*NOTE : Cerita ini ratenya 18+ jadi bijaklah dalam membaca 😉
>> Background cerita bukan Negara Indonesia tapi negara/kota fiktif buatan author sendiri, so jangan disangkutin ke kehidupan budaya kita ya~
⚠️DILARANG BACA BUAT PLAGIATOR!
...______________BAB I_____________...
Lara tampak panik, ia terus-menerus menyuruh supirnya untuk ngebut. "Pak Jah ayo cepat ngebut, mobil itu mengikuti kita dari belakang!"
"Ba- baik Nona."
Keringat dingin mulai membasahi wajah dan leher Lara. Ia ketakutan dan merangkul lengan Miranda, asisten pribadi yang juga telah Lara anggap sebagai kakaknya sendiri. Di sebelahnya, Miranda melihat ke arah gadis berusia dua puluh satu tahun itu. Ia terlihat sekali ketakutan hingga gemetar. Nona pasti tidak pernah menyangka hal seperti ini akan terjadi padanya, pikir Mira.
Miranda juga sebenarnya takut, tapi sebagai asisten ia harus tetap berusaha setenang mungkin supaya Lara tidak semakin panik dibuatnya. "Nona Lara, tanganmu gemetar?" Lara menoleh menatap Mira dengan mata berkaca-kaca. "Mira... a- aku takut sekali, kenapa akhir-akhir ini banyak orang-orang aneh seperti mereka muncul dan mengganggu kita?"
Mira merangkul pundak Lara dan berkata, "Nona sekarang ini kau adalah pemimpin Miracle, kau harus tau kalau sebuah perusahaan besar pastilah memiliki rival. Dan asal kau tau Nona, kalau tidak semua persaingan bisnis itu sehat, beberapa pasti akan ada yang menggunakan cara-cara kotor dan kejam untuk menyerang pesaingnya."
"Tapi kenapa? Padahal aku hanya ingin mempertahankan bisnis mendiang ayah karena aku satu-satunya putrinya, tapi— kenapa ini terasa menakutkan?" Lara meratap sedih, dirinya sungguh tidak pernah berpikir jika menjabat sebagai petinggi perusahaan malah membuat dirinya jadi dalam bahaya. Seketika Lara pun teringat dengan perkataan sang kakek di sehari sebelum kecelakaan kedua orang tuanya 8 tahun lalu.
#Flashback on
Saat itu Lara tengah memberi makan ikan-ikannya di kolam bersama sang kakek Anthony Hazel. Pasangan kakek dan cucunya itu bergantian menabur remahan roti ke dasar kolam. Melihat sang cucu tampak senang dan begitu manis saat memberi makan ikan-ikan peliharaannya, Anthony pun bertanya, "Lara sayang kau suka melihat ikan-ikan itu makan?"
"Ya!" Ucap Lara sambil terus memberi makan ikan-ikan dikolam itu.
"Kau tau tidak, kenapa mereka saling berebutan saat kau melemparkan remahan roti itu?"
Lara melihat sang kakek lalu menjawab, "Karena mereka lapar, makanya mereka berlomba-lomba merebut makanan yang aku tabur."
Kakek tersenyum lalu mengusap rambut panjang Lara yang indah. "Kau benar cucuku."
"Tapi Kek– kenapa mereka harus saling berebut? Bukankah kalau mereka mereka berebut malah akan saling melukai?"
Tiba-tiba Lara diajak sang kakek duduk di kursi yang ada didekat pohon, disana kakek Anthony berkata, "Itulah perbedaan ikan-ikan itu dengan kita (manusia). Manusia memiliki akal, mereka tau bagaimana cara makan dan mengabil haknya dengan benar. Oleh karena itu jika ada manusia yang tidak bisa menghargai hak bahkan mengambil hak orang lain, itu tandanya dia sama saja seperti hewan yang tidak punya pikiran dan hanya tau memikirkan diri sendiri."
Lara mengangguk paham.
"Cucuku, apa kau tau maksud kakek bicara seperti ini padamu?"
Lara menggeleng memasang tampang bingung.
"Maksudku bicara hal ini padamu adalah, jika kau nanti kau sudah besar dan tumbuh menjadi gadis cantik dan pintar, kau harus perlakukan orang-orang yang ada disekitarmu dengan selayaknya manusia tanpa memandang statusnya."
"Huh? Kenapa kakek bicara begitu, memangnya selama ini aku jahat?
