Ada seorang duda. Sangat mengerikan. Di saat tanggal tua begini, sudah tak punya apa-apa. Itu jika tanggal tua, apalagi setelah tanggal itu, bakalan bertambah runyam rasanya. Sebab tak ada apa-apa lagi, yang bisa di manfaatkan demi kebaikan diri sendiri.
Maklum gaji sedikit. Sudah sedikit, banyak pula hutang nya. Baik secara online, maupun secara door to door, yang suka dor, begitu, jika si pemilik uang menagih. Demikian memprihatinkan nya. Selebihnya lagi, jika kembali berbagi dengan kebutuhan mendesaknya yang memang patut dipikirkan pada tiap detik. Apa-apa sendiri, apa-apa mesti dicukupi tanpa mempertimbangkan adanya bantuan orang lain. Juga keberadaan nya di desa terpencil yang jauh dari keramaian, semakin menambah runyam nya suasana. Untung saja jika masih ada hasil kebun. Masih ada yang bisa direbus dan dinikmati sendiri. Kalau untuk diri sendiri, masak dan makan, tentu akan dia nikmati sendiri. Enak atau tidak, dia yang merasakan. Tanpa perlu risau.
Makanya mobil yang cuma satu - satunya itu, dia jual. Punya nya itu. Yang lain juga sebenarnya ada, cuma harganya paling tak seberapa. Lain dengan kendaraan kaleng itu, jelas masih bisa dipakai untuk bertahan hidup kalau pergi jauh, dan mencari tempat tinggal murah yang bisa di nego kalau ada rekan di lokasi kota nantinya. Kalau tidak demikian, bakalan sangat mahal untuk tinggal di kota yang cuma dapat kamar. Belum lagi kebutuhan sehari-hari. Seperti makan dan berak. Akan ada tambahan uang lagi yang mesti menguras kantong. Kalau ada uang, tinggal beli apartemen sudah cukup. Sudah aman demi kebutuhan lain nya yang telah tersedia. Ini kos biasa. Dimana apa-apa sendiri, dilakukan sendiri. Sebab si pemilik kontrakan juga butuh itu. Dia rela membuang dana demi terciptanya beberapa bangunan yang bisa menolong orang lain supaya uang kembali. Dan orang tersebut bisa mendapat pekerjaan, sehingga nanti bisa berbagi gaji. Si pemilik kontrakan akan mendapat beberapa persen dari gaji yang besar tersebut sesuai dengan UMR kota yang memang sangat besar, kalau dipandang dari sudut kaca mata seorang kampung. Sebab ukuran daerah, patokan itu tergolong kecil. Apalagi di kampung yang tanpa memperhatikan berapa angka yang jadi patokan itu. Ada hasil panen sudah untung, kalau tak ada, pinjam ke warung tetangga.
Maunya 32 juta untuk harga mobil kaleng itu. Tapi ditawar oleh pembeli dengan harga semau gue. Makanya, cuma laku 31 juta 999 ribu, doang. Sudah lumayan.
Sedih memang. Barang kebanggaan nya cuma laku segitu. Tapi mau bagaimana lagi, buat bekal pergi ke kota. Kalau tanpa bekal, bukannya akan lebih menyedihkan. Sudah lapar, mesti bergantung sama orang, ya kalau itu rekan, yang sangat dia kenal, jadi apa-apa masih bisa di manfaatkan terlebih dahulu, sebelum nanti dia kembalikan saat ada uang. Hanya kehidupan awal di sana, belum tentu menjadi hal bagus. Belum tentu akan langsung mendapat pekerjaan. Apalagi bila pilih-pilih. Tentu akan semakin lama mendapat uang kembali. Namun kalau tidak memilih, akan sangat sayang buat modal yang keluar. Baik itu duit nyata, atau ilmu yang dimiliki. Sehingga tidak jarang ada orang yang berpendidikan tinggi, namun hanya melakukan pekerjaan biasa saja. Atau ada orang yang tak berpendidikan sama sekali, tetapi justru mempunyai pekerjaan yang tak ada. Sehingga seperti semacam anekdot saja yang bisa menggelikan kalau dipikirkan secara berlebihan.
“Jadi kau jual.“ Tetangganya menanyakan. Nampak sekali dia juga tengah berhasrat dengan benda yang demikian antik tersebut. Makanya berusaha menanyakan yang tak perlu.
