"Astaghfirullah!"
CHIIIIIIT!!!!!
Itu suara decit ban yang memekakkan telinga disusul dengan aroma karet terbakar. Motor itu berhenti mendadak, ujungnya hanya berjarak beberapa senti dari seorang gadis yang berdiri mematung di tengah zebra cross.
Fadhil melompat turun dari jok belakang, jantungnya masih berdebar kencang.
"Eh, maaf, Feb! Sumpah, nggak sengaja!"
Gadis itu, hanya diam. Tangannya memeluk erat tumpukan buku di dadanya. Tapi matanya menatap tajam ke arah si pengendara.
"Nas! Buruan turun dan minta maaf. Kan lo yang bawa motornya!"
Annas membuka helmnya perlahan. Wajahnya tenang, tapi matanya terkunci pada Febby. Tidak ada kata maaf, tidak ada ekspresi panik. Hanya tatapan lurus yang sulit diartikan.
Fadhil yang merasa serba salah mencoba lagi.
"Serius, Feb. Tadi kita kesiangan, jadi ngebut—"
"Lain kali kalau mau cari mati, jangan ajak-ajak orang."
Suara Febby yang datar dan dingin, memotong ucapan Fadhil. Tatapannya tidak beralih sedikit pun dari Annas. Setelah melontarkan kalimat itu, ia membenarkan letak kacamatanya, lalu berbalik dan berjalan pergi tanpa menoleh lagi.
"Eh, Feb! Maaf ya sekali lagi!" teriak Fadhil pada punggung gadis itu yang semakin menjauh. Ia kemudian menoleh pada Annas yang masih diam di atas motornya.
"Gila lo, Nas! Itu Febby, sekretaris kita sendiri! Mau bikin rapat OSIS besok jadi canggung, hah?!"
Annas akhirnya mengalihkan pandangannya dari sosok Febby yang menghilang di gerbang sekolah. "Buruan naik."
"Nih bocah terbuat dari apa sih hatinya, nggak ada perasaan bersalah sama sekali."
Annas tidak merespon kalimat Fadhil, tangannya dengan gesit menyalakan mesin motornya lagi.
"Mau gue tinggal?"
"Sabar, weh!"
Fadhil buru-buru naik ke jok belakang.
Motor kembali melaju, kali ini dengan kecepatan normal.
"Serius, Nas. Lo kenapa sih?" Fadhil masih belum puas. "Nggak ada niatan minta maaf gitu? Dia cewek loh."
"Dia nggak apa-apa."
"Ya emang nggak apa-apa! Kalau kenapa-kenapa, urusannya panjang! Bisa-bisa jabatan ketua OSIS lo dicopot!"
Annas tidak menjawab. Dan Fadhil hanya bisa menghela napas pasrah.
"Punya saudara gini amat rasanya."
***
"Tumben kamu datang sekolah mepet-mepet gini, Feb?" Gadis dengan tinggi yang sama dengan Febby bertanya sambil melirik jam dinding di kelas mereka.
"Iya An, tadi urusan bentar. Kamu udah selesai PR Bahasa Jawanya?"
"Sudah." Ani mengangguk antusias. "Aku diajarin sama tunanganku. Hehe. Dia 'kan orang Jawa tulen."
"Beruntung kamu—"
"Selamat pagi Febby."
Suara hangat yang selalu menyambutnya terdengar lagi pagi ini.
"Hadeh. Mulai dah drama paginya." Ani melirik malas ke segerombolan pria yang berdiri melingkari bangku mereka.
Satria, dengan senyum andalannya, mencondongkan tubuh ke meja Febby. Di tangannya, ada sebungkus nasi kuning yang masih hangat.
"Udah sarapan, Feb?"
"Udah."
Jawaban singkat itu tidak menghentikan Satria. Ia meletakkan bungkusan itu di atas buku Febby yang baru saja dikeluarkan dari tas. "Bohong. Aku tahu kamu belum sarapan. Nih, spesial buat sekretaris OSIS paling rajin."
"Sikat, Feb! Mumpung gratis!" sahut salah satu temannya dari belakang.
"Biasa, modus paginya si bos," timpal yang lain sambil tertawa.
Febby tidak menyentuh bungkusan itu. Matanya tetap fokus pada buku di hadapannya, seolah gerombolan itu tidak ada di sana. Ia membuka halaman bab tiga, bersiap untuk pelajaran pertama.
"Ayolah, Feb. Dicobain dulu." Satria masih berusaha. "Ini bikinan ibuku, loh."
Ani yang melihatnya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
KRIIING!
Bel masuk berbunyi nyaring, menyelamatkan Febby dari drama yang lebih panjang. Gerombolan itu langsung bubar, berlarian ke bangku masing-masing. Satria menjadi orang yang terakhir pergi.
