“Bagaimana para saksi? Sah?”
“Sah !!” Jawab serentak para saksi yang memang sengaja di undang untuk menghadiri acara sakral sederhana tersebut.
Sementara sang mempelai pria dan wanita itu tampak tersenyum bahagia setelah berhasil bersumpah dihadapan Tuhan, penghulu, juga para saksi yang hadir. Namun ditengah rasa bahagia itu ada sebesit rasa ragu dihati Zahra karna pernikahan yang mereka berdua selenggarakan tidak dihadiri oleh kedua orang tua Faza, laki laki yang baru saja berstatus sebagai suaminya.
“Mas...”
“Zahra, ini hari bahagia kita. Tolong jangan bahas apapun dulu oke?”
Zahra langsung bungkam. Jika tidak karna takut kehilangan Faza, mungkin Zahra tidak akan mau menikah secara diam diam seperti itu.
Acara sakral itu berlangsung dengan meriah meski tamu undangan hanya dari para tetangga dekat saja. Namun itu semua tidak mengurangi rasa bahagia dihati Faza juga Zahra.
“Kakak nggak mau tau Faza, secepatnya kamu harus beritahu keluarga kamu tentang pernikahan ini. Kakak nggak mau kalau sampai Zahra yang menjadi korban.” Ujar Aris, kakak Zahra.
Aris dan Zahra adalah sepasang saudara yang memang sudah sejak kecil hanya hidup berdua. Kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Sedangkan sanak saudaranya, semuanya jauh dikampung halaman.
“Kakak nggak perlu khawatir. Aku pasti akan beritahu mamah sama papah. Tapi tidak dulu untuk sekarang. Aku akan mencari moment yang tepat.” Balas Faza tenang.
Sementara Zahra, dia hanya diam saja. Zahra bahagia karna akhirnya statusnya dan Faza jelas. Tapi Zahra juga ragu mengingat kedua orang tua Faza yang tidak pernah sedikitpun menyukainya.
“Ya sudah kalau begitu. Tapi ingat Faza, kakak tidak akan segan memukul kamu kalau sampai Zahra terluka.”
“Aku jamin Zahra akan selalu tersenyum kak.” Faza tersenyum dengan santai membalas ucapan menggebu gebu Aris, sang kakak ipar.
Aris melirik adik semata wayangnya yang masih mengenakan kebaya putihnya. Aris tidak bermaksud merusak hari bahagia adiknya. Aris hanya khawatir juga kesal pada Faza yang telah membohonginya dengan mengatakan kedua orang tuanya akan datang menyusul agar Aris mau menjadi wali untuk Zahra.
“Asal kamu tau Faza, sesuatu yang dimulai dari kebohongan itu tidak akan baik pada akhirnya. Tapi ingat, jika sampai adikku menderita kamu satu satunya orang yang akan ku cari.”
Ekspresi Faza langsung berubah. Ucapan Aris kali ini benar benar mengenai hati dan perasaan-nya.
“Ra, kakak pulang dulu..”
Zahra bangkit dari duduknya disofa kemudian mendekat pada Aris. Zahra menyalimi Aris yang memang sangat dia hormati. Hanya Aris keluarga satu satunya yang Zahra miliki sejak kedua orang tuanya meninggal.
“Kakak hati hati. Salam buat kak nadia dan dede Arka.” Ujar Zahra tersenyum.
“Ya.. Kamu baik baik sama suami kamu. Kakak akan sering sering datang kesini buat jengukin kamu.”
Faza melengos mendengar apa yang Aris katakan pada Zahra. Faza merasa Aris tidak percaya padanya tentang Zahra.
Faza melangkah menuju kamar pengantin-nya dan Zahra. Faza sadar apa yang dilakukan-nya dengan membohongi Aris salah. Tapi Faza juga tidak bisa jika harus kehilangan Zahra. Faza ingin memberikan status yang jelas pada Zahra yang memang sudah dipacarinya sejak lulus SMA.
