Mereka bilang bumi berotasi 1 x 24 jam dengan kecepatan 12.000 km/jam yang mengakibatkan terjadinya siang dan malam. Mereka bilang bumi berevolusi dengan kecepatan 250.000 km/jam setiap tahun mengelilingi matahari yang mengakibatkan perubahan musim dan cuaca. Mereka bilang Manusia dapat menembus langit dan mendarat ke bulan. Mereka bilang kemampuan Manusia mampu merajai Tata Surya.
Star Fall Company atau dikenal SFC baru saja mendaratkan astronotnya setelah 17 tahun terombang-ambing dalam perjalanan ke ruang angkasa.
Setelah mendarat di bumi, lima dari enam astronot yang melakukan perjalanan panjang di ruang angkasa, kini dirawat dalam ruang isolasi milik SFC. Mereka mendapatkan cidera otak serta luka mental yang membuat mereka tampak terdiam membisu dengan tatapan kosong. Sementara salah satu dari ke enam astronot tersebut menghadiri konferensi pers untuk menceritakan kisah perjalanannya kepada media. Tetapi, keadaan astronot yang menghadiri pers itu pun sama seperti ke lima astronot lainnya.
11.30 AM Jambi, 13 November 2020 Indonesia.
Di hari itu langit tampak gelap, guyur hujan melumpuhkan sebagian aktifitas kota. Secara serentak, seluruh stasiun televisi dan media memutar breaking news di semua platform.
Seluruh penduduk kota kala itu terpusat pada satu berita yang mengejutkan dunia. Di mana media menampilkan saksi nyata, seorang astronot yang menghadiri pers secara langsung, setelah pulang dari ruang angkasa.
"Masa iya?"
"prankkah ?!"
"Luar biasa, teknologi kita sudah sampai kesana"
"Be-benar kah? mereka ke ruang angkasa?"
"Apa di bulan ada toilet?"
"Apa benar berita ini nyata?".
Tanggapan pro dan kontra masyarakat saat ini membuat segudang pertanyaan, sesaat setelah perhatiannya terpusat pada ponsel dan televisi yang menampilkan berita mengejutkan secara live.
Seakan mewakili semua pertanyaan, kegelisahan dan kegaduhan masyarakat. Wartawan yang berada di tempat tersebut, melemparkan segudang pertanyaan kepada astronot. Tentang kebenaran dan pengalamannya saat berada di ruang angkasa.
"Diusia berapa anda terbang meninggalkan bumi?"
"Kenapa tidak ada media yang menceritakan background anda saat pertama kali bergabung dengan astronot?"
"Apa yang anda rasakan saat ada di ruang angkasa?"
Ada begitu banyak pertanyaan yang dilemparkan para wartawan kepada Robert Carlos.
"Di mana rekan-rekan anda?"
Robert Carlos hanya diam tak dapat menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari para wartawan. Dia tampak seperti orang yang bingung hanya bisa memperhatikan sekitarnya tanpa berucap sepatah kata pun.
Dari ke enam astronot hanya Robert Carlos yang menghadiri pers, pria paruh baya asal Kanada, juru bicaranya berkata.
"Ini masalah waktu, mental para astronot mengalami tekanan yang hebat setelah terombang-ambing di ruang angkasa."
SFC (Star Fall Company) adalah perusahaan besar yang memiliki otoritas dalam astronomi antariksa. Project SFC sangat dirahasikan oleh pemerintah dunia atau yang sering mereka sebut Elite Global atau EG. Organisasi ini adalah kelompok yang di anggotakan tokoh-tokoh penting dari beberapa pemimpin negara yang mengendalikan atas dunia, baik dari segi ekonomi, politik, sains dan teknologi. Seluruh anggota SFC terdiri dari ilmuan-ilmuan terpilih dari penjuru dunia, yang diketuai oleh Hendra Tan.
10.45 AM Nevada, 12 November 2020 Amerika serikat.
Dalam projectnya, SFC mendapatkan penemuan baru, entah itu sebuah kabar baik atau buruk. Sambil menatap monitor yang menampilkan Robert Carlos dalam acara live, Hendra Tan dibuat bingung dengan sikap dan gerak-gerik salah satu anggotanya.
"Sebenarnya... apa yang sudah terjadi pada mereka?."
Hendra Tan bergegas pergi meninggalkan ruang kerjanya, dengan sebuah ponsel yang ada disakunya, ia mencoba menghubungi salah satu anggota yang bertanggung jawab pada tim SFC di Indonesia, lebih tepatnya di kota Jambi.
"Hallo, selamat pagi pak, ada yang bisa saya bantu?"
"Biarkan Carlos menetap di sana (Jambi) lalu kirimkan ke lima korban ke pusat penelitian Nevada beserta seluruh file, rekaman dan data-data yang ada di sana." Ungkap Hendra Tan untuk memerintahkan salah satu anggotany yang bertanggung jawab pada tim SFC di Indonesia.
"Siap pak!"
Terkesan terburu-buru Hendra Tan bergegas pergi dari gedung perkantoran SFC menuju pusat penelitian SFC Nevada.
14.15 PM Jambi, 13 November 2020 Indonesia.
Setelah mendapatkan telepon dari Hendra Tan, selaku orang nomor 1 di perusahaan Star Fall Company. Para staff SFC yang berada di Jambi mecoba mengirimkan seluruh rekaman, file dan data-data melalui email. Membawa lima ilmuan yang berada di ruang isolasi milik SFC pergi menggunakan helikopter menuju Nevada, Amerika Serikat.
Setelah siaran langsung mengenai kembalinya astronot ke bumi, menciptakan banyak pertanyaan yang menimbulkan keraguan pada masyarakat. Apa yang dipikirkan mereka saat itu sama, mereka berfikir semua itu adalah rekayasa.
Sementara fakta sebenarnya tentang keberadaan astronot, sebenarnya tidak ada. Mereka adalah ilmuan-ilmuan yang dipilih untuk mencari keberadaan dan kehidupan lain di ruang angkasa, melalui langit yang ada di kota Jambi, Indonesia.