"Tidak sayang, tentu kau adalah cucuku yang paling manis dan baik. Tapi suatu saat nanti kau akan menggantikan ayahmu memimpin perusahaan, dan aku berharap kau akan seperti ayahmu yang memperlakukan karyawannya dengan begitu baik, sehingga orang-orang pun sangat menghormatinya."
"Jadi ayah sebaik itukah?"
"Ya, ayahmu memang sangat baik dan jujur. Tapi terkadang kebaikan dan kejujurannya itu seringkali membuat beberapa orang tidak suka dengan ayahmu. Mereka yang merasa terusik olehnya nekat menggunakan cara-cara kotor untuk—"
"Untuk apa Kek? Memangnya ada musuh ayah-?"
"Ah tidak-tidak, kau masih terlalu muda untuk pembahasan itu, lebih baik mari kita beri makan ikan-ikan itu lagi."
#flashback off
Lara baru menyadari maksud kata-kata sang kakek waktu itu. Intinya ketika kau berada dijalan yang benar dan segelintir orang tidak suka maka mereka akan berusaha untuk menjatuhkanmu.
"Pak Jah, apa mereka masih mengikuti kita?" Tanya Lara memastikan.
"Aku tidak tahu Nona, tapi sepertinya mobil tadi yang mengikuti kita sudah tidak nampak dibelakang."
Lara sedikit lega, "syukurlah kalau memang mereka telah pergi."
"Tapi Nona, saranku bagaimana kalau kau mulai menyewa pengawal pribadi. Karena akhir-akhir ini orang-orang itu jadi semakin berani, aku hanya takut mereka akan menyakitimu jika kau tanpa perlindungan khusus," saran Miranda.
Apa yang dikatakan Mira benar juga, "Ah kau benar Mira, aku akan mempertimbangkan untuk membayar pengawal pribadi nanti."
Setelah dirasa sudah cukup aman, Lara meminta Pak Jah untuk putar balik menuju kembali ke kantor untuk mengambil dokumen. Tapi disatu sisi, Mira merasa kalau kembali ke kantor belumlah aman, tapi karena Lara memaksa akhirnya mau tak mau Pak Jah putar balik kembali ke kantor.
Dan benar saja, tak lama mereka putar balik menuju kantor, mobil yang ditumpangi oleh mereka bertiga langsung dihadang oleh mobil yang tadi mengikuti mereka tadi, seketika Lara pun langsung panik. Pak Jah yang sudah tua tidak bisa banyak membantu, begitupun Mira. Orang-orang berpakaian serba hitam itu memukul-mukul kaca mobil Lara dan menyuruh mereka keluar. Lara yang ketakutan langsung memeluk Mira yang kali ini tak bisa menyembunyikan rasa takutnya.
"Bagaimana ini Mira? Aku benar-benar takut."
"Aku juga tidak tahu harus bagaimana Nona."
Awalnya Mira mau telepon polisi, tapi melihat Pak Jah yang dipaksa membuka kunci pintu mobil dan diancam dengan senjata, membuatnya urung melakukannya dan terpaksa mengukuti mau orang-orang itu. Lara, Mira dan Pak Jah keluar dari mobil, saat itu pak Jah langsung dipukul hingga pingsan.
"Hentikan!" Teriak kedua gadis itu melihat pak Jah dipukuli.
Para pria itu berjumlah 3 orang, badan mereka kekar dan salah satunya membawa pistol. Lara yang ketakutan pun bertanya dengan nada parau. "Apa sebenarnya mau kalian, kenapa kalian lakukan ini pada kami? Siapa yang menyuruh kalian?"
Salah seorang berbaju hitam itu berjalan mendekati Lara, spontan Lara pun mundur sambil memegangi tangan Mira yang kini sudah berwajah pucat pasi. Pria itu berkata pada Lara "Berikan dokumen penting milik ayahmu!"
"Jangan Nona!" Teriak Mira,
"Diam kau!" Pria berjas hitam yang satu lagi memarahi Mira lalu menarik dan memukulnya hingga pingsan, kini Lara sendirian menghadapi para pria itu. Ia begitu ketakutan, bingung tak tahu harus apa sekarang, dan kakinya mulai mati rasa. "A- aku tidak tahu dokumen apa yang kau maksudkan, aku–"
"Jangan bohong!" Bentak pria itu lalu mencengkeram leher Lara, "Jangan sampai wajahmu yang cantik ini aku buat lebam karena kau berani bohong padaku!"