Faza mendudukan dirinya ditepi ranjang. Pandangan-nya menyapu keseluruh sudut kamar yang memang sudah dihias sedemikian indahnya dengan kelopak bunga mawar merah yang bertaburan dilantai juga seprai putih bersih ranjang pengantin-nya dan Zahra.
Faza tersenyum. Faza melupakan apa yang Aris katakan padanya beberapa menit lalu begitu membayangkan masa depan indahnya bersama Zahra. Faza berpikir mereka berdua akan secepatnya dikaruniai buah hati oleh Tuhan seperti pasangan suami istri pada umumnya.
“Mas mau mandi sekarang?”
Lamunan Faza buyar seketika begitu suara Zahra masuk kedalam indra pendengaran-nya. Faza menoleh kearah pintu dan tersenyum sambil menepuk pelan tempat disampingnya menyuruh agar Zahra duduk disampingnya.
Zahra yang mengerti maksud Faza pun mendekat dan duduk tepat disamping suaminya.
“Aulia Zahra, sekarang kamu benar benar menjadi milikku seutuhnya.”
Faza meraih tangan Zahra, menggenggamnya lembut seolah meyakinkan bahwa mereka akan selalu bersama dalam keadaan apapun.
Zahra menatap tangan-nya yang digenggam Faza. Senyumnya mengembang menatap cincin yang melingkar dijari manisnya juga Faza. Cincin 2 gram yang menjadi tanda pengikat hubungan sah mereka.
Zahra kemudian menatap wajah tampan Faza. Rasanya seperti mimpi. Kakak kelas 2 tingkat darinya itu kini benar benar menjadi suaminya.
“Mas..” Panggilnya pelan.
“Hem..” Saut Faza mengangkat tangan Zahra yang digenggamnya kemudian menciumnya sekilas.
“Besok pagi kita ke makam ayah sama ibu yah.. Aku mau kasih tau mereka bahwa sekarang anak gadisnya sudah bersuami.”
Faza mengangkat sebelah alisnya.
“Gadis?” Tanyanya menatap Zahra.
Zahra mengangguk dengan senyuman manis yang terukir dibibirnya. Kebaya pengantin putih tulangnya masih melekat dengan sempurna ditubuh langsingnya. Bahkan riasan dikepalanya pun masih dengan kokoh dan rapi.
“Memangnya kamu yakin setelah malam ini kamu masih gadis hem?”
Pipi Zahra langsung merona mendengar pertanyaan dengan nada menggoda yang keluar dari bibir tipis Faza. Ini memang bukan kali pertama Faza menggodanya. Namun keadaan-nya sekarang berbeda. Jika dulu Zahra bisa cuek saat masih pacaran jika Faza menggodanya. Tapi sekarang, mereka sudah menikah bahkan sedang duduk berdua diatas ranjang. Dan godaan Faza benar benar langsung tepat mengenai rasa malu Zahra.
“Apaan sih kamu mas. Nggak lucu tau.”
Zahra yang malu berniat bangkit, namun Faza tidak mengizinkan Zahra meninggalkan-nya. Faza terus menggenggam tangan kecil Zahra.
“Aku nggak sedang melucu. Aku serius Zahra.”
Zahra menggigit bibir bawahnya. Membayangkan dirinya bergumul diatas ranjang bersama Faza malam ini membuatnya malu sendiri. Zahra sadar akan statusnya sekarang. Zahra juga sadar sudah menjadi kewajiban untuknya melayani Faza.
“Eemm.. Mas aku mandi dulu. Badanku lengket dan bau..” Zahra mencoba mengulur waktu dengan beralasan ingin mandi.
Faza yang mendengar itu tertawa. Pria yang masih lengkap dengan setelah jas hitamnya itu kemudian melepaskan tangan Zahra yang di genggamnya. Faza mengerti Zahra mungkin malu dan gugup. Dan Faza tidak mau menekan istri imutnya itu.
“Baiklah.. Aku akan menunggu disini..” Katanya sebelum Zahra berlalu keluar dari kamar mereka.
