"Om mohon padamu ... tolong menikahlah dengan Citra, putri Om, setelah dia lulus SMA. Om yakin ... kamu bisa menjadi suami yang baik untuknya." Ucapan yang terdengar memohon itu berasal dari seorang pria paruh baya yang tengah berbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit. Dia menangis tersedu-sedu meratapi keadaannya.
Seorang pria bertubuh tegap tengah duduk di kursi kecil di sampingnya. Dia tampak termangu memikirkan permintaan pria yang sudah dia anggap sebagai papa keduanya.
Mungkin sudah lima kali pria itu memohon dengan ucapan yang serupa, dan kali ini dia seakan berat untuk menolaknya lagi. Sebab tak tega dengan keadaannya. Dengan segala pertimbangan—akhirnya dia pun menerima.
"Baiklah, aku akan menikahi Citra, Om," jawabnya dengan hembusan napas yang terdengar berat.
"Terima kasih. Kamu memang pria yang baik, Om beruntung mengenalmu." Pria paruh baya itu tersenyum lebar dan perlahan menyeka air mata di pipi. Dia merasakan dadanya yang sempat sesak kini langsung lega, napasnya yang tersendat sudah kembali lancar.
Kemudian, seorang pria berkacamata yang sejak tadi berdiri di samping pria yang duduk, lantas memberikan sebuah map coklat dan pulpen kepada pria yang akan menikahi Citra.
***
Seminggu kemudian....
Ceklek~
Beberapa gadis berseragam putih abu-abu dengan coretan warna warni khas kelulusan itu masuk ke dalam ruang perawatan rumah sakit. Jumlah mereka ada tiga, dan ada dua laki-laki memakai seragam bebas yang mungkin usianya dua tahun di atas mereka.
Salah satu gadis yang paling cantik diantara para gadis itu—lantas menghamburkan pelukan kepada seorang pria paruh baya yang tengah berbaring lemah di ranjang pasien. Banyak alat medis di dadanya dan selang infusan pada punggung tangan.
"Ayah ... bagaimana keadaan Ayah? Aku lulus Ayah, alhamdulillah!" Gadis itu tampak bahagia. Setelah pelukan itu terlepas—dia pun memperlihatkan selembar kertas yang bertuliskan 'LULUS' kepada ayahnya.
Pria itu hanya melihatnya saja, sebab tangannya susah untuk digerakkan secara bebas.
"Alhamdulillah, Ayah ikut senang, Sayang," sahutnya seraya tersenyum lebar.
Pria yang disebut Ayah itu bernama Danu Siregar. Dia seorang pengusaha sukses dibidang property. Tetapi sayangnya sudah hampir satu tahun penyakit gagal ginjal yang dideritanya tak kunjung sembuh. Juga dengan riwayat asma yang sering kambuh.
Usaha pencangkokan ginjal untuknya belum dilakukan. Bukan karena tak ada biaya, tetapi pihak rumah sakit mengatakan jika sampai sekarang mereka belum berhasil menemukan yang cocok. Dia juga sering bolak balik ke luar negeri untuk berobat di sana. Namun sama saja, tak membuahkan hasil.
Sekarang yang bisa Danu lakukan hanya pasrah, apalagi dokter sering mengatakan jika umurnya tinggal menghitung hari. Mungkin untuk sementara waktu dia hanya mencuci darah. Selebihnya pasrah pada Tuhan yang maha kuasa.
Danu tersenyum melihat putri semata wayangnya itu duduk di kursi kecil lalu mencium keningnya, tetapi senyuman itu seketika pudar lantaran melihat warna rambutnya yang begitu menyilaukan mata.
"Kenapa rambutmu diwarnai lagi? Bukannya baru kemarin Ayah sudah memintamu mengubahnya jadi hitam?" tanya Danu lirih, wajahnya menggambarkan ekspresi tidak suka.
Baru kemarin rambut gadis itu berwarna hijau lumut, sekarang berubah menjadi kuning terang.
Jelas saja, Citra Putri Siregar atau biasa dipanggil Citra ini adalah putri semata wayangnya. Tetapi diusianya yang masih 19 tahun itu—dia sering sekali membuat dibuat khawatir.
