NovelToon NovelToon

Pendekar Mata Dewa

PROLOG-MUSIM PERTAMA 7 SURGAWI

Air laut membuat pasir basah dan surut. Sebuah perkotaan yang berdiri di tengah laut sudah kacau. Jejak yang di atas pasir lalu seruan para pendekar pun terdengar begitu keras memekakkan kedua telinga.

Senjata berupa pedang, belati, racun, busur dan panah, semua itu mereka gunakan hanya untuk membunuh satu-satunya pemuda yang buta. Tidak bisa melihat di sekitarnya sama sekali, justru menjadi sasaran empuk bagi mereka namun tak seorang pun yang dapat menyentuhnya kecuali para pemimpin beberapa kelompok kecil.

Mereka berasal dari tanah yang gersang sama seperti pemuda buta tersebut. Hingga akhirnya perang itu terus berlanjut ke satu kota ke kota lainnya sampai berakhir di dekat perairan, sebuah laut.

Akan tetapi, para pemimpin kelompok kecil tersebut didesak oleh seorang pria yang mempunyai kuasa dan kekuatan yang lebih kuat dari mereka. Memprovokasi lalu membantai semua orang yang di sana, tak menyisakan satu pun termasuk teman si pemuda buta itu.

Pemuda buta, ia tak bisa melihat karena kedua matanya sudah tidak ada. Karena itulah ia disebut sebagai orang buta, namun di kala perang saudara itu terjadi, secercah cahaya terlihat jelas dari kedua mata yang seharusnya tidak ada.

Semua musuh yang berusaha keras untuk membunuhnya pun akhirnya diluluh lantahkan. Konon, banyak penduduk yang tersisa bercerita bahwa sosok dari pemuda buta itu sudah jelas berbeda dari sosoknya dulu.

Sosok dengan bergelimpangan darah yang kini menjadi penguasa wilayah timur tengah.

Ia menatap genangan darah dari para mayat pendekar, terus mengalir ke arahnya sampai jatuh memenuhi laut yang terbakar oleh bara api.

Laut Merah. Itulah sebutannya.

***

5 tahun berlalu. Di bagian wilayah timur laut.

“Kau takkan pernah tahu wujudnya, karena dia tidak pernah keluar dari tempat itu.” Seorang pria tengah berbicara pada temannya.

“Haha ...itu benar. Tapi bagaimana dengan rumor ini?” Salah seorang pria yang berada di dekatnya mendekati pria yang tadi memulai pembicaraan. “Dia seorang pria dengan dua pedang dan sehelai kain yang menutupi kedua matanya. Rambutnya panjang berwarna hitam tapi sangat tipis. Bagaimana?”

“Hah, apa itu? Mana ada orang yang ...” Pria itu hendak bicara lagi namun kalimatnya terhenti karena kedatangan seorang asing.

Di suatu kedai yang ramai akan pelanggan di sana. Ruangannya cukup besar untuk dikatakan sebagai kedai kecil. Hari itu, seorang pria yang barusan dibicarakan datang dan duduk dengan tenang di salah satu tempat duduk yang ada.

Pria itu berambut hitam panjang dan tipis. Seikat kain menutupi bagian penglihatannya, lalu dua pedang yang terselip di pinggang. Jelas saja bahwa pria itu mirip seperti rumor yang tersebar di wilayah ini.

“Jangan bercanda! Itu tak mungkin!” seru pria berjenggot tipis yang kemudian pergi setelah menggebrak meja dengan keras.

Wilayah ini adalah wilayah timur laut. Pria dengan seikat kain sebagai khasnya terkekeh-kekeh setelah menatap langit di atas. Lalu menghela napas panjang, kemudian berjalan hendak masuk melewati gerbang suatu istana.

Istana Wulan.

Para pengawal yang ditugaskan menjaga gerbang pun tersentak akan keberadaan pria itu. Sebab, ia tiba-tiba datang tanpa suara. Mereka bertanya siapakah dia.

“Aku?” Pria itu menunjuk dirinya lalu beberapa saat kemudian ia tersenyum. “Aku adalah penguasa bagian wilayah timur tengah, Asyura!” Begitu nama dari penguasa yang terkenal kejam itu disebut, mereka terkejut dan bergidik ketakutan.

Tak lama, ia masuk ke dalam. Dan menemui seorang raja, penguasa di wilayah timur laut. Duduk di singgasana istana Wulan, menatap tajam padanya dengan sombong.

“Apa yang kau inginkan? Perang?” tanya Yang Mulia Raja Ming.

