NovelToon NovelToon

Cinta Sejati Di Depan Mata

Bab 1. Putus

Dering ponsel yang tiba-tiba berhasil membuat Elina tersentak kaget. Dia buru-buru mengambil benda pipih yang sajak tadi ada di sampingnya. Saat melihat nama yang tertera di layar, dua sudut bibir Elina terangkat.

"Ya ampun, Yank. Kamu ke mana aja, sih?!" tungkas Elina penuh rasa khawatir. Bagaimana tidak, dua hari ini sang pujaan hati menghilang tanpa ada kabar.

"Aku khawatir tau gak, sih? Kamu, oke, 'kan? Masih marah sama aku?"

Belum selesai Elina mengekspresikan kekhawatirannya. David sudah menyela dengan kalimat yang tidak bisa dia sangka.

"El, kita putus aja!" ucap David singkat padat, namun langsung meruntuhkan setengah dunia Elina.

Beberapa detik Elina tak mengedipkan mata. Gadis dengan paras khas wanita jawa dan berambut panjang itu tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengar. Kata-kata yang tidak pernah dia sangka selama ini akan terucap dari mulut sang kekasih. Matanya pun mulai berembun.

“Ta-tapi, kenapa?” Hanya itu yang mampu Elina katakan. Dia tidak mampu berpikir lagi. Pikirannya sudah kosong seketika.

“Aku lelah, El. Tetanggamu selalu saja mengganggu kita. Sepertinya dia gak rela kalau aku pacaran sama kamu,” jelas David.

Elina tidak menyangka bahwa alasan sang kekasih adalah cuma karena tetangganya. Padahal, wanita itu sudah berulang kali mengatakan kepada David agar tidak usah memperdulikan sang pembuat onar itu. Memang sejak dulu tetangganya begitu.

“Sayang, aku janji, tetanggaku itu gak akan ganggu kita lagi." Elina mencoba meyakinkan David lagi. "Jadi, kumohon, jangan putusin aku," pintanya. Tak terasa butiran bening mulai bergulir di pipi wanita itu.

“Maaf, ini sudah keputusanku yang terakhir. Selamat malam.” David memutuskan sambungan telepon secara sepihak.

Tubuh Elina semakin melemas. Genggaman tangannya pun melemah hingga ponsel terlepas, lalu jatuh bebas ke sisi bantal.

Derai air mata semakin deras mengalir, membasahi pipi kuning langsat dan bantal. Tak ada niatan bagi Elina untuk menghapusnya. Dia berharap air mata itu dapat membawa pergi luka di hatinya.

Namun, sakit hati itu masih ada, bahkan meski sudah seminggu berlalu. Sesekali ia masih mencoba menghubungi sang mantan, tetapi panggilannya tak terhubung. Walaupun, gadis itu sudah beberapa kali berganti nomor atau meminjam ponsel sahabatnya.

Efek dari putusnya hubungan percintaannya denga David, Elina tidak bersemangat lagi menjalani hidup. Pikirannya selalu tidak berada di tempat, melayang-layang tidak tahu ke mana. Makan pun dia enggan sehingga tubuhnya sakit beberapa hari.

"David, aku jadi seperti ini karena kamu. Apakah kamu gak kasihan sama aku?" Air mata kembali jatuh membasahi pipi Elina.

"David, aku gak bisa hidup tanpa kamu. Hanya beberapa hari saja berpisah denganmu, dunia ini terasa hampa."

Elina masih bermonolog di dalam kamar. Seberapa banyak air mata yang dia tumpahkan, nyatanya tidak dapat membawa luka itu pergi. Kekecewaannya kepada sang mantan kekasih tidak dapat dia hapus.

"Sa-sayank, apakah kamu tahu sekarang a-aku lagi sakit? Kenapa ka-kamu gak nengokin aku? Aku kangen banget sama kamu, Dav." Suara Elina tidak begitu jelas karena menangis sesenggukan.

Kini dada Elina mulai terasa sesak. Dia merasa dunia pun tidak mau memberikan oksigen kepadanya. Memang, semua seperti tidak ada yang memperdulikannya.

Dalam kelelahan karena tangis, Elina akhirnya terlelap. Dia berharap mentari pagi memberi harapan baru. Semua rasa sakit hati hilang bersama mimpi.

Namun, ketika pagi datang, ada hal yang tak dia sangka. Sang tetangga depan rumah datang dengan dandanan rapi. Orang itu ke rumah Elina bersama keluarganya.

 

BERSAMBUNG.