Raffy, selaku pimpinan yang bertugas dalam pengawasan anggota SFC bertugas di Jambi, Indonesia. Dalam projectnya SFC mencoba mengirimkan gelombang frekuensi ke langit-langit kota Jambi, mereka mengira gelombang frekuensi itu mampu menembus langit menuju ke Planet lainnya. Nyatanya tidak, gelombang yang mereka kirim justru terpantul kesudut-sudut Bumi.
Setelah kejadian itu Raffy selaku pemimpin tim bertindak cepat menghubungi EG untuk melaporkan hal yang menimpa tim nya. EG membuat skenario manis dengan tema kembalinya astronot ke bumi dengan tujuan mendapatkan keuntungan dan menunjukan betapa canggih teknologi mereka.
Bersama media, EG meminta salah satu narasumber Robert Carlos sebagai tokoh utama untuk menghadiri pers. Lalu didampingi dengan dua anggota Greed Midas sebagai juru bicara.
Kembali melihat kondisi ke lima ilmuan yang hendak dibawa ke Nevada, Amerika Serikat. Raffy dan para dokter spesialis meyakini ke lima ilmuan tersebut terkena radiasi tinggi yang mengakitbatkan kesadaran mereka hilang total. Untuk memastikan kembali, Raffy meminta bantuan EG untuk mengirimkan unit khusus pencari fakta dibalik tragedi gelombang misterius yang mereka tangkap hingga membuat ke enam ilmuan itu kehilangan kesadaran.
"Bagaimana, apa bisa di simpulkan?" tanya Raffy pada salah satu dokter spesialis yang dikirimkan oleh EG.
Merasa permasalahan di luar kemampuannya, dokter itu menjawab. "Sampai saat ini, hanya radiasi yang bisa kami pastikan."
"Apa ada kesalahan sistem dan pengaplikasian?"ungkap Raffy.
"Entahlah, itu bukan ranah saya pak. Mungkin kita bisa melihat kembali rekaman cctv dan audio mereka, lalu bertanya pada pengamat lainnya."
"Baiklah kalau begitu."
Raffy pun segera memanggil salah satu anggota SFC.
"Arnol, tolong siapkan rekaman audio yang ditangkap dan rekaman cctv."
"Baik pak." Segera salah satu anggota SFC itu mempersiapkan file pemutaran.
01.55 AM Nevada, 13 November 2020 Amerika Serikat.
Sesampainya Hendra Tan di pusat penelitian SFC, telah ada 2 anggota EG yang menunggu kedatangan Hendra Tan. Ke dua anggota EG tersebut adalah Verra (25 tahun) dan Kaeya (28 tahun).
Tepuk tangan yang diberikan Kaeya menjadi sambutan atas kedatangan dan keberhasilan Hendra Tan.
"Kita telah mendapatkan penemuan besar...."
Sambutan Kaeya mengiringi langkah kaki Hendra Tan untuk mendekatinya, namun matanya beralih ke monitor yang ada di sebelah kanannya, ia pun bertanya.
"apa ini?"
Gelombang yang dipancarkan oleh ke enam ilmuan itu menemukan bagian lain dari bumi, sebuah daratan yang sangat luas dan terdiri dari kepulauan.
Verra yang berada tepat dihadapan monitor berkata.
"Kukira Bumi hanya diisi dengan lima benua."
Verra mengalihkan pandangan dari monitor menatap senyum kepada Hendra Tan.
"Ternyata, ADA BANYAAAKKK!!! haha...."
Menanggapi Verra dan Kaeya, Hendra bertanya serius.
"Bagaimana kalian bisa tahu tentang ini?"
"Tentu saja, dari anggotamu... Raffy" jawab Kaeya.
"Apa maksudnya ini." gumam Hendra Tan menanggapi Kaeya.
Ke lima benua yang mereka ketahui itu hanya 5% dari daratan yang berada di Bumi. Masih banyak daratan-daratan yang tersebar di penjuru Bumi yang belum diketahui.
Melangkah pergi menuju pintu keluar yang ada dibelakang Hendra Tan, Kaeya berkata.
"Penemuan ini akan menjadi laporan penting untuk rapat EG nanti."
Langkah Kaeya terhenti saat berada tepat di samping Hendra Tan.
"Untuk itu, kami berharap kau datang bersama dengan ke lima ilmuan nanti."
Kaeya segera melanjutkan langkahnya.
"Ayo Verra, kita tak punya banyak waktu."
Berbalik menghentikan langkah, Kaeya berkata,
"Penemuan ini juga melibatkan pihak Ancelime dan Midas".
"Barbara dan Paul?" tanya Hendra Tan.
"Yaps...." Kaeya pun menjawab pertanyaan dari Hendra Tan.
Kembali berbalik arah lalu meninggalkan Hendra Tan.
"Kurasa kalian semua benar-benar orang hebat yang dipilih Lord, tidak akan pernah bisa akur. Sampai ketemu nanti Hendra Tan." ucap Kaeya, dan berjalan meninggalkan Hendra Tan.
"Tak heren jika berita menayangkan hal seperti itu, sudah pasti itu Barbara".
"Tapi, lebih dari pada itu...."
"Kenapa Raffy tidak memberi tahu ku lebih dulu dan membocorkannya pada pihak EG."
"Sebenarnya, apa yang sedang terjadi."
Gumam Hendra Tan, bahwa dia selaku pemimpin SFC tidak diberi tahu tentang penemuan sebesar itu.
15.20 PM Jambi, 13 November 2020, Indonesia.
Fokus kembali ke SFC Jambi, salah satu anggota SFC menyampaikan pesan dari Hendra Tan kepada Raffy.
"Untuk data-data sudah dikirimkan dan ke lima ilmuan akan segera diberangkatkan pak."
"Baik, jalankan."
"Ta-tapi Pak Raffy..."
"Ada apa?" Raffy pun bertanya kepada anggotanya.
"Pak Hendra Tan, meminta Bapak untuk ikut bersama dengan ke lima ilmuan itu."
"Oh begitu."
"Kurasa, ia meminta penjelasan kenapa aku melaporkan langsung pada EG." gumam Raffy.
"Baiklah, jam 17.00 PM kita berangkat. Tapi, sebelum itu aku ingin melihat kembali rekaman video dan audio yang terjadi pada mereka."
"Ba-baik Pak."