Bukan karena anaknya itu nakal, Citra sendiri tipekal gadis penurut dan manja. Tetapi memang terkadang dia selalu overprotektif. Apalagi pergaulan zaman sekarang sangat mengerikan. Danu tak mau putri satu-satunya itu salah bergaul, apalagi dengan teman-teman yang datang bersamanya.
Dari kedua gadis yang tengah berdiri di depan pintu itu sama sekali tak ada yang salah di matanya, tetapi yang menganggu mata Danu adalah seorang lelaki yang sekarang baru duduk di sofa.
Kulitnya hitam, giginya tonggos dan agak kuning. Rambutnya berantakan serta wajahnya tampak kusam seperti belum bersentuhan dengan air. Ditambah Danu mencium bau tidak sedap menyerupai aroma ketek yang berasal darinya.
Dia memakai jaket kulit hitam, celana jeans panjang berwarna biru nevy robek-robek, anting rantai yang panjang sebahu di sebelah telinga kiri, tindikan di bibir bawah, tatto di leher bergambar tengkorak dan warna rambut yang serupa dengan Citra.
Bahkan Danu baru sadar jika semua rambut anak-anak itu berwarna kuning-kuning. Menggelikan sekali kelihatanya, untungnya tidak mengambang di kali.
"Dia siapa? Temanmu?" Danu menatap tajam lelaki yang tengah duduk di sofa dengan kedua kaki bertengger di atas meja. Sungguh sangat tidak sopan—pikirnya.
"Mereka semua teman-temanku, Ayah. Masa Ayah lupa? Dia Lusi dan Rosa." Citra memutar kepala ke arah dua temannya itu, yang satu berambut pendek dan yang satunya agak ikal.
"Terus yang cowok itu mereka siapa? Dan yang seperti preman itu siapa?" Danu kenal dua teman anaknya itu, tetapi yang dia maksud adalah lelaki yang bergigi tonggos.
"Oh, itu Udin dan David. Mereka temannya Rosa, tapi sekarang menjadi temanku juga." Citra menunjuk mereka sesuai nama. Dan lelaki yang tidak disukai Danu yang bernama Udin.
"Apa kalian bisa pulang dari sini?" tanya Danu dengan nada mengusir.
"Kok Ayah mengusir mereka? Mereka 'kan datang ingin menjenguk Ayah." Citra tampak kesal, ditambah dia juga merasa tak enak, takut jika teman-temannya marah.
Danu membuang napasnya kasar. "Bukan mengusir, tapi Ayah ingin bicara berdua denganmu. Ini masalah penting."
Lama-lama pernapasannya semakin sesak mencium aroma tidak sedap lelaki itu. Tidak baik rasanya untuk kesehatan. Dan memang benar dia ingin bicara empat mata dengan putrinya.
"Kita nggak apa-apa kok kalau Om Danu mau istirahat, Cit." Gadis berambut pendek yang bernama Rosa itu bersuara, lantas dia pun berjalan menghampiri Citra. "Tapi kita semua mau bicara sebentar dengan Citra, boleh ya, Om?"
Danu mengangguk pelan sebagai jawaban. Lantas Citra berdiri lalu keluar dari ruangan itu, disusul dengan teman-temannya yang lain.
"Katanya kamu mau traktir kita ke restoran? Jadi apa nggak, Cit?" tanya Udin. Tadi Rosa meminta untuk mengobrol dengan Citra karena dialah yang menyuruhnya.
Sebenarnya bukan Citra ingin mentraktir niat awalnya, tetapi kedua teman perempuannya yang terus merengek. Bahkan saat masih berada di sekolah.
"Jadi. Tapi nanti malam saja bagaimana? Nanti aku izin sama Ayah," tawar Citra.
"Dih, aku kepengennya sekarang, Cit. Perutku laper." Lusi mengusap perutnya yang tiba-tiba berbunyi.
Memang rencana mereka semua ke restoran adalah habis Citra bertemu dengan ayahnya, akan tetapi melihat ayahnya tadi mengusir, tentu harapan mereka akan gagal. Dan itu tak boleh sampai terjadi.