"Jangan lupa dimakan, ya."
Ia tersenyum sekali lagi sebelum akhirnya berlari ke tempat duduknya di barisan belakang. Nasi kuning itu masih tergeletak di sana, di antara buku paket Bahasa Daerah dan Pepak Bahasa Jawa.
Ani, tiba-tiba menyenggol lengan Febby. "Feb, nasi kuningnya bisa buat aku nggak? Kebetulan aku belum sarapan, nih."
"Makan aja, An."
Tak lama kemudian, Pak Guntur, guru Bahasa Daerah mereka datang. PRia paruh baya dengan kumis tebal itu tersenyum lebar di ambang pintu.
"Sugeng enjang, lare-lare!"
Sontak seisi kelas menjawab sambil menahan tawa, "Enjang, Paaak!"
"Ayo, PR Basa Jawanipun dikempalaken," kata Pak Guntur. "Sinten ingkang dereng nggarap? Maju ngajeng, mboten sah isin-isin."
Hening sejenak. Para siswa yang merasa sudah mengerjakan tugas hanya diam di bangku mereka.
Satria, yang tidak mengerti apa pun, menyenggol lengan Bayu. "Bapaknya ngomong apaan barusan?"
Bayu menghela napas pasrah. "Yang belum ngerjain PR, disuruh maju ke depan."
Bukannya terlihat malu, sebuah senyum lebar justru terbit di wajah Satria. "Oh, panggilan kehormatan, toh."
Dengan dagu terangkat, ia berdiri dan menepuk bahu teman-temannya yang lain.
"Ayo, guys. Panggung sudah menanti."
Dengan langkah santai seolah akan menerima penghargaan, Satria, Bayu, dan dua teman mereka yang lain berjalan ke depan kelas. Mereka berbaris rapi, sama sekali tidak menunjukkan dosa.
Wajah Pak Guntur langsung berubah. "SATRIA NANDA WIRATAMA! Kowe meneh, le!"
Satria menyenggol Bayu yang berdiri di sebelahnya. "Bay, artinya apaan?"
"Bapak bilang, 'kamu lagi, nak'," bisik Bayu cepat.
"Oh."
"Nopo toh, le? PR gampang ngoten mawon kok mboten digarap!" omel Pak Guntur lagi.
"Artinya?" desak Satria.
"Katanya PR gampang gitu aja kok nggak dikerjain," jawab Bayu, sudah mulai berkeringat.
"Sekarang, mbalik badan! Madhep papan tulis!" perintah Pak Guntur dengan telunjuk mengacung ke arah papan.
"Dia bilang apa lagi, Bay?"
"Kita disuruh balik badan, madep papan tulis."
Satria tersenyum jahil. "Bilangin ke bapaknya, kalau kita mbalik badan, nanti pemandangannya jadi kurang indah."
Mata Bayu terbelalak. "Gila lo? Gue yang kena nanti!"
"Udah, bilangin aja. Pake bahasa Jawa alus biar sopan."
Dengan ragu-ragu dan suara gemetar, Bayu mengangkat tangan. "Nyuwun sewu, Pak..."
"Nopo?" Pak Guntur menatapnya tajam.
-BERSAMBUNG
"Lha niki... rencang kula, Satria, sanjang... mangke menawi mbalik badan, pemandanganipun kirang sae..."
DUARR!
Seisi kelas langsung heboh. Tawa yang tadinya ditahan kini meledak, para siswa berusaha menutup mulut mereka agar tidak terlalu keras. Hanya bangku Febby dan Ani yang tetap tenang.
Wajah Pak Guntur yang tadinya sudah merah, kini warnanya nyaris ungu. Kumis tebalnya sedikit bergetar.
"Oalah, Gusti! Bocah kok kakean polah!" semprot Pak Guntur dengan logat Jawa yang semakin kental. "Wis salah, isih wani-wanine ngenyek! Ora ono tata kramane babar blas!"
Tawa di kelas langsung reda, berganti dengan keheningan yang tegang. Semua orang tahu, Pak Guntur sudah masuk mode amarah level tertinggi.
Satria, yang tidak mengerti sepatah kata pun, menoleh ke penerjemah pribadinya. "Artinya apaan, Bay?"
Bayu menelan ludah, wajahnya pucat pasi. "Gawat, Sat. Intinya, katanya kita kurang ajar, nggak punya sopan santun, udah salah banyak tingkah."
Bukannya takut, Satria justru menyeringai. Ia kembali menghadap Pak Guntur dengan percaya diri.
"Pak," katanya dengan nada yang terdengar aneh di telinga seisi kelas. "Abdi mah hoyongna tetep mayun ka payun, meh tiasa ningal Neng Febby!"