Beberapa menit setelah persiapan, Raffy beserta beberapa pengamat dan staff analisa memutar kembali rekaman cctv dan audio yang terjadi kepada ke enam ilmuan tersebut.
Rekaman tersebut berdurasi 30 menit, video ini adalah video akhir sebelum terjadinya gelombang yang merusak beberapa perangkat keras di dalam ruangan, karena jumlah penyimpanan cctv setiap 30 menit akan terotomatis tersimpan. Mereka memutuskan untuk menyaksikan secara langsung rekaman tersebut.
Di dalam ruangan 10 meter x 6 meter, terdiri dari 8 staff SFC, beserta 4 penganalisa kejadian, 6 pakar telematika dan 3 ahli kejiwaan termasuk piskolog.
25 menit berlalu dalam video tersebut benar tidak terjadi apa-apa, semua tampak biasa. Mereka tampak bersanda gurau, namun memasuki menit akhir, keadaan mulai berubah.
Sinyal menangkap sebuah gelombang, lalu Robert Carlos mencoba menerjemahkan gelombang tersebut. Dari headset yang dikenakan, terdengar suara berisik layaknya kaset rusak.
Rasa penasaran Raffy dengan apa yang didengar Robert Carlos meminta staff yang bertugas memutar rekaman untuk mengeraskan suaranya.
"Keraskan volumenya."
Terdengar suara sayup seperti suara berat namun tertutup suara berisik seperti suara kaset yang rusak.
Saat memasuki menit ke 28 tiba-tiba hening tak ada lagi suara.
"Sampai disitu?" tanya Raffy kepada staff yang ada di ruangan tersebut.
"Masih tersisa 2 menit Pak."
"Baik, tolong volumenya dibesarkan."
Setelah volume mencapai angka maksimal, terdengar kembali suara berisik layaknya kaset yang rusak. Namun kali ini berbeda, suara dengingan itu begitu cepat menusuk ketelinga mereka.
Melihat beberapa anggotanya terhempas kehilangan keseimbangan, Raffy berkata.
"Ke-kecilkan suaranya."
Sambil menutupi telinga dengan ke dua tangannya.
Salah satu anggota yang bertugas memutar dan menyeting video rekaman berkata.
"Ti-tidak bisa pak."
Raut wajahnya tampak panik, jari jemari tampak sibuk menekan tombol keyboard komputer.
Setelah suara bising itu terdengarlah dengan jelas, suara berat dari seseorang yang berbicara entah menggunakan bahasa apa. Seperti berucap dengan 3 kalimat lalu tertawa.
Beberapa anggota Raffy sontak berteriak.
"AAAAAA...!"
Beberapa dari mereka berlari menuju pintu keluar, Raffy masih terdiam di tempat seakan mengalami shock hanya bisa menyaksikan anggotanya yang histeris berlari menyelamatkan diri.
Sambil memperhatikan anggotanya pergi, Raffy bergumam.
"Su-suara apa itu."
"I-itu bukan suara manusia."
"Makh-makhluk apa yang barusan berbicara itu."
Mata Raffy melirik beberapa aksesoris yang ada di meja. Dari apa yang Raffy liat, gelas berisikan air tampak bergetar.
Raffy masih terdiam bisu tak dapat mengambil keputusan, suara yang ia dengar terlalu dalam mengintimidasi kejiwaannya. Dia sangat ketakutan hingga tak mampu untuk bergerak.
"A-apa yang terjadi."
"Ke-kemana mereka berlari."
Gelas berisi air yang dilihat oleh Raffy tiba-tiba terjatuh, ia masih tampak berdiri seorang diri di dalam ruangan penelitian. Lampu gantung tampak bergoyang kuat, menandakan gempa bumi semakin menguat.
Sirine tanda bahaya gedung SFC Jambi berbunyi, diikuti suara admin menggunakan pengeras suara untuk menginformasikan para anggota.
"Telah terjadi gempa di kota kita, dengan kekuatan yang masih terus bertambah. Di informasikan untuk para anggota menghindari bangunan, segera berlari ke tengah-tengah lapangan, terima kasih."
Dengan sekuat tenaga, mereka menutup telinga dengan menggunakan ke dua tangannya. Tetapi suara dengingan yang mereka dengar dalam rekaman audio tak hilang meski mereka telah meninggalkan ruangan penelitian. Menahan sakit yang dirasa, gendang telinga mereka serasa akan pecah.
"Su-suara ini tidak hilang-hilang.... Aaaaa...!"
"Tolong."
Suara dengingan dan getaran bumi yang terus menerus bertambah kuat. Seketika merobohkan bangunan dan pepohonan satu persatu. Angin yang bertiup kencang, sekilas mengangkat semua debu di wilayah tersebut. Listrik padam, seakan langit sudah tidak ada lagi cahaya matahari yang menyinari Bumi.
Beberapa dari mereka ada yang terjatuh dan termuntah-muntah. Beberapa dari mereka juga ada yang mencakar wajahnya sendiri hingga robek. Beberapa dari mereka ada menyumbat telinganya menggunakan pena hingga menembus gendang telinga.
Tercatat, ada 88 orang yang ada di dalam gedung tersebut, termasuk Raffy. Tetapi yang sampai ke halaman depan hanya 6 orang.
Tampak bercak darah dipakaian mereka, mata dan telinga mereka juga tampak mengeluarkan darah.
Indonesia, Jambi 13 November 2020,
16.50 PM
"Da-darah?" ucap Raffy yang melihat darah ditelapak tangannya.
Raffy tampak tergeletak jatuh tertimpa atap bangunan, ia masih kebingungan meski ruangan sudah hampir dipenuhi api. Diketahui gedung SFC terbakar, beberapa aliran listrik yang konslet dan beberapa perangkat keras meledak.
Raffy tidak tau harus melakukan apa, ia berdiam diri menunggu kematiannya.
Ke enam anggota yang berhasil keluar dari gedung SFC Jambi, tak menyangka bahwa di luar keadaannya jauh lebih parah.
Seperti melihat neraka, lautan api membakar kota Jambi. Teriak histeris terdengar dari segala penjuru. Hingga gedung-gedung yang ada di sana runtuh menimpa masyarakat kota Jambi.
