Suasana malam yang sunyi, terasa sangat dingin. Angin berhembus pelan menyentuh kulit halus Cici yang masih terlelap. Hening, bahkan sangat berbeda dari malam-malam biasanya.
"Criiing.... criiing.... criiing...!!"
Mendengar suara aneh dari kejauhan yang semakin lama semakin mendekat di kediamannya, Cici yang masih menutup mata namun merasakan sesuatu keanehan, merasa dingin di sekujur tubuh, tidak berani membuka mata.
"Criiing......!!!"
Suara itu datang lagi, semakin mendekat, seperti telah ada di depan jendela kamarnya. Sungguh sangat menganggu istirahat malamnya. Namun Cici enggan membangunkan Akmal yang masih terlelap.
"Suara apaan?"
Perlahan Cici turun dari ranjang, merasa penasaran dengan suara aneh di tengah malam yang semakin mencekam.
Perlahan membuka jendela, mata yang masih menyipit segera terbelalak. Bibirnya terkunci rapat, karena secara nyata dia melihat wanita cantik, dengan cahaya merah menyala, duduk di kereta, tersenyum dihadapannya.
Cici mematung, wajahnya memucat, bahkan tidak pernah melihat sosok seperti itu seumur hidupnya. Bagaimana mungkin dikota yang selama ini dirinya merasa aman, tiba-tiba melihat sosok yang selalu ada didunia film muncul dihadapannya.
Wanita cantik, menggunakan kemben merah menyala, dengan selendang tipis menutup dada. Selayaknya, sosok wanita sangat cantik turun dari kerajaan.
Tangannya melambai kearah Cici, yang diam membisu.
Betapa takjubnya dia melihat sosok aneh yang sangat nyata. Cukup lama dia melihat wanita cantik itu, namun hanya mampu bicara dalam hati.
"Siapa kamu? Ada apa kamu membawa kereta kencana itu kerumah ku?"
Cici masih enggan menutup matanya, karena itu adalah indera yang masih bisa berfungsi saat ini.
Lebih dari 20 menit, wanita itu hanya melambai tanpa berucap, Cici masih berdiri didepan jendela.
"Hihihi...." Saat wanita itu mengeluarkan tawanya yang terdengar sangat melengking dan memekakkan gendang telinganya, seluruh tubuh Cici bergetar.
"Khik... khik... khik....!!!"
Cici menutup telinganya, dengan kedua telapak tangan, semakin ketakutan, berusaha berteriak, namun tak mampu untuk mengeluarkan suara.
"A-a-a-b-b-bi...!"
Cici hanya bisa mengeluarkan abjad untuk membangunkan Akmal yang masih terlelap.
Tangan itu menyentuh pundak Cici, yang masih menutup mata dengan gorden jendela semakin terbuka lebar.
"Aaaagh....!"
Cici terlonjak kaget, saat tangan itu menyentuh bahunya.
"Ami...!"
Akmal menjadi kaget melihat istrinya pucat bahkan sangat ketakutan menoleh kearahnya.
"I-i-i-itu, Bi...!"
Cici menunjuk kearah luar jendela yang masih terbuka lebar, meminta Akmal untuk melihat kearah luar jendela.
"Apa...?"
Akmal mencondongkan badannya kearah jendela, mencari apa yang dimaksud Cici istrinya.
Cici membuka mata pelan, berlindung dibelakang punggung Akmal, yang berdiri dihadapannya, "Ta-ta-tadi... Ami melihat wanita disini, Abi...!"
Akmal menaikkan kedua alisnya, "Wanita? Wanita dari mana? Hantu? Hantu apa? Ami dari tadi Abi lihat hanya berdiri aja, kayak ketakutan gitu. Ini baru jam dua parak siang Ami. Sudah tidur sana, masih malam udah aneh-aneh saja."
Akmal menutup gorden jendela, membawa istrinya untuk kembali keranjang peraduan mereka.