Bab 2. Dilamar

Dua buah keluarga duduk bersama di ruang tamu kediaman Verry Cahyono. Wajah mereka terlihat tegang menatap ke arah gadis berparas cantik khas wanita Jawa. Namun, yang mereka tatap justru memasang muka marah.

“Bagaimana, Elin?” tanya Verry.

“Ayah, ‘kan, tahu sendiri kalau aku benci dia. Kenapa masih saja tanya bagaimana?” Elina menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi seraya melipat tangan di depan dada.

“Elin, kamu gak boleh gitu. Nak Evan, ‘kan, baik banget dengan keluarga kita,” sahut Diyah lembut.

“Ibu, aku tidak cinta sama dia. Kalau aku nikah sama dia, nanti bagaimana rumah tanggaku?” tanya Elina merajuk.

“Elina Widya Karina!” Verry sudah tidak bisa menahan kesabarannya.

Namun, yang namanya Elina, walaupun sang ayah sudah memanggilnya dengan nama lengkap, tetap saja dia tidak setuju. Bahkan, gadis itu meninggalkan ruangan tanpa kata. Dia segera memuju kamar, lalu menutup pintu sekencang mungkin.

“Maaf ya, Nak Evan,” ucap Verry sungkan kepada Evan dan ayahnya.

“Gak apa-apa, Yah. Ini juga salahku, kok, gak beritahu dulu sebelum ke sini.” Evan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Nak Evan, tunggu dulu. Biar ibu bicara sama Elina,” ucap Diyah seraya berdiri. Wanita itu segera menuju kamar Elina.

Diyah membuka pintu kamar Elina perlahan. Kepalanya mulai masuk untuk mengetahui apa yang sedang dilakukan sang anak. Terlihat bahwa Elina sedang duduk dan memainkan ponsel.

“Elin,” panggil Diyah lirih. Wanita itu masuk ke dalam kamar Elina, lalu duduk di samping sang anak.

“Elin, kamu dah dewasa. Gak sepantasnya kamu ngelakuin hal itu. Ingat pepatah dulu bilang ‘gak baik gadis menolak lamaran cowok’.” Diyah mulai membujuk Elina.

“Tapi, Bu, aku gak suka sama dia. Kenapa juga sih dia ngelamar aku? Dasar jomblo gak laku!” Elina sangat geram dengan Evan.

“Eh, kamu gak boleh ngomong gitu. Dia itu tetangga kita dan selalu baik sama keluarga kita. Jadi, kita juga harus berbuat baik padanya,” nasehat Diyah sembari menyentuh lembut punggung Elina.

“Jadi, kamu terima lamarannya, ‘kan?” tanya Diyah berharap Elina dapat berubah pikiran.

Namun, Elina masih saja menolak lamaran itu. Banyak hal yang dijadikannya alasan untuk menolak,. Akan tetapi, Diyah tak ingin menyerah.

Sedangkan di ruang tamu, Evan mengeluarkan keringat dingin di cuaca sepanas itu. Tangan dan kakinya terasa begitu dingin. Dia merasa hidup dan matinya dipertaruhkan saat menanti keputusan Elina.

Berbanding terbalik dengan sang ayah, Angga. Pria itu justru kepanasan atas sikap Evan. Bisa-bisanya sang anak mengajaknya melamar seseorang tanpa pemberitahuan sebelumnya, bahkan sang perempuan membenci anak itu.

Beberapa kali Angga menyolek lengan sang anak yang berada di sebelahnya. Pria itu sudah merasa tidak nyaman dengan keadaan saat itu. Begitu dingin tanpa ada satu kata pun terucap di antara mereka.

“Heh, kita pulang saja!” bisik Angga marah.

“Tunggu sebentar ayah, Elin belum ke luar,” tolak Evan.

Evan masih ingin mendengar keputusan Elina terakhir kalinya. Walaupun, Elina sudah jelas menolaknya, tetapi dirinya masih berharap gadis itu akan berubah pikiran setelah di bujuk Diyah.

Diyah sudah memasuki ruang tamu kembali diikuti Elina di belakang. Wajah mereka tak berubah sama sekali, masih sama seperti saat sebelum mereka meninggalkan ruangan itu. Semua mata tertuju pada mereka berdua.

“Bagaimana, Bu?” tanya Verry berbisik saat Diyah telah duduk di sampingnya.

“Biar Elina yang ngomong,” bisik Diyah kepada Verry. “Ayo, Elin, katakan!”

Elina menarik nafas panjang, lalu membuangnya perlahan. Dia tidak mampu untuk berkata. Suaranya tercekat di tenggorokan.

“Aku.” Elina menjeda ucapannya cukup lama, membuat semua yang ada di sana menjadi tegang kecuali Diyah. “Menerima lamaran Mas Evan.”

