadi tenaga pengajar yang tidak seberapa, mending kamu saja yang urus perusahaan Papa, Ray!" saran Riyan.
"Sudah-sudah! Kalian ini di manapun tempatnya suka eyel-eyelan!" seru mamanya.
Agung hanya bisa membuang kasar napasnya. Kedua anaknya tidak ada yang peduli dengan nasib perusahaannya kelak.
Bagaimana jika sewaktu-waktu sang pencipta menyabut nyawanya, apakah kedua anaknya juga tidak akan peduli dengan nasib perusahaannya?
"Sudahlah kalian memang tidak ada yang peduli dengan nasib perusahaan Papa."
"Bukan begitu Pa, tapi aku masih ingin untuk menggapai cita-citaku lebih dahulu. Bukankah dulu Papa juga seperti itu?" timpal Rayan.
"Kamu benar, Ray. Papa harap setelah kalian puas bermain-main dengan keinginan kalian, suatu saat kalian akan meneruskan perusahaan Papa ini. Ya sudah beristirahatlah ini sudah malam," pungkas Agung.
Malam ini pikiran rakyat tidak kenal saat mengingat jika Nafisya lagi kitab oleh seseorang.
"Kenapa aku malah memikirkan dia, sih?" gerutu Rayan.
"Mau dilamar kek, mau menikah kek, apa hubungannya denganku? Mengapa hatiku malah terasa panas." Rayan menggusar kasar rambutnya. Meskipun malam ini terasa dingin, tetapi tidak untuk Rayan yang merasakan hawa panas menyengat di hatinya.
🌹Bersambung🌹
Seperti bisa jangan lupa tinggalkan Like dan komentarnya 🙏 Terima kasih.
Seperti janji Nuri kepada Rayan, hari ini dia akan membawa Rayan ke pondok Al Jannah. Sebuah sekolah yang berbasis boarding school yang telah bekerja sama dengan sebuah pondok pesantren modern. Dimana para siswanya diwajibkan untuk tinggal di asrama sekolah.
Kedatangan Rayan disambut dengan suka cita oleh pengurus pondok. Mereka sangat bahagia mendengar kabar jika Rayan berhasil lulus dengan nilai terbaik. Terlebih Rayan juga mengajukan diri untuk mengajar di sekolahan tersebut. Suatu kebanggaan untuk pengelola pondok jika Rayan bersedia menjadi tenaga pengajar di pondok.
"Dengan senang hati kami akan menerima nak Rayan untuk menjadi tenaga pengajar di sini, tetapi untuk saat ini belum ada asrama untuk tenaga pengajar baru. Tidak apa-apa 'kan pulang balik dari rumah ke pondok?" tanya Pak Dzaki selaku pengurus dari pondok.
"Iya nggak papa Pak, yang penting saya bisa ngajar secepatnya," balas Rayan dengan manisnya
Dengan ditemani oleh pak Dzaki dan mamanya, Rayan menelusuri bangunan yang ada di pondok tersebut.
Masih sama seperti dahulu, hanya saja sedikit penataan yang berbeda. Saat memasuki kantin, sekilas Rayan mengingat, disana dia pernah adu mulut dengan Nafisya.
Senyum tipis terukir di bibirnya, kenangan demi kenangan mulai bermunculan. Rasanya baru kemarin dia meninggalkan sekolahan itu dan berpisah dengan teman-temannya. Siapa sangka sudah 4 tahun berlalu.
Setelah puas berkeliling, Rayan dan Mamanya-pun memutuskan untuk pulang dan mempersiapkan keperluan Rayan. Sebagai orang tua, Nuri akan selalu mendukung apa yang akan menjadi pilihan anaknya, selagi itu adalah pilihan yang positif.
"Ray, mampir di butik bentar, ya! Mama mau mengambil pesanan Mama," pinta mama Nuri.
"Siap, Ma."