"A- aku tidak bohong tuan," lirih Lara yang lehernya mulai kesakitan dicengkeram.
"Banyak alasan kau anak kecil!" Pria itu semakin keras mencengkeram leher Lara, hingga wajahnya mulai pucat dan nafasnya semakin sesak, Lara mencoba melepaskan cengkraman pria itu namun sia-sia, karena tenaga pria itu jauh lebih besar darinya. Apakah aku akan mati konyol begini? Pikir Lara yang tubuhnya semakin lemah tak berdaya karena semakin sulit mendapatkan oksigen.
"Ddarr!" Lara sempat mendengar suara seperti tembakan sebelum akhirnya dirinya tak sadarkan diri.
BERSAMBUNG...
TEMAN-TEMAN PLIS JANGAN LUPA BUAT DIVOTE, COMMENT DAN LIKENYA BUAT SEMANGATIN AUTHOR MAKASIH 💜
Lara yang pingsan mulai tersadar, kepalanya terasa agak pusing, ia pun membuka matanya pelan-pelan. "Ini kan...?" Lara merasa tidak asing dengan keberadaannya. Ya tidak salah lagi, saat ini ia sedang berbaring di jok belakang mobil miliknya. Tapi bagaimana bisa? Lara pun meringsek bangun, dan melihat ke arah kursi mengemudi di depan. "Pak Jah?" Panggil Lara.
"Kau sudah bangun Nona?" Balas seorang pria yang kini tengah mengemudikan mobil Lara. Sontak Lara pun kaget mendengar suara orang yang kini tengah menyupirinya ternyata bukan Pak Jah. "Ka- kau siapa? Kenapa– kau bisa ada di sini? Dimana Miranda dan Pak Jah? Kau teman penjahat yang tadi kan?"
"Sstt... cerewet sekali, kau mengganggu konsenterasiku dalam menyetir!" Balas pria itu dengan ketus.
Lara langsung terdiam, ia merasa takut berada di dalam mobil bersama orang asing yang aroma tubuhnya tercium sangat tidak sedap itu. Namun karena penasaran dengan pria itu, Lara pun mencuri-curi pandang lewat kaca spion depan untuk sekilas memastikan seperti apa tampang pria yang kini menyupirinya itu. Lusuh dan kotor, begitulah yang dipikirkan Lara saat melihatnya sekilas. "Se– sebenarnya kau itu siapa Tuan?" Tanya Lara lagi.
"Astaga kau ini benar-benar cerewat sekali, yang jelas aku adalah orang yang sudah menyelamatkan nyawamu!"
Lara kaget. "Ja- jadi kau yang sudah menolongku? Lalu, dimana Mira dan Pak Jah?"
"Oh perempuan dan pak tua itu? Mereka sudah dibawa ke rumah sakit."
"Huft!" Lara merasa lega setelah mendengarnya. "Lalu Tuan, sekarang kita mau kemana?"
"Makan!"
"Apa! Makan?" Bisa-bisanya dia berpikir makan disaat seperti ini.
"Sudah jangan banyak tanya!"
Karena merasa sudah ditolong Lara pun menuruti perkataan pria itu. Lara terdiam dan tak banyak tanya, meski sebenarnya ia ingin sekali bertanya banyak hal, terutama alasan mengapa pria itu mau menolongnya.
"Oh iya ponselku diamana?" Lara seketika ingat ponselnya, ia pun mengambil tasnya dan mencari ponsel miliknya namun tidak ada.
"Kau cari ini?" Tanya si pria lusuh itu sambil menunjukan ponsel Lara yang dipegangnya.
"Iya! Sini berikan padaku."
"Eits!"
Lara yang ingin mengambil ponsel miliknya, malah dihalangi oleh pria itu.
"Kenapa kau mengambil ponselku? Sini kembalikan!"
"Aku akan memberikannya nanti, sekarang kau berikan aku uang dulu untuk beli makanan."
"Bukankah yang kau lakukan ini sebuah pemerasan?"
"Kau berkata begitu pada orang yang telah menyelamatkan nyawamu Nona, wah wah kau sungguh kejam."
Huh! Sabar... Lara tak bisa membalas karena bagaimanapun memang ia berhutang nyawa pada pria itu. Lara mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam tasnya dan memberikannya kepada pria yang masih fokus menyetir itu. "Ini uangnya!"
