NovelToon NovelToon

Manusia Titisan Dewa

Api, dan Janji Para Dewa

Gumpalan asap tebal mengepul ke angkasa. Rumah besar berdinding batu merah, yang sejak dahulu menjadi lambang kejayaan keluarga penasihat kerajaan, kini tak lebih dari abu dan arang. Tanah liat yang merekatkan dinding-dinding itu pun ikut meleleh, diselimuti kobaran api dan jeritan yang memilukan.

Pasukan kerajaan, seperti gerombolan serigala kelaparan, telah membumihanguskan tempat itu. Mereka datang bukan hanya membawa senjata, tapi juga niat pembantaian. Malam itu, langit menjadi saksi bisu—rintihan luka tikaman pedang mencabik-cabik keheningan, nyanyian kematian beriring irama derap sepatu baja, dan angin malam menari di antara aroma darah segar dan abu tubuh yang hangus terbakar.

Torax, lelaki bermata biru yang begitu tenang namun tajam bak mata elang, memimpin pelarian. Ia menggiring anak-anak dan beberapa kerabatnya masuk ke dalam hutan yang kelam, menjauh dari hasrat haus darah sang raja. Raja yang dahulu begitu bijaksana, kini telah menjadi boneka, dikendalikan oleh hasutan maut si iblis Kadas—tabib istana yang berambisi menguasai batu kristal biru legendaris.

Iblis dalam wujud manusia itu, iri pada kesetiaan raja terhadap Torax, menghasut dan menabur dusta. Raja pun murka, kehilangan arah, lalu memerintahkan pembakaran rumah sang penasihat tanpa ragu. Semua demi mendapatkan batu kristal yang kabarnya mampu membangkitkan kekuatan terlarang.

Namun, ratu yang diam-diam tak buta akan kejahatan itu, mengirimkan seekor burung kecil dengan pesan di kakinya: “Mereka datang malam ini. Larilah.”

Torax membaca pesan itu dengan mata berair, lalu segera membawa keempat anaknya kabur, masing-masing diberi sepotong batu kristal. Ia sadar bahwa hidupnya tak bisa diselamatkan, tapi masa depan—harus tetap bisa dibela.

Ia membakar ranting dan daun kering di mulut gua, menarik perhatian pasukan yang mengejarnya. Sementara anak-anaknya menyusup lebih dalam ke hutan, Torax menunggu, duduk tenang seperti pejuang sejati, menanti ajal yang sudah mengintip dari balik bayang gua.

Kadas datang. Tapi batu kristal yang diincarnya sudah tiada. Dengan mata penuh amarah dan gigi bergemeletuk, ia mencabut pedang dari sarungnya dan mengangkat tinggi ke udara.

“Kau akan menyesal tidak memberikannya, Torax!”

Torax menatapnya tajam, penuh kecewa. “Bukan raja yang membunuhku… Tapi kau. Tikus busuk yang berselimut jubah kebesaran.”

Ayunan pedang memutuskan kata-kata terakhirnya. Kepala Torax terpisah, menggelinding hingga ke dasar jurang—meninggalkan tubuh yang kaku dalam kobaran nyala obor.

Tapi iblis tidak puas. Kadas yang dianggap gagal dihukum dengan mengerikan—seluruh pasukan yang dibawa ke hutan dihisap jiwanya, menjadi mangsa kekuatan gelap.

“Temukan batu kristal itu. Dan anak perempuan dari keturunan Torax—pastikan ia masih perawan. Jadikan dia pengantinmu. Maka kekuatanmu akan sempurna. Kau akan menguasai dunia!” bisik iblis berwujud raksasa seram, suaranya menyerupai ribuan tawon menggeram di satu waktu.

“Ba-baik...,” jawab Kadas dengan suara gemetar, tubuhnya nyaris roboh karena takut.

Sementara itu, jauh di istana, sang raja akhirnya sadar. Ia menyadari bahwa sahabatnya telah dibantai atas dasar kebohongan. Dalam amarah yang membuncah, ia mengutuk Kadas untuk hidup abadi, tidak akan mati... kecuali dibunuh oleh keturunan Torax sendiri.

Sang raja, yang bernama Pedro, adalah putra pilihan para Dewa. Dengan mata biru langit dan karisma seorang pemimpin besar, ia memohon kesempatan kedua pada langit untuk menebus kesalahan. Tapi Dewa yang murka hanya menatap dingin.