Dengan petunjuk arah dari mama-nya, kini mobil Rayan telah berhenti disalah satu bangunan dengan bertuliskan sebuah nama Nafisya Fashion.
Rayan menepis jauh pikirannya. Nama Nafisya di dunia ini banyak bukan hanya Nafisya Haira Ramadhani, musuh bebuyutan di bangku Madrasah Aliyah.
"Ma, kenapa butiknya diberi nama Nafisya Fashion, sih?" tanya Rayan.
"Mungkin karena onwernya memiliki nama Nafisya, makanya dinamakan Nafisya Fashion. Kamu mau ikut masuk atau menunggu disini?" tanya Mamanya.
"Ikutlah Ma," jawab Rayan cepat.
Rayan langsung merasa penasaran dengan owner butik ini. Entah mengapa Rayan sangat berharap jika itu memanglah butik milik Fisya.
"Mama kasih tahu ya, Ray. Selain butik ini pelayanan yang ramah, ternyata sebagian besar busana yang ada disini di rancang langsung oleh pemiliknya lho. Masih muda, cantik lagi. Tapi sayang udah udah ada yang punya. Bentar lagi nikah. Coba aja masih kosong, mama daftarin kamu sebagai kandidat calon suaminya."
"Mama apaan sih, Ma? Kayak mau ngelamar DPR aja pakai kandidat segala," protes Rayan.
"Soalnya dia itu cantik luar dalam," sahut mamanya.
Rayan hanya mengekor mamanya saat menanyakan pesanan kepada salah satu pegawai butik.
"Pesanan ibu sudah ada di ruangan Bu Fisya."
Nuri mengangguk pelan dan menuju ke ruangan pemilik butik.
Tok ... Tok ... Tok
Nuri mengetuk pintu dan tak lama terdengar suara dari dalam yang mengatakan untuk masuk saja.
Saat melihat jika yang datang ternyata adalah salah satu pelanggan tetapnya, wanita muda dengan hijab nude segera menyalami Nuri dengan sopan.
"Tante ... kenapa mau kesini gak bilang-bilang?" sambut wanita muda itu.
"Tadi kebetulan lewat sini terus ingat pesanan Minggu lalu, jadi sekali aja," kata Nuri.
"Tante kesini sendirian atau diantar Om Agung?"
"Tante sama anak Tante."
"Tumben Riyan mau mengantar Tante, biasanya sibuk di studio."
"Bukan Riyan, tapi anak Tante yang baru pulang dari Al Azhar. Itu lho, kembarannya Riyan," jelas Nuri.
Deg!
Saat itu juga detak jantung Fisya seakan berhenti sampai disini. Jelas Fisya tahu siapa sosok kembaran dari Riyan. Dia adalah Brayan Al Bani Jalaluddin, musuh bebuyutan selama 3 tahun mengeyam pendidikan di Madrasah Aliyah.
"Rayan," gumam Fisya.
"Kamu kenal?" tanya Nuri yang mendengar nama Rayan disebut oleh Fisya.
"Kenal, Tan. Kami dulu 'kan satu sekolah," jawab Fisya lemas.
"Wah ... Tante baru tahu lho, kalau kamu lulus alumni boarding school Al Jannah," seru Nuri.
Setelah Nuri mengambil pesanannya, dia memaksa Fisya untuk menemui Rayan yang ada di depan. Ingin memperkenalkan Fisya kepada Rayan, meskipun Nuri tahu jika Fisya sudah di lamar oleh seorang pria, tetapi niatnya hanya untuk memperkenalkan saja, siapa tahu mereka memang saling mengenal.
"Tapi, Tan ... " Fisya pasrah saat tangannya di gandeng keluar oleh Nuri.
"Tante cuma mau kenalin kamu sama Rayan aja kok. Tenang saja Mas Alqan-mu tidak akan marah," bujuk Nuri.
Sesampainya di sofa khusus menunggu, Rayan sedang membaca sebuah majalah seputar fashion.