“Jika bisa, saya ingin menghindari perang. Bagaimana jika kita menyatukan bagian timur ini?” Asyura mengajukan permohonan secara langsung kepadanya.

Raja itu sedikit tersentak. Beberapa pengawal yang berada di luar dan dalam di ruang singgsana juga mengeluarkan ekspresi yang sama. Diam tak bergeming sedikit pun.

Yang Mulia Raja, penguasa wilayah timur laut itu berkata, “Kudengar dirimu adalah penguasa yang kejam, tapi dibalik itu aku tak percaya. Tapi aku tak meragukan kemampuanmu. Asyura,” tutur sang raja yang kemudian bangkit dari singgasana.

“Tapi dengan syarat. Menikahlah dengan putriku, Ming Yu Jie!” imbuh sang raja.

Asyura terdiam lantaran wajah yang ia tunjukkan adalah sebuah kecemasan.

001. Asyura Sang Penguasa Wilayah Timur Tengah

Di suatu kedai yang tempatnya luas, ramai akan pelanggan yang mengantri menunggu makanan datang. Suatu waktu, terdapat dua orang pendekar tengah berbincang-bincang. Mereka sedang membicarakan seseorang.

“Kau tahu kabar burung yang tersebar, bukan? Dia katanya adalah pria kolot dengan rambut panjang tipis berwarna hitam. Kemudian kedua matanya terikat kain, dia itu buta! Tapi anehnya dia juga menyimpan dua pedangnya,” ucap pria itu antusias sekali menceritakannya. Pria yang disebelahnya pun mengangguk-ngangguk paham.

Tidak lama setelah mereka membicarakan seseorang itu, orangnya datang. Pria dengan segala ciri-ciri yang barusan disebutkan itu datang dan ikut mengantri makanan yang ia pesan.

Dahulu, perang yang terjadi di wilayah timur tengah adalah perang saudara. Suatu pulau yang dikenal sebagai pulau KT, Ketingkatan Pendekar itu diluluh lantahkan oleh pemuda yang bernama Asyura. Dan sekarang pemuda tersebut masih hidup dan dikenal sebagai penguasa wilayah timur tengah yang bengis.

Tak seorang pun tahu wujudnya, tak banyak orang pula yang tahu akan kebenarannya. Namun, kabar burung yang tersebar dari mulut ke mulut pun akhirnya mulai terungkap begitu kedatangan seorang pria yang benar-benar mirip dengan penguasa wilayah timur tengah yang kejam.

“Paman, aku pesan 1 makanan di sini. Dan aku harap itu yang paling enak dari semua yang ada.” Asyura memesan makanan untuknya yang lapar. Kemudian ia berbicara lagi, “Hei, boleh aku tahu di mana aku harus bertemu dengan penguasa wilayah timur laut?” tanya pria itu. Sontak membuat semua orang yang mendengarnya terkejut dalam keheningan.

Semua orang di sana menatap tajam pada satu-satunya pria yang berdiri dan membicarakan tentang penguasa di wilayah itu.

“Tidak mungkin itu adalah dia!” pekik salah seorang pria berjenggot tipis, menggebrak meja dengan keras lalu pergi.

“Tidak, sepertinya kita harus menangkap dia dahulu agar tahu bahwa itu benar atau tidak,” sahut pria yang memakai akalnya.

Begitu ia bicara, semua mata tertuju pada pria itu sekali lagi. Menatap Asyura dengan tajam dan bersiap menangkapnya. Senjata yang mereka pegang pun kini siap untuk diasah kembali.

“Hanya seorang diri? Heh, mana mungkin dia bisa kabur!”

Dan itu benar! Ada puluhan orang di dalam kedai, belum lagi yang ada di luar jika mereka tahu hal ini. Asyura yang sadar jika dirinya telah diincar, ia pun segera melarikan diri dari sana secepat mungkin.

“Ya, ampun. Jangan lagi, memangnya aku sebengis itu? Mau makan saja susahnya minta ampun,” keluhnya dengan mengerutkan kening.

Asyura berlari sekencang mungkin, keluar dari kedai. Puluhan orang mengejarnya sembari mengacungkan pedang di tangan mereka, sorakan juga terdengar seolah-olah perang terjadi.

“Kejar dia!”

Berlari melewati banyak penduduk biasa, menerobos kawasan pasar yang sama ramainya. Di kala, ia berlari dikejar mereka tanpa henti, perutnya keroncongan karena lapar. Karena sebelum ini ia tak sempat makan, terbesit olehnya untuk mengambil satu buah yang dijual di pasar.

“Bi, nanti aku bayar!” ucapnya sambil mencuri buah itu.