Setelah Lara memberikan beberapa lembar uang padanya, pria itu langsung mengarahkan mobilnya ke sebuah restoran drive thru dan memesan beberapa burger, soft drink dan kentang goreng. "Apa kau juga ingin makan biar kupesankan sekalian," tukas pria itu sekedar basa basi.
"Tidak, aku tidak lapar," jawab Lara dengan nada jutek.
"Yasudah kalau tidak mau."
***
Setelah selesai memesan beberapa makanan, pria itu mengarahkan mobilnya menuju ke tepi jalanan yang cukup sepi, dimana dihadapannya ada ladang ilalang membentan.
Pria itu keluar dari mobil sambil membawa makanan yang sudah dipesannya tadi, dan memakannya dengan sangat lahap. Dari dalam mobil Lara terus memperhatikan penampilan pria itu. Pakaiannya lusuh, tubuhnya pun seperti orang yang tidak pernah mandi ditambah rambut juga kumis dan brewoknya tumbuh tak terawat. "Dilihat dari pakaian dan penampilannya sepertinya dia memang seorang gelandangan," tebak Lara.
Dan pada akhirnya menunggu di dalam mobil sendirian membuat Lara bosan, ia lalu memutuskan untuk keluar dari dalam mobil. Lara berdiri sambil memandangi ladang ilalang yang membentang sejauh mata memandang. Gadis itu kembali menoleh ke arah pria yang tengah makan dengan lahap tanpa peduli apapun itu. "Apa kau sudah tidak makan selama seminggu?" Tanya Lara.
Pria itu tak menjawab dan tetap fokus makan.
"Huh!" desah Lara merasa sia-sia bertanya.
Suara sendawa seketika terdengar dari laki-laki itu menandakan kalau ia sudah kenyang.
KRETEK! KREK!
Suara sendi dan ruas tulang yang merenggang itu terdengar dari tubuh pria teresebut saat melakukan peregangan. "Woah! Akhirnya aku bisa makan enak! Baiklah ayo kita kembali ke mobil!" Ujar gelandangan itu tiba-tiba.
"Hei tunggu dulu!" Seru Lara. "Katakan padaku, sebenarnya kau itu siapa dan kenapa kau mau menolongku?"
Laki-laki lusuh itu menoleh dan berjalan mendekati Lara.
"Eh, kau mau apa mendekat?" Lara melangkah mundur sambil menahan nafas karena tak tahan dengan aroma pria itu yang sungguh tidak enak.
"Aku, menolongmu karena aku lapar dan butuh uang."
Kembali ke kejadian sebelumnya.
#Flashback On
Seorang pria gelandangan yang tengah tergeletak kelaparan di bawah bangku taman merasa terganggu kala mendengar suara para pria berjas serba hitam yang salah satunya membawa pistol.
"Cih! Berisik sekali!" Gelandangan itu pun bangun guna menyuruh mereka agar jangan mengganggu ketenangannya. Pria gelandangan itu pun menghampiri salah satu pria yang tengah memegang pistol lalu menepuk pundaknya. "Kenapa kau dan teman-temanmu berisik sekali, menganggu tidurku tau!"
"Bukan urusanmu dasar gelandangan busuk!" Balas si pria yang memegang pistol.
"Tapi kalian mengganggu ketenanganku! Jadi lebih baik kau dan–"
BUGH!
Pria itu malah memukul perut si gelandangan tersebut dan memakinya, "Pergi sana kau manusia busuk! Aku jijik dengan aromamu!"
Si gelandangan itu terlihat membungkuk sambil memegangi perutnya yang ditinju tadi. Anehnya gelandangan itu tidak tampak kesakitan sama sekali, ia malah menyeringai kecil ke arah pria berpistol itu.
"Kenapa kau tersenyum begitu, wajahmu itu sangat jelek kau tahu!" Ejek si pria berpistol itu lagi.
Genlandangan itu berjalan pelan mendekati pria itu dan, DARR! Terdengar suara tembakan. Pria itu membelalakan matanya, menatap si gelandangan tadi dengan wajah pucat dan kemudian tak sadarkan diri lalu ambruk dengan darah mengucur dari perutnya. Ternyata suara tembakan tadi berasal dari si gelandangan yang telah menembak perut si pria menggunakan pistol milik pria berjas.
"Pria bodoh yang malang," ejek geladangan itu melihat jasad pria yang telah mati ditembak olehnya.