Setelah Zahra keluar dari kamar, Faza pun membaringkan tubuhnya diatas ranjang. Faza sudah sangat tidak sabar ingin melalui malam indahnya bersama Zahra malam ini.
“Mas Faza !!”
Teriakan Zahra dari arah kamar mandi membuat Faza langsung bangkit dari berbaringnya. Khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada Zahra, Faza pun bergegas menyusul Zahra kekamar mandi yang memang berada disamping dapur rumah Zahra.
“Ada apa Zahra?” Tanya Faza begitu sampai didepan pintu kamar mandi.
Hening
Zahra diam dari dalam kamar mandi dengan kedua mata terpejam.
“Zahra, kamu nggak papa kan?” Faza kembali bertanya dengan nada khawatir.
Zahra menggigit bibir bawahnya. Faza pasti akan sangat kecewa jika tau dirinya kedatangan tamu bulanan-nya malam ini.
“Aku nggak papa mas.” Jawab Zahra pelan.
Zahra dapat dengan jelas mendengar helaan napas lega Faza. Zahra yakin Faza pasti khawatir karna panggilan lantangnya tadi.
”Mas bisa tolong ambilkan pembalut dilemari?” Tanya Zahra hati hati.
Faza mengeryit bingung.
“Pembalut?” Tanyanya mengulang nama barang yang sedang di inginkan oleh istrinya.
“Aku mens mas.”
Seketika bayangan indah Faza malam ini sirna saat itu juga. Zahra mendapat tamu bulanan-nya yang artinya mereka berdua tidak bisa melakukan malam pertama.
Faza terbangun saat Zahra menyingkap hordeng dikamarnya. Zahra tertawa geli melihat ekspresi Faza yang menurutnya sangat lucu.
“Tutup dong hordengnya..” Erang Faza memejamkan erat matanya karna sinar mentari pagi yang membuatnya silau.
“Sudah siang mas. Mending sekarang mas bangun terus mandi. Aku udah bikinin sarapan.” Senyum Zahra berkata.
Faza berdecak kemudian bangkit dari berbaringnya. Pria dengan rambut berponi itu kemudian turun dari ranjang dan berlalu begitu saja tanpa mengatakan apapun pada Zahra.
Zahra hanya bisa menggeleng melihatnya. Zahra tau penyebab mood suaminya itu jelek pagi ini. Apa lagi kalau bukan karna Zahra yang sedang mendapat tamu bulanan-nya. Padahal jika Zahra tidak mens mungkin semalam mereka sudah melakukan-nya.
“Mas, besok aku sudah mulai kerja. Pak Santo cuma beri aku cuti tiga hari doang.”
Faza berhenti mengunyah nasi goreng dalam mulutnya menatap heran pada istrinya. Kesal sebenarnya, sudah tidak melakukan ritual wajib dimalam pertama sekarang malah membahas tentang cuti singkat yang diberikan manager restoran tempat Zahra bekerja sebagai waitress.
“Bisa tidak jangan bahas masalah kerjaan dulu? Aku juga cuti, tapi enggak sesingkat itu.”
Senyuman dibibir Zahra perlahan memudar. Nada bicara Faza seperti orang yang sedang marah.
“Kamu marah sama aku?”
Faza berdecak kemudian segera meraih segelas air putih dan menenggaknya sampai habis. Jika menjawab pertanyaan Zahra sekarang mereka berdua pasti akan bertengkar. Dan Faza tidak ingin dihari pertamanya menjadi pasangan suami istri dengan Zahra harus ribut hanya karna masalah sepele.
“Setelah ini kita pergi ke restoran. Kita ajukan lagi cuti untuk kamu.” Ujar Faza.
“Apa? mengajukan cuti lagi?”
Zahra menggeleng tidak percaya. Faza benar benar sangat kekanak kanakan sekarang.
“Ayolah Zahra, kita itu baru menikah kemarin. Masa tiba tiba harus bekerja. Aku aja seminggu cuti. Masa kamu cuma tiga hari. Itupun dihitung dari hari kita menikah. Manager apa seperti itu?”