Cici meraih gelas yang berada dinakas, sementara Akmal berlalu meninggalkan istrinya menuju kamar mandi.
Wajahnya masih terlihat ketakutan, membayangkan wanita yang melambai kepadanya.
"Apa maksudnya yah? Aku khawatir. Ya Tuhan... semoga ini hanya mimpi."
Cici meneguk air mineral yang berada dalam genggaman, sementara matanya melihat kearah Akmal yang sudah kembali dari kamar mandi.
"Abi jam berapa berangkat?"
"Hmm, habis sholat subuh. Ami jadi ikut?"
"Enggak usah, Abi aja. Lagian itu kan acara kantor, Ami disini saja sama Mira."
Akmal yang semakin mendekat kearah istrinya, mengusap lembut punggung Cici, agar kembali beristirahat, tanpa memikirkan hal-hal yang aneh.
Cici wanita cantik berprofesi sebagai dosen pengganti disalah satu universitas negeri dikota yang terkenal dengan kekayaan minyaknya. Telah empat tahun membina rumah tangga dengan Akmal, bekerja disebuah Bank swasta dikota yang sama. Keluarga kecil yang memiliki seorang putri berusia tiga tahun bernama Mira.
.
Cici mempersiapkan semua kebutuhan Akmal, setelah melakukan sholat subuh, beberapa helai baju kemeja hitam, dan celana bahan hitam, merupakan salah satu tanda namun tidak disadari oleh pasangan suami istri ini.
Wanita cantik yang menjadi penari disalah satu pusat kesenian itu juga mempersiapkan beberapa makanan kecil untuk sang suami.
"Abi hati-hati, yah? Jangan lupa mampir ke makam Apak."
Akmal mendekati Cici, "Kamu kenapa sih? Dari tadi malam aneh-aneh aja. Ini acara kantor, enggak mungkin Abi mampir sana sini."
Cici mengangguk mengerti, "Jangan nakal!"
Akmal tertawa mencium punggung indah istrinya yang masih mengenakan daster tipis tanpa lengan.
"Belum mandi, bau...!"
Akmal sengaja menggoda Cici, yang sedikit risih karena merasa aneh dengan kemesraan sang suami.
"Abi... iighs, geli tahu. Sana, bangunin Mira dulu, nanti dia nyariin Abi-nya. Ami mau mandi."
Cici bergegas masuk kekamar mandi untuk membersihkan diri, untuk mengantarkan Akmal ke kantornya, sebagai titik kumpul keberangkatan menuju Sumatera Barat.
Semenjak kejadian malam tadi, perasaan Cici semakin tidak tenang, kegalauan hatinya semakin terasa.
Siapa wanita itu? Apa maksudnya dia mendatangi ku? Apa itu hanya mimpi? Atau memang kenyataan?
Cici masih enggan untuk menjelaskan pada Akmal, karena sudah sangat memahami bagaimana suaminya tidak percaya dengan hal-hal seperti itu.
Cici keluar dari kamar mandi, melihat Akmal yang telah membawa putri kecil mereka didalam kamar yang penuh kehangatan keluarga tersebut sambil menggelitik buah hati dengan tawa bahagia.
"Ha-ha-ha... Abi geli..!"
Mira tertawa lepas saat Akmal benar-benar mencium perut tipis putrinya dengan penuh kasih sayang.
Cici melihat jam dinding yang berdetak, jarum pendek menunjukkan pukul 05.30 waktu setempat, "Bi, kita jalan sekarang? Karena Abi kan berangkat jam 06.00? Kita lumayan jauh!"
Akmal menarik tangan Cici, memeluk mesra tubuh istri yang sangat dia cintai, "Jaga Mira ya, Mi, jangan sering pulang sore, kasihan. Masak dititipkan sama Oneng mulu."
Cici mengusap lembut wajah Akmal lembut, mengangguk mengerti, "Abi pentingnya hati-hati, titik!"