Mendengar suara pistol tadi, pria yang tengah mencekik leher Lara pun langsung menoleh ke arah temannya yang kini telah tergeletak bersimbah darah. Melihat temannya dibunuh, pria itu pun marah lalu melepaskan Lara yang sudah pingsan duluan. Ia bermaksud balas menyerang gelandangan tersebut. Alhasil terjadilah perkelahian, dan si gelandangan lagi-lagi mengalahkan satu lagi pria berjas itu. Menyaksikan kedua temannya dikalahkan oleh seorang geladangan, pria berjas yang terakhir tersisa pun ketakutan dan memilih segera masuk mobil lalu melarikan diri.
"Cih dasar pecundang busuk!" ejek si gelandangan melihat kawan kedua pria yang sudah ia habisi pergi melarikan diri. Awalnya si gelandangan tidak mau ambil, namun melihat mobil dan tampilan Lara yang sepertinya anak orang kaya ia pun mengambil kesempatan itu untuk mendapatkan uang dari Lara.
Gelandangan itu pun segera mengambil ponsel milik Lara dan menelepon ambulans. Setelah itu ia segera menggendong Lara masuk ke dalam mobil dan membawanya pergi.
"Aku tidak tahu pasti, tapi dilihat dari ketiga orang itu sepertinya gadis ini memang pemilik mobil ini," ucap gelandangan itu sambil memperhatikan Lara dari balik kaca spion di depannya.
"Gadis ini sepertinya bisa aku manfaatkan," ia tersenyum tipis. "Nona kau beruntung aku tidak sedang bertenaga kalau tidak—" ia hanya tersenyum licik dan tidak melanjutkan perkataannya.
#flashback off
"Jadi kau yang membunuh orang-orang itu?" Tanya Lara dengan ekspresi kaget dan takut.
"Sejujurnya sih aku tidak tahu sudah mereka mati atau belum," balasnya dengan enteng. Van lalu mengeluarkan pistol yang tadi ia rebut dari pria yang ia tembak tadi. Lara langsung syok dan mundur perlahan saat melihat Van mengeluarkan pistol, "Ka- kau mau apa dengan senjata itu?"
Pria itu tak menjawab ia malah terus saja berjalan mendekati Lara. Sambil menahan nafas karena tidak kuat dengan bau pria gelandangan itu, Lara terus berjalan mundur hingga tanpa sadar ada batu yang membuatnya tersandung.
"Oh tidak!"
Untungnya dengan sigap pria gelandangan itu langsung memegangi pinggang Lara sehingga ia tidak jadi terjatuh.
"Itulah kenapa kita tidak boleh jalan mundur, kau bisa saja tersandung kapanpun Nona," ucap pria itu. Lara pun sadar dan langsung berdiri sendiri agar pria itu segera melepaskan tangannya dari pinggangnya.
"Te- terima kasih," ucap Lara kikuk.
"Hais sudahlah, aku sudah kenyang dan kau pun juga sudah aman, ini milikmu!" Pria itu mengembalikan ponsel milik Lara.
"Ini?"
"Kau sudah amankan sekarang? Kalau begitu pergilah, aku tidak mau dikira sedang menculikmu." Pria itu mengambil isi peluru dari pistol ditangannya lalu melempar isi peluru pistol itu ke ladang ilalang sejauh mungkin, setelah itu beranjak pergi. "
"Tunggu!" Seru Lara.
Pria itu berhenti lalu menoleh, "Apa lagi?"
"Apa kau sungguh bisa bertarung?"
Pria itu mengangkat satu alisnya. "Kenapa?"
"Aku– aku ingin membayarmu untuk menjadi pengawal pribadiku."
Bersambung...
Teman-teman jangan lupa vote dan komentarnya ya... biar semangat💜
Pria itu berbalik badan dan mendekati Lara, "Kau mau membayarku untuk jadi pengawalmu?"
"Iya, aku butuh pengawal pribadi. Dan aku ingin kau yang jadi pengawal pribadiku."
Gelandangan itu mendengus seolah ada yang lucu, "Kau sungguh aneh, kau tau aku hanya gelandangan lusuh tak punya rumah. Bagaimana bisa kau yakin untuk memperkerjakanku sebagai pengawal pribadi, kenapa kau tidak cari saja orang lulusan militer untuk jadi pengawalmu?"
