*****
Dibesarkan dilingkungan yang sama dan menjadi tetangga sejak orok tak menjadikan seorang Abian tergula-gula dengan gadis super kijil yang sering kali menggodanya hingga membuat hati, otak, sampai ke sum-sum tulangnya kesal bukan main lantaran tingkahnya yang diluar nalar.
Oh ya?
Bagaimana mungkin seorang pria dengan kualitas sedikit diatas standar sepertinya bisa menyukai si petasan kupu-kupu dengan suara bak moto GP yang tengah melaju di sirkuit itu ditambah kelakuannya yang dapat menimbulkan petaka baginya.
***
***
"Abaang ganteeeeeeeeeeeng nengookk doong!!!."
Bian langsung memutar laju gas motor supra miliknya saat melintasi rumah bercat kuning milik orang tua Sezi hingga tak melihat jika seekor ayam milik tetangga mereka hendak menyebrang tak tentu arah tepat pada jalur yang akan ia lalui. Secara spontan remaja pria dengan ketampan ala wong korea itu membanting stir ke kiri dan menyebabkannya terjun bebas ke dalam parit.
Padahal sudah sejak dulu ia mewanti-wanti dirinya sendiri untuk tidak terprovokasi oleh suara sumbang Sezi, si centil yang gemar menggoda manusia tampan terutama dirinya sebagai satu-satunya tetangga pria dengan kearifan internasional. eh?.
"Astagfirulloh!!!."
"Ya ampun abang!!!!!." Teriaknya dengan suara yang begitu mengejutkan telinga para tetangga ketika melihat motor merah itu terjun kedalam parit bersama pengendaranya.
Sezi berlari menghampiri si tampan tanpa tahu harus berbuat apa. Dia yang terlalu panik hanya berjalan mondar-mandir seperti ayam yang baru saja membuat Bian terjatuh.
Para tetanggapun berdatangan kelokasi membantu mengevakuasi motor kesayangan Bian dari dalam parit yang sedikitnya telah tercemar tadi.
"Hati-hati le, jangan laju-laju kalo bawa motor disini banyak kucing liar." Begitulah pesan yang diucapkan oleh salah satu tetangga mereka kepada Bian.
Sungguh hatinya kesal bukan main saat kembali melihat gadis itu yang bahkan tidak melakukan apa-apa untuknya terlebih ia juga tidak menutup tubuhnya dengan sempurna.
Setidaknya Sezi harus lebih sadar diri untuk mengenakan pakaian yang sopan saat keluar dari rumah bukan seperti yang terlihat saat ini. Sepotong T-shirt dengan sebuah Hot pants setinggi paha atas krispy pedas menempel lekat ditubuh gadis itu dan hampir mengekspose seluruh kaki jenjangnya.
Sezi yang dulu lucu dan menggemaskan kini sudah bukan lagi anak kecil. Ia telah bermetamorfosa menjadi gadis remaja yang masuk kedalam katagori idaman bagi para bujangers yang tak laku-laku diluaran sana.
Memiliki body seksi bukanlah impiannya tetapi ia justru memiliki semua itu tanpa pernah mau menyadarinya karena yang ada didalam pikirannya hanyalah si tampan Abian, pria terjudes yang menjadi tetangganya.
"Minggir!." Bian membentak saat tangan Sezi terulur ingin membantunya berdiri dari bibir parit.
"Dih, mau ditolongin juga." Sezi berdecak kesal lantaran uluran tangannya ditolak.
"Gara-gara kamu nih jadi jatoh kayak gini!." Bian jelas terlihat kesal dengan keberadaan Sezi yang tak kunjung pergi sepeninggalan orang-orang yang telah membantunya tadi.
"Kok jadi nyalahin sih bang?."
"Terus harus gitu nyalahin ayam lewat?. Ya enggak lah, jelas ini tu salah kamu!. Karena kalo gak gara-gara kamu teriak tadi aku gak bakal masuk kesini!." geramnya sembari menunjuk lubang parit yang tak salah apa-apa selain keberadaanya yang sedikit mengganggu pengguna jalan karena tak memiliki penutup.