Di tengah perjalanan dirinya dikejar, seraya ia memakan buah yang tadi dicuri, tampak ada sebuah pondok kecil yang terlihat sekilas olehnya. Ia memutuskan untuk mengumpat di dalam sana sebentar.

“Tadi dia berlari ke arah sini.”

“Hei, bukankah ini aneh?” tanya seorang pendekar. “Itu, dia 'kan buta. Tapi kenapa bisa berlari sekencang itu tanpa tongkat?” Pertanyaan yang ia lontarkan sungguh logis. bahkan Asyura sedikit tersentak saat mendengarnya.

“Duh, itu ada benarnya. Mana ada orang buta bisa berlari sekencang itu. Tapi ini aku, aku memang buta tapi di satu sisi juga tidak,” batin Asyura. Merasa sudah tak nyaman lagi, ia segera mengendap-ngendap keluar menghindari mereka.

“Hei, ternyata dia di dalam? Kurang ajar sekali!” seru salah seorang pendekar yang memergoki Asyura.

Entah mengapa keberadaan dirinya benar-benar mencolok, Asyura kembali berlari sekuat tenaga karena memang tidak ada keinginan untuk melawan. Banyak dari mereka berpikir bahwa ia lemah setelah perang saudara itu, tapi siapa yang tahu bahwa itu tidak benar?

Berlari mengikuti arus sungai, menyebrangi jembatan kecil yang kemudian ia buat setengah rusak dengan pedangnya. Begitu mereka melewati jalan yang sama dengannya, otomatis jembatan itu akan ambruk dan menceburkan mereka ke sungai.

Namun, masih ada beberapa orang yang gigih mengejar Asyura. Jengkel karena tak bisa beristirahat, begitu matanya melihat ke arah sungai yang sedikit berbeda, tanpa berpikir panjang ia melompat menceburkan dirinya.

Byurrr!

Sesaat gelombang sungai menjadi besar lalu kembali tenang. Orang-orang yang tadi mengejarnya mulai kebingungan.

“Hei, ke mana lagi dia?”

“Mana aku tahu. Mungkin dia ada di sekitar sini? Mana mungkin juga, kalau dia jatuh ke sungai ini? Sungai ini 'kan dalam,” pikirnya.

Samar-samar mendengar mereka pergi, Asyura hendak kembali ke daratan namun tatapannya terfokus pada seorang wanita bergaun panjang tengah tenggelam ke dasar sungai. Asyura berenang ke arahnya dan menarik tubuhnya ke daratan.

“Huh, apa yang dia lakukan di sini? Bermain air sampai jatuh tenggelam?” pikir Asyura. Napasnya terengah-engah lantaran tenaga yang ia pakai untuk selama ini berlari mulai habis.

“Hei, kau! Siapa kau! Berhenti di sana!” seru seorang pria, tampaknya ia adalah pendekar yang punya kuasa dan harta jika dilihat dari pakaian yang ia kenakan.

Saat itu, setelah para pendekar kalangan biasa sudah tidak terlihat, ia justru bertemu dengan orang yang pangkatnya lebih tinggi. Tidak hanya satu, ada dua orang.

Angin mengelilingi mereka, samar-samar dedaunan yang jatuh terpotong seolah ada sesuatu yang menyelimuti diri mereka. Keduanya berparas sedikit lebih tua dari Asyura, menatap tajam dan bersiap menerjang.

“Tunggu, aku tidak begitu! Dia tenggelam bukan karena aku! Jadi, dengarkan!” kata Asyura meninggikan nada suaranya. Ia mulai kelabakan, berdiri menghadap mereka dengan basah kuyup.

“Menjauhlah dari Putri Yu Jie sekarang!” pintanya bernada tinggi.

Keduanya maju dan mengacungkan pedang mereka. Menyerang Asyura yang tengah dilanda kebingungan, secara tak sadar ia menghindar. Mengambil langkah mundur begitu angin dari pedang hendak menggores titik vital di setiap tubuh.

Di dekat sungai ada hutan kecil, namun tak bisa jika ia ke sana. Sebab yang ia khawatirkan bukan karena mereka yang akan mengejar di lapangan terbuka melainkan takut jika suatu waktu ia akan tersesat dan tak tahu jalan pulang.

Karena itulah, Asyura sebisa mungkin menghindarinya dan tetap berada di antara sungai dan hutan. Menghindari setiap gerakan mereka yang selaras dan terkadang menangkisnya kembali.

“Cu ...cukup! Berhenti di sana! Uhuk, uhuk ...” Wanita yang tenggelam itu berbicara dan seketika gerakan dari kedua orang penting itu berhenti.

