Nala, Gadis remaja berusia 18 tahun yang terbilang cukup cantik dan manis. Sayangnya, gadis berambut panjang itu terhalang oleh modal untuk menunjang kecantikannya.
Walau begitu, Nala tetap bersyukur dan menerima hidupnya yang biasa saja. Terlahir dari rahim wanita yang bersuamikan tukang nasi goreng keliling.
Nala yang tumbuh hanya bersama dengan ayahnya itu menjadi gadis yang sedikit tomboi. Mungkin akan berbeda kalau ibunya masih ada untuk merawat dan membesarkannya.
Ya, ibu Nala (Rahma) telah lama tiada karena terkena serangan jantung saat adiknya sendiri menipunya sehingga harus meninggalkan hutang yang cukup banyak untuk Bobi, suaminya.
Seno, adik Rahma dengan berani meminjam uang ke rentenir dengan jaminan surat rumah Bobi dan Rahma yang ia curi.
Bahkan setelah mengambil rumah Bobi itu belum cukup untuk melunasi hutang dan bunganya.
Tidak mau tau, rentenir itu meminta pada Bobi untuk melunasi hutang Seno atau Nala akan mereka ambil untuk membayar hutang.
Setelah rumah Bobi terampas, Seno seperti hilang ditelan bumi. Bobi tak dapat menemukannya walau sudah mencari.
****
Setelah bertahun-tahun.
Malam itu, gerimis kecil sedikit membasahi topi Nala dan Bobi yang sedang berbahagia. Berjalan bersama dengan mendorong gerobak nasi goreng yang terasa sangat ringan untuk didorongnya pulang ke rumah. Dagangannya laris manis dan habis lebih awal.
Bobi dan Nala baru saja melunasi hutang Seno, terasa lega dan dapat menghirup aroma kehidupan setelah ini, Nala berharap kalau kehidupannya akan lebih baik dan dapat melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi tahun depan.
"Ayah, tahun ini kita bisa menabung untuk Nala kuliah, bukan?" tanya Nala dengan senangnya. Matanya berbinar, bibirnya tersenyum manis membuat Bobi tidak tega untuk mengatakan 'tidak'.
Bobi yang mendengar pertanyaan dari Nala yang sebenarnya adalah permintaan pertamanya itu merasa terenyuh.
"Kasihan kamu, Nak. Selama ini kamu sangat mengerti dan tidak pernah meminta apapun, maafkan ayah, sayang!" batin Bobi, matanya berkaca, dalam hati ia akan lebih semangat lagi untuk menjalani hidup demi buah hatinya.
Ya, karena selama ini hidup Bobi hanya untuk membayar hutang pada rentenir, hutang adik iparnya yang sangat mencekik kehidupan Bobi dan Nala.
Nahas, malam bahagia itu menjadi malam pilu saat tiba-tiba ada kendaraan yang menabrak gerobak Bobi yang sedang menyebrang jalan.
"Aaaaaaaa!" teriak Nala dan Bobi bersamaan saat terpental.
Beruntung, Nala hanya mengalami luka lecet di dahi, lengan dan kaki, berbeda dengan Bobi yang mengalami kecelakaan berat. Bobi terpental dan harus kembali tertabrak oleh kendaraan dari arah berlawanan.
"Ayah!" teriak Nala yang sempat melihat ayahnya terpental dan tertabrak oleh mobil bak.
Kemudian, pemilik mobil itu yang ternyata seorang wanita turun dan berteriak meminta pertolongan.
"Wiuwiuwiuwiu," suara sirine ambulan yang membawa Nala dan Bobi.
****
Di rumah sakit, di saat kritisnya, Bobi meminta pertanggung jawaban wanita paruh baya itu untuk menjaga Nala.
"Bu, tolong jaga anak saya. Anak saya tidak mempunyai siapa-siapa lagi," lirih Bobi. Setelah mengucapkan kalimat itu, Bobi sudah tidak bernyawa lagi.
"Ayah!" teriak Nala, seketika kehidupannya kembali gelap, hatinya kembali berwarna abu-abu, baru saja ia merasakan kelegaan dalam hidupnya dan sekarang ia harus kembali menelan pil pahit yang lebih pahit dari sebelumnya.
Nala merasa kalau hidup sangat tidak adil padanya. Seolah tak mengizinkannya untuk bahagia walau sekejap.