"Kok gitu?. Kan abang sendiri yang tancap gas setiap lihat aku!. Emang salah aku apaan sih sampe gitu banget mau kabur?."
Abian tersenyum miring, tampak sekali jika ia tengah meremehkan si seksi nan centil itu melalui tatapan matanya.
"Mau tahu kenapa?."
"He'emh." Dengan wajah penasarannya gadis itu mengangguk cepat.
"Karena kamu itu nakutin!. Suara mu bener-bener ganggu, gak sehat buat pendengaran." Abian mendekati motornya.
"Ah satu lagi." Ia menoleh untuk melihat penampilan gadis itu secara keseluruhan.
"Kamu bikin aku jijik, dasar gak tahu malu!." Bian meninggalkan Sezi sendiri dalam keterkejutannya.
Gadis itu berdiri menatap punggung lebar milik pria bernama Abian yang kini bergerak menjauh sembari mendorong motor bebeknya yang mati dengan tubuh basah dan sedikit bau.
Bukannya sedih dan menangis, Sezi jutru terkekeh karena berhasil mengganggu si tampan idaman sekampung meski sebenarnya hati gadis itu merasa sakit setiap kali mendengar umpatan Bian kepadanya. Namun ia tak pernah menyerah karena perasaan sukanya terhadap Bian jauh lebih besar dari pada rasa kesalnya. Terbukti dengan dirinya yang tak bisa membiarkan pria itu tetap dengan kesombongannya.
Sampai suatu masa dimana hatinya benar-benar terpukul oleh pria yang sama karena .....Wanita idaman......
Entah bagaimana Sezi langsung merubah semua yang ada pada dirinya saat terakhir kali ia bertemu pria itu dikota berbeda.
Tidak ada lagi Sezi yang suka usil ataupun iseng mengunjungi kediaman Bitha saat liburan ke rumah sang kakak Sarah, hanya untuk membuat kesal pria itu.
*********
Tahun berlalu,
Bian yang kini menjalani kehidupan dikota besar sedikit banyak sudah melupakan sosok Sezi, si gadis centil yang kerap kali mengganggunya seperti lalat.
Semua itu tak lain karena kesibukannya sebagai seorang karyawan disebuah perusahaan mineral dan gas yang memiliki jam kerja padat. Terkahir kali ia bertemu gadis yang tak mungil lagi itu sekitar tiga setengah tahun lalu saat Sezi masih duduk di bangku kuliah.
Ia tak pernah mendengar kabar apapun sampai sang kakak yang merupakan seorang dokter tengah berbicara dengan suaminya di ruang keluarga. Bitha berkata jika minggu depan akan ada anak magang di rumah sakit tempatnya bekerja dan salah satunya adalah Sezi.
Hal itu spontan membuat langkah Bian berhenti sejenak dibalik sofa yang tengah Bitha dan Alex duduki.
"Dia anak kedokteran?." Tanya Alex dengan gaya acuh tak acuhnya.
"Bukan, tapi terapis." Bitha pun menjawab sembari sibuk dengan balasan SMS yang ia kirimkan kepada salah satu juniornya.
"Oh." Hanya itu yang keluar dari mulut Alex setelahnya.
Berbeda dengan Bian saat ia tiba dikamar miliknya yang berada di rumah sang kakak.
Pria dengan wajah tampan nan judes itu menatap lambaian pelepah pohon palm yang berayun karena terpaan angin sore.
Ingatannya kembali pada sosok gadis yang pernah sengaja ia sakiti dengan perkataannya. Entahlah apa yang menjadi alasannya kala itu sampai-sampai hatinya sendiri pun ikut sakit setelah menyadari betapa kejam ucapannya.
Bian melonggarkan kerah kemejanya. Matanya menatap jam putih yg menempel pada dinding kamar.
"Ah, lupa lagi belum sholat ashar."