Akmal mendekap erat tanpa menjawab, memejamkan matanya, menikmati setiap sentuhan yang dirasakannya sangat berbeda, "Abi sayang sama Ami."
Cici tersenyum tipis, "Kenapa Abi jadi aneh dari tadi malam? Tadi malam genit, minta jatah, romantis. Sekarang bilang sayang. Ini hanya perjalanan dinas biasa, kenapa dia memberi salam seakan-akan gak akan bertemu selamanya!"
Akmal justru tertawa mendengar celotehan istrinya, "Emang ada tampang mau kawin lagi? Satu aja enggak habis-habis, bagaimana dua? Tapi boleh deh kalau dikasih izin!"
Cici mendengus kesal, mencubit perut sispack suaminya dengan manja.
"Aaaagh, sakit!"
Akmal mendekati wajah cantik istrinya, mencium bibir Cici dengan lembut, kembali berbisik, "Titip Mira."
Cici tersentak, mendengar ucapan suaminya, hatinya semakin merasa tidak nyaman.
Bagaimana mungkin Akmal yang selalu cuek dengan dirinya, kini sangat perhatian dan semakin mesra dengannya.
"Semua perubahan suamiku sangat aneh hari ini. Apa akan terjadi sesuatu?"
Cici mengecup lembut pipi Akmal, bergegas meninggalkan kediaman mereka, segera mengantarkan Akmal.
Cici Permata wanita berusia 26 tahun, membawa Mira dalam gendonganya menuju mobil city car putih yang terparkir di carport minimalis kediaman keluarga kecil tersebut. Betapa terkejutnya dia saat melihat selendang tipis merah menyala, menutupi kaca depan mobil mereka.
Cici menghentikan langkahnya, menoleh kebelakang, bertanya sedikit aneh pada Akmal.
"Bi... ini selendang merah siapa?"
Akmal hanya menoleh, menekan saklar lampu untuk mematikan lampu teras depan rumah.
"Hmm...!"
Akmal masih cuek akan pertanyaan istrinya.
Cici kembali menekan saklar menyalakan kembali lampu teras, kembali memberi pertanyaan yang sama, "Abi, ini selendang merah siapa?"
Akmal tersenyum tipis, "Punya Ami lah, punya siapa lagi? Emang ada wanita lain dirumah kita? Jelas-jelas kita tinggal hanya bertiga, Oneng datang jam sembilan. Atau jangan-jangan punya istri tetangga sebelah!"
Akmal menggoda puncak hidung istrinya, agar tidak memikirkan hal-hal aneh yang sangat membingungkan dirinya sejak dini hari.
"Abi, Ami serius....! Masak tetangga sebelah meletakkan selendangnya di mobil kita? Buat apa coba?"
Cici menatap kesal kearah Akmal.
Akmal tidak ingin berdebat dengan sang istri, dia mengambil selendang merah nan halus lembut tersebut, meletakkan didalam kantong travel bag yang akan dia masukkan ke dalam bagasi mobil belakang. Sontak kejadian itu membuat Mira putri kecil mereka menangis tanpa sebab.
Cici berusaha menenangkan putri kesayangannya, mengusap lembut punggung Mira, kembali mematikan saklar lampu teras, bergegas memasuki mobil.
"Tenang sayang...! Kamu mau apa? Mau kue, susu, atau apa?"
Cici menggerakkan kakinya, untuk menimang putri kecilnya agar tenang. Namun Mira menangis semakin keras, melihat kearah belakang, seperti melihat sesuatu yang sangat menakutkan.
"Apa siih nak, Ami disini, sebentar lagi Abi masuk. Kita antar Abi yah?"
Cici terus membujuk Mira agar tenang, menanti Akmal memasuki stir kemudi.
Akmal tersenyum sumringah, menggoda putrinya agar tenang, "Abi disini, anak cantik Abi mau apa? Mau sama Abi? Duduk disini?"