"Bagaimana kalau sekarang saja. Ah kalau tidak, mentahannya saja berikan sama kami." Udin mengusulkan ide.
"Mentahan? Maksudnya bagaimana?" Citra mengerenyitkan dahinya heran.
"Uangmu. Berikan saja pada kami, itung-itung mentraktir. Nanti kita semua bisa makan di restoran," sahut Udin.
"Ah, benar juga tuh, Cit." Rosa ikut menimpali.
"Memangnya nggak apa-apa kalau mentraktir dengan cara seperti itu?" tanya Citra. Dia tampak heran, tetapi temannya justru terkekeh melihat kepolosannya itu.
"Nggak apa-apa. Iya, kan?" Udin bertanya apa temannya yang lain. Dan mereka pun menyahuti dengan anggukan semangat.
"Ya sudah. Terus berapa masing-masing yang harus aku berikan?" Citra ini memang begitu polos dan gampang dibujuk, dia langsung saja mengambil dompet di dalam tas jinjingnya tanpa pikir panjang.
Setelah dibuka, banyak sekali lembaran uang seratus ribuan dan seketika membuat mata teman-temannya itu langsung melotot.
...Hay, selamat datang di karyaku yang ke tiga di Noveltoon. Terima kasih sudah mampir, semoga suka...
...Jangan lupa tambahkan ke favorit, like serta komennya, ya!...
...Dilarang BoomLike, ya! karena itu akan mengurangi kualitas novel. Kalau niat ingin membaca, baca sampai akhir dan jangan diskip....
...Ayok dukung terus, karena dukungan dari pembaca sangat berguna untuk penyemangat dalam menulis ❤️😉...
'Wih, banyak banget,' batin Udin.
"Satu juta cukup, Cit," ujar Udin tanpa malu. Segera Citra mengambil sepuluh lembar uang ratusan ribuan itu, dan langsung diambil dengan senang hati oleh Udin.
"Terima kasih Citra cantik," ujar Udin dan teman-temannya yang lain.
"Sudah cantik, baik lagi," tambah David.
Citra mengangguk sambil tersenyum lebar, kedua pipinya langsung merona. Dia memang gampang meleleh jika dipuji.
"Sama-sama. Nanti kapan-kapan kita pergi main sama-sama, ya?"
"Tentu saja. Dah Citra!" Rosa tersenyum sambil melambaikan tangannya pada gadis itu. Begitu pun dengan teman-teman yang lain. Lantas mereka berlalu pergi.
"Dah!" Citra ikut melambaikan tangannya.
Setelah teman-temannya tak terlihat, barulah dia masuk kembali ke dalam ruang perawatan dan duduk di kursi kecil di samping Danu yang sejak tadi menatapnya.
"Kalian membicarakan apa tadi?" tanya Danu penasaran. Dia tak mendengar apa-apa, hanya melihat tubuh anaknya yang berdiri di depan pintu kaca.
"Oh itu, mereka menanyakan traktiran. Aku sudah janji ingin mentraktir setelah menjenguk Ayah."
"Kamu sering sekali mentraktir teman-temanmu perasaan deh. Terus sekarang mentraktir dalam rangka apa? Kelulusan?" tebak Danu.
Bukan Danu tak memperbolehkan, hanya saja dia berpikir jika teman-teman anaknya itu tak ada yang tulus. Mereka hanya memanfaatkan kepolosan Citra.
Malah dia sendiri sering mengetahui dari sang asisten pribadi jika Citra hampir setiap hari memberikan uang jajan pada Rosa dan Lusi.
Padahal, dua gadis itu juga anak orang kaya. Dan salah satu orang tua mereka ada yang menjadi rekan bisnisnya. Tetapi entah mengapa mereka selalu melakukan hal itu pada Cinta, memanfaatkan anaknya.
"Iya, Ayah." Citra mengangguk dan tersenyum.
"Terus nggak jadi apa bagaimana?"
"Jadi, tapi mereka saja. Aku nggak ikut. Kan katanya Ayah ingin bicara denganku."