Ia bergegas ke kamar mandi untuk melepas letih yang menggelayuti tubuhnya dengan guyuran air hangat.
.....
.....
Dilain tempat, Sezi tengah bersiap dengan segala keperluan yang akan ia bawa untuk tinggal di kota tempat Sarah berada.
"Ada lagi yang mau dibawa?." Ucap sang ibu setelah membantunya mengepak barang.
"Udah buk. Gak usah banyak-banyak, entar juga disana beranak-pinak." Ucapnya dengan gaya khas yang membuat sang ibu dengan gemas menepuk pangkal lengan Sezi.
"Jangan ngerepotin mas Ibram."
"Enggak lah, kan aku udah pesen sama Endah buat nyarikan kamar kosong juga yang samaan sama dia."
Ya, Sezi bermaksud untuk tinggal di kos-kosan sementara waktu sampai kegiatan mereka selesai. Namun yang yang menjadi bayangannya saat ini bukanlah urusannya di rumah sakit , melainkan keberadaannya yang akan tinggal di satu kota dengan pria itu, Bian.
Masih teringat jelas dalam ingatannya saat mulut pedas itu tak hanya memaki tetapi juga menghinanya didepan khalayak dan yang membuatnya lebih sakit adalah saat melihat bagaimana Bian menarik pergelangan tangan wanita yang juga bersamanya untuk segera pergi menjauh.
"Ah, males banget ya ampun. Inget itu bener-bener bikin sakit jiwa." Gumamnya sembari menata selimut kesayangannya yang akan menunjang kenyamanan tidurnya nanti.
.
.
.
tbc.
☆▪☆▪☆
Sezi tiba dikediaman sarah tepat pukul sembilan malam. Ia sengaja memilih penerbangan malam karena merasa tak enak jika harus terlalu lama berada dirumah sang kakak terlebih dengan keberadaan Ibram yang notabennya adalah saudara ipar.
Ia berniat untuk singgah selama semalam saja dan kemudian pindah ke kamar kos yang telah disewanya bersamaan dengan temannya, Endah.
Setibanya di rumah Sarah ia langsung menempati kamar tamu yang telah disediakan untuknya.
"Yakin mau ngekos aja?."
"Iyalah, ya kali mau numpang disini kaya benalu!."
"Ya kan kamu bisa bantu nyuciin bajunya Bara." Ucap Sarah sembari terkekeh diambang pintu.
"Dih!. Ogah banget. Kakak aja gak mau nyuci!."
"Ya makanya kamu aja yang nyuciin."
"Hoooeeekkk!."
Percakapan tak bermutu itu berakhir dengan tertutupnya pintu kamar tamu dimana Sezi tengah bersiap untuk menyelami alam mimpinya.
*****
Pagi menyapa si cantik dengan seragam dinasnya yang begitu pas melekat ditubuh indahnya.
"WOOOOOWWW!!!. Tuan kanjeng ratu kita akhirnya keluar dari sarang dek ... !!!." Ibram bertepuk tangan sembari tertawa bersama Bara, yang kini sudah duduk dibangku TK.
"Sarang!, sarang!, sarang!. Apaan sih abang ni, emang kita curut, sarang!." Sezi berdecak kesal karena ulah dua titisan wirosableng yang gemar mengolok-olok dirinya itu.
"Kalian bertiga kalo sudah duduk dimeja makan jangan pada ngoceh!. Liur kalian itu muncrat semua keatas makanan, ngerti!." Sarah terlihat seperti ibu kantin yang tengah memarahi anak-anaknya karena telah menghambur makanan mereka.
"Mamah juga ngomongnya diatas meja." Bara dengan polosnya berkata yang langsung menyadarkan mereka atas kesalahan sang nyonya dirumah itu. Tawa mereka pun akhirnya pecah bersamaan dengan mengerucutnya bibir Sarah karena ucapan anaknya sendiri.