Nala seperti tak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia hanya bisa diam, menundukkan kepala dan tidak tau lagi harus berbuat apa setelah ini.
Amira berhasil membawa Nala pulang ke rumahnya yang besar bak istana, membuat Nala menghentikan langkah kakinya di pintu masuk.
"Apa aku yakin akan tinggal bersama dengan orang yang membuat ayahku meninggal? Apa aku akan kuat melihat wanita ini setiap harinya?" tanya Nala dalam hati.
"Nak, ayo masuk. Setelah pemakaman, kamu pasti lelah, ayo... istirahat dulu," ajak Amira seraya menyentuh lengan Nala.
"Ck," decak Nala seraya melepaskan tangan Amira dari lengannya.
"Kenapa anda membawa ku kemari?" tanya Nala seraya menatap dingin wajah Amira yang pucat. Ya, Amira juga merasa sedih dan merasa sangat bersalah karena telah menghilangkan nyawa seseorang.
"Saya akan bertanggung jawab," lirih Amira, menatap Nala dengan tatapan bingung.
"Kenapa? Apakah orang miskin seperti saya tidak dapat menuntut anda di meja hijau? Hah! Sudah pasti laporan saya ditolak atau akan kalah dipersidangan karena melawan orang yang ber-uang seperti anda, bukan?" geram Nala, gadis yang sudah berkaca itu ingin mengeluarkan semua kekesalannya, amarahnya, kebenciannya.
"Tidak, kalau kamu memang berniat menuntut saya, saya akan terima itu, saya akan menerima hukumannya," ujar Amira seraya menggenggam kedua tangan Nala.
Belum sempat Nala menimpali perkataan Amira, sudah datang Dhevan yang baru saja pulang lembur dari kantor.
"Ada ribut-ribut apa ini, Mah?" tanya Dhevan yang biasa di sapa Dhev.
"Dhev, ini urusan mamah. Masuk!" perintah Amira.
Tetapi, Dhevan yang merasa perduli dengan ibunya itu menolak untuk masuk, justru pria itu memandang rendah Nala.
Dhev menatap dari ujung kaki ke ujung kepala Nala, terlihat banyak luka lecet membuat Dhev berpikir kalau Nala akan memperalat Amira.
"Untuk apa kamu masih di sini? Kamu akan memperalat Mamah saya? Akan meminta pertanggung jawaban karena lecet ini ia?" tunjuk Dhev ke arah luka Nala.
"Dhev. Hentikan!" kata Amira.
Sementara Nala, hatinya sakit semakin sakit setelah mendengar ucapan Dhev.
"Apakah saya terlihat seperti itu? Bahkan untuk menginjakkan kaki saya di rumah ini saja enggan, jangan berburuk sangka, Tuan!" ucap Nala dengan tatapan mata tajamnya.
Amira memijit kepalanya yang semakin pusing, sedangkan Dhev belum berhenti juga.
"Lalu, untuk apa kamu masih di sini?" tanya Dhev dengan tatapan tak kalah tajam.
Mengerti dengan ucapan Dhev membuat Nala melangkahkan kakinya keluar dan Amira tidak tinggal diam.
"Nala, tunggu! Tolong dengarkan saya, saya mohon!" ucap Amira dengan bersujud di bawah kaki Nala.
Tidak lama kemudian, Nala yang lelah dan depresi itu jatuh dan dengan sigap Amira memangkunya.
Amira berteriak memanggil nama anaknya, "Dhev, cepat bantu Mamah!"
"Merepotkan!" ucap Dhev seraya mendekat.
"Kenapa, Mah. Kan ada security," jawab Dhev yang sudah berdiri di depan Amira.
"Cepat angkat! Bawa ke kamar Nindy!" teriak Amira dengan air mata yang deras mengalir.
Ya, Amira mengerti perasaan Nala yang baru saja ditinggal pergi untuk selamanya oleh orang yang sangat dicintai.
"Kenapa sih, emang siapa sih nih anak, bikin repot aja!" gerutu Dhev dalam hati. Walau begitu, Dhev melakukan apa yang diperintahkan oleh Amira.
Dhev membawa Nala ke kamar Nindy, adiknya.
Bersambung.
Amira segera memanggil dokter keluarga untuk memeriksa keadaan Nala yang memprihatinkan.
Setelah diperiksa dan diberi obat, Amira dan Dhev membiarkan Nala untuk istirahat.