"Jadi mentraktir tapi kamu nggak ikut? Kok begitu? Jangan bilang mereka meminta uang padamu?" Danu menatap curiga pada wajah ceria Citra. Tebakan pria itu selalu saja tepat sasaran.
"Iya, nggak apa-apa kok. Cuma sejuta ini," jawabnya dengan enteng.
"Iya, sekarang sejuta. Tapi besok-besoknya pasti mereka meminta lagi." Danu berdecak sambil geleng-geleng kepala. "Kamu jangan temenan sama mereka deh, Cit. Ayah rasa mereka nggak ada yang tulus. Apalagi yang dekil itu, Ayah nggak suka."
"Mereka 'kan temenku dari pas masuk SMA, Ayah. Dan sekarang kami lulus bersama. Masa mereka nggak tulus padaku?"
"Yang Ayah lihat begitu. Coba cari teman saja yang lain, nanti pas masuk kuliah. Dan kamu sepertinya nggak boleh satu universitas dengan mereka juga."
Danu ingat, putrinya itu sudah punya incaran kuliah di salah satu universitas. Dan dia sendiri sudah mendaftarkannya. Tetapi sekarang dia malah khawatir jika universitas itu sama dengan pilihan teman-temannya.
Citra menggeleng cepat. "Aku nggak mau, itu 'kan kampus favoritku. Dan Ayah juga sudah berjanji," rengek Citra dengan manja, lantas dia pun mendekatkan tubuhnya dan mengecupi kening Danu.
Danu menghembuskan napasnya dengan berat. Dia rasanya tak tega untuk menolak, apalagi setelah melihat wajah manja yang menggemaskan itu.
Perlahan tangan Danu yang lemah dia angkat ke arah Citra, dan dengan segera gadis itu menyambutnya dan mengenggamnya dengan erat.
"Iya, deh. Ayah akan menurutimu. Asalkan kamu juga mau menuruti permintaan Ayah." Danu mulai bernegosiasi.
"Permintaan apa? Tinggal bicara saja, Ayah."
Danu menatap langit-langit ruangan itu, seketika rona kesedihan tercetak jelas di wajahnya saat mengingat akan kondisinya sendiri. Manik matanya mulai berkaca-kaca. "Ayah merasa ... umur Ayah nggak akan lama lagi, Ayah sepertinya sebentar lagi akan meninggalkan kamu. Tapi sebelum itu ...."
Degh!
Jantung Citra langsung berdegup sangat kencang, entah sudah berapa kali ayahnya itu mengatakan hal itu, mungkin tak terhitung. Dan itu membuatnya ketakutan. Takut akan kehilangan orang tua yang hanya tinggal satu-satunya.
"Ayah jangan bicara seperti itu, Ayah pasti sembuh! Kita tinggal tunggu ginjal yang cocok untuk Ayah! Om Tegar dan Om Tian akan segera memberitahunya!" sanggah Citra dengan air mata yang tiba-tiba saja jatuh membasahi pipi mulusnya. Dia menyentuh pipi kiri Danu dengan lembut dan penuh cinta.
"Tapi Ayah sudah capek, Cit. Capek sekali ...."
Air mata Danu seketika luluh pada sudut matanya, mengalir sampai membasahi bantal. Dadanya terasa sesak. Rasanya dia sudah tak sanggup untuk bertahan. Bahkan beberapa bagian tubuhnya sudah mati rasa.
Namun, dia tak akan tenang jika pergi sebelum keinginan terpendamnya yang sejak sebulan yang lalu itu berhasil terlaksana. Danu memilih waktu yang tepat, dan sekaranglah saatnya.
"Sudah berbulan-bulan Ayah berada di rumah sakit, tapi belum ada kemajuan sedikit pun untuk kondisi Ayah. Sekarang Ayah pasrah dan ikhlas kalau Ayah harus pergi, tapi sebelum itu Ayah ingin melihatmu menikah ... Sayang."
Degh!