“Kau membunuh orang benar karena hasutan seorang pengecut,” ujar Dewa. “Maka keluarganya akan kami jaga... dan keluargamu akan kami uji.”

Namun, Raja Pedro tak tinggal diam. Dalam dendamnya yang dingin, ia menyerang balik. Ia memerintahkan pembalasan atas keluarga Kadas. Rumah demi rumah dibakar. Anak-anak, wanita, bahkan yang tak bersalah, dilahap oleh lidah api yang liar.

“Aku membalas sesuai cara mereka!” teriak Raja Pedro, berdiri di antara kobaran api dan tumpukan mayat. Pedangnya terangkat, berkilat terkena cahaya senja, sebelum menebas leher seorang pria yang mencoba melindungi istrinya.

“Lemparkan semua ke dalam api!” serunya tanpa ragu. Ia bukan lagi manusia malam itu. Ia adalah badai dendam yang tak bisa dihentikan.

Seorang prajurit besar dengan rompi baja menyeret wanita muda yang menjerit, lalu menancapkan pedang ke dada rapuhnya, hingga erangan terakhirnya terhempas angin. Tubuh wanita itu pun dilempar ke dalam lautan api—menambah aroma daging terbakar yang menggema hingga langit.

Tiba-tiba, langit pecah. Dari balik awan putih, muncul sosok berjubah putih panjang, rambut seputih salju, dan tongkat dari cahaya.

“Nestapa dan kengerian apa ini, wahai manusia? Bahkan langit menangis melihat kebiadabanmu.”

Raja Pedro menatap tanpa gentar. “Aku hanya membalas apa yang dia lakukan pada Torax. Di kitabmu sendiri dikatakan, ‘kejahatan dibalas kejahatan’.”

“Tugas menghukum adalah milik para Dewa!” tegur sosok tua itu.

“Dia bukan manusia. Dia iblis berwujud tabib! Hukum kerajaan hanya berlaku untuk manusia, bukan monster sepertinya!”

“Lalu pantaskah kau menyebut dirimu raja, saat kau membakar anak-anak dan wanita yang tak bersalah?”

Pedro menarik napas panjang. “Aku adalah hukum di tanahku. Kalau mereka membunuh dengan api, maka aku pun membalas dengan api.”

“Jika kau seperti mereka... lalu apa bedanya kau dengan iblis itu?”

Nada suara sang Dewa mulai mengguncang tanah. “Kalau kau mengutuk dengan kemarahanmu, maka aku pun akan menghukummu dengan kekuatanku!”

 Awan gelap menggulung langit. Petir menyambar di kejauhan. Raja Pedro berdiri sendirian di medan yang dipenuhi arang dan tulang, saat suara petir bergemuruh:

Bersambung

Bantu like dan Vote karyaku kakak semua.

Raja Abadi yang Berjalan di Antara Kita

Di ujung zaman, saat manusia telah melupakan dongeng dan menertawakan mitos, satu sosok masih tetap hidup—terkutuk dalam keabadian. Dialah Raja Pedro, kini dikenal sebagai Boas Agdan, berjalan di antara manusia, mengenakan topeng seorang pengusaha, tapi menyimpan jiwa seorang raja perang dari masa silam.

Siang itu, di kota Sukoi yang hiruk pikuk, sebuah mobil mewah berhenti mulus di pelataran gedung pencakar langit. Mobil itu bukan sembarang kendaraan—diproduksi terbatas, hanya segelintir manusia yang mampu memilikinya.

Pintu terbuka.

Seorang lelaki turun, mengenakan jas pastel yang disesuaikan sempurna dengan tubuhnya yang tegap. Sepatu kulit buaya berkilat membalut kakinya, mengisyaratkan kelas. Boas Agdan, sang CEO dari perusahaan penyedia layanan internet terbesar di kota itu, melangkah angkuh ke dalam lobi. Semua karyawan membungkukkan kepala. Tak ada yang berani menatap mata biru langitnya secara langsung.

Boas tidak membalas dengan senyuman. Tak ada sapaan, tak ada basa-basi. Ia hanya mengangguk kecil, nyaris tak terlihat, lalu lenyap di balik pintu kaca ruangannya—ruangan eksklusif yang tampak seperti ruang komando raja daripada kantor seorang pebisnis.