Dan sebenarnya, Dhev tidak begitu menyukai gadis kecil itu menempati tempat tidur adiknya yang sedang studi di luar negeri.
Tetapi, Dhev tidak bisa berbuat apa-apa karena itu perintah dari Amira. Dhev yang merasa lelah segera pergi ke kamarnya sendiri.
Sementara Nala, ia tertidur dalam tangisnya yang masih tidak percaya kalau Bobi sudah tiada.
Walau matanya terpejam, sesekali terdengar suara isak tangisnya dan Amira yang masih berada di sana semakin merasa bersalah.
"Ya Tuhan, maafkan aku," lirih Amira seraya mengusap wajahnya.
Amira terus menunggu sampai tertidur di sofa kamar Nindy. Sekarang malam yang dingin dan kelabu itu sudah berganti waktu, pagi sudah memancarkan sinarnya dan Amira membuka mata sudah tidak mendapati Nala di ranjang.
Amira segera bangun dan mencari-cari keberadaan Nala.
"Nala!" seru Amira seraya keluar dari kamar, karena tergesa tak sengaja Amira hampir menabrak cucu kesayangannya yang berusia 7 tahun.
"Kenzo, kamu sudah rapi, mau sekolah, ya?" tanya Amira seraya membelai wajah cucunya.
"Iya, Oma kenapa? Siapa Nala?" tanya Kenzo seraya menatap Amira.
"Tante Nala, perempuan yang tomboi, semalam tidur di kamar ini, kamu lihat?"
Kenzo menjawab dengan menggelengkan kepala, setelah itu Kenzo pergi begitu saja turun ke lantai bawah.
"Mang Dadang, buruan! Ken nggak mau telat!" teriaknya, padahal yang diteriaki sudah menunggu di halaman rumah, sudah siap dengan mobilnya untuk mengantarkan Tuan Mudanya ke sekolah.
"Anak itu," lirih Amira seraya menatap Kenzo dari tempatnya berdiri.
"Kenapa, Mah?" tanya Dhev yang baru saja keluar dari kamar dengan menenteng tas kerjanya.
"Kamu lihat Nala?" tanya Amira dan Dhev menjawab dengan menggelengkan kepala. Setelah itu pergi meninggalkan Amira yang masih menatapnya.
"Ayah dan anak sama saja," kata Amira dalam hati.
Setelah itu, Amira menyusul Dhev untuk sarapan bersama. Di meja makan, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Lalu, Amira menanyakan tentang Nala pada asisten rumah tangganya yang sedang menyajikan teh dan kopi hangat.
"Bibi lihat perempuan yang semalam di kamar Nindy?"
"Perempuan yang tangan dan kakinya luka?"
"Iya, di mana dia?" tanya Amira dengan semangatnya.
"Tadi pagi pergi dari rumah, Nyonya," jawab Bi Rasiah, setelah itu bibi kembali bekerja.
"Hmmm." Dhev menggelengkan kepala melihat Amira yang terlihat cemas, walau begitu Dhev tidak ingin tau urusan tentang anak itu.
"Kamu harus bantu Mamah! Cari dia sampai dapat!" perintah Amira seraya bersedekap dada.
"Dhev sibuk, Mah. Kalau nggak sibuk nggak mungkin Dhev pulang larut malam, Dhev berangkat dulu," kata Dhev seraya bangun dari duduknya.
"Lalu, kapan kamu ada waktu untuk Ken?" tanya Amira masih dengan posisi yang sama.
Dhev mendengar pertanyaan itu tetapi memilih untuk diam, melanjutkan langkah kakinya.
****
Sementara itu, Nala sedang memeluk pusara ayahnya.
"Ayah, Nala tidak mau kehilangan ayah. Ayah kenapa pergi, seharusnya kita hidup bahagia saat ini," lirih Nala seraya menghapus air matanya.
"Nala sudah tidak punya siapa-siapa lagi, Ayah. Siapa yang akan menjaga Nala?" tangisnya.
Setelah itu, Nala merasakan kalau ponselnya bergetar, Nala merogoh saku celananya mengambil ponsel itu, baru saja Nala menggeser tombol hijau dan saat itu pula ponselnya mati karena kehabisan daya baterai.
"Ririn," lirih Nala saat mengetahui siapa yang menelepon. Ririn adalah sahabatnya, walau orang tua Ririn tidak menyukai Nala yang miskin. Keduanya menjalin persahabatan dengan sembunyi-sembunyi.