Citra membulatkan matanya, terkejut dengan apa yang didengar. "Menikah?" Citra menyeka air matanya juga air mata Danu dengan lembut. "Menikah dengan siapa? Kan Ayah sendiri yang melarangku pacaran. Jadi aku nggak punya pacar untuk diajak menikah."
"Kamu nggak perlu risau, anggap saja Ayah memberikanmu pacar sekaligus calon suami. Ayah sudah punya calon untukmu, Sayang," ujar Danu pelan dan tersenyum manis. Dilihat alis mata anaknya itu menyatu, dia seperti heran menangkap apa yang dikatakannya.
"Maksudnya Ayah menjodohkanku? Ayah pikir ini zaman Siti Nurhaliza?"
"Nurbaya."
"Iya, maksudku itu."
"Ayah tidak menjodohkanmu. Tapi memang pria itu suka padamu sejak dulu."
Citra membulatkan matanya dengan sempurna. "Suka? Siapa? Apa aku tahu?" tanya Citra penasaran, entah mengapa matanya langsung berbinar-binar.
'Jadi diam-diam ada yang suka padaku terus terang-terangan bilang sama Ayah? Gentle sekali dia.' Citra sudah kegeeran. Bahkan kedua lubang hidungnya kini kembang kempis.
"Namanya Steven. Dia bekerja sebagai CEO di perusahaannya sendiri dan dia menjadi salah satu rekan bisnis Ayah."
"Rekan bisnis? Berapa umurnya? Apa dia sudah Bapak-Bapak?" Citra tak kenal siapa saja rekan bisnis Danu, tetapi yang dia ingat hampir semua seumuran dengan ayahnya.
"Belum, dia masih muda dan perjaka. Kalau nggak salah usianya ...." Danu terdiam sejenak memikirkan usia pria yang dimaksud. Dan sepersekian detik kemudian dia pun berkata, " 35 tahun."
Degh!
Kembali Citra terbelalak, kali ini matanya seperti hendak keluar sangking terkejutnya.
"35 tahun Ayah bilang muda? Muda dari mana? Jelas itu tua. Dia perjaka tua. Umurku 'kan baru 19 tahun dan baru lulus SMA. Bedanya saja 20. Jauh sekali Ayah." Citra bergidik ngeri, dia langsung membayangkan wajah pria yang berumur 35 tahun itu dengan postur tubuh berperut buncit. Kumisan dan jengotan, juga dengan kerutan yang berwarna hitam di kantung matanya.
"Masa 35 dikurang 19 jadi 20. Yang benar 10, Cit. Kamu itu bisa menghitung nggak, sih?" Danu mendengus kesal. Anaknya itu memang tidak terlalu pintar dibidang pelajaran, apalagi matematika. Tapi kalau menghitung uang dia jagonya.
Ah, sama saja, sih. Danu saja salah. Yang benar selisihnya 16. Bukan 20 atau 10.
"Tetap saja dia tua. Walau bagaimanapun aku masih muda dan segar begini." Citra memeluk tubuhnya sendiri sambil menggeleng. "Masa Ayah tega mengizinkanku menikah dengan kakek-kakek?"
sekate-kate lu, Cit. 35 aja dibilang tua🙈 awas aja kalau pembaca yang umurnya 35 tersinggung. nanti mereka ga lanjut baca 🤬
"35 tahun belum kakek-kakek. Ayah saja sekarang berusia 50 tahun, tapi belum terlihat Kakek-kakek, kan?" Danu menarik turunkan alis matanya. Dia cukup pede jika memang wajahnya masih terlihat tampan meskipun sudah banyak kerutan. "Dan perlu diingat sekali lagi ... Steven itu masih perjaka. Dia juga sangat ganteng."
"Perjaka mana ada umurnya 35 tahun. Perjaka tua? Apa mungkin dia duda tapi ngaku perjaka? Atau jangan-jangan pria beristri?" Citra menuduh bertubi-tubi.
"Dia perjaka tulen, Cit. Bukan tua atau pun duda apalagi suami orang." Danu sama sekali tak mau menghina Steven, bahkan mengatakan kalau dia memang perjaka tua saja hatinya tak ikhlas. "Dan Ayah juga bisa jamin kalau dia akan menjadi suami yang baik dan menemanimu disaat Ayah sudah tak lagi disisimu."