Pena emas di tangannya menari di atas tumpukan dokumen. Tanda tangan demi tanda tangan ia torehkan tanpa suara. Dua puluh menit kemudian, ia berdiri, mengenakan jasnya kembali, dan menghilang melalui pintu rahasia di samping ruangannya. Tak seorang pun tahu ke mana ia pergi setiap kali keluar dari sana.

Langkah kakinya membawanya ke jalan setapak, menuju pantai. Debur ombak menyapa telinganya. Ia duduk di atas batu besar, menutup mata. Damai. Inilah satu-satunya saat ia merasa... hidup. Tapi tidak hari ini.

Sayup terdengar suara lirih—teriakan minta tolong. Lamat-lamat, namun cukup tajam untuk menyusup ke telinganya yang tajam.

Dan dalam satu jentikan jarinya—tubuhnya lenyap dari tempat duduk itu.

Ia berpindah.

Kini, Boas berdiri di gang sempit yang dikenal sebagai sarang bajingan kampung. Seorang wanita paruh baya—penjual sayur—dikeroyok empat pemuda bertampang kriminal. Mereka merampas tas lusuhnya, menertawainya seperti serigala menggoda anak rusa.

"Berhentilah," suara Boas terdengar tenang, tapi penuh ancaman. "Empat pria mengeroyok seorang wanita tua? Kalian bahkan tak pantas disebut laki-laki. Mengapa tidak sekalian berganti kelamin saja? Memalukan."

Salah satu dari mereka, bertubuh kurus seperti paku payung berkarat, melangkah maju. "Ini bukan urusanmu, Tuan Sok Suci!"

Boas menyandarkan tubuh kekarnya di dinding toko, menyeringai dingin. "Krempeng, cari kerja yang layak, makan makanan yang benar. Biar tak terus-terusan cacingan."

Ucapan itu memicu amarah. Si krempeng mencabut pisau dari balik jaketnya. Dengan teriakan keras, ia melesat ke arah Boas.

“Hiaaaak!”

Gerakan Boas nyaris tak terlihat. Ia hanya memiringkan tubuh, membuat si krempeng terpeleset ke belakangnya. Saat ia berputar menyerang lagi, Boas menghindar seperti angin. Tidak cepat, tapi presisi—seolah tahu setiap gerakan sebelum terjadi.

“Baru segitu kemampuanmu?” ejek Boas. Ia mengambil sebuah timun dari lapak wanita tua itu dan memegangnya seperti belati. "Mari bermain dengan senjata yang adil."

"Ha! Lelaki gila!" Krempeng kembali menyerang.

Boas menghantam kepalanya dengan timun. Beberapa kali. Bunyi ‘thok’ yang lucu bercampur dengan erangan kesakitan si krempeng yang memegangi kepalanya, matanya berair.

Dua preman lain maju serentak, salah satunya membawa tongkat kayu. Tapi hanya dalam satu sapuan tangan, mereka terpental, tubuh mereka menghantam tanah seperti boneka kain.

“Aku malas mengotori tangan berharga ini untuk makhluk-makhluk kotor seperti kalian,” gumam Boas. Ia menjentikkan jari.

Keempat preman itu terhempas seperti ditarik angin badai, mendarat jauh di tengah jalan. Namun, Boas belum selesai.

Ia mencengkeram si krempeng dan membisikkan sesuatu.

“Kalau kau berani mengganggu wanita itu lagi, aku akan lemparkan tubuhmu ke penangkaran buaya. Dan biarkan mereka mengasah gigi dengan tulang-tulangmu.”

“Siapa kau, melarang-larang aku!?” si krempeng mencoba berani, tapi suaranya bergetar.

Dalam sekejap, dunia mereka berganti.

Kini mereka berdiri di tepi kolam penuh buaya lapar. Pemandangan gigi tajam dan mata hijau menyala menyambut mereka. Si krempeng kencing di celana. Tangannya gemetar.

“Siapa... siapa kamu sebenarnya…?” bisiknya dengan tubuh gemetar.

“Aku dewa penyelamat, kalau kau menjadi manusia. Tapi aku iblis pencabut nyawa jika kau tetap jadi sampah seperti ini.”

Boas mengangkat tubuh krempeng itu dengan satu tangan. Menggantungnya di atas kolam.

“Tubuhmu kurus. Dagingmu cuma cukup untuk mengganjal gigi buaya. Mereka mungkin lebih kecewa ketimbang kenyang.”

Ia menjentikkan jari. Mereka kembali ke gang. Krempeng itu gemetar, membungkuk pada wanita tua.