Mira masih menangis, namun tidak diacuhkan oleh Akmal, segera melajukan kendaraannya meninggalkan kediaman mereka menuju kantor cabang tempat Akmal bekerja.
Cici memberikan susu pada Mira, agar tenang dalam pelukannya.
"Tuhkan, diam kalau udah dapat dot kesayangan. Anak Abi pintar."
Akmal mengusap lembut kaki mungil Mira yang tertutup kaos kaki agar tidak kedinginan.
Cici masih tampak kebingungan, masih membayangkan selendang merah yang digunakan wanita tadi malam, "Apakah itu selendang merah wanita kereta kencana? Kenapa dia meninggalkan selendangnya? Apakah dia akan...? Aaaagh, sepertinya aku terlalu dihantui perasaan takut."
Akmal tengah serius melajukan kendaraannya, seketika dia melihat sosok wanita sangat cantik yang terlintas dihadapannya, saat mengehentikan mobil di persimpangan lampu merah yang tengah menyala.
Wanita yang mengenakan selendang merah, bahkan sangat memukau pandangannya.
"Cantik... sangat sempurna...!"
Akmal terpesona, bahkan tidak menyadari bahwa lampu sudah hijau namun dia masih melamun hingga terdengar suara klakson dari arah belakang.
Cici yang menyadari suaminya tengah melamun, menepuk pelan pundak Akmal, "Abi... mikirin apa sih? Udah hijau...! Jalan...!"
Akmal terlonjak kaget mendengar suara istrinya. Dia menunjuk kearah tampak kebingungan, membuat dia kembali menekan pedal gas untuk menambah kecepatannya.
Cici yang menyadari suaminya sedang tidak baik-baik saja, hanya bisa tersenyum tipis, "Lihat apa sih? Ampe enggak tahu lampu hijau."
Akmal menoleh kearah Cici, mengusap lembut kepala istrinya, tersenyum manis untuk menutupi rasa khilafnya.
"Ami hari ini kerja?"
"Hmm, kayaknya enggak. Kasih tugas aja, Ami lagi malas keluar rumah. Palingan nanti pergi sebentar buat belanja mingguan kayak biasa."
Akmal mengangguk mengerti, "Hati-hati yah Ami sayang. Makasih tadi malam, Ami hot banget."
Cici tertawa terbahak-bahak, mendengar celotehan suaminya semakin tidak biasa, "Kok tumben Abi bilang makasih? Selama empat tahun menikah, paling cuma kasih sun sayang aja. Sekarang baru denger ucapan makasih, kayaknya baru dapet durian runtuh Ami sangking bahagianya."
Keduanya kembali tertawa, merasakan kebahagiaan yang tidak akan pernah berakhir, karena kebersamaan yang selalu hangat, walau ada beberapa pertikaian, namun kedewasaan keduanya mampu memberikan kenyamanan untuk keutuhan rumah tangga mereka.
Akmal pria hitam manis, berusia 27 tahun yang berprofesi sebagai manager Bank swasta. Wajah manis sangat berwibawa, membuat Cici sang penari seni melayu jatuh cinta pada pandangan pertama.
Mereka diperkenalkan melalui perjodohan keluarga diusia muda. Merasa cocok dan memutuskan untuk menikah setelah melakukan pendekatan beberapa bulan.
Mobil terparkir didepan kantor cabang tempat Akmal bekerja, tentu sudah dinanti beberapa rekan kerja pria bertubuh ideal itu, tidak tinggi, namun sangat menarik perhatian kaum hawa.
Cici menahan lengan Akmal, sebelum suaminya keluar dari mobil kecilnya, memeluk lengan suaminya penuh perasaan cinta, "Ami merasakan sesuatu yang berbeda kali ini, semoga Abi baik-baik aja. Jangan lupa kabarin Ami yah?"
Mata Cici berkaca-kaca menahan tangis, sepertinya tidak kuasa untuk membendung rasa takut kehilangan suaminya.