Mendadak suasana menjadi melow kembali, dan wajah Danu berubah menjadi sedih.
"Kamu mau, kan? Menikah dengannya? Anggap saja ini permintaan terakhir Ayah padamu," pintanya lirih.
"Aku nggak suka Ayah bicara seperti itu, aku nggak mau kehilangan Ayah." Citra menggeleng cepat.
"Ayah juga nggak mau. Tapi mau bagaimana lagi?" Danu mengerutkan wajahnya dan seketika menangis tersedu-sedu. Citra yang melihatnya pun ikut menangis lalu segera membungkukan badan seraya memeluk tubuh kurus ayahnya.
"Aku sayang Ayah ...."
"Ayah juga sayang padamu. Kamu mau 'kan turuti permintaan Ayah?"
Citra terdiam beberapa menit. Jujur dia sangat berat, tetapi rasanya dia tak tega untuk menolak. "Oke, aku mau."
Danu menghela napasnya lega, lantas mengulum senyum. "Kalau begitu kamu menikah besok, ya?"
"Besok? Apa itu nggak terlalu cepat?" Citra meregangkan pelukannya hingga terlepas. "Aku juga nggak mengenalnya, Ayah. Setidaknya bertemu dan mengobrol dulu sebelum menikah."
"Ya sudah ... nanti malam saja kamu dan dia bertemu. Ayah akan bilang padanya kalau kalian akan makan malam bersama."
Citra mengangguk kecil, seketika tubuhnya langsung menegang. Belum apa-apa dia sudah gugup duluan, padahal saat ini masih jam 2 siang. "Apa Ayah punya fotonya? Bisa perlihatkan aku dulu bagaimana wajahnya?"
"Ayah nggak punya, tapi kamu nggak perlu khawatir. Dia ganteng dan tinggi, bahkan mirip seperti laki-laki yang sering kamu tonton tiap malam di laptop."
Citra mengerutkan keningnya, dia tahu jika yang dimaksud ayahnya itu mungkin adalah Oppa Korea. Dia memang hampir setiap malam nonton drakor. Tapi masa iya, pria yang bernama Steven dengan umur 35 tahun yang katanya masih perjaka itu mirip Oppa Korea? Citra sendiri tak percaya.
"Lebih baik sekarang kamu pergi ke salon saja, ganti warna rambutmu menjadi hitam. Ayah nggak mau mata Steven nanti sakit melihatnya, itu sangat silau." Danu menyipitkan matanya menatap rambut panjang Citra. "Nanti pakaian yang mau dipakai biar Ayah yang siapkan."
Citra tak menanggapi, dia malah melamun dan terus membayangkan wajah calon suaminya. Tetapi yang terbayang justru seorang kakek-kakek yang sudah keriput.
Lamunannya berlangsung lama, sampai akhirnya seorang pria berkumis tipis menepuk pundaknya dan membuat gadis itu terperanjat dari duduknya.
"Astaghfirullah!" Citra menyentuh dadanya yang berdebar, lalu menoleh ke arah kiri tepat pria itu berada. "Kenapa Om Gugun mengagetkanku? Aku hampir jantungan tahu!" omel Citra. Pria yang dipanggil Gugun itu adalah asisten pribadi ayahnya.
"Maafkan saya." pria itu membungkuk sopan. "Ayok kita ke salon, Nona. Ini sudah sore."
Citra menengadah ke arah jam dinding di atas pintu, di sana sudah menunjukkan pukul 5 sore. Kemudian matanya melirik ke arah ranjang tempat Danu berada. Pria itu terlihat tertidur pulas.
'Apa aku dari tadi melamun? Perasaan tadi baru jam 2?'
Benar, dia tadi melamun memikirkan pria yang akan menikah dengannya esok hari sampai menghabiskan waktu 3 jam.
Lantas, dia pun memutuskan untuk menuruti ucapan pria yang bernama Gugun itu, untuk pergi ke salon.