“Mas tapi..”
“Zahra please.. Kita sudah menikah sekarang.. Memangnya salah kalau kita menikmati waktu berdua saja setelah menikah?” Sela Faza menatap Zahra dengan wajah sendunya.
Zahra menelan sisa makanan dalam mulutnya. Pertanyaan Faza membuatnya tidak bisa menjawab. Mempunyai waktu berdua dengan Faza memang penting untuknya. Tapi pekerjaan-nya juga penting untuk Zahra.
“Aku sudah kenyang.” Ujar Faza kemudian bangkit dari duduknya dan berlalu dari meja makan meninggalkan Zahra yang terus diam ditempatnya duduk.
Hari indah setelah pernikahan bersama Zahra yang Faza bayangkan ternyata tidak nyata. Mereka bahkan bertengkar dihari pertama yang sukses membuat mood Faza turun derastis.
Faza mendudukan dirinya diteras. Pria dengan rambut berponi itu menatap kesegala arah halaman rumah sederhana itu. Rumah itu adalah rumah peninggalan kedua orang tua Zahra. Rumah yang memang tidak semewah rumah kedua orang Faza.
Faza menghela napas. Dulu Faza bercita cita akan menikahi Zahra setelah mempunyai hunian sendiri. Tetapi lagi lagi semuanya tidak sesuai dengan apa yang Faza bayangkan. Tabungan-nya belum cukup untuk membeli rumah.
Deringan ponsel dalam saku celana pendek selututnya membuat Faza tersentak. Faza segera merogoh saku celana pendeknya mengeluarkan benda pipih itu.
Anita, nama itu terpampang dilayar menyala ponsel berkesing hitam milik Faza.
Anita adalah teman sekantor Faza. Salah satu wanita yang dekat dengan Faza ditempat kerja.
“Mau ngapain lagi nih orang telpon. Nggak tau orang lagi bad mood apa yah?”
Enggan mengangkat telepon dari Anita, Faza pun meletakan ponsel miliknya diatas meja. Faza sedang malas berbicara dengan siapapun sekarang. Mood nya benar benar jelek dari semalam.
“Mas..”
Faza menoleh ketika mendengar suara pelan Zahra.
“Aku rasa kita nggak perlu lah datang kerestoran buat minta tambahan cuti sama pak Santo. Aku takut dia marah terus berimbas tidak baik pada pekerjaan aku.”
Faza melengos. Zahra benar benar keras kepala kali ini.
“Ya sudahlah terserah kamu aja.”
Faza enggan berdebat sehingga memilih mengalah. Faza tidak mau semakin memperburuk hari hari indah setelah pernikahan yang selalu dibayangkan-nya.
Zahra tersenyum mendengarnya. Lega sekali rasanya karna akhirnya Faza mau mendengarkan-nya meskipun tampak ogah ogahan.
Ponsel Faza kembali berdering namun Faza tetap mendiamkan-nya membuat Zahra merasa penasaran karna suaminya itu seperti sengaja mengabaikan-nya.
“Mas kenapa telepon-nya nggak diangkat?” Tanya Zahra mendekat pada Faza.
“Udahlah biarin aja, nggak penting juga.”
Zahra mengeryit. Mood suaminya memang sudah tidak bagus sejak dibangunkan pagi tadi. Dan Zahra menebak mungkin memang karna semalam mereka gagal melakukan ritual malam pertamanya sehingga membuat Faza seperti sekarang.
“Memangnya siapa yang telepon kamu pagi pagi begini?”
“Anita.” Jawab Faza singkat.
“Anita teman kerja kamu itu mas? Anita yang suka pake baju sexy?”
Faza melirik kesal pada Zahra yang memang selalu bawel dan banyak bertanya jika sudah membicarakan tentang Anita.
“Jangan bilang kamu mau cemburu. Aku sama Anita itu cuma temenan Zahra. Jangan berlebihan.”