"Aa-apa yang sebenarnya terjadi." Raffy terduduk, menyaksikan bencana besar tarjadi di kotanya.
Kendaran-kendaraan yang saling bertabrakan meledak, kota dipenuhi kericuhan. Di mana seluruh penduduk berlarian tak tentu arah.
Gempa hebat dengan kekuatan 11,05 SR menyerang kota Jambi.
"Bahkan su-suara itu tidak hilang huhu." Isak tangis salah satu anggota SFC yang berhasil keluar dari dalam gedung SFC.
Di tengah ricuhnya kota tampak sebuah bola hitam seukuran bola kaki dengan diameter 20 cm muncul di atas langit-langit kota.
Bola hitam itu lambat laun menghisap seluruh benda yang ada disekitarnya, hingga membuat benda itu tumbuh semakin membesar.
Satu persatu segala sesuatu terhisap ke dalam bola hitam tersebut, tanpa terkecuali manusia. Pemandangan yang disaksikan kala itu tampak kabut merah menyelimuti kota, kabut itu ialah darah dan tubuh manusia yang bertabrakan dengan benda sekitar hingga melebur.
Jambi 13 November 18.00 PM
Hari terakhir kota itu sebelum menjadi kawah kosong tanpa bekas.
Ada kalanya manusia tidak perlu tahu apa yang tersembunyi dibalik bumi. Ada baiknya manusia cukuplah pada bagiannya sendiri. Namun, ambisi dan keserakahan manusia menjadi petaka. Membuka pintu masuk bagi makhluk yang seharusnya bumi menyembunyikannya.
Ini adalah cerita seorang remaja yang berhasil selamat dari bencana lubang hitam (Black Hole) 13 November 2020 Jambi, Indonesia.
Mikaru Donpa, seorang pelajar tingkat 3 Sekolah Menengah Atas. Ia terseret ke dalam lubang hitam saat hendak pulang ke rumah pada pukul 16.00 PM. Ketika proses perpindahan berlangsung ia tak sadarkan diri untuk beberapa saat, sampai akhirnya kesadarannya pulih.
Perlahan-lahan ia membuka mata.
"akh…."
Desahnya sambil menggerakan kaki dan tangannya.
"Ta-tangan kananku...?"
Suasana yang begitu gelap, membuat Mikaru tidak bisa melihat dengan jelas keadaan yang ada di sekitarnya. Hanya udara yang sudah tercemar dapat ia rasakan saat itu. Udara yang tercampur dengan debu dan asap dari kendaraan dan bangunan yang terbakar. Kondisinya begitu lemah, perutnya mual, kepalanya pusing, dan dadanya terasa sesak.
Proses pemindahan yang memakan waktu kurang dari 30 detik membuat manusia berada di zona "mana", di mana tempat tersebut hanyalah ruang hampa dengan tekanan energi tinggi yang menghubungkan satu titik ke titik yang lainnya.
Beberapa dari mereka tubuhnya ada yang melebur pecah, ada pula yang mengalami kerusakan sistim saraf dan organ tubuh. Hanya kurang dari 1% seluruh populasi penduduk kota yang selamat sampai ke tanah itu, dan salah satunya Mikaru Donpa.
Ia mencoba sekuat tenaga untuk berdiri meraih sesuatu. Tiba-tiba terdengar suara ledakan kuat tepat di belakangnya.
"BWARRRR...!!!" Begitu kuat suara ledakan itu hingga menggetarkan tanah yang didudukinnya.
Segera matanya tertuju ke sumber suara.
"Ap-apa itu!" Spontan mata Mikaru melirik ke sumber suara.
Sedikit samar dengan api yang menyala-nyala dari mobil yang terbakar.
"Ledakan mobil?" gumam Mikaru.
Kondisi tempat begitu berantakan, tumpukan bebatuan bangunan yang hancur, disertai padamnya penerangan. Tak ada sumper cahaya apapun kecuali kobaran api, yang diakibatkan ledakan mobil dan tumpahan minyak yang membuat api terus menjalar, membakar tiap-tiap bangunan.
Tubuh Mikaru yang masih terasa lemas mencoba menguatkan diri untuk memperhatikan keadaan sekitarnya. Ia mencoba berdiri dengan tubuh dan kakinya yang penuh luka. Namun ia kehilangan keseimbangan akibat pijakan yang tidak merata.
"Graakkk...."
Suara terperosok jatuh.
"Akkkhhhh...!" Teriak dengan tubuh yang begitu lemah. Ia berusaha menjangkau apapun, agar tidak terperosok terlalu jauh. Tetapi tangannya tidak mampu menjangkau apapun untuk berpegang.
Bersyukur tak jatuh sampai kedalam kobaran api, justru mendapatkan penerangan dari nyala api. Ia pun merasakan aroma yang tidak biasa di tempatnya terjatuh. Dan ia tersadar bahwa telah berada di tengah tumpukan mayat-mayat yang tak lagi utuh. Hanya potongan-potongan tubuh manusia yang bertebaran disepanjang mata memandang.
"Aaaaaa...!"
Terkejut melihat potongan tubuh manusia yang berserakan.
Menyadari kondisi tubuhnya yang tak mampu berlari untuk pergi. Mikaru hanya mampu menyeret mundur tubuhnya menjauhi potongan tubuh manusia.
Namun saat ia bergerak mundur. Mikaru baru menyadari, bahwa tangan kanannya sudah tidak ada.
"Ta-tanganku... AAaaaakhh...!" teriak Mikaru.
Lengan yang putus membuka luka yang menganga ada di tangan kanannya. luka yang tak tertutup terus menerus meneteskan darah. Sakit yang luar biasa, ia rasakan pada saat itu.
Bersama dengan luka yang ia lihat, kilas balik ingatan terlintas dipikirannya. Saat bencana besar terjadi di kotanya. Mikaru mengingat ia terhisap masuk ke dalam lubang hitam. Tubuhnya terangkat bersama dengan benda-benda yang ada di sekitarnya. Saat berada di langit-langit, sebuah potongan dari pintu mobil melesat menabrak tangan kanannya hingga terputus.