***
Disebuah restoran berbintang lima dengan nuansa Eropa, Citra melangkah masuk ke dalam sana bersama Gugun. Dia datang lebih dulu daripada Steven sebab kata ayahnya pria itu masih sibuk di kantor. Jadi akan lebih baik langsung bertemu saja di restoran yang memang sudah dia pesan untuk acara makan malam bersama Citra.
"Selamat malam, apa Anda yang bernama Nona Citra?" tanya seorang pelayan wanita, saat melihat kedatangan gadis cantik dengan gaun pesta berwarna merah itu berdiri mematung. Memperhatikan suasana restoran itu yang cukup ramai.
"Iya, aku Citra," jawabnya sambil tersenyum.
"Mari ikuti saya Nona. Pak Steven sudah memesan meja untuk Anda." Pelayan wanita itu dengan sopan mengajaknya untuk mengikuti langkahnya, dan terlihat Citra menurut.
"Apa Pak Steven sudah datang?" tanya Citra penasaran. Jantungnya sudah berdebar dengan kencang, langkah kakinya juga bergetar. Entah mungkin ini bisa dikatakan lebay, sebab saat ini dia amat gugup dan takut.
Jujur saja, ini adalah pengalaman pertamanya dinner bersama seorang pria. Citra yang belum pernah berpacaran sama sekali tak ada pengalaman, dan mungkin akan sangat canggung nanti. Berulang kali dia membuang napasnya dengan kasar.
"Belum, Anda tunggu saja. Sebentar lagi beliau akan sampai." Ucapan pelayanan itu sesuai kenyataan. Mereka berhenti di salah satu meja kosong yang sudah ada dua gelas minuman berwarna hijau di atas meja. Kemudian wanita itu pamit untuk pergi.
Namun tetap saja, gadis itu tetap gugup meskipun saat ini pria yang akan makan malam bersamanya belum datang. Bahkan sekarang dia ingin kencing.
"Eh, Nona mau ke mana? Jangan kabur." Gugun menghentikan langkah gadis itu yang hendak pergi dengan mencekal lengannya.
"Siapa yang mau kabur? Aku mau pipis sekalian membereskan make up."
Gugun langsung melepaskan lengan anak bosnya itu. "Mari saya antar untuk memberitahu di mana toiletnya."
"Nggak usah!" Citra menggeleng cepat. Kemudian dia berjalan cepat menuju toilet ingin buru-buru kencing karena sudah tak tahan.
"Ah, kenapa aku sangat gugup? Aku takut sekali ya Allah. Takut pria yang bernama Steven itu nggak seperti yang dikatakan Ayah. Apalagi umurnya sudah kepala tiga." Selepas membuang air kecil, Citra berdiri di wastafel sambil menatap wajahnya di depan cermin besar. Jemarinya mengusap rambut pirangnya.
Akibat kebanyakan salon yang dia kunjungi tadi begitu ramai, akhirnya Citra tak jadi mengganti warna rambut. Dia takut kalau nanti akan membuang waktu yang lama dan membuat ayahnya kecewa lantaran telat datang ke acara makan malam.
Namun pakaian atas pilihan Danu sekarang telah melekat di tubuhnya. Sebuah gaun pesta di bawah lutut dengan lengan pendek dan menutup dada.
Terlihat sopan, anggun dan cantik. Sebenarnya banyak fakta mengatakan jika perempuan cantik akan cantik jika memakai apa pun. Dan terbukti dengan apa yang saat ini terlihat di depan kaca.
Setelah hampir tiga puluh menit menyiapkan mental untuk bertemu Steven, akhirnya Citra memutuskan keluar dari toilet.
Langkah kakinya mendadak berat dan seketika terhenti saat melihat punggung lebar seorang laki-laki yang tengah duduk di kursi pada mejanya. Dia memakai setelan jas senada dengannya. Debaran di dalam dada sudah tak terkendali lagi, tubuhnya langsung menegang saat pria itu memutar kepalanya ke belakang. Tepat ke arah dia berdiri.
...Idih lebaynya, pake gugup segala. awas bucin lho entar 🤣 aku do'ain...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!