Zahra berdecak. Faza memang selalu bersikap biasa pada Anita. Tapi Anita, dia sepertinya selalu berusaha mengambil perhatian Faza. Zahra mengakui Anita memang cantik bahkan sangat. Hidungnya mancung, kulitnya putih bersih dengan tubuh langsing dan tinggi semampai. Hanya pria bodoh saja yang tidak mau meliriknya.
“Tuh kan.. Kalau sudah begini aku tau apa yang ada dipikiran kamu.” Faza menatap jengah pada Zahra yang memang selalu merasa ciut jika sudah membandingkan fisiknya sendiri dengan Anita.
Faza sendiri juga menyadari itu. Jika dibandingkan dengan Anita, Zahra memang tidak ada apa apanya. Tapi hatinya tidak bisa bohong. Secantik dan sesempurna apapun Anita, yang Faza cintai tetaplah Zahra.
“Dia kan memang cantik, tinggi, langsing. Nggak kaya aku yang pendek, bogel bahkan.” Zahra berkata dengan pesimisme tingkat tinggi membuat Faza semakin kesal. Tapi Faza juga tidak sampai hati marah pada Zahra yang sedang merasa tidak cantik didepan-nya.
Faza bangkit dari duduknya. Pria itu berdiri tepat didepan Zahra yang menunduk merasa tidak percaya diri didepan-nya.
“Kenapa jadi nyela diri sendiri sih. Apapun yang Tuhan kasih harusnya kamu bersyukur Zahra.” Nada bicara Faza sedikit melembut sekarang. Zahra akan sangat sensitif jika sudah pesimis seperti sekarang. Dan Faza tidak mau membuat Zahra meneteskan air matanya.
“Kamu cantik dimata aku. Bahkan mungkin dimata kak Aris juga. Kamu memang pendek, tapi aku suka. Itu membuat kamu terlihat imut.”
Faza tersenyum merasa senang dengan apa yang Faza katakan. Dari awal mereka kenal Faza memang selalu mengatakan Zahra pendek dan dia menyukainya.
“Udah nggak usah sedih, mending sekarang kita jalan jalan aja yuk dari pada suntuk dirumah.”
Zahra mengangkat pelan kepalanya menatap wajah tampan Faza. Itulah yang selalu membuat Zahra merasa nyaman. Meskipun sedang marah tapi Faza bisa menahan dirinya bahkan masih bisa menghiburnya jika Zahra sedang tidak percaya dengan dirinya sendiri.
“Siap siap sekarang sebelum aku berubah pikiran.” Ujar Faza menoel ujung hidung Zahra.
“Aku ambil tas dulu.” Senyum Zahra.
“Oke..” Angguk Faza.
Dan pagi itu Faza mengajak Zahra jalan jalan keliling kota dengan motor gedenya.
Pagi ini Faza mengantar Zahra ke restoran tempat Zahra bekerja. Tidak rela sebenarnya membiarkan Zahra bekerja dihari hari baru mereka bersama. Tapi Faza tau dan hapal bagaimana Zahra. Faza tidak ingin membuat masalah pada hubungan-nya sendiri sehingga lebih memilih mengikuti apa yang Zahra mau kali ini.
“Mas kamu nggak pulang? Aku udah nyampe loh dari tadi..”
Zahra tertawa merasa bingung sendiri karna Faza terus saja duduk dengan santai diatas motor besarnya padahal mereka sudah sampai didepan restoran bahkan Zahra juga sudah menyaliminya.
“Aku pulang juga dirumah sendirian kan?”
Zahra mengeryit.
“Terus?”
“Ya aku mau ikut masuk. Aku mau tungguin kamu sampai kamu selesai kerja.” Jawab Faza dengan santainya.
Zahra melongo mendengarnya. Bagaimana mungkin Faza ikut masuk dan menunggunya seharian bekerja. Rasanya akan sangat aneh. Bahkan mungkin semua teman teman seprofesinya akan menertawakan-nya.
“Mas tapi kan..”
“Tapi kan apa? Kamu takut ketahuan genit sama tamu tamu disini?”