"Ray," panggil mamanya.
Rayan mendongak. Spot jantung hampir lepas saat melihat seseorang yang telah berada disamping mamanya. Wanita yang sangat familiar, bahkan tidak bisa terhapus dari memori Rayan selama 4 tahun terakhir ini.
"Kamu!" Tunjuk Rayan pada Fisya.
Berbeda dengan Rayan yang merasa sangat shock, air muka Fisya datar biasa saja, seolah tidak mengalami keterkejutan sama sekali.
"Kalian sudah saling mengenal?"
"Sudahlah, Ma. Dia itu dulu teman Rayan di pondok," timpal Rayan.
"Owalaah ... Mama kira belum kenal. Ya sudah, gak jadi Tante kenalin." Nuri tertawa kecil sambil menahan rasa malu.
Sepanjang perjalanan pulang, tak ada sepatah kata yang terucap dari bibir Rayan. Hatinya tiba-tiba gundah saat dia bisa melihat Fisya yang bertransformasi menjadi wanita cantik dan anggun, tak seperti Fisya 4 tahun lalu.
"Ray, kamu gak mau turun?" Mamanya menepuk bahu Rayan.
"Eh ... iya, Ma," gagap Rayan.
Rayan pun segera melepaskan safety belt dan langsung mengekori mamanya masuk ke dalam rumah.
"Sayang banget ya, Fisya udah di lamar oleh orang lain. Coba aja kalau belum, mama akan lamarkan dia untuk kamu, Ray. Apalagi kalian dulu satu pondok," celoteh mamanya.
"Mama ngomong apa sih? Dia itu musuh bebuyutan Rayan di pondok. Mana mungkin Rayan mau menjadikan dia sebagai seorang istri. Yang ada Rayan akan selalu di banting setiap hari. Dia itu atlet taekwondo, Ma," jelas Rayan.
Bukankah prihatin atas pengakuan anaknya, Nuri malah tertawa saat mendengar ucapan Rayan.
"Jangan terlalu membenci, Ray! Benci dan cinta itu tipis perbedaan. Bisa jadi orang yang kamu benci saat ini adalah jodohmu kelak," Nuri tertawa sambil meninggalkan Rayan yang masih terpaku.
Lagi-lagi Rayan menepis semua ucapan mamanya. Tidak mungkin dia akan jatuh hati kepada Fisya, sedangkan Fisya saja tidak pernah bisa menghargai dirinya, meskipun dia tidak bersalah. Setiap hari hanya berantem dan beradu mulut. Apa jadinya jika Rayan bersanding dengan Fisya, bisa-bisanya keduanya setiap hari hanya makan perdebatan.
"Mengapa juga aku malah memikirkan dia!" Rayan menggusar kasar rambutnya.
..._...
..._...
..._...
...🌹Bersambung 🌹...
...Mohon jangan lupa Like-nya 🙏...
Setelah bertemu Nafisya, hati Rayan dilanda gundah berlebihan. Apalagi saat mengetahui jika sebentar lagi Nafisya akan segera menikah. Hati Rayan benar-benar terasa panas, seolah dia tidak terima akan kenyataan yang ada.
"Astaghfirullahaladzim." Rayan mengusap wajahnya kasar saat bayangan Nafisya melintas di dalam pikiran. Padahal saat ini Rayan baru saja siap melakukan shalat malam.
"Ya Allah Engkaulah pemilik hati ini yang sesungguhnya. Hamba tidak tahu kemana hati ini akan berlabuh, tetapi hamba percaya jika Engkau telah menyiapkan jodoh terbaik untukku. Jika memang dia adalah jodoh yang telah Engkau siapkan untukku, tolong jaga dia. Namun, jika bukan, tetaplah jaga dia agar selalu Istiqomah di jalan Mu."
Setelah memanjatkan doanya, Rayan kembali lagi ke tempat tidurnya. Angin malam berhembus dingin. Meskipun sudah berada di sebuah kamar yang berdinding beton, tetapi rasa dingin itu masih bisa Rayan rasakan.