Akmal mengusap lembut kepala Cici, mengecup lembut kening istrinya, "Insyaallah Abi baik-baik saja, Ami juga hati-hati. Abi pergi hanya tiga hari, bukan tiga abad!"
Cici memajukan bibirnya manja, menanti ciuman mesra dari suami tercinta.
Tentu Akmal menggoda istrinya, mengecup lembut bibir Cici, namun kembali pemandangannya semakin terganggu karena melihat sosok wanita yang dia lihat saat berada di lampu merah, tengah duduk dibelakang kursi penumpang tengah memperhatikan kemesraan pasangan suami istri tersebut.
"Astaghfirullah...!"
Akmal melepas ciumannya, membuat Cici terlonjak kaget, merasakan apa yang dirasakan Akmal.
"Abi kenapa?"
Cici mengalihkan pandangan, kearah pandangan Akmal, yang masih mengusap-usap dadanya pelan.
"Hmm, enggak apa-apa. Yuuk, kita turun aja. Abi ambil travel bag dulu di bagasi belakang."
Bergegas pria manis itu turun dari mobil, membuka pintu bagasi, kembali mengusap matanya, atas pemandangan yang dia lihat barusan.
"Kenapa wanita itu seperti mengikuti langkahku? Perasaan tadi hanya lihat sekilas di lampu merah. Kenapa seperti dia mengikuti keluargaku? Aaagh... mungkin karena aku terlalu lelah, karena tadi malam tidur agak larut."
Akmal menutup pintu bagasi, mendekati Cici, yang tengah menunggunya sambil menggendong tubuh mungil Mira yang masih terlelap.
"Yuuk, kita basa basi dulu!"
Akmal membawa Cici, untuk bergabung dengan rekan kerjanya mengucapkan selamat jalan dan selamat sampai tujuan.
Cici yang sedikit kelelahan karena menggendong Mira, meminta Akmal menurunkan baby stroller milik Mira yang selalu mereka bawa kemanapun.
Akmal yang merupakan suami siaga, bergegas mengambil baby stroller sesuai permintaan sang istri, namun betapa terkejutnya dia saat kembali melihat wanita yang sama mengikutinya dengan berdiri tegak menatap lekat wajah pria hitam manis itu.
Akmal terdiam, kakinya menggigil, sedikit ketakutan, karena mengagumi kecantikan wanita yang sangat mempesona dihadapannya, tanpa tersenyum, namun sangat memukau. Pesona wanita yang sangat menarik, bahkan meluluhkan imannya sebagai seorang pria biasa.
"Ya Tuhan... apakah ini hari terakhir ku berkumpul dengan keluarga kecilku?"
Akmal mengusap lembut wajahnya, menarik nafas dalam, membuangnya pelan, kembali fokus pada istri yang menantikan kedatangannya membawa baby stroller untuk putri kesayangan mereka.
Keberangkatan Akmal menuju Bukittinggi Sumatera Barat, bukan yang pertama kali. Sudah ada beberapa kali pria hitam manis itu melakukan perjalanan dinas menuju tempat yang sama. Namun entah mengapa, kali ini sangat berbeda bagi wanita cantik yang memiliki hobi menari untuk mengisi waktu senggangnya.
Cici memeluk Akmal sangat erat, namun pria itu semakin suka menggoda sang istri.
"Ami peluk deh puas-puas, biar lega...!"
Akmal mengusap lembut punggung istrinya, sesekali melirik kearah Mira yang masih terlelap di baby stroller.
Cici mengusap air mata yang sejak tadi sulit dia bendung, mengalir tanpa sebab, bahkan rasanya kepergian Akmal kali ini sangat berbeda dari biasanya.
Akmal membuka penutup baby stroller, mencium putri mungilnya, mengusap lembut ubun-ubun kepala Mira seperti berbicara dari hati ke hati.
Dony menghampiri pasangan suami istri yang tampak harmonis itu, sedikit berbisik pada Akmal, "Bro, udah ditunggu. Yang lain udah naik ke bis. Tinggal kamu saja."