Kedua mata Zahra melotot mendengar selaan Faza. Faza memang pria yang sangat pencemburu. Tidak jarang mereka bertengkar jika Faza sudah mulai curiga dengan rasa cemburu berlebihan-nya itu.
“Kamu ngomong apa si mas? Aku nggak begitu ya..”
Faza tertawa melihat ekspresi kesal Zahra.
“Bercanda kok. Aku percaya kok istri aku ini orang yang setia.”
Zahra berdecak.
“Nggak lucu bercanda nya.”
Faza tertawa geli. Pria itu berpikir mungkin karna Zahra sedang mendapat tamu bulanan-nya sehingga sangat mudah marah dan tersinggung.
“Sudahlah, aku mau kerja. Terserah mas mau menunggu disini atau pulang.”
Zahra berlalu menjauh dari Faza dengan menghentak hentakan kedua kakinya saat melangkah. Faza yang melihatnya tertawa geli karna tingkah menggemaskan istrinya saat sedang marah itu.
Ketika Faza hendak turun dari motor gedenya tiba tiba ponsel dalam saku celana jins hitamnya berdering. Pria tampan berperawakan tinggi itu segera merogoh saku celana panjangnya mengeluarkan benda pipih itu.
Faza terdiam ketika mendapati nama sang mamah yang tertera dilayar ponselnya. Faza tau mamahnya pasti sangat khawatir sekarang karna dirinya sudah dua hari tidak pulang kerumah.
Faza menarik napas dalam dalam kemudian menghembuskan-nya perlahan. Mamah dan papahnya tidak tau perihal pernikahan-nya dengan Zahra, begitu juga dengan Fadly adiknya. Faza sengaja menyembunyikan-nya dari keluarganya karna kedua orang tuanya yang tidak pernah setuju dengan hubungan-nya dan Zahra. Bahkan kedua orang tuanya berniat menjodohkan-nya dengan wanita yang Faza saja belum pernah mengenalnya. Mamahnya bilang wanita itu adalah anak teman sepermainan-nya saat masih muda dulu.
Ponsel Faza terus saja berdering meski Faza mendiamkan-nya. Berkali kali hingga akhirnya Faza memutuskan untuk mengangkatnya.
“Ya Tuhan Faza ! Kamu dimana nak? Kenapa tidak pulang?”
Faza memejamkan kedua matanya tidak tau harus menjawab apa. Faza tidak berniat membohongi kedua orang tuanya. Tapi Faza juga tidak mau di jodohkan. Faza hanya mencintai Zahra.
“Halo mah..”
“Kamu dimana? pulang sekarang.”
Suara mamahnya begitu sangat tegas membuat Faza tidak tau harus mengatakan apa. Faza tau cepat atau lambat kedua orang tuanya pasti akan mengetahui tentang pernikahan-nya dan Zahra. Faza memang berniat akan jujur dan membawa Zahra kehadapan kedua orang tuanya. Tapi dalam waktu dekat ini. Faza merasa harus memikirkan semuanya secara matang dulu mengingat kedua orang tuanya yang sangat menentang hubungan-nya dengan Zahra terutama sang mamah, Sinta.
“Mah Faza...”
“Kalau kamu nggak pulang mamah akan susul kamu ketempat wanita itu. Mamah tau kamu pasti disana Faza.” Sela Sinta dengan lantang.
Faza berdecak kemudian mematikan sambungan telepon-nya. Mamahnya selalu saja tidak mau mendengarkan apapun alasan-nya. Faza mereka sang mamah menganggapnya seperti boneka yang bisa diatur segala sesuatunya menurut kehendak sang mamah sendiri.
Satu notifikasi masuk membuat Faza langsung mengeceknya. Itu adalah pesan dari Sinta yang berisi ancaman dimana nama Zahra terseret didalamnya.
“Ya Tuhan... Mamah tuh kenapa sih? Nggak pernah sekali saja ngertiin aku..” Faza mengeluh. Sinta memang tidak pernah mau mengerti dirinya juga adiknya Fadly.