“Iya lah, orang perlu,“ jelas Kintoko yang sudah menenteng tas berisi uang. Nanti tentu saja tak di taruh semua dalam tas itu. Bisa dimasukkan ke kantong depan, kantong belakang, terus dalam jaket, supaya kalau di rampok tidak semua turut lenyap. Maklum namanya berjaga-jaga. Hal ini sebagai upaya demi hati-hati. Tapi namanya benda begitu, jika jaket hilang, tentu ada yang turut serta. Ini yang namanya aneh. Jika hanya di taruh pada tas, maka hanya jaket saja yang hilang. Tapi dengan usaha yang lumayan detail begitu, di harap bisa sesuai dengan apa yang diharapkan.
“Wah sayang yah. Barang bagus begitu.“
“Bagaimana lagi.“
“Kau jual padaku tentu lebih mahal.“
“Apa kau beruang?“
“Ya belum. Paling menunggu panen datang,“ jelas si tetangga. Belum punya uang tapi sudah ingin. Maklum namanya kebutuhan. Datang di saat yang genting. Kalau menunggu saat menabung sedikit demi sedikit namun hasilnya sangat lama. Dalam menjadi bukit. Tapi kalau berhutang, bunganya sangat besar. Walau terkadang dalam hitung-hitungan ada yang pakai persentase, tapi kalau di hitung-hitung tentu akan berlipat ganda dengan modal hutang sedikit dan hasil yang melimpah. Ini akan sedikit menepis anggapan kalau misal hutang seratus jadi seratus dua puluh. Maka keuntungan hanya dua puluh ribu saja. Sementara jika persentase yang kelihatannya cuma 2 persen, maka seratus jadi hanya seratus dua, namun jika yang dipinjam semisal sepuluh juta, maka kenyataannya bisa habis 17 juta juga. Memang ini semua demi satu keuntungan yang memang ditujukan untuk sebuah kepentingan yang sama-sama memerlukan. Kalau hasil hutang itu kemudian di buat usaha dan berhasil, maka akan memuaskan semua pihak. Pada kenyataannya belum tentu. Karena namanya usaha terutama jual beli, bisa untung juga merugi. Jika merugi semua, tentu akhirnya akan berdampak. Buat yang hutang sulit melunasi, bagi yang memberi hutang juga kebingungan mencari modal awal lagi demi bisa memutarkan uang. Inilah sulitnya, dan kenyataannya untuk kali ini apa yang dibutuhkan justru lenyap. Sebab sudah keduluan orang. Apalagi jika menunggu waktu lebih panjang. Tentu bakalan kacau.
“Panen juga paling sekarung doang. Mana cukup,“ ujar Kintoko yang juga terbiasa mendapat hal demikian dari sepetak sawah yang tak banyak menghasilkan itu. Keinginan bisa mendapat berpuluh lipat, namun kenyataan berbeda. Paling satu atau dua karung saja. Itu juga jika panen, andai gagal, karena hama demikian banyak, penyakit juga ada, yang patut diperhitungkan, walau biasanya lolos dari perhitungan, sebab para petani itu sudah terlanjur kepentok butuh, yang artinya mesti segera menanami sawah ladangnya agar ada harapan menghasilkan panenan. Sementara hama bisa saja datang tanpa tanda-tanda. Demikian saja para induk hama itu mengeluarkan ribuan benih yang siap terbang untuk kemudian melahap habis tanaman yang semestinya penen. Itu menjadi kacau. Itu juga yang batal membuahkan buah yang di inginkan para petani. Untuk kemudian menjadi bencana yang menyedihkan pada akhirnya.
“Bisa saja, nanti aku usahakan pinjaman lagi.“
“Sayang sekali sudah laku. Itu sudah.“
“Yah....“ Sedikit kecewa memang. Tapi bagaimana lagi, semua terlambat sudah. Lain waktu mencari yang beda, kalau ada, sebab apa yang dinginkan sedikit lain dengan apa yang di dapat.
“Bang!“
Seorang gadis memanggil. Dia mendekati duda itu yang tengah bersih-bersih mobil. Meskipun bukan miliknya lagi, kini.
“Apa?“ jawab Kintoko.
“Mau ke kota ya?“ tanya Luhkita.
“Iya. Ada apakah?“
“Ini aku bawakan kue.“ Dibawa suatu bungkusan dari kertas putih. Dan rotinya warna hijau lengkap dengan meses sebagai toping nya.