Lalu mereka menghampirinya. “Putri Yu Jie! Anda tidak apa?” tanya salah satu dari mereka.

002. Pemimpin Wang

Saat sedang ingin makan siang, ia dikejar oleh para pendekar di kalangan biasa. Suatu ketika ia berhasil kabur dengan menceburkan diri ke dalam sungai, Asyura melihat seorang wanita tenggelam ke dasar sungai. Rasanya seperti laut, meski arus sungai tidak ada, entah mengapa setiap bergerak rasanya semakin diberatkan oleh beban yang ia tak ketahui.

Setelah menyelamatkan wanita itu dari ajalnya. Tak lama kemudian pendekar dengan kuasa dan harta datang. Terlihat dari pakaian yang ia kenakan adalah orang kaya dan penting di wilayah ini.

“Hentikan ini! Dia bukan yang membuatku tercebur ke dalam sungai yang dalam. Justru karena dialah aku selamat dari mara bahaya ini,” tutur wanita itu. Kedua orang itu memanggilnya seorang putri bernama Yu Jie.

“Berat juga kalau bertarung dalam kondisi basah. Lain kali aku takkan melakukannya lagi,” celetuk Asyura dalam benaknya seraya mengibaskan kedua tangan dan rambutnya.

“Putri Yu Jie, apakah itu benar?”

“Ya. Aku menjaminnya. Kau kemarilah,” pinta Yu Jie pada Asyura untuk menghampiri dirinya.

“Pertama, aku, Yu Jie berterima kasih karena kau telah menyelamatkanku. Lalu kuperkenalkan, pria dengan alis sedikit tebal ini adalah Wang Xian. Kemudian pria yang mengenakan baju hitam ini adalah Yang Jian. Mereka berdua adalah pemimpin kultus 7 Surgawi yang berada di bawah kaisar,” jelas Yu Jie yang kemudian terbatuk-batuk.

Pria bernama Wang Xian, melepas lapisan pakaiannya yang kemudian ia pakaikan untuk Yu Jie agar merasa hangat. Lantaran Yu Jie tak ingin pulang lebih dulu sebelum berbicara dengan Asyura.

Asyura menoleh ke arah mereka, lalu menghampirinya. Tetap berdiri menghadap mereka yang masih duduk menunggu Yu Jie.

“Ada butuh sesuatu?” tanya Asyura. Sama sekali ia tak menunjukkan kesopanan.

“Tidak. Aku hanya ingin berterima kasih padamu. Jika bertemu lagi, maka akan kuberi beberapa keping emas untukmu. Jadi, bisakah aku mengetahui siapa dirimu?” Yu Jie bertanya.

Asyura menyeringai. “Aku penguasa wilayah bagian timur tengah. Asyura!” ungkapnya tanpa basa-basi.

“Mana mungkin itu adalah kau! Siapa kau sebenarnya?” Wang Xian berteriak.

“Sudah kubilang bahwa aku adalah Asyura. Meski tak ingat nama margaku apa, tapi aku tetaplah dia. Dia adalah aku. Apa perlu kubuktikan?” Asyura bernada sok mengancam, setengah bilah pedang itu terlihat. Tanda ia bersiap menyerang mereka.

“Asyura? Memang benar kalau semua ciri-ciri dari kabar burung itu mirip denganmu. Tapi bagaimana mungkin orang buta berjalan tanpa dampingan sama sekali. Bahkan kau bisa berjalan, berlari bahkan menghindari seranganku.” Wang Xian kembali berbicara.

“Yang harusnya kau terluka hanya karena kekuatanku yang tidak menyentuh, tapi kau sama sekali tidak terluka. Siapa kau sebenarnya?” imbuhnya dengan bertanya.

“Wang Xian, dia tak mungkin bicara jujur kalau ada Yu Jie di sini. Lebih baik aku antarkan dia kembali ke Istana Wulan,” ujar Yang Jian. Ia membantu Yu Jie berdiri lalu menuntunnya kembali menuju istana.

“Pemimpin Wang, jika dia benar tentang identitasnya maka janganlah ke istana. Karena jika dia ke sana, maka dia akan menerima hukuman mati karena telah menyusup ke wilayah ini.” Yu Jie meminta dengan perasaan cemas. Kalut akan perasaannya sendiri.

Wang Xian mengangguk mengerti. “Baiklah, putri.”

“Putri? Dia itu sejenis tuan putri yang hidup mewah di istana, ya?” Dalam batin, Asyura bertanya-tanya mengenai keberadaan Yu Jie pada saat itu.