"Fisya, jika kamu bukan jodohku, ku harap kamu pergi dari pikiranku."
Rayan membuang kasar napasnya sebelum pada akhirnya dia memejamkan matanya kembali.
Mentari menyingsing menyapa bumi yang telah merindukan cahaya terangnya. Burung berkicau, menari di udara, mendadak hari memang sudah pagi.
Sehabis subuh, Rayan tidak lantas kembali ke tempat tidurnya. Dia memilih untuk bersiap untuk joging ditemani oleh Rayan.
Sudah lama Rayan tidak pernah melakukan joging, karena selain tinggal di asrama Rayan paling malas untuk bergaul bersama dengan teman-temannya. Hari-hari selalu dihabiskan untuk belajar dan belajar agar dia bisa lulus dengan baik. Itu semua terbayar lunas saat dia mendapatkan gelar Jayyid Jiddan dari Universitasnya.
"Ma, kami berangkat dulu ya," pamit Rayan.
"Hati-hati, Nak!" sahut Nuri dari dapur.
Riyan mengajak saudara kembarnya untuk melakukan joging di sebuah taman, karena taman itu masih asri dan udara juga masih segar.
"Ray, kenapa kamu malah memilih menjadi tenaga pengajar sih? Enak langsung masuk ke perusahaan Papa jadi CEO."
"Aku tidak tertarik, Riy. Lebih enak jadi orang biasa saja, kamu tahu kan sebagai CEO otak harus mikir terus untuk mempertahankan saham dan aku tidak suka berpikir keras," sahut Rayan.
"Nah, benar itu. Aku juga malas mikir, mending nge-vlog dapat duit. Harusnya momen kita ini diabadikan, tapi aku lupa malah tidak membawa ponselku."
Rayan hanya menggelengkan kepalanya saat isi kepala Riyan hanya konten saja. Semua yang dilakukan harus dijadikan konten, demi uang.
Saat Riyan sedang beristirahat di sebuah bangku, matanya menangkap seseorang yang dia kenal. Dia adalah Alqana Maulana Ibrahim, pria yang telah mengikat Nafisya dengan ikatan pertunangan.
"Ray, lihat itu!" perintah Riyan dengan jari telunjuk yang menunjuk kearah seorang pria.
"Kenapa?"
"Menurut kamu dia bagaimana?"
"Dilihat dari jauh dia tampan."
"Itu namanya Alqana Maulana Ibrahim anak dari salah anggota DPR yang sangat terkenal ramah. Namanya bagus kan, Alqan, tapi tidak semua orang tahu kelakuan yang sebenarnya," jelas Riyan.
Rayan hanya menggelengkan kepalanya. Ternyata selain menjadi seorang youtuber, Riyan ternyata diam-diam juga merambah sebagai pengamat nasional. Dia bisa memberikan penilaian kepada orang lain.
"Kamu hebat ya, selain sebagai youtuber, ternyata juga menjadi seorang pengamat nasional," ledek Rayan.
Mendengar ledekan dari Rayan, Riyan langsung menyebikkan bibirnya. Dia merasa sangat kesal karena Rayan sudah mengambil kesimpulan yang begitu cepat tanpa ingin bertanya lebih lanjut.
"Aku hanya akan memberitahu mu saja, dia itu pria yang telah di jodohkan dengan Fisya."
Deg!
Jantung Rayan seakan ingin berhenti berdetak setelah mendapatkan penjelasan dari Riyan. Jadi pria yang di jodohkan dengan Fisya adalah anak seorang pejabat, meskipun dia tampan, tetapi tidak dengan perilakunya. Begitulah kesimpulan dari Riyan.
Dada Rayan rasakan sesak. Karena tidak ingin memperlihatkan kepada Riyan, dia langsung mengajak Riyan untuk pulang.