“Ibu… saya minta maaf. Saya tidak akan ganggu ibu lagi... saya... saya janji…”

Wanita itu hanya mengangguk pelan, tak percaya sepenuhnya. Aroma pesing dari celana si krempeng masih menyengat saat ia kabur bersama teman-temannya.

Boas memandang wanita itu, matanya lembut sejenak.

“Sampai kapan kau akan berjualan di tempat seperti ini?”

Wanita itu menatapnya, wajahnya keriput tapi sorot matanya tajam. “Menjalani hidup sebagai manusia itu tidaklah mudah, Tuan. Tapi aku tidak menyerah. Karena kalau aku berhenti, siapa yang akan beri makan cucu-cucuku?”

Boas diam, angin meniup jasnya perlahan. Lalu tanpa sepatah kata, tubuhnya menghilang begitu saja.

Wanita tua itu hanya menggeleng, tersenyum kecil. Ia mulai merapikan dagangannya. Hari sudah siang. Anak-anak dan cucunya pasti menunggu makanan untuk mengganjal perut.

 “Aku akan menjadi dewa penyelamat… atau iblis pencabut nyawa,” ucap Boas. Tapi bahkan dirinya pun tahu—kutukan abadi itu belum selesai menagih harga.

Bersambung

Takdir yang Tak Bisa Mati

Boas Agdan mampu memiliki apa pun yang diinginkannya—kekuasaan, kemewahan, bahkan kekekalan itu sendiri. Hanya dengan satu kedipan mata atau jentikan jari, dunia bersujud di hadapannya. Tapi dari segala hal yang bisa ia genggam dalam satu tarikan napas, ada satu hal yang selalu lolos dari genggamannya: kematian.

Ia telah hidup selama berabad-abad, menyaksikan dunia berganti rupa, menyaksikan kerajaan runtuh dan dibangun kembali, menyaksikan kekasih dan sahabatnya menua dan mati—sementara ia tetap sama. Muda. Tampan. Dan sendirian.

Tak ada siksaan yang lebih menyiksa daripada hidup tanpa akhir.

Senja telah lama pamit dari langit. Matahari kembali ke penatarannya setelah menyelesaikan tugas hari ini. Di atas sebuah batu besar yang terletak di atas bukit sunyi, Boas masih terduduk dengan tubuh santai, matanya terpejam. Ia tidak tidur, ia hanya... memejamkan kepedihan.

Lamunannya menari jauh ke langit ketujuh, hingga sebuah suara kasar merobek keheningan malam.

“Hai, anak manis... jam segini baru pulang? Temenin kita dong...”

Suara lelaki mabuk itu membuat napas Boas mengeras. Ia mengenali nada ketakutan dalam jawaban si gadis.

“Lepaskan aku atau aku teriak!”

“Silakan, Sayang. Di jalanan sepi seperti ini, paling yang dengar cuma setan yang nyasar...”

Tawa jahat bergema. Lalu, teriakan.

“Tolong...!”

Dalam sekejap, mata Boas terbuka. Satu kedipan. Dan tubuhnya sudah berpindah ke tempat kejadian.

Lima lelaki berdiri mengelilingi seorang gadis muda. Gadis yang rambutnya berantakan, matanya merah ketakutan. Boas berdiri di tengah mereka—tiba-tiba dan tanpa suara, seakan waktu sendiri mempersilakan kehadirannya.

“Siapa lo? Mau jadi pahlawan kesiangan? Pergi sebelum gua tembak!” gertak salah satu pria, masih memegang tangan si gadis.

“Lepaskan dia. Aku tak punya waktu untuk main-main dengan manusia sepertimu,” ucap Boas datar, nyaris malas.

Gadis itu menoleh dan wajahnya merekah seperti tomat ranum.

“Tuan Batu!?”

Mata para penjahat menyipit.

“Jadi lo kenal dia?”

“Iya. Dan kalau kamu nggak mau tubuhmu remuk, mending lepaskan aku sekarang juga,” jawab si gadis dengan nada bangga.

Salah satu dari mereka langsung menarik pistol dari pinggang dan menodongkannya ke arah si gadis.

“Kamu pikir kami takut?”

Wajah Boas tidak berubah. Malah semakin dingin. Dan itu berbahaya. Terlalu berbahaya.