Sekali lagi Faza berdecak. Pria itu kemudian turun dari motor gedenya dan masuk kedalam restoran tempat Zahra bekerja. Faza benar benar akan menunggu Zahra sampai selesai bekerja hari ini.
-------
“Ciee.. pengantin baru, sumringah banget wajahnya.”
Zahra menoleh mendengar suara yang tidak asing lagi ditelinganya. Zahra tertawa pelan menanggapi godaan dari Tina, teman seprofesinya di restoran itu.
“Apaan sih kamu Tin. Biasa aja kok.”
Tina tertawa geli kemudian mendekat pada Zahra yang baru saja selesai mengganti bajunya dengan seragam waitrees yang sama dengan-nya.
“Gimana rasanya Ra?” Tanya Tina berbisik pada Zahra.
Zahra mengeryit.
“Rasa apa?” Zahra terlihat kebingungan tidak mengerti dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Tina.
Tina berdecak.
“Nggak usah pura pura polos deh Zahra...”
Zahra menggelengkan kepalanya. Tina memang selalu ingin tau urusan orang lain. Tapi meskipun Tina bawel dan selalu ingin tau Tina tetap teman baiknya yang selalu siap membantunya setiap Zahra mengalami kesulitan.
“Kalian kan pasti sudah melakukan ritual wajib malam pertama kan?” Tanya Tina membuat Zahra langsung merona malu.
“Gimana gimana? kata orang orang rasanya seperti terbang kelangit ketuju.” Tina mulai bawel.
“Iihhh.. Apaan sih kamu nanya nya. Malu tau. Udah ah aku mau mulai kerja. Keburu pak Santo marah nanti.”
Tina mengerucutkan bibirnya. Rasa ingin taunya tentang segala hal memang sangat besar.
“Ck, sok rahasia rahasiaan sama aku.” Dumel Tina kemudian melangkah menyusul Zahra yang keluar dari ruang ganti.
Ketika Zahra mengambil buku catatan untuk mencatat pesanan para pelanggan, pria berjas abu abu dengan postur jangkung mendekat. Zahra yang membalikan tubuhnya hampir saja menabrak manager restoran yang biasa dipanggil pak Santo itu.
“Eh pak.. Pagi pak..” Sapa Zahra kikuk. Hampir saja Zahra menabrak pak Santo.
“Ya pagi.” Balas pak Santo dingin.
Zahra yang melihat raut wajah tidak biasa managernya itu menundukan kepalanya. Jika pak Santo sudah memperlihatkan ekspresi seperti itu pasti ada kesalahan yang membuat hati si manager berambut klimis itu tidak senang.
“Saya tau kamu sudah menikah. Tapi tolong jangan berlaku seenaknya Zahra.”
Zahra memejamkan erat kedua matanya. Entah kesalahan apa yang dibuatnya pagi ini. Padahal Zahra tidak terlambat datang. Zahra juga baru akan mulai bekerja sehingga rasanya tidak mungkin jika dirinya sudah membuat kesalahan.
Pak Santo menatap Zahra yang menunduk dengan rahang mengeras. Pria berusia 30 tahunan itu juga mengepalkan tanganya sebelum akhirnya memilih untuk berlalu dari hadapan Zahra.
Tina yang juga berada disana ikut kebingungan. Tidak biasanya pak Santo bersikap begitu dingin pada Zahra.
“Ra, kamu nggak papa?” Tanya Tina mendekat pada Zahra.
Zahra menelan ludahnya kemudian menggelengkan kepala. Bingung sebenarnya dengan sikap dingin dan teguran tidak mendasar Santoso padanya.
“Aku nggak papa kok.” Jawab Zahra.
“Ya udah yuk kita mulai kerja. Takutnya pak Santo malah tambah marah nanti.”
Tina menganggukan kepalanya setuju. Dan mereka berdua kemudian memulai aktivitasnya dengan menyapa ramah para pelanggan yang datang dan menanyakan apa yang akan dipesan termasuk Faza yang memang sudah duduk tenang dipojok ruangan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!