Hening total.
Para siswa yang mengerti Bahasa Sunda menahan napas karena kaget. Yang tidak mengerti hanya bisa menatap bingung, termasuk Febby dan Ani.
"Feb? Satria ngomong apa? Kok dia bawa-bawa nama kamu?" bisik Ani panik. Tentu saja dia takut Satria bawa-bawa Febby ke dalam masalahnya.
“Aku juga nggak tahu, An,” jawab Febby sambil mengernyit. Garis alisnya yang nyambung membuat ekspresi bingungnya terlihat seperti tanda kurung buka-tutup.
Di sisi lain, Pak Guntur melongo, tidak paham bahasa apa yang baru saja digunakan muridnya itu.
Setelah beberapa detik yang canggung, tatapan Pak Guntur beralih ke Bayu, menuntut penjelasan.
Bayu menggelengkan kepalanya dengan panik. "Saya nggak ikut-ikutan, Pak."
Pak Guntur kembali menatap Satria yang masih memasang senyum tanpa dosa. Akhirnya, ia menghela napas, mencoba menurunkan tensinya.
"Satria. Bicara pakai Bahasa Indonesia saja," kata Pak Guntur, kali ini dengan nada yang lebih datar.
"Nah, gitu dong, Pak." Satria menjentikkan jarinya. "Makanya, Pak, saya juga nggak bisa Bahasa Jawa. Jangan bicara pakai Bahasa Jawa terus, dong. Kasihan kan siswa lain yang bukan asli Jawa, jadi nggak paham."
Itu adalah kalimat terakhir yang bisa ditoleransi oleh kesabaran Pak Guntur. Kini wajahnya kembali merah padam.
"Cukup! Sekarang kalian semua, lari keliling lapangan lima kali!"
Ziko, Adit, Bagas, dan terutama Bayu, langsung terkejut.
"Lho?! Kok semua, Pak?!" protes Ziko.
"Kan tadi hukumannya cuma berdiri di depan kelas, Pak?!"
"Iya, Pak! Kok jadi ganti?!"
"Tidak ada protes! Semuanya lari kelilingi lapangan sepuluh kali! Cepat laksanakan!"
Dengan langkah gontai dan wajah masam, kecuali Satria yang masih cengengesan, mereka berlima berjalan keluar kelas. Koridor terasa sepi karena pelajaran sudah dimulai.
Baru saja mereka akan menuruni tangga, dari arah berlawanan muncul sosok siswa yang tingginya sama dengan Satria. Tapi ia tidak sendiri. Di belakangnya, tiga orang siswi dari kelas lain mengekor dengan manja.
"Annas, nanti istirahat temenin kita ke kantin, ya?"
"Iya, Nas. Katanya ada menu baru, lho."
"Annasku jangan capek-capek ya ngurus OSIS-nya..."
Siswa itu tidak menggubris mereka sama sekali. Ia hanya terus berjalan lurus dengan wajah dingin, melewati Satria dan teman-temannya tanpa melirik sedikit pun.
Setelah rombongan itu lewat, Bagas berdecih pelan.
"Cih, caper banget jadi cowok."
"Sok ganteng," timpal Adit sinis.
Satria hanya tersenyum miring, matanya masih menatap ke arah tangga tempat Annas menghilang.
"Biarin aja kali."
"Lho? Kok malah santai, Sat?" tanya Bayu, heran.
Satria menepuk bahu Bayu, senyumnya kini berubah menjadi seringai penuh percaya diri.
"Dia 'kan bukan saingan gue."
-BERSAMBUNG
"Lo maunya apa sih?!"
Fadhil yang sejak tadi bicara panjang lebar ke Annas akhirnya mendapat respon juga.
"Gue mau lo minta maaf ke Febby!"
"Kan udah diwakilin lo."
"Heh?! Elo ya, yang bawa motornya! Harusnya Elo, lah, yang minta maaf!"
"Dia udah maafin."
"Sotoy banget lo, jadi orang. Lo lupa responnya tadi gimana?"
Annas menutup buku agenda OSIS-nya. Ia menghela napas panjang, dan menatap ke arah Fadhil.
“Lo salah makan? Bawel banget hari ini.”
Hanya itu. Setelahnya Annas berdiri, kursinya bergeser menimbulkan derit pendek yang langsung ditelan Sepi kelas XI IPA-1. Fadhil melongo, sendirian di bangku, ditemani suara angin dari jendela yang setengah terbuka.
Langkah Annas menggema di koridor yang sudah sepi. Tujuannya kini satu, mencari tempat di sekolah yang cukup tenang untuk menyusun konsep acara OSIS yang harus ia presentasikan besok.