Mikaru ingat, saat itu hendak menggapai sesuatu, yaitu ibunya. Ia melihat ibunya yang ketakutan, tengah memeluk sebuah tiang untuk berpegang saat terhisap ke dalam lubang. Sayangnya tiang itu menabrak sesuatu hingga tiang yang menjadi pegangan ibunya terpotong besama dengan tubuhnya.
Teriakan Mikaru pun tergantikan dengan tangisan pilu mengingat ibunya yang tewas saat bencana itu terjadi.
Bersandar pada tembok yang menghadap ke tumpukan mayat.
"Ibu...."
"Ibu.... "
"Kenapa?"
Isak tangis menyesali dirinya sendiri yang tidak mampu menyelamatkan ibunya. Entah pada siapa yang harus disalahkan dan siapa yang bertanggung jawab. Mikaru memilih menyalahkan dirinya sendiri, berulang kali ia membentur-benturkan kepalanya ke tembok tempat ia bersandar.
Ledakan-ledakan terus terjadi berulang kali. Bahan bakar yang menjalar perlahan membuat api dan asap terus bergerak. Namun, Mikaru mengabaikannya dan terus berteriak.
"Kenapa...! Kenapa jadi seperti ini!"
"AAAAAAAAAAAAA...."
Teriakan Mikaru yang begitu keras, disambut dengan suara raungan layaknya singa.
"HHUUAAAAWWW...."
Sejenak Mikaru berhenti berteriak dan ia mencoba melihat di mana suara itu berasal.
"Apa itu?" gumam Mikaru melihat ke sumber suara.
Mikaru mencoba memfokuskan pandangannya pada titik di mana raungan itu berasal.
"GGGRRRRRR...."
Suara dekuran dari balik gumpalan asap mobil yang terbakar tampak sosok mahluk yang besar. Sekilas makhluk itu terlihat seperti singa jantan yang mempunyai ekor panjang, dengan tinggi 4 meter dan panjang 8 meter.
Denyutan dari luka di tangan terasa nyeri, tampak darah terus menetes dari tangannya.
"Kurasa, akhirnya sampai di sini." gumam pasrah melihat kondisinya yang memburuk.
Dari pada bersembunyi ia lebih memilih mengambil pecahan tembok, lalu mencoba melempar makhluk itu dengan tangan kirinya.
"Hoy...!" teriak Mikaru memanggil makhluk itu.
Cukup keras teriakan Mikaru, tapi makhluk itu mengabaikannya.
"Kemarilah, kau lapar bukan? di sini ada ban- (banyak)."
Tiba-tiba seseorang dari belakang menghampiri dan menutup mulutnya, "Ssstt… diam." ucap orang itu sambil menarik Mikaru pergi dari tempat itu.
Mikaru yang terkejut mencoba memberontak melepaskan tangan yang menutup mulutnya.
Dengan cepat ia memukul orang itu dengan tangan kiri lalu menendangnya, "Siapa kau ?!" tegas Mikaru sambil menatap tajam ke orang itu.
Orang itu tersungkur dan berkata, "kecilkan suaramu, ada banyak mahkluk aneh disini" ucap orang itu lalu berdiri kembali mengajak Mikaru untuk pergi. "Sebaiknya kita berkumpul dengan yang lainnya, di sini tidak aman."
Mendengar kalimat berkumpul, Mikaru berfikir bahwa masih banyak manusia yang selamat setelah bencana itu terjadi. Lalu ia menerima ajakan pemuda tersebut.
Kota Jambi yang terhisap oleh lubang hitam, berpindah menuju bagian lain dari Bumi. Posisinya berada jauh di utara Benua Antartika pada peta dunia (± 20000 km dari Benua Antartika). Beberapa manusia yang selamat diantaranya Mikaru Donpa, putra tunggal dari keluarga yang sederhana. Ayahnya wafat saat usianya 5 tahun, diketahui ayahnya seorang jurnalis. Sementara ibunya hanya ibu rumah tangga.
Mikaru Donpa berusia 19 tahun, siswa SMA 5 kota Jambi. Tanpa sosok seorang ayah, ia tumbuh menjadi anak yang nakal, kerap bolos dan berkelahi.
Setelah diselamatkan oleh pemuda itu, mereka berdua menyisir gang-gang kota menuju titik di mana orang-orang yang berhasil selamat, berkumpul. Tanpa bekal cahaya, mereka berjalan cukup hati-hati.
Sambil mengarahkan telunjuk pada makhluk yang ada dibalik gumpalan asap Mikaru bertanya. "Kenapa ada singa di kota, dan itu sangat besar?"
Melirik ke arah yang dimaksud Mikaru, orang tak dikenal itupun menjawab, "Itu bukan singa! Sebaiknya kita pergi ke tempat yang lebih aman dulu."
Pemuda itu menopang Mikaru dengan sangat hati-hati. Karena jalan yang begitu kotor, serta berantakan. Luka parah yang ada ditangan kanannya, meninggalkan bercak darah disetiap langkah yang ia lewati. Lemas, pusing, dan mual. Begitulah kondisi Mikaru pada saat itu. Disela-sela perjalanan, Mikaru terus memperhatikan sekitarnya. Ia melihat di beberapa tempat, makhluk yang sama tampak seperti tidak berbahaya dan mengacuhkan mereka.
Mikaru dibuat bingung dengan apa yang dilakukan makhluk itu, hingga mengacuhkan panggilannya tadi.
Langkah mereka terhenti sejenak, saat terdengar teriakan perempuan.
"Aaaaa...."
Cukup keras teriakan perempuan itu.
"Sebentar...."
Mikaru yang memberi arahan pada pemuda itu untuk segera menghentikan perjalannya.
"Ayo kesana...." ajak Mikaru.
"Oh ayolaaahhh... di sana berbahaya, hey...!" Mau tak mau pemuda itupun mengikuti Mikaru.
"Tolong ...!" Kali ini, teriakan dari perempuan itu sangat keras.
Dari selah reruntuhan bangunan ia mendengar teriakan perempuan itu semakin jelas.
Sesampainya di ujung gang sempit, kedua mata mereka tertuju langsung ke sosok makhluk yang memangsa perempuan itu.
Dari apa yang mereka lihat, seekor makhluk besar tengah mencengkram seorang gadis. Tidak dapat dipastikan itu makhluk apa, karena kondisi pencahayaan yang begitu kurang hanya menampilkan sesosok bayangan hitam menyerupai singa dengan surai tebal. Teriakan perempuan itu hilang bersamaan dengan bunyi geraman dari mahkluk tersebut.