Sekarang, Nala bangun dari duduknya dan ingin segera bertemu dengan Ririn. Nala pergi ketempat mereka biasa bertemu, di taman dekat sekolah SMPnya dulu. Nala duduk di bawah pohon dengan menekuk lututnya, menyembunyikan wajahnya di sana.
Kemudian Nala merasakan tepukan di bahunya, benar saja, Ririn datang menemui Nala. Nala yang masih bersedih itu segera memeluk Ririn, menangis tersedu, sesenggukan sampai tenggorokannya tercekat.
"Kenapa?" lirih Ririn seraya mengusap punggung Nala, Ririn sendiri ingin bertanya banyak hal setelah melihat keadaan temannya yang sangat lusuh dan terdapat luka di kepala, lengan dan kakinya.
Ririn merasakan kalau pelukan itu semakin erat, bahkan Ririn yang belum mengetahui apa yang terjadi ikut menitikkan air mata.
Kemudian, Ririn melepaskan pelukan itu, merangkum wajah sahabatnya, menatap lekat wajah yang terlihat sembab, terlihat mata Nala yang membengkak.
Melihat itu, Ririn kembali membawa Nala ke dalam pelukan. "Nala, kamu bisa cerita kalau sudah tenang. Sekarang kita pulang dulu!" ajak Ririn dan Nala menganggukkan kepala. Sekarang, Ririn membantu Nala untuk bangun dari duduknya, menuntun Nala ke mobilnya.
Selama perjalanan pulang, keduanya hanya diam, terlihat Nala yang masih memejamkan itu tidak berhenti meneteskan air mata.
Sesampainya di rumah kontrakan yang kecil dan lusuh itu Nala memperhatikan di mana tempat biasa gerobak ayahnya berada, sekarang tempat itu kosong. Gerobaknya sudah hancur dan Nala tidak melihatnya lagi setelah masuk ke mobil ambulan.
"Ayah kamu kemana, Nala? Tumben gerobaknya nggak ada?" tanya Ririn dan Nala kembali menjawabnya dengan menangis membuat Ririn menjadi bingung, merasa serba salah dan tidak tau harus berbuat apa yang Ririn tau hanya bisa menemani dan berada di sisi Nala saat ini.
Nala merogoh saku celananya mengambil kunci rumahnya, membuka pintu lalu masuk ke kamar untuk mengganti pakaian.
Sementara Ririn yang sedang berdiri menunggu di depan pintu itu mendengar Nala berteriak memanggil ayahnya.
Ririn mengira kalau Bobi telah tega pergi meninggalkan Nala seorang diri, Ririn mengira kalau Bobi sudah tidak sanggup lagi menanggung beban hidup dan memilih untuk pergi.
"Tapi, paman bukan orang seperti itu, paman sangat menyayangi Nala, apa telah terjadi sesuatu dengan paman dan Nala?" tanya Ririn dalam hati.
Gadis dengan penampilan feminim itu mengetuk pintu. "Nala, buka pintunya!"
Tidak lama kemudian Nala yang sudah mengganti pakaiannya itu membuka pintu.
Berdiri dengan wajah yang ditekuk.
"Di mana paman?" tanya Ririn.
Nala mengangkat wajahnya dan dengan bibir yang bergetar Nala menjawabnya, "A-ayah... sudah tidak ada."
Setelah itu Nala berjongkok dan mengusap dadanya yang terasa nyeri, kemarin mereka masih merasakan kebersamaan, Nala membantu Bobi berbelanja bahan dagangan di pasar, sepulang dari pasar Nala melihat Bobi yang sedang mencuci gerobaknya, setelah itu Bobi yang mengolah semua bahan seperti menggoreng kerupuk, memasak ati dan ampela juga memasak ayam untuk campuran nasi gorengnya.
Ririn masih belum mengerti juga dan kembali bertanya pada Nala.
"Maksud kamu apa, Nala?" tanya Ririn seraya ikut berjongkok.
Nala mengusap air matanya, mencoba untuk tabah dan tersenyum pada sahabatnya.
"Kami kecelakaan," lirih Nala, bibirnya tersenyum tetapi kesedihan dari tatapan matanya tak dapat dapat di sembunyikan.
Bersambung.