Akmal menutup kembali penutup baby stroller, kembali mengecup kening Cici dengan penuh perasaan.
"Abi berangkat, Assalamualaikum...!"
Akmal menaiki bis, melambaikan tangan, tampak tidak seperti biasanya. Wajah manisnya menyiratkan kesedihan, namun tidak mampu terucapkan.
Cici bersama para istri yang ikut melepaskan keberangkatan pasangan mereka masing-masing, untuk perjalanan dinas, hanya bisa turut melambaikan tangan kearah bis yang semakin menjauh.
Cici menghela nafas panjang, melihat bis 3/4 itu berlalu dengan kecepatan sedang, tengah berbalik arah, kembali melewati keluarga yang ditinggalkan.
Cici mendorong baby stroller, menyalakan mobil lebih dahulu, meletakkan Mira dengan sangat hati-hati di jok belakang, karena masih terlelap.
Namun betapa terkejutnya Cici, saat meletakkan putri kesayangannya, Mira terjaga, menangis dengan suara keras memanggil Abi-nya. Sontak Cici kembali menggendong Mira, membawa dalam pelukannya.
Secepat kilat, wanita yang sudah terbiasa melipat baby stroller, sambil menggendong sang putri, memasukkan kedalam bagasi mobil segera.
"Kenapa anak Ami hmm.... Abi kan udah berangkat sayang? Kita pulang yah?" Cici mengusap lembut kepala putri kecilnya, dengan penuh kasih sayang, menuju stir kemudi, memangku Mira.
"Anak Ami cantik, jangan nangis lagi...!"
"Abiiii.....!" Mira kembali berteriak memanggil Akmal.
Mendengar tangisan Mira, Cici kembali tidak tenang. Dia menghentikan kendaraannya, meletakkan Mira disampingnya, agar lebih leluasa, namun gadis kecil itu masih terus menangis.
"Sayang... diam nak. Ami disini, duduk disini dulu yah? Ami pasangin safety belt, biar Ade cantik Ami enggak jatuh," Cici membujuk Mira agar kembali tenang.
Bergegas Cici memberikan botol kesayangannya, namun ditepis oleh Mira. Air matanya tidak kunjung mengering, bahkan membuat Cici tampak panik.
Dia meraih handphone miliknya, segera menghubungi Cardo, salah satu keponakannya yang bekerja disalah satu kantor pemerintahan.
"Do, kamu dimana?"-Cici.
"Dirumah kak, kenapa? Itu suara Mira? Kenapa dia nangis?"-Cardo.
"Sini dong...! Kakak habis antar Abi, Mira, tapi Mira enggak mau diam setelah Abi-nya berangkat. Nanti kenapa-kenapa susah, denger sendiri, nih suara tangis Mira!"-Cici.
"Emang Kak Ci dimana?"-Cardo.
"Hmm, Kakak didepan kantor kamu, kejaksaan!"-Cici.
"Ya udah, tunggu disana!" Cardo menutup telfonnya.
Cici, memangku Mira, kembali membujuk putrinya agar tenang. Tangis Mira semakin keras, bahkan keringat dingin membasahi kepalanya, membuat dia harus menyalakan AC mobil lebih dingin lagi.
Sinar matahari yang cukup menghangatkan kota kecil itu, membuat Cici, memilih untuk memarkirkan mobilnya, didepan salah satu warung sarapan pagi.
"Gadis Ami lapar, yah? Yuk, kita makan dulu. Biar Ade enggak rewel lagi, sambil nunggu Om Cardo!"
Cici mengambil kunci mobil, membawa tas-nya, menuju warung sarapan pagi yang ada didepan gedung perkantoran.
Perlahan Cici menarik nafasnya, menekan tombol agar mobilnya terkunci, membawa Mira dalam gendonganya.