“Pisaunya mana?“
“Tak ada.“
Maka di potong pakai garpu. Bentuknya jadi tak karuan. Namun rasanya tetap sama. Roti. Dengan lahap, di lahap nya kue itu bulat-bulat. Mumpung ada. Entah siapa yang tengah ulang tahun. Yang jelas kali ini suatu kesempatan yang barangkali di lain waktu sama sekali tak menemukan. Maklum sendiri. Sebentar kemudian, tentu bakalan pergi jauh, ke kota besar untuk mencari penghasilan yang layak. Sesuai dengan UMR yang berlaku di daerah maju yang tentunya bakalan lebih besar dari di sini. Nanti uang di sana bisa di bawa pulang sebagai tabungan. Kan lumayan. Uang kota sungguh sangat besar kalau dimanfaatkan di desa. Beda halnya dengan uang sini. Mobil yang segitu, untuk biaya di kota, paling hanya beberapa waktu saja langsung ludes. Belum lagi kalau ada masalah dengan orang-orang nakal yang suka mengambil tas. Ya kalau cuma mengambil, kalau sampai kena tonjok dan bonyok, maka bakalan menambah sial. Sudah sulit mencari bekal, sampai disana hanya ludes saja.
“Boleh mengantar ku dulu tidak?“ kata Luhkita setelah semuanya aman. Roti ludes, dan yang dikasih senang.
“Wah, mobil sudah aku jual,“ ujar Kintoko. Bagaimana lagi. Butuh. Mobil yang unik dan antik tersebut serta dibuat pada masa jaman tak mengenakkan dan telah lumayan lama bersamanya itu, kali ini telah pindah tangan. Tinggal menunggu diambil saja. Bagaimana tidak unik, kalau semua pintunya sulit di buka dari dalam. Dan si sopir mesti turun dulu untuk membuka kunci pintu dari luar. Itu untuk semua pintu selain milik sopir. Itulah juga yang menjadikan mobil tersebut serasa unik. Kunci ada pada sopir. Bukannya sekali tekan tombol di bagian supir, namun sopir mesti melakukan ritual memutari mobil, supaya bisa membuka setiap pintu nya dari luar. Namun itu masih terbilang lumayan, daripada mesti membawa palu untuk menggetok kaca baru bisa menarik tuas pintu mobil, maka akan timbuk kerepotan yang mesti membawa ke bengkel segala.
“Ke kota sebentar saja,“ kata gadis itu terus berusaha supaya bisa diantar hingga tujuan nya tercapai. Seperti anak kecil saja kalau meminta mainan, maunya bisa dapat. Baik itu di HP maupun pada game watch yang populer. Semua mesti hari itu.
“Mau apa sih?“ tanya Kintoko. Kalau bukan hal terlampau penting, tentunya dia bakalan menolak secara halus sebelum secara kasar. Sebab itu yang sudah di uangkan sejak awal, jika ini sudah bukan miliknya lagi. Dia tak mau mencederai kendaraan, terlebih bagi si pemilik yang sudah membelinya dengan berbagai harapan. Yang tentunya menginginkan segala yang terbaik yang bisa dia dapatkan. Karena terlanjur percaya. Dengan harga segitu, apa yang di dapat semestinya sesuai dengan pengeluaran tersebut. Barang sesuai harga. Atau harga akan mengikuti kualitas barang. Itu umum terjadi bagi para pembeli yang menginginkan kepuasan dalam memiliki benda yang dibeli tersebut.
“Menjual gula, disuruh bapak,“ jelas gadis itu. Biasa hasil panenan dari kebun sedikit melimpah. Kalau di jual pada orang dekat, paling hanya untung sedikit. Beda kalau langsung ke kota. Namun demikian jika hasil tak banyak juga akan habis pada perjalanan atau transpor saja. Sementara jika semua jumlahnya lumayan maka akan bisa menjadi keuntungan yang begitu besar untuk bisa dimanfaatkan demi memenuhi kebutuhan kesehariannya nanti. Dan kali ini apa yang sudah dikumpulkan itu lebih dari cukup. Yang jika di pakai sendiri paling hanya beberapa buah saja. Kalau dibiarkan benda begitu juga sudah tak bagus kualitasnya, malahan lebih buruk lagi kalau busuk. Walau benda itu terkenal akan keawetannya, namun yang namanya bahan makanan tentu ada batas waktunya. Dan ini yang dihindari para penderes, penyadap air kelapa. Supaya kualitas gula juga bagus terus, sehingga dipercaya orang-orang di luar sana. Sebab kalaupun laku, dalam satu kali penjualan dengan harga yang tinggi, tentu orang pembeli juga akan berpikir ulang jika mesti membeli lagi untuk satu barang yang tak menguntungkan. Ini juga yang bisa dianggap memutus rejeki sendiri. Makanya bagi para pencari rejeki itu mesti dijaga agar bisa tetap saling