*****
"Ya udah, hati-hati ya. Inget jaga diri, jaga pergaulan, lihat-lihat temen kalo mau ngumpul. Anak-anak disini gak sama kaya dirumah (daerah mereka berasal)." Pesan Sarah kepada adik sematawayangnya sebelum akhirnya meninggalkan gadis itu di depan kos bersama Endah, temannya yang berasal dari kampung sebelah.
******
"Kakak mu tinggal disini udah lama?." Tanya Endah.
"Udah lumayan, dia kuliah disini, kerja disini terus nikah juga disini." Jelas Sezi mengenai riwayat Sarah.
"Wah, enak ya. Jodohnya juga orang sini." celetuk Endah dengan mimik polosnya.
"Dimana-mana tu dapet jodoh enak kalo yang sejalan ama kita, saling pengertian dan perhatian." Sezi merasa malas jika harus membahas masalah jodoh karena pasti ingatannya akan kembali pada pria bermulut pedas itu.
"Ah terserah yang punya takdir ajalah aku." Endah menyerah dengan angan-angannya.
Keduanya lantas memasuki kamar kos hanya untuk menaruh barang-barang bawaan mereka ditempat yang telah mereka sewa untuk beberapa waktu kedepan.
"Kita naik angkot dari sini lumayan buang uang ya sebenarnya. Coba deh lihat menara yang kelihatan dari sini, itu menara bank biru yang pake pita kuning itu kan?." Endah tampak mencermati lika-liku perjalanan yang akan mereka lalui.
"Iya Ndah, tapi kalo mau jalan kakinya sekarang jelas terlambat kita. Dahlah naik OmJeg aja biar gesit." Sezi masih merasa malas jika Endah mengajaknya berjalan kaki, belum lagi waktu mereka yang mepet dengan jam pertemuan.
"Yuk lah!." Sezi mengajak Endah saat dua buah motor dengan mas-mas berjaket merah menghampiri mereka.
"Sesuai aplikasi ya mbak." ucap si pengendara sebelum akhirnya melaju membelah jalan pemukiman padat penduduk yang berada tak jauh dari lokasi rumah sakit dimana mereka akan melakukan pelatihan pengembangan kemampuan dalam merawat pasien.
▪▪▪▪▪
Dipagi yang sama dengan lokasi berbeda,
Bian baru saja merampungkan laporan akhir minggunya yang akan dipresentasikan siang nanti.
"Bi, gak ngantor?." Tanya sang kakak saat melihatnya tengah asik berselonjor ria memangku laptop diatas sofa malas dekat kolam renang.
"Ngantor tapi nanti siang."
"Anterin kakak bentar ke rumah sakit ya?." pinta Bitha dengan senyum manisnya yang jelas dibuat-buat.
"Sama abang ajalah, aku males balik lagi kerumah bawa Zhian."
"Zhian nanti ikut kakak aja praktek, gak lama juga kok." Bitha menjelaskan perihal anak lelakinya yang kini masih berada di sekolahnya.
"Terus aku harus ngapain selama dua jam kurang?." Pria itu terlihat sangat malas untuk memikirkan kekosongan waktu setelah mengantarkan sang kakak. "Pulang macet!. Ke kantor pun kecepetan, meetingnya jam satu." Bian berdecak malas.
"Ya ampun Bi, kamu kan bisa ngapain kek, ngafe apa ngemall, apa tepe-tepe di kantin rumah sakit. disana banyak nurse yang cantik loh jangan salah." Bitha bagaikan sales promotion mom yang tengah mengajarkan anaknya untuk tebar pesona.
"Emang aku cowok apaan!. Tepe-tepe kaya gak laku aja!." Kesalnya sembari beranjak dari sofa malasnya untuk bersiap mengantarkan Bitha ketempat tujuan.
☆○☆○☆
"Ya ampun Sez, luas banget sih ini rumah sakit!. Bisa copot tungkai kalo seharian mondar-mandir."
"Bayanganmu jauh banget sih Ndah, ngapain coba sampe mikir tungkai copot segala?. Jelas-jelas tiap pos ada tugasnya masing-masing."