Jangan lupa untuk klik like dan komen, tap lovenya juga ya 🥰
Sementara itu, di rumah Amira.
"Maaf, Nyonya. Saya tidak menemukannya di makam," kata Dadang.
Amira yang sedang duduk dan memijit pelipisnya itu merasa bodoh karena tidak menanyakan di mana alamat Nala.
"Ya sudah, kamu jangan lupa jemput Ken. Jangan sampai telat, nanti bisa runyam urusan," kata Amira mengingatkan.
"Baik, saya permisi," kata Dadang yang kemudian pergi dari hadapan Amira.
Tak berselang lama, Dadang kembali masuk ke ruangan Amira.
"Tok... tok... tok." Dadang mengetuk pintu.
"Masuk!"
"Maaf, Nyonya. Di bawah ada gadis itu bersama polisi." Dadang memberitahu dengan kepala menunduk.
Amira menggelengkan kepala, mengagumi keberanian Nala.
Amira pun segera bangun dari duduknya dan akan menerima hukumannya.
Sesuai perkataannya kalau Amira akan bertanggung jawab, Amira terlihat pasrah di hadapan Nala dan Ririn. Sementara Nala tidak mau menatap wajah Amira.
Ya, Nala sendiri merasa sedikit tidak tega. Gadis malang itu yakin kalau Amira tidak sengaja melakukannya.
Belum sempat dibawa oleh pihak berwajib sudah datang Dhev.
"Ada apa ini?" tanya Dhev yang baru saja turun dari mobil, lelaki berbadan tinggi tegap itu menahan polisi membawa ibunya.
"Lepaskan Mamah saya! Ini pasti akal-akalan anak ini bukan!" kata Dhev seraya menunjuk Nala.
Sementara Nala membuang muka saat pria tampan nan dingin itu menatapnya.
Walau begitu, pihak berwajib tetap melaksanakan perintah dan tetap membawa Amira ke kantor polisi.
Nala dan Ririn segera masuk ke mobil, mengikuti mobil polisi tersebut.
Begitu juga dengan Dhev, ia tidak akan tinggal diam.
"Siapa gadis kecil itu, berani sekali mencari masalah dengan ku!" geram Dhev seraya mengemudikan mobilnya. Dhev segera menghubungi pengacara dan memintanya untuk kekantor polisi.
"Sial, lampu merah!" gerutu Dhev yang terpaksa harus menunggu dan tertinggal di belakang.
****
Sesampainya di kantor polisi, Amira yang diinterogasi itu mengatakan yang sebenarnya kalau dirinya tidak sengaja menabrak Nala dan ayahnya.
Amira mendadak sakit kepala saat mengendarai mobil dan saat itu juga ada yang menyebrang.
Nala melihat kejujuran di mata Amira dan meminta pada Ririn untuk mencabut laporannya.
"Aku tidak ingin memperpanjang masalah ini, dia sudah meminta maaf dan aku yakin kalau ayah ingin aku tetap menjadi Nala yang pemaaf," ucapnya seraya menatap Ririn.
"Kamu yakin?" tanya Ririn seraya menepuk bahu Nala.
Nala menjawab dengan menganggukkan kepala.
Setelah itu dua gadis tersebut pergi meninggalkan Amira begitu saja tanpa permisi padanya.
Nala dan Ririn berpapasan dengan Dhev dan Dhev menahan Nala.
"Berapa uang damai yang kamu inginkan?" tanya Dhev seraya menatap dingin Nala.
"Hah! Tidak semua dapat dibeli dengan uang, Tuan!" jawab Nala, setelah itu Nala dan Ririn menerobos pria yang berbadan tinggi tegap itu tanpa rasa takut.
"Dasar anak kecil! Nggak punya sopan santun!" geram Dhev.
Setelah itu Dhev segera mencari Amira dan saat Dhev berbalik badan Amira sudah berdiri tepat di depannya.
"Ayo kita pulang," ajak Amira dan Dhev merasa bingung karena urusannya secepat itu.
Di perjalanan, Dhev menayangkan apa yang terjadi sebenarnya. Amira pun menceritakannya.
"Mamah, sudah berapa kali Dhev bilang. Mamah sudah tidak boleh menyetir lagi, harus ada sopir," ucap Dhev dengan nada sedikit kesal. Pasalnya, Dhev sudah sering mengingatkan itu pada Amira.
"Iya," jawab Amira terdengar lesu.
Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu merasa kalau dirinya harus bertanggung jawab dalam menjaga Nala, menggantikan posisi ayahnya.
Amira juga melihat kalau Nala adalah gadis yang baik dan Amira bertekad akan mencari Nala.
****
Sesampainya di rumah, Nala meminta pada Ririn untuk pulang.
"Kamu yakin?" tanya Ririn yang masih berdiri di teras dan Nala yang berdiri di sebelahnya itu menganggukkan kepala.
"Terimakasih, kamu sudah membantu ku," ucap Nala dan Ririn pun menjawab tersenyum.
"Ya sudah, aku pamit dulu," kata Ririn seraya memeluk Nala.
Setelah Ririn tak terlihat, Nala segera masuk dan membongkar sedikit tabungannya.
Nala memilih untuk menyimpan uang jajan yang Bobi berikan.
"Aku harus bisa bertahan hidup, aku sudah terbiasa hidup susah, aku tidak boleh lemah, aku harus bisa membuat bangga ayah dan ibu walau mereka sudah tidak ada, Nala yakin kalau menjadi kuat dan sukses adalah harapan mereka," ucap Nala seraya menghapus air matanya.
"Aku bisa masak nasi goreng, aku akan melanjutkan usaha ayah. Toh, orang sukses itu bukan hanya mereka yang duduk di kursi kebesaran, bukan? Sukses bukan hanya milik mereka yang bekerja kantoran," ucap Nala penuh dengan optimis.
****
Di rumah Ririn, Adelia sudah menunggu di depan pintu. Menatap tajam anaknya yang hari tidak pergi kuliah.
"Dari mana kamu?" tanyanya seraya menatap tajam anaknya.
"Ayah teman Ririn baru saja meninggal, Ririn dan teman-teman baru saja melayat," jawab Ririn dan beruntung kali ini Adelia sedikit percaya.
****
Sementara itu Amira sedang memerintahkan Mang Dadang untuk mencari Nala.
Namun, sampai malam Dadang belum juga menemukannya.
Amira yang sedang menemani Ken belajar itu meminta pada Dadang untuk tetap mencari sampai dapat.
"Sekarang, kamu istirahat dulu, tapi ingat kalau kamu harus terus mencari gadis itu!"
"Baik, Nyonya. Saya permisi," kata Dadang.
Selesai dengan belajarnya, Amira meminta pada Ken untuk segera tidur karena hari sudah malam.
Tidak menjawab tetapi Ken berlari kearah Dhev yang baru saja pulang bekerja.
"Ayah, coba lihat gambar ini!" pinta Ken pada Dhev.
"Sudah malam, tidur sana!" jawab Dhev tanpa melihat sedikit pun pada gambar yang anaknya tunjukkan.
Dhev terus berlalu tanpa menghiraukan anaknya yang terlihat sedih.
Ken yang tidak ingin menampakkan kesedihannya itu memulai kenakalannya.
Pria kecil itu membuat pesawat kertas dari tugasnya.
"Loh, Ken. Pakai kertas yang lain bisa," kata Amira yang melihat itu.
Tetapi Ken tidak mau mendengarkan, ia hanya ingin membuat hatinya merasa senang dengan caranya.
Ken berlarian mengejar pesawat kertas itu sampai menabrak guci mahal milik Amira.
"Astaga, Ken. Sudah, berhenti, sudah malam!" teriak Amira seraya mengejar Ken.
Amira takut kalau Ken akan terluka karena terkena pecahan beling.
Amira berhasil meraih tangan Ken dan segera memeluknya.
"Sudah, jangan hiraukan ayah kamu, dia hanya lelah, percaya sama Omah. Sekarang gosok gigi, cuci tangan dan cuci kaki!" kata Amira seraya merapikan rambut Ken.
"Omah bohong, Ayah nggak sayang sama Ken!" teriak Kenzo seraya berlari menaiki tangga lalu masuk ke kamarnya dengan membanting pintu kamarnya.
Sementara Amira merasa lelah mengikuti Ken, Amira takut Ken akan tergelincir di tangga.
"Astaga, ayah dan anak sama-sama bikin pusing," keluh Amira seraya mengusap dadanya.
Amira yang ter-engah itu mengetuk pintu kamar Dhev.
"Dhev, buka pintunya!"
Tetapi, Dhev yang sedang berendam di air hangat itu tidak mendengar suara Amira.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!