"Kryuk... kryuk"
"Grrhhh...."
Sambil mengunyah makhluk itu menggeram seperti seekor anjing yang tak ingin berbagi makanannya.
Terbujur kaku Mikaru menyaksikan momen mengerikan itu. "Aa-apa itu?" Tubuhnya bergetar, melihat makhluk setinggi 4 meter melahap wanita itu lalu meraung dengan sangat keras.
"Ayo cepat, kita pergi dari sini." Bergegas pemuda itu mengajak Mikaru untuk segera pergi.
"Makhluk apa itu." Dengan nafas terhenga-henga Mikaru bertanya pada orang yang menopangnya.
"Aku juga tidak tahu itu makhluk apa...." Mempercepat langkah kaki ia mencoba menjelaskan pada Mikaru. "...yang kutau, saat mereka sedang makan, mereka mengabaikan sekitarnya. Makhluk itu tampak sangat menikmati makannya, jadi sebelum makanannya habis, sebaiknya kita sudah jauh meninggalkan mahkluk itu." ungkap pemuda itu.
10 menit berlalu setelah melewati gang-gang sempit, mereka sampai pada sebuah bangunan kecil yang hampir roboh. Segera orang itu mengunci pintunya. Di dalam ruangan tersebut ada tujuh orang yang telah menunggu, "Bagaimana, ketemu?" ucap seorang perempuan bertanya pada pemuda yang membawa Mikaru. "Aku hanya menemukan perban dan orang ini...." jelasnya.
Datang seorang wanita mengambil perban yang dibawa orang itu, lalu mendekati Mikaru, "Hentikan dulu pendarahannya...." ucap wanita itu sambil memperhatikan luka yang ada di tangan kanan Mikaru.
"Ru-Ru-Rumia...!"
Mikaru terkejut dengan sosok perempuan cantik yang menghampirinya.
Rumia Vermilion seorang gadis muda yang sangat cantik. Ia satu sekolah dengan Mikaru, usianya 16 tahun, terbilang cukup muda dengan segudang prestasi yang ia capai hingga mendapatkan rekomendasi kenaikan satu tingkat lebih cepat saat ujian kenaikan. Rumia sendiri adalah sosok perempuan yang sangat diidamkan Mikaru.
Senyum kebahagiaan tampak diwajah Mikaru, seakan penghapus segala luka yang dialaminya. Ia memegang pundak Rumia dengan tangan kirinya. "Bagaimana keadaanmu? apa kau terluka?"
"Kau lah yang harusnya dikhawatirkan." jawab Rumia sambil membalut luka Mikaru.
Senyum lega diiringi air mata Mikaru menjawab. "Syukurlah...."
"Oh iya kita belum berkenalan." potong pemuda tadi yang membawa Mikaru. "Namaku Sigit."
"Aku Ririn, salam kenal." sambil tersenyum.
"Aku Randy." sambil melihat jendela mengintai keluar.
"Aku Rama, senang bertemu." ucapnya sambil mengintai dari jendela satunya lagi.
"Yooh! aku Agung...."
"Dan aku Aprizal, kami akan kembali kevbelakang. Senang bertemu denganmu kawan." Agung dan Aprizal bertugas mengawasi jendela dari ruang belakang.
"Aku Mira, senang bertemu." Sedikit jutek Mira kembali bertanya pada Sigit. "Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang ?".
"Kurasa, menetap dan berdiam diri pun berbahaya" jawab Sigit.
"Jadi, kita pergi dari sini?" tanya Mira.
"Sebaiknya...." jawab Sigit.
Sebelumnya, Mikaru mencoba bunuh diri dengan cara menjadi mangsa hewan buas yang ia temui, namun setelah bertemu Rumia.
"Syukurlah, kau baik-baik saja...."
Senyum lebar tak henti-hentinya, memperlihatkan rasa syukur yang begitu dalam, semua itu tergambar jelas dari matanya yang berkaca-kaca melihat Rumia.
Sambil membaluti perban Mikaru, Rumia menjawab. "Harusnya aku yang mengatakan itu."
"Oh iya ponselmu, kau meninggalkannya di meja kelas." ucap Mikaru sambil memeriksa saku celana dengan tangan kiri.
"Nanti saja, aku lebih khawatir dengan tangan kananmu." ucap Rumia melihat luka Mikaru yang tampak parah.
"Apa sebegitu parah?" Kurangnya cahaya, membuat Mikaru tidak dapat melihat luka sepenuhnya.
"Sigit...." panggil Rumia.
"Ada apa?" sambut Sigit.
"Kau punya ponsel?" tanya Rumia.
"Oh punya, kenapa?" jawab Sigit.
"Pinjam sebentar."
Setelah cahaya ponsel di arahkan ke tangan kanan Mikaru, tampak tulang di lapisi gumpalan daging yang tercabik-cabik.
Mikaru kehilangan banyak darah dan lukanya akan segera infeksi jika tidak segera di atasi.
Menyadari luka sebenarnya, secara tak terduga Mikaru pingsan tak sadarkan diri.
Dua jam sebelum berkumpul, Sigit dan Rama berlarian mencoba menyelamatkan diri dari teror makhluk yang tak ia ketahui. Sigit dan Rama menemukan sebuah bangunan usang tampak seperti bekas ruko penjualan perabotan. Di sana mereka berdua bersembunyi.
Mereka berdua kerap kali menjumpai orang-orang yang berlarian melewati tempat itu. Merasakan hal yang sama dengan apa yang mereka rasakan sebelumnya. Sigit dan Rama mengajak siapapun yang mereka temui untuk menetap di tempat itu.
Namun, beberapa dari orang yang mereka temui, mengalami luka dan dehidrasi kekurangan cairan. Hingga akhirnya Sigit pergi bersama Rama mencari obat-obatan dan persediaan makanan dan minuman di bangunan dekat dengan tempat persembunyian mereka.
Setelah mendapatkan perbekalan, Rama dan Sigit hendak kembali ke tempat perkumpulan mereka. Namun di tengah perjalanan mereka, Rama dan Sigit mendengar teriakan seseorang.