"Alatnya juga modern banget." Ucapnya kagum.
"Ya iyalah Endoooyyy aduuh, ini tuh rumah sakit pusat rujukan yang pastinya dia punya kelebihan dan juga alat-alat kekinian. Capek aku lama-lama dengerin kamu wah weh woh dari tadi." Sezi mempercepat langkahnya menuju paviliun tempat mereka ditugaskan, meninggalkan Endah dengan rasa kagumnya akan rumah sakit besar itu.
"Sez?. Tunggu, Sezi!."
"Ogah!."
"Oiii dorothy!."
"Berisik Endooyy!. Cepetan!!!."
*
*
*
Hatchback milik dokter perempuan itu tiba tepat waktu diparkiran rumah sakit dengan seorang pemuda tampan tengah duduk dibalik kemudinya, Bian.
"Kakak pulang sama abang kan?." Tanyanya dengan wajah jutek.
"Iya, tapi kemungkinan malem baru sampe rumah. Soalnya ada acara makan malem di tempat Ibram." Jelas Bitha sembari memperhatikan emosi yang ditampilkan wajah adik lelakinya itu.
"Ya udah." Responnya santai seolah ingin mengatakan jika ia juga tidak masalah sekalipun sang kakak tak pulang kerumah dan meninggalkannya pergi holiday bersama sang suami.
Bitha begitu gemas dengan ekspresi adik lelakinya itu. Ingin sekali ia menjambak rambut hitam dengan gaya relaxed quiff miliknya yang selalu terlihat tampan meski belum mandi sekalipun.
"Paan melotot gitu?." Bian yang merasa aneh dengan tatapan sang kakak pun bertanya dengan dahi terlipat.
"Pengen jambak rambut kamu!."
AWW!!!.
Secepat itu pula Bitha meninggalkan si judes dengan wajahnya yang terlihat semakin kesal dan juga bingung sembari mengusap kepalanya yang pedis karena ulah Bitha. "Apa sih!. Makin aneh aja." Gumamnya dengan nada kesal.
***
Sezi dan Endah tampak serius menyimak penjelasan yang diberikan oleh pembimbing mereka didalam ruangan dengan tiga orang pasien yang telah bersedia membantu pelatihan mereka sebagai fokus utama.
"Wah kalo gini sih berarti harus sesuai gender ya?." Gumam Endah yang masih bisa didengar oleh Sezi.
"Dih, kok pilih-pilih. Sama aja Ndah semua juga pasien, mau cewek ataupun cowok."
"Mending kalo dapatnya yang muda, lah kalonya dapet yang tua?. Mau ape lu??!!."
"Yang tua lebih menggoda." Sezi menjentikan ibu jari dan telunjuknya kemudian mengusap sisi tubuh seksinya mulai dari pinggang hingga ke panggul dan seketika mendapat sabetan tangan dari wanita disebelahnya.
"Gendeng kamu!." Endah terkikik menahan tawanya sendiri karena kata-kata dan kelakuan Sezi yang terlalu berani.
"Kamu juga mikirnya ngawur." Sezi membalas ucapan Endah sembari menahan rasa geli diperutnya karena refleknya sendiri.
.
.
.
tbc
◇◇▪◇◇
Kegiatan mereka berlangsung sampai setengah hari dan berhenti saat jam makan siang tiba. Endah mengajak Sezi untuk pergi ke kantin bersama tiga orang peserta lainnya yang terdiri dari seorang wanita dan dua orang pria yang berasal dari daerah berbeda.
Kelimanya duduk disatu meja yang sama dengan obrolan ringan untuk mengisi kekosongan diantara mereka.
"Pertama kalinya sih aku kesini dan gak pernah kebayang kalo ternyata dalemnya seluas ini." Ucap Miftah yang duduk disebelah Endah sembari merekam suasana kantin rumah sakit dengan ponsel pintarnya.
"Aku udah dua kali kesini, cuman yang pertama bukan untuk studi tapi buat benerin gigi." Pemuda bernama Ilham itu memamerkan deretan giginya yang mengenakan behel.