Namun, belum sempat ia sampai, gangguan kecil kembali datang. Dari ujung koridor, tiga sosok siswi muncul, berjalan sambil tertawa cekikikan.
"Annas!"
Fitri langsung menghalangi jalan, kedua tangannya diletakkan di pinggang dengan gaya centil. Thalita dan Risti berdiri di belakangnya, bertingkah seperti pengawal pribadi.
"Mau ke mana, sih? Buru-buru amat." Tangannya terulur hendak merapikan kerah seragam Annas yang sudah rapi.
Annas mundur selangkah, menghindari sentuhan itu. Wajahnya yang sudah dingin kini terlihat semakin datar.
"Capek ya habis mikirin OSIS?" Fitri masih mencoba, suaranya dibuat semanja mungkin. "Sini, aku temenin biar semangat."
Annas menatap mereka bertiga bergantian. Ia tidak menghela napas, tidak juga memutar bola matanya. Ia hanya diam sejenak, sebelum akhirnya bicara.
"Minggir."
Suara Annas terdengar lebih dingin dari biasanya. Satu kalimat itu berhasil membuat Fitri dan teman-temannya membeku.
Annas tidak menunggu jawaban. Ia hanya berjalan melewati mereka, melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan tanpa menoleh sedikit pun.
Tiga gadis itu saling pandang dengan ekspresi jengkel, meski tak bisa menutupi bahwa semakin cuek Annas, semakin bertambah pesonanya di mata mereka.
***
"Eh, Feb, kamu mau baca novel itu?" Ani mencondongkan badan, matanya tertarik pada gambar seorang pria berambut panjang mengenakan pakaian kerajaan di sampul. Huruf besar-besar bertuliskan PESONA PANGERAN ANGKUH membuatnya spontan mengulas senyum geli.
"Kenapa senyum-senyum?"
"Ya, nggak. Kirain kamu sukanya yang islami-islami gitu."
"Ini juga ada unsur islami-nya kok, An."
"Oh ya? Kamu udah baca emang?"
Febby mengangguk cepat, "Dapet separuh."
"Wah coba-coba ceritain ke aku." Ani langsung antusias, matanya berbinar terang. Ia memang bukan tipe yang betah membuka halaman demi halaman. Baginya, mendengar orang lain bercerita jauh lebih menyenangkan ketimbang membaca sendiri.
"Buku ini tuh, menceritakan tentang seorang laki-laki yang—"
Kalimat Febby tiba-tiba berhenti ketika mata Ani melihat sesuatu yang sepertinya lebih menarik daripada ceritanya. Pandangannya kini terpaku lurus ke depan, ke arah pintu masuk perpustakaan.
"Kenapa, An?"
Febby mengikuti arah pandang Ani. Di sana, di dekat pintu, tepatnya di meja sirkulasi, seorang siswa baru saja selesai menulis namanya di buku daftar pengunjung. Siswa itu, yang seolah bisa merasakan dua pasang mata tertuju padanya, mengangkat kepala.
Annas.
Matanya bertemu langsung dengan mata Ani, lalu bergeser dan terkunci pada Febby. Tanpa diduga, ia meletakkan pulpennya dan berjalan lurus ke arah meja mereka.
Ani langsung duduk tegap, senyumnya yang tadi geli kini lenyap seketika.
Langkah Annas berhenti tepat di samping meja, di depan Febby.
"Ikut gue."
Suaranya datar dan penuh perintah. Febby tidak bergerak. Ia hanya balas menatap Annas dengan sorot matanya tajam, masih menyimpan sisa kekesalan dari insiden tadi pagi. Ini adalah interaksi pertama mereka sejak menjabat di OSIS, dan Annas memulainya dengan cara seperti ini.
Ani menyenggol Febby, "Feb, disuruh ikut, tuh."
Annas yang sudah setengah berbalik, berhenti. Ia menoleh sedikit ke belakang, matanya menatap Febby dengan dingin.
"Punya telinga, kan?"
Ani terpaku mendengar ucapan Annas. Tapi Febby beda. Dia malah tersenyum tipis, senyum yang nyaris tak terlihat. Gadis berkacamata itu akhirnya berdiri. Sebelum pergi, ia menoleh pada Ani.
"Oh iya, kamu 'kan nanya soal buku ini, An," Febby menyerahkan novel itu ke Ani yang melongo padanya. "Intinya tuh buku ini tentang seorang pangeran sombong yang hidupnya berubah total karena kena karma dari ucapan seorang gadis biasa."
Febby sengaja menekan kata ‘sombong’, matanya sekilas melirik Annas yang masih berdiri membelakanginya.
"Udah, itu aja. Aku tinggal dulu ya, An. Bye."
-BERSAMBUNG.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!