"Ray, kita baru saja sampai. Masa iya langsung pulang?" protes Riyan.
"Kalau kamu masih ingin disini, silahkan! Aku mau pulang!"
Riyan-pun segera mengejar langkah Rayan. Dia tau jika saat ini hati Rayan sedang dibakar oleh api cemburu. Riyan semakin yakin jika saudara kembarnya itu memiliki perasaan kepada Fisya. Namun, karena rasa gengsi yang amat besar, Rayan menutupi perasaannya tersebut.
"Dasar! Dari dulu sampai sekarang tidak berubah. Gengsi dibesarkan," keluh Riyan.
**
Saat ini Rayan sedang mempersiapkan perlengkapannya yang hendak dibawa ke pondok. Pilihannya untuk menjadi tenaga pengajar sudah bulat.
"Kalau kamu merasa tidak nyaman tinggal dengan fasilitas pondok, bilang saja sama Papa! Nanti Papa akan nego bersama pak Dzaki," pesan Agung kepada anaknya.
Rayan ingin tertawa saat sang Papa tidak berubah dan masih terus mengkhawatirkan dirinya.
"Papa tenang saja. Berhubung belum ada kamar jadi aku tidak tinggal di asrama, kok."
"Bilang saja kalau sebenarnya Mas Agung itu gak rela kalau Rayan tinggal di asrama 'kan?" tuduh Nuri.
Agung hanya terkekeh pelan sambil menggaruk tengkuknya. "Kenapa kamu buka kartu di depan anak kita, sih?" Tanpa rasa malu Agung mentoel pipi istrinya.
Rayan berusaha menahan tawanya. Diusianya yang sudah tidak muda lagi, tetapi kedua orang tuanya masih seperti pasangan muda lainnya yang harmonis. Namun, dibalik itu semua, masih terekam dengan jelas dalam ingatan Rayan, bagaimana kelakuan papanya saat dirinya masih kecil.
"Pokoknya kalau kamu tidak nyaman disana, segera kasih tau Papa, oke?"
"Siap, Pa."
Rayan hanya menatap kepergian orang tuanya. Ada setitik rasa bahagia melihat kemesraan yang tak pernah pudar. Itu semua butuh perjuangan.
Tiba-tiba wajahnya menjadi muram saat mengingat dirinya sendiri. Miris, tidak bisa berterus terang dengan perasaan sendiri dan memilih menjadi seorang pengecut ketimbang berjuang.
Disisi lain, Fisya tidak bisa memejamkan matanya setelah melihat pria yang paling menyebalkan selama ini. Pergi tanpa berpamitan, pulang tanpa pemberitahuan dan tiba-tiba muncul dihadapannya dengan keadaan yang telah berbeda.
Fisya yang telah di lamar oleh orang lain, terlebih Fisya sama sekali tidak mempunyai perasaan kepada pria tersebut. Andaikan saja yang mengkhitbah adalah Rayan, mungkin Fisya akan merasa sangat bahagia.
"Ray, mengapa kamu datang di waktu yang tidak tepat?"
"Haih ... mengapa juga aku malah memikirkan dia, sih?"
Fisya hanya mengacak gulingnya sebagai pelampiasan rasa kesalnya.
"Untuk apa aku memikirkan dia? Ingat Fisya, dia itu musuh besar mu, jangan tergoda dengan wajahnya. Lihatlah, wajah Mas Alqan juga lebih menawan." Fisya bermonolog sendiri.
Bayangan Rayan mampu menghancurkan rasa kantuknya. Hingga pukul 11 malam, Fisya mata Fisya belum juga bisa untuk memejam. Sebenarnya Fisya ingin sekali menanyakan bagaimana kabar Rayan, tetapi semua itu hanya tertahan dalam anganan saja. Fisya sadar dengan statusnya saat ini ada hati yang harus dia jaga.
..._...
..._...
..._...
...🌹Bersambung 🌹...
...Jangan Lupa lap like, oke!...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!