Benar saja, Mira sedikit tenang dan ceria, saat berada didalam keramaian. Wajahnya yang sembab, karena kelelahan menangis membuat tawanya semakin melebar, saat pemilik warung menyapanya.
Cici memilih duduk dikursi meja paling depan, agar terlihat oleh Cardo yang sedang menyusulnya.
Cici memesan lontong sayur, dan segelas teh hangat untuk mereka berdua. Mira yang tengah asik menikmati susu yang berada dibotol kesayangan dalam pangkuan sang ibunda, hanya menggoyangkan kaki mungilnya.
Mira Anastasya, putri kesayangan Akmal dan Cici yang berusia tiga tahun, memiliki tubuh mungil, dan sangat manja pada Akmal.
Mereka berdua saling berbagi dalam merawat buah hati, disela-sela kesibukan Akmal dan Cici yang jauh dari keluarga besarnya.
Oneng, pembantu rumah tangga yang selalu merawat Mira saat Cici melakukan tugasnya sebagai asisten dosen. Jam kerja yang sudah diatur oleh keduanya, untuk saling mengingatkan jadwal siapa yang pulang kerumah lebih dahulu.
Sepiring lontong sayur dan segelas teh manis hangat, habis tidak bersisa dilahap dua wanita cantik yang tengah menunggu keluarganya.
Mira kembali memeluk Cici, karena merasa kelelahan setelah menangis terlalu lama, membuat dia terlelap dalam pelukan sang ibunda.
Cardo datang menggunakan ojek online, mendekati Cici yang tampak kelelahan, menggendong Mira.
"Kak...! Kenapa nggak biarin Abang Akmal pergi pakai gocar atau biasanya pakai maxim? Kok tumben diantar?" Cardo mengambil Mira dari pelukan Cici.
Bergegas sang keponakan tampan itu membayar semua yang telah disantap Cici, membawa Mira ke mobil, karena waktu sudah mendekati untuk masuk kantor.
"Kamu terlambat, Do?" Cici membuka pintu mobil, memasuki jok penumpang, menyambut tubuh Mira.
"Iya, masuk jam 07.30 sih. Tadi sudah minta izin, karena ngurusin kakak. Aku khawatir mendengar tangis Mira, takut keram perut atau malah masuk angin. Enggak baik biarin anak nangis terus, takutnya kesambet!"
Cici menggelengkan kepalanya.
Cardo melajukan kendaraannya, meninggalkan warung sarapan mereka, menuju kediaman Cici.
"Kapan Abang pulang?" Cardo kembali menanyakan pada Cici tentang Akmal.
"Katanya tiga hari, dinas kayak biasa!"
Cici mengelus lembut rambut putrinya, mengecup lembut kening Mira, "Hmm, baru kali ini dia rewel banget Abang pergi. Kak Ci, jadi kewalahan. Biasanya aman saja, kayak Abi-nya mau pergi jauh."
Cardo menoleh kearah Cici, "Iyalah Kak, namanya juga anak cewek. Pasti dekat sama Abi-nya. Apalagi Cardo lihat, Abang Akmal kan perhatian banget sama Mira. Anaknya nggak boleh nangis, tapi sudah diletakkan dalam box sendiri kalau malam."
Cici tertawa, "Itu Abi-nya, enggak mau anaknya melihat' yang aneh-aneh kalau malam. Gimana sih kamu, kayak kamu sama Nisa enggak begitu."
Mereka tertawa, terbahak-bahak saling bercerita ringan seputar hubungan Cardo dan Nisa, yang baru memiliki seorang putra berusia satu tahun.
Cici kembali teringat, selendang merah yang menutupi kaca mobil sebelum keberangkatan mereka. Perlahan dia menoleh kebelakang, mencari keberadaan selendang merah yang tidak diketahui dimana Akmal meletakkannya.
"Dimana diletakkan Abi yah? Kok malah enggak ada?"
Cici merogoh kantong belakang yang terletak dijok kemudi, namun tidak menemukan apapun.
"Mana yah...!?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!