Sigit meminta Rama untuk kembali lebih dulu membawa perbekalan yang telah mereka dapatkan. Sementara Sigit memeriksa sumber suara yang tak jauh dari posisinya. Di sana ia melihat seseorang yang nekat melempar makhluk itu dengan sebuah batu.
Melihat kejadian itu, Sigit berlari mencegah perbuatan orang itu.
Di sana ia bertemu dengan Mikaru Donpa.
Kini, Mikaru Donpa dan kedelapan orang yang berhasil selamat, tengah mempersiapkan diri untuk pergi dari tempat itu.
Beberapa jam setelah terdampar di daratan tak dikenal, Mikaru bertemu dengan sembilan orang yang bersembunyi di sebuah bangunan usang hampir hancur. Diantara mereka ada Rumia, merupakan teman sekolah Mikaru Donpa.
Perlahan Mikaru membuka mata. "Akh ...," desah Mikaru saat kesadarannya mulai kembali.
Melihat pergerakan Mikaru, Sigit bertanya mengenai kondisi Mikaru.
"Bagaimana? apa sudah baikkan?"
"Kau beruntung, lukamu cepat sekali sembuh,"
sambung Mira menatap luka Mikaru.
Sambil memperhatikan luka ditangan kanan Mikaru, Sigit menjawab pertanyaan Mira.
"Kurasa ini efek dari lubang hitam itu?"
"Yah, kurasa begitu," lanjut Mira, membalikan badan.
"Baiklah, bisa kita pergi dari tempat ini?"
"Tu-tunggu ...," tanya Mikaru tampak kebingungan melihat wajah Mira.
"Ma-?" melihat ekspresi Mira yang acuh membalikan badan, pandangan Mikaru teralih ke Sigit. "Mau kemana?"
Sambung Rumia. "Sudah, kita ikutin saja." Senyum lembut seraya menggenggam tangan kiri Mikaru.
Fokus Mikaru teralih pada tangan Rumia yang menggengam tangannya. "Ta-tanganmu, kenapa?" Melihat perban yang menutupi pergelangan tangan Rumia.
"Tidak usah khawatir, ini hanya luka ringan," jawab Rumia sambil melirik ke teman-teman lainnya.
Sigit mendekati Mikaru lantas menjelaskan. "Semua orang yang ada di sini mengalami luka ringan dan luka bakar. Kau mungkin tidak merasakannya karena kesadaranmu hilang. Saat berada di dalam lubang hitam, kita terlempar sangat cepat hingga mengakibatkan gesekan pada udara. Beruntungnya kulit kita semua tidak mengalami luka yang cukup parah," penjelasan Sigit kepada Mikaru.
Mikaru melirik tangan kanannya dan memperhatikan pakaian yang ia kenakan, memang ada beberapa bagian bekas bakar.
"Kurasa, jika saja aku tidak berada ditumpukan mayat itu, mungkin aku sudah mati saat mendarat,"
gumam Mikaru melihat pakaiannya penuh bercak darah.
Sigit mengira bahwa luka bakar yang mereka alami adalah dampak dari gesekan udara. Sebenarnya itu adalah efek dari mana yang besar dan mengakibatkan manusia bisa mati dengan berbagai kondisi, seperti melebur, terbakar, meledak, dan bahkan diantara mereka ada yang meleleh.
Ada begitu banyak efek samping yang diakibatkan mana.
Mana adalah energi sihir yang tercipta dari energi makhluk hidup dan energi alam, seperti reaksi atom antara fisi yang bertemu dengan fusi. Begitu pula dengan mana.
Namun, siapa makhluk yang bertanggung jawab atas terciptanya lubang hitam itupun masih belum diketahui.
Dari sudut ruangan Mikaru melihat Sigit dan yang lainnya tengah berdiskusi.
"Kita berjalan melewati gang sempit atau memasuki bangunan kosong...?" memintak pendapat dan saran pada teman-temannya Sigit bertanya.
menyambung pertanyaan Sigit, Randy memberi pendapat "Dari pada memutar melewati gang, kenapa tidak berlari saja ke depan...".
menyilangkan tangan seolah tampak sedang memikirkan sesuatu, Sigit menjawab "Tempat terbuka sangat beresiko...".
menanggapi ucapan Sigit, Mira menjawab "Maksudmu makhluk itu?".
seolah mengerti maksudnya, Sigit menjawab "Itu benar, tapi jalur manapun," ucap Sigit menatap serius kearah jendela. "Semua jalan yang kita pilih memiliki resiko."
Keputusan telah diambil, kini mereka memutuskan pergi mencari jalan keluar. Suasana masih mencekam, rasa takut akan ketidaktahuan terhadap lingkungan membuat mereka kerap kali terkejut oleh suara-suara ledakan dan teriakan dari kejauhan. Bahkan, diantara suara itu mereka mendengar raungan layakanya singa yang mengaum sangat keras.
Sambil melihat kondisi kota yang porak-poranda Ririn berkata. "Entah kenapa aku merasa aman ditempat tadi."
Menanggapi ucapan Ririn. "Di tengah-tengah teriakan yang kita dengar ini, kau merasa aman?" jawab Mira dengan tatapan tajam.
Kecemasan Mira membuat dirinya tidak merasa nyaman selama ada disituasi ini, berbeda dengan Ririn.
Mira adalah karakter yang dingin. Ia akan pergi bila merasa dirinya tidak nyaman, sekalipun ia harus meninggalkan teman-temannya.
"Ta-tapi, kita bisa menunggu seseorang yang akan menolong besok pagi kan?" jawab Ririn terbata-bata.
Tersenyum Mira mendengar ucapan Ririn.
"Jika kau merasa aman di sana, kembali lah dan kami akan terus melanjutkan perjalanan kami."
Merasa apa yang diucapkannya itu salah, lantas Ririn meminta maaf. "Ma-maaf ...."
"Sudah-sudah hentikan ...," Sigit menengahi Mira dan Ririn.
Umumnya manusia memiliki kecemasan dan ketakutan akan sesuatu bahaya yang hendak menjumpai mereka. Ririn dan Mira merasakan hal itu, namun kepribadian mereka berbeda. Mira memilih untuk segera meninggalkan tempat itu sementara Ririn lebih memilih berdiam menunggu seseorang datang menolongnya.