"Elu pasangnya kejauhan bro!." Diki menjawab ucapan Ilham dengan sebuah candaan.
"Harusnya kita kenalan dari sebelum ini biar elu kagak kejauhan pasangnya, soalnya tetangga gue buka bengkel las." lanjutnya sembari terkekeh.
"Ngaco kamu!. Kalo cuma gitu sih gak usah sampe tempat mu juga bisa, disebelah ruko ku ada tukang patri emas malah lebih enak bisa custom dengan harga tetangga." kelimanya terbahak-bahak saat mendengar balasan Ilham untuk Ucapan Diki.
"Udah yuk!. Waktu kita mepet loh keburu dingin ni entar soto." Sezi menengahi banyolan mereka untuk segera menyudahi acara makan siang singkat kelimanya.
"Sez, elu udah ada gebetan belum?." Tanya Diki sembari menatap Sezi yang berada diseberang mejanya.
"Paan gebetan. Kaya gak ada kesibukan lain aja." Endah mencemooh ucapan pemuda itu.
"Si Ilham mau nyalon katanya." Lanjut Diki tanpa rasa bersalah karena telah melibatkan si behel.
"Apa aku lagi dibawa-bawa!?. Ngaco kamu!." Ilham melemparkan tisu bekas kearah tersangka yang kemudian disambut gelak tawa Diki.
"Buat kalian kaum adam!. Asal tahu aja 'hawa' jaman sekarang tu udah gak level di becandain receh macam abg labil gini." Sezi mengeluarkan kalimatnya sembari menyeruput jus alpukat favoritnya.
"Kalo elu-elu pada suka sama hawa berdoa sama yang punya hati, Ckk!. Lemah lu pada!." Sezi berdecak malas sembari mengangkat tubuhnya dari sandaran kursi yang semula ia tempati. "Yuk dah, siap-siap masuk lagi."
"Oke dah, siap!." Diki terlihat sedikit kecewa karena ucapan Sezi yang memang ada benarnya. Pria itu sadar jika gadis yang ditaksirnya termasuk kedalam kelas berat.
Kelimanya berjalan kembali menyusuri lorong yang semula mereka lewati namun tepat di perempatan lorong Sezi dikejutkan oleh suara wanita yang memanggilnya dari arah samping.
"Sezi!.".
Reflek Sezi menoleh saat namanya disebut.
"Kak Bitha?."
Bitha berjalan menghampirinya dari sebuah nurse station. Wanita itu tersenyum lebar saat mata mereka bertemu pandang.
"Tinggalin aja." Titah Sezi kepada dua orang wanita yang bersamanya.
"Yok dah kita duluan!." Endah menarik lengan Miftah untuk meninggalkan Sezi, menyusul dua lelaki yang semula bersama mereka dan kini berjalan menjauhi keduanya.
*****
"Ya ampun, berapa tahun sih gak ketemu kamu, kok kayanya banyak banget yang berubah?." Bitha mencubit lengan berbalut seragam hijau pupus yang dikenakan oleh Sezi.
"Aww, sakit kak Bitha!."
"Ya ampun, gimana gak ketar-ketir Sarah kalo yang ditinggalin kaya gini bentukannya." Bitha masih memindai si cantik bertubuh semampai itu dengan sangat detail.
"Kak Bitha jangan gitu lah lihatnya!. Nurse di station pada ikut merhatiin tuh."
"Don!. Doni!. Si Doni mana Ji?." Tanya Bitha kepada Jihan yang berdiri dibalik meja counter.
"Ke atas tadi Dok." Jawab Bidan bertubuh subur itu dengan suara besarnya.
"Yah, gak rejekinya dia berarti."
"Apa sih kak, Ih kan pasti ada maksudnya ini." Sezi terlihat menggembungkan pipinya karena ulah Bitha.
"Gak ada, ya udah sana entar kamu telat."
"Nah kan!. Ya udah, aku pergi. Daaah!."