Sejujurnya Lara juga tidak tahu pasti alasan kenapa kepikiran untuk memperkerjakan gelandangan seperti dia, tapi yang pasti Lara merasa kalau gelandangan ini bukan orang sembarangan. "Jadi bagaimana? Kau mau atau tidak?"
Gelandangan itu tampaknya tengah mempertimbangkan penawaran Lara. "Jika aku jadi pengawalmu, kau berani membayarku berapa?"
"Berapa yang kau minta?"
"Ini kota ZR, salah satu kota yang biaya hidupnya mahal di negeri ini, jadi aku minta saham milikmu saja bagaimana?"
"Apa kau gila?"
"Kalau tidak mau yasudah."
Lara terlihat bimbang, sebaliknya gelandangan itu malah tiba-tiba tertawa.
"Kenapa kau tertawa?"
"Lucu melihat wajahmu yang tampak bodoh itu. Lagi pula aku hanya bergurau, baiklah aku minta gaji seratus ribu dolar sebulan, ditambah beri aku tempat tinggal bagaimana?"
Tanpa ragu Lara pun langsung setuju, "Baik aku setuju!" Keduanya pun akhirnya sepakat.
"Kalau begitu, Van!"
"Van?"
"Iya namaku Van."
Jadi namanya Van? "Baiklah Van, kalau begitu ayo kita pergi ke rumah sakit!"
"Okey!"
**
Di rumah sakit Miranda dan Pak Jah telah sadarkan diri. Mereka kelimpungan mencari dimana Lara.
"Apa Nona Lara sudah ketemu?" Tanya Pak Jah.
"Belum, ini aku masih terus mencoba menghubunginya. Aku sudah tanya dokter dan perawat yang membawa kita kemari, tapi mereka bilang tidak ada orang lain lagi selain kita dan dua orang pria jahat yang meninggal tadi."
Setelah mencoba berkali-kali akhirnya Mira tersambung juga dengan Lara.
M : Ah Nona akhirnya aku bisa menghubungimu, kau baik-baik saja kan? (Bertanya dengan nada khawatir)
L : Iya aku baik-baik saja, sekarang aku akan menemuimu dan pak Jah di rumah sakit.
M : Nona anda tidak per–
Tut tut... Belum selesai bicara Lara sudah keburu menutup teleponnya.
"Ada apa? Nona baik-baik saja kan?" Tanya Pak Jah
Miranda mengangguk lalu memberitahukan pak Jah kalau Lara tengah dalam perjalanan kemari menjemput mereka.
"Syukurlah kalau Nona Lara baik-baik saja," ucap Pak Jah merasa cukup lega mendengarnya.
Selang beberapa menit Miranda dan Pak Jah yang tengah menunggu di koridor rumah sakit mendengar suara Lara memanggil nama mereka.
"Nona Lara!" Seru pak Jah dan Mira yang tampak sumringah melihat Nona kesayangan mereka datang menghampiri dengan keadaan baik-baik saja. Mira langsung mendekat dan memeluk Lara. Mira berkata kalau ia sangat khawatir dan takut saat tau kalau Lara tak bersamanya tadi setelah ia siuman.
"Oh ayolah Mira aku baik-baik saja kok, aku yang justru khawatir denganmu dan Pak Jah, tapi setelah melihat kalian aku jadi lega."
Seketika pandangan Mira tertuju pada pria lusuh yang berdiri santai sambil menggigit tusuk gigi berada di dekat Lara. Mira dengan tatapan penuh kewaspadaan langsung menarik Lara kedekatnya lalu berbisik, "Nona, maaf tapi apa kau kenal pria lusuh itu?"
"Iya aku mengenalnya."
"Apa?" Miranda kaget mendengarnya, bagaimana bisa Lara kenal dengan pria gelandangan seperti dia?
Lara pun tanpa basa basi langsung mengenalkan Van pada Miranda dan Pak Jah. "Jadi Pak Jah, Miranda, ini Van, mulai hari ini dia adalah pengawal pribadiku."
"Apa?!" Pak Jah dan Mira sama-sama kaget.
"Hai pak Tua, hai Nona asistennya Nona Lara," sapa Van sambil melambaikan tangannya dengan wajah datar.
Mira lagi-lagi menarik Lara dan berbisik, "Nona kau sedang tidak bercanda kan?"
"Tidak."
"Ta- tapi kenapa—?"
"Sudahlah Mira nanti akan aku jelaskan padamu semuanya."