“Kau!” Wang Xian berdiri dan menatapnya lebih tajam. “Ikut denganku, sekarang.”

Karena merasa tidak ada pilihan lain. Dan jika asal menyerang maka dirinya mungkin tak selamat di wilayah ini, Asyura pun menuruti keinginannya.

Mereka melewati jalan yang sebelumnya Asyura gunakan. Termasuk jembatan kecil itu. Jembatan yang sudah rusak dengan beberapa orang yang kini terus mendengus kesal.

“Apa ini ulahmu?” tanya Wang Xian. Asyura mengangguk.

“Jembatan yang sudah dibuat susah payah jadi rusak. Kau harus tanggung jawab,” tukasnya dengan nada mengancam.

Tidak disangka bahwa Asyura akan kembali ke pondok kecil itu. Yang ternyata pondok kecil itu adalah milik Wang Xian. Beruntung, tidak ada barang atau apa pun yang ia sentuh di sana.

“Aku ingin diapakan?” tanya Asyura. Setelah Wang Xian menyuruhnya duduk, ia membawakan dua gelas berisi air tawar.

“Jangan buat aku kesal, wahai orang asing! Tidakkah kau mengerti bahwa pondok ini lebih berperasaan daripada dirimu?” ujarnya mendengus.

“Apa maksudmu?” tanya Asyura tak mengerti. Ia mendesah lelah.

“Ya. Pondok ini dibangun untuk tempat peristirahatan untukku atau yang lain juga bisa. Melindungi kita dari segala ancaman, hujan, angin kencang dan bencana lainnya,” tutur Wang Xian, kemudian ia meneguk segelas air miliknya.

“Tidak. Aku barusan dikejar sampai sini. Apanya yang melindungi kita dari segala ancaman?” Asyura melengos, tidak setuju dengan semua ucapan Wang Xian.

Tak!

Wang Xian menaruh gelasnya dengan kasar. Kembali ia menatap wajah Asyura dengan tajam, terbesit dalam benak bahwa pria yang berada di hadapannya ini benar-benar tidak buta.

“Beruntung kau bertemu dengan Yu Jie yang baik hati. Jika tidak, pasti sudah kuhabisi dirimu. Lalu, bisakah aku bertanya siapakah dirimu yang sebenarnya?”

“Sudah aku bilang. Aku ini penguasa wilayah timur tengah. Meskipun banyak orang bilang bahwa aku ini kejam, tapi lihatlah orang-orang yang tadi terjatuh di jembatan. Apakah ada yang mati? Tentu tidak, 'kan.” Asyura menjawab dengan seadanya.

“Tadi kau menyebut dirimu begitu. Lalu namamu adalah Asyura?” tanya Wang Xian memastikan.

Asyura kembali tersenyum dan berkata, “Benar sekali. Apa kau ingin membunuhku juga? Silahkan, itu jika kau bisa.” Asyura jelas meremehkan dan merendahkan harga diri seorang pendekar yang langsung berada di bawah perintah Yang Mulia.

Wang Xian berdiri. Menarik pedangnya dengan cepat mengarah ke pangkal leher Asyura. Tatapannya tidak berubah, Asyura yang mendongak ke atas pun tahu hal itu. Wang Xian menjadi marah.

“Jika bisa katamu. Kau yakin? Tidak menyesal akan keputusanmu,” ucapnya membuat suasana itu menegang.

Namun Asyura tetap menyunggingkan senyumnya seraya menggenggam bilah pedang dengan tangan kosong. “Aku sudah bilang, jika ingin membunuhku maka silahkan. Kalau kau bisa tentunya.” Dengan cepat pergerakannya tak bisa dilihat Wang Xian. Asyura berdiri sejajar dengan ujung pedang yang mengarah ke lehernya.

Mereka sama-sama berhadapan satu sama lain. Dengan acungan pedang yang mengarah leher mereka langsung, hanya dengan mendorongnya sedikit maka pasti salah satu atau keduanya akan terluka.

Dalam situasi keheningan, desiran angin tak jelas asalnya terdengar seolah membisikkan sesuatu ke telinga mereka. Cahaya masuk melewati setiap celah di pondok, keduanya terdiam saling menatap dengan tajam.

“Apa benar, kau adalah Asyura? Pendekar buta yang mampu membantai semua pendekar di kala itu?” Wang Xian kembali menanyakan hal tersebut.

“Jika kau ingin berkata bahwa, "Apakah aku benar-benar buta?", itu lebih baik daripada menerima mentah-mentah kabar burung tak jelas begitu. Lagipula membantai bukan kata yang cocok,” ketus Asyura.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!