“Kalian hanya punya dua pilihan,” katanya, suaranya tajam seperti bilah pedang. “Lepaskan dia dan pulang dengan kepala utuh, atau tetap pegang dia dan kalian semua akan kuterbangkan ke neraka sekarang juga.”

“Lo pikir lo siapa, Tuhan!?” bentak si bertato.

“Kurang lebih...”

“Kurang ajar!” Pria itu mengangkat pistolnya, mengarahkannya pada Boas dan langsung menarik pelatuk.

Dooor!

Tapi... waktu melambat. Pistol itu seolah bergerak dalam air. Dengan satu lambaian ringan, Boas menggeser arah tembakan itu—tepat ke kepala rekan si penembak.

Dooor! Dooor! Dooor!

Si pria itu—dikuasai oleh kekuatan Boas—tak bisa menghentikan jemarinya. Ia menembak teman-temannya satu per satu. Tiga mayat terkapar dengan darah merembes ke batu jalanan.

“Apa yang... aku lakukan... aku nggak bisa kontrol tanganku...!”

Napasnya terengah, tubuhnya bergetar. Ia menjatuhkan pistolnya tapi sudah terlambat.

“Aku sudah memberimu pilihan,” kata Boas pelan. “Tapi kamu menolak. Dan manusia bebal harus menerima konsekuensinya.”

Dengan satu jentikan jari, tangan pria itu kembali terangkat—pistol itu sekarang mengarah ke keningnya sendiri.

“T-tolong... jangan... aku mohon...”

Tapi mata biru Boas tak menunjukkan belas kasih.

Dooor!

Tubuh pria itu ambruk. Nyawanya melayang, dan kesunyian kembali mendominasi malam.

Boas melambaikan tangan, membuat si gadis muda terlelap agar tak melihat sisa kekejian itu. Ia mengangkat mayat-mayat itu dengan satu ayunan jari—melayang ke arah laut dan tenggelam tanpa jejak.

Beberapa menit kemudian, gadis itu terbangun.

“Tuan Batu? Mereka... mereka ke mana?” tanyanya polos, mengucek mata, seperti tak sadar ia nyaris tewas barusan.

“Pulanglah. Sebelum nasibmu ikut terkubur bersama mereka,” jawab Boas dingin.

“Ke mana mereka? Ke bulan? Atau ke bintang?” tanyanya sambil berjalan kecil mengimbangi langkah Boas. Tas sekolahnya bergoyang lucu seperti anak kucing bermain.

“Kamu tidak perlu tahu. Berapa kali harus kukatakan, jangan pulang malam, Gadis Kecil.”

“Aku harus cari uang dulu, Tuan Batu. Buat bayar sekolah...”

Gadis itu... Shena Pudma. Usianya tujuh belas tahun. Cantik. Rambut panjang. Mata bulat. Tapi hidupnya penuh kemalangan. Boas telah melindunginya sejak ia berusia tujuh tahun, sejak malam itu—malam ketika ibunya Shena dirampok dan dibunuh. Boas datang terlambat. Dan rasa bersalahnya masih mengendap sampai hari ini.

“Aku lapar... Para penjahat itu ambil semua uangku. Dari pagi cuma minum air putih.”

“Berhentilah memanfaatkan belas kasihku. Aku bukan ayahmu. Atau saudaramu.”

“Kalau begitu... jadikan aku saudaramu!”

“Aku tidak ingin terikat pada apa pun di dunia ini. Hubungan? Perasaan? Semua hanya beban dari kehampaan tak berujung.”

“Kalau begitu... bawa aku bersamamu.”

Boas mengerang pelan. Gadis itu keras kepala.

“Ini rotimu. Diamlah. Makan, lalu pulang. Jangan ganggu hidupku lagi.”

Ia menyerahkan beberapa potong roti hangat dari warung pinggir jalan. Shena langsung menyantapnya dengan lahap, seperti anak kucing yang baru diselamatkan dari hujan.

Boas melangkah pergi, membiarkan gadis itu di belakang. Tapi... untuk alasan yang tak pernah ia pahami, langkahnya terasa berat.

Di balik bahu lebarnya, suara riang Shena terdengar kembali—dengan tawa kecil yang membuncah di udara malam.

“Tuan Batu... bagaimana kalau suatu hari nanti aku jatuh cinta padamu?”

Boas berhenti. Tapi tak menoleh.

Dan langit mendadak terasa lebih sunyi dari biasanya..

Bantu like dan Vote ya Kakak

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!