Berbekal cahaya ponsel, kelompok mereka berjalan melewati gang-gang sempit yang dipenuhi dengan puing-puing dari reruntuhan bangunan. Kondisi jalan yang seperti itu mengharuskan mereka untuk berhati-hati saat berjalan. Salah sedikit saja bisa melukai kaki mereka.
"Eeeh?" Ririn tampak kebingungan melihat ponselnya.
Pandangan Sigit teralih menanggapi Ririn. "Ada apa?" tanya Sigit.
Tampak kebingungan Ririn memperhatikan ponsel dan jam tangan yang ia kenakan. "Pengaturan waktu ponsel dan jam tanganku tidak berfungsi."
"Ah bener ...," sambung yang lainnya. "Iya ponselku juga."
Mereka semua dibuat panik dengan pengaturan waktu yang tidak berkerja di tempat itu. Tak hanya jam digital, jam analog pun juga tidak berkerja.
Sigit mencoba menyimpulkan apa yang terlintas dipikirannya. "Mungkin rusak atau terbentur."
"Jika rusak, harusnya ponsel ini mati kan?" jawab Ririn.
Perjalanan mereka terhenti sesaat memperhatikan aksesoris mereka, namun gerak gerik mereka ternyata telah diintai oleh dua makhluk misterius dari atap bangunan. Seakan makhluk itu menunggu momen yang pas untuk menerkam buruannya.
"Tapi, ponsel ini masih hidup ...," ucap Ririn sambil memperlihatkan ponselnya.
"Kau benar, ponselku juga," sambung Aprizal.
Mereka pun bersama-sama memperhatikan ponsel. Di sisi lain makhluk misterius yang mengintai merek tengah menanti waktu untuk melakukan penyerangan.
Kewaspadaan mereka berkurang saat memperhatikan ponsel. Dan tiba-tiba dari atap bangunan ada dua ular yang menyerang Agung dan Aprizal tanpa tau kedatangannya dari mana. Seketika ular itu langsung melilit mereka berdua.
"Aa-apa ini?" ucap Aprizal sambil mencoba melepaskan lilitan ular tersebut.
"Aaaa ... to-tolong!" teriak Agung.
Tepat dihadapan Mikaru, ular raksasa melilit Aprizal dan Agung hingga terdengar suara otot dan sendi-sendi pecah dari mereka berdua.
"To-tolong aku," ucap Agung terbata-bata menahan sakit dari lilitan ular.
Mira yang panik, tanpa pikir panjang langsung berlari meninggalkan yang lainnya.
"Mira ...! tunggu ...!" teriak Sigit.
Mereka pun memilih lari meninggalkan Agung dan Aprizal. Keadaan yang mengharuskan mereka untuk melakukan hal tersebut, karena rasa takut, panik dan tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan mereka berdua.
Rasa takut dan cemas membuat langkah mereka tak berirama berlari lurus tak tentu arah. Rama yang berlari mengikuti Mira tersandung lalu terjatuh.
"Aaakkkhhh ...!!!" teriak Rama.
Mendengar teriakan Rama yang ada di belakang nya, Sigit berteriak "Mira tunggu ...!!"
Langkah Mira semakin cepat meninggalkan teman-temannya, Sigit yang melihat Rama terjatuh, berbalik arah menghampirinya.
"Kau tidak apa-apa Ram?" tanya Sigit mengulurkan tangan.
Sambil memegangi pangkal paha Rama berucap "Ka-kakiku ...."
Keadaan saat itu sangat gelap, Sigit tidak dapat melihat luka pada rama dengan jelas.
Ririn dan Randy berlari di belakang mereka dan tiba bersamaan menghampiri Rama dan Sigit. Menghela nafas karena berlari terlalu cepat. "Di-dimana Mira?" tanya Ririn.
"Aku kehilangan dia." Sambil melihat kearah depan. "Dia berlari terlalu cepat," ucap Sigit.
"Rama, bagaimana keadaanmu?" tanya Ririn.
Dengan nafas terengah-engah Rama menjawab. "Sepertinya ada sesuatu yang menusuk kakiku."
Mencoba menerangi luka Rama dengan cahaya ponsel, tampak besi runcing menancap dipangkal paha Rama. Randy mencoba melepaskan besi yang menusuk di pangkal paha Rama. Namun, saat hendak menolong seekor mahkluk raksasa menerkam Randy dari belakang.
Mahkluk setinggi 4 meter menyerupai singa dengan surai tebalnya mengaum sangat keras hingga membuat jantung mereka berdetak tak beraturan. Kaki kiri bagian depannya mengunci pergerakan Rama seolah-olah menahan mangsa agar tidak melarikan diri.
Rama yang berada di bawah kaki mahkluk itu berteriak meminta pertolongan.
"Ma-mahkluk apa itu?" terbujur kaku Ririn melihat mahkluk yang menerkam Randy.
Segera Sigit menarik tangan Ririn lalu berlari pergi.
Tatapan kosong dari raut wajah Ririn, seolah-olah tak percaya bahwa semua ini nyata. Ia sudah menyaksikan empat orang yang dia kenal dimangsa oleh makhluk itu
Saat berlari isak tangis Ririn berteriak minta maaf, mendengar jeritan Rama dari kejauhan.
Diiringi raungan mahkluk itu yang meyakinkan mereka untuk pergi meninggalkan Rama. Sigit bergumam. "Maafkan aku."
Makhluk setinggi 4 meter dengan surai tebal dan kepala yang menyerupai singa. Makhluk ini juga memiliki tanduk seperti seekor kambing dan ekor panjang yang ada di belakangnya merupakan seekor ular yang tampak hidup seperti memiliki kesadarannya sendiri.
Wujud yang tak biasa dilihat ini membuat Mikaru dan Rumia terpaku di belakang makhluk itu, tepat di belakang ekornya.
"Makhluk apa itu?" bisik Mikaru melihat makhluk yang ada dihadapannya.
Mikaru dan Rumia yang tertinggal saat berlari mengikuti Mira, tiba disaat yang tidak tepat. Ketika, seekor chimera tengah menyerang Rama dan Randy.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!