Bersambung.

Bab 3. Kenangan di Pantai

Semalaman Elina sulit untuk memejamkan mata. Dia masih memikirkan tentang pernikahan yang akan dilangsungkan satu bulan lagi. Sungguh waktu yang terlalu cepat baginya.

"Apa dia kebelet? Kenapa sih, buru-buru banget. Kalau memang kebelet, kenapa gak cari wanita lain," gumam Elina.

"Kenapa mesti aku? Haa ...." Elina memasang wajah seperti orang menagis.

"Ini semua gara-gara ibu," keluhnya.

Memang akhirnya Elina menerima lamaran Evan karena sang ibu. Hanya dengan kata-kata ibunya, wanita itu langsung luluh.

“Elin, percayalah, ibu hanya memilih yang terbaik untuk anaknya, gak mungkin akan menghancurkan anaknya.”

Elina tidak bisa berkata apa-apa lagi, bahkan menolak pun tak mampu. Padahal, pria itulah yang menyebabkan putusnya hubungan dengan sang kekasih. Dia pun kembali mengenang masa-masa indah bersama David.

Pagi itu, David mengajak Elina ke suatu tempat. Sang kekasih tidak ingin menyebutkan ke mana mereka akan pergi. Namun, dari arah jalannya, dia tahu ke mana mereka akan pergi.

Elina sangat bahagia, kesempatan seperti itu jarang sekali terjadi. David memberikan waktu untuk mengajak wanita itu jalan-jalan di tengah kesibukan kuliahnya. Sang wanita tak akan menyia-nyiakan kesempatan itu, membiarkan sang kekasih membawanya pergi.

"Kamu mengajakku ke sini, Sayang." Elina beberapa kali mengedipkan mata, tak percaya.

Hamparan pasir luas terpampang indah di depan mata. Desiran ombak riuh silih berganti, melodi alam yang tercipta sempurna. Dua insan saling berangkulan menatap laut lepas.

"Kamu suka?" David tersenyum ke arah Elina. Begitu manis menjadikan suasana semakin romantis.

"Tentu saja. Tempat yang udah lama aku impikan. Sekarang kamu ajak aku ke sini. Tentu saja senang." Elina memeluk erat tubuh David.

David mengecup kening wanita itu. Dia merasa senang karena sang kekasih menyukai kejutannya. "Ayo, pilih gazebo buat istirahat sebentar dan taruh tas."

Empat jam lebih mereka menunggangi kuda besi. Tentu saja rasa letih mendera. David ingin segera meluruskan kaki yang sedari tadi tak hentinya menyelaraskan gigi motor.

Elina pun demikian, dia juga lelah. Selama itu pula dirinya harus bertahan pada posisi yang sama. Dalam kecepatan lumayan tinggi, dia tidak mungkin melakukan pergerakan. Nanti malah akan mencelakai diri mereka sendiri.

David menggiring Elina menyusuri hamparan pasir putih. Pria itu tak henti-henti menatap wajah bahagia sang kekasih. Sungguh sangat mempesona ketika rambut yang tertiup angin menutupi wajah wanita itu.

"Mau pilih yang mana?" tanya David. Mereka kini sudah berjalan di antara gazebo.

"Terserah kamu aja," jawab Elina.

"Oke, kita di sana aja." David menunjuk pada sebuah gazebo yang menghadap sedikit ke barat dan sepi. "Di sana pasti bisa lihat sunset."

"Oke, kita ke sana."

Mereka menuju gazebo yang telah disepakati. Setelah menaruh barang bawaan, seseorang datang menghampiri. David segera tahu kenapa orang itu mendekat, pasti untuk meminta uang sewa. Orang itu segera pergi setelah David membayarkan uang sewa.

"Mahal juga, ya," keluh Elina.

"Gak ada yang mahal dibanding kebahagiaanmu, sayang." David mengacak rambut Elina.

"Terima kasih." Elina memeluk sang kekasih. Dia sangat bahagia karena telah memiliki pacar yang sangat pengertian.

David pun membalas pelukan Elina. Tak ketinggalan, senyum manis selalu terpancar di wajah pria itu. Hal itulah yang membuat wanita tersebut luluh lantah.

Elina menatap wajah sang kekasih dari bawah. Sungguh terasa tampan sekali ketika rambut pria itu bergerak tertiup angin. Membuat jantungnya semakin berdegup kencang bak gendang bertalu-talu.

Dilihatnya wajah David semakin mendekat. Dengan mata sayu, pria itu semakin mengikis jarak di antara mereka. Tanpa terasa kini tinggal beberapa senti lagi jarak kedua bibir itu.

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!