Setelah berkenalan Lara berharap baik Mira, Pak Jah dan Van bisa berkerjasama mulai sekarang dan membantunya untuk menjalankan tugasnya sebagai CEO di Miracle. Sebelum ia kembali ke kantornya, Lara meminta Pak Jah untuk membawa Van ke salon untuk merapikan penampilannya.
"Baik Nona aku akan melaksanakan apa yang kau minta."
"Oke kalau begitu Van kau ikut bersama Pak Jah, sedangkan aku dan Miranda akan kembali ke kantor."
"Aku ikut denganmu, sekarang kau bosku dan tugasku adalah melindungimu," ujar Van.
Lara menyeringai kecil, "Ternyata kau sungguhan dalam bekerja, tapi kali ini saja tidak masalah, lagipula gendung Miracle tak jauh dari rumah sakit ini. Aku juga sudah menyuruh supir kantor menjemputku dan Mira kok."
"Kau yakin?" Van memastikan.
"Iya aku yakin."
"Baiklah kalau begitu maumu." akhirnya Van pergi bersama Pak Jah, sedangkan Lara dan Mira menunggu jemputan kantor datang.
**
Diperjalanan menuju ke salon pak Jah menyetir dan Van duduk disebelahnya. Merasa bosan, Van pun menyalakan radio untuk mencairkan suasana. Sayangnya sudah mendengarkan radio tetap saja ia merasa bosan hanya mendengar berita dan lagu-lagu yang diputar, akhirnya Van pun mematikan radionya.
"Kau bosan Tuan?" Tanya Pak Jah dengan sopan dan formal.
"Ah akhirnya kau bicara juga pak Tua, ya aku bosan!"
"Kalau begitu kau tidur saja."
Van berkelakar kecil. "Aku sudah kebanyakan tidur, lagipula pak Tua apakah kau tidak bisa menambah kecepatan mobilnya?"
"Aku menggunakan kecepatan sesuai standar ketentuan keselamatan berkendara Tuan."
"Baiklah baiklah..."
"Oh iya Tuan, kau sungguh akan melindungi Nona Lara kan?"
Van penasaran kenapa tiba-tiba pak Tua itu bertanya begitu. "Kenapa memangnya?"
"Aku hanya ingin memastikan saja, karena bagiku Nona Lara sudah seperti putriku sendiri, jadi aku tidak ingin siapapun menyakitinya."
"Memangnya kemana orang tua Lara?"
"Sudah meninggal delapan tahun lalu saat Nona masih berusia empat belas tahun."
"Oh jadi begitu." Mendengar cerita Pak Jah Van jadi merasa kasihan dengan Lara.
"Jadi tuan Van, aku mohon jaga Nona dengan baik, karna dia gadis yang sangat baik."
Van tak menjawab dan hanya tersenyum kecil.
**
Di ruangannya Lara menceritakan semua kronologi kejadian kepada Miranda, hingga alasan kenapa dia yakin untuk memperkerjakan Van sebagai pengawal pribadinya.
"Jadi hanya karena merasa berhutang nyawa kau langsung memutuskan hal itu?"
"Kenapa tidak? Lagipula dia yang sudah menolong kita kan, dan dia juga sepertinya sangat ahli dalam bertarung."
Miranda menghela nafas, "Ya memang, tapikan dia itu kau tahu, dia hanya–"
"Hanya seorang gelandangan?" Lara mencoba meyakinkan Mira, "Mira, aku tahu dia bukan orang dari militer yang terlatih tapi entah kenapa aku yakin kalau dia bisa melindungiku."
"Entahlah Nona, aku hanya berharap semoga pilihanmu benar."
Lara tersenyum dan memeluk Mira, "Terima kasih kau sudah percaya padaku, lagipula aku yakin setelah dia di make over penampilannya pasti akan jauh lebih baik."
Tak lama terdengar bel pintu ruangan Lara berbunyi.
"Masuklah," titah Lara.
"Permisi Nona ini aku."
"Oh Pak Jah, silakan masuk."
"Permisi Nona."
"Pak Jah sendirian, lalu dimana Van?"
"Tuan Van ada di lobby dia bilang ingin melihat sekeliling kantor dulu."
"Begitu ya, yasudah kalau begitu tolong nanti kau suruh dia temui aku disini."
"Baik Nona."
Bersambung...
Hai teman-teman jangan lupa di vote karya aku ya biar semangat nulisnya, makasih 💜
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!