Bitha tersenyum melihat perubahan yang terjadi pada gadis itu selama beberapa tahun karena tak pernah sekalipun melihatnya baik saat pulang kampung beberapa waktu lalu.
Dokter cantik itu memiliki firasat jika Sezi mungkin memang sengaja menjauhkan diri darinya atau tepatnya menjauhi si judes, Bian.
Tidak seperti yang biasa Sezi lakukan jika gadis itu bertandang kerumah Sarah. Gadis itu pasti tak lupa untuk mengunjunginya dengan tujuan lain atau seperti yang baru saja terjadi jika dulu gadis itu bertemu dengannya pasti akan langsung menanyakan pemuda yang kerap kali diganggu olehnya. Namun ia masih tidak tahu apa yang menjadi penyebab dibalik perubahan yang terjadi.
"Pasti masalahnya ada di anak itu!." Bitha menggelengkan kepalanya samar sembari mengingat bagaimana kelakuan adik lelakinya sendiri jika berhadapan dengan gadis tadi.
*****
Bian masih berada diruang meeting saat jam pulang kantor telah berlalu. Pemuda itu masih bermain dengan gadgetnya ketika Bitha menghubunginya.
"Emh?."
📲"Ya ampun om, jawab yang bener kek!." Bitha terdengar mengeluh diujung sana.
"Kenapa sih kak?."
📲"Kamu udah sampe rumah?."
"Belum, masih dikantor. kenapa?."
📲"Oh enggak, kakak kira udah pulang. Kakak mau ke rumah Sarah kamu ikut gak?."
"Ya enggak lah, kayak gak ada kerjaan aja!." jawabnya dengan sedikit ketus.
📲"Ada Sezi disana, kali aja kamu mau ikut sekalian temu kangen." ucap Bitha yang terdengar seperti sebuah candaan.
Tak ada suara yang terdengar selain hembusan nafas yang sedikitnya terasa berat.
"Gak deh, kakak aja sama abang. Aku langsung pulang aja."
Bian menutup panggilan itu sepihak. Tak ada kata atau kalimat penutup yang menjadi penanda akhir percakapan keduanya.
Bitha semakin merasa jika ada sesuatu yang tengah disembunyikan oleh adik lelakinya itu sebab tidak seperti yang sudah-sudah ketika ia menyebutkan nama Sezi pasti ada nada khusus yang dikeluarkan oleh Bian untuk menolak permintaan Bitha karena telah melibatkan gadis itu.
*****
Bian merapikan berkas dan peralatan yang semula ia gunakan untuk presentasi kedalam sebuah ransel lalu menyampirkannya dibelakang punggung.
Pria itu menuruni anak tangga tanpa suara dan mendapati seorang wanita yang selama ini membuatnya diliputi rasa bersalah kepada gadis terapis itu.
"Mas Bian baru mau pulang?." Tanya Rina, seorang karyawan wanita yang bertugas dibagian perencanaan perusahaan.
"Iya, ini baru selesai." Bian hanya menjawab seadanya karena ia berfikir jika terlalu banyak bicara maka akan menimbulkan berbagai spekulasi untuk orang lain yang melihatnya. "Saya duluan."
"Iya, hati-hati." Rina tersenyum tipis saat mengucapkan kalimat untuknya.
Bian mengangguk tipis lalu meninggalkannya tanpa menoleh lagi kebelakang.
Rina merupakan seorang wanita muda dengan perangainya yang ramah serta tutur katanya yang lembut. Ia juga termasuk dalam salah satu jajaran wanita idaman dikantor tempat Bian bekerja. Dengan kesopanan juga cara berpakaiannya yang menutup kepala membuatnya banyak disukai siapa saja termasuk Bian.
Bian tidak akan berbohong jika ia memang menyukai gadis dengan pakaian tertutup. Namun jika untuk masalah pasangan hidup ia pasti akan berfikir dua kali. Sebab kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari penampilannya saja.
Lalu bagaimana dengan Sezi?!
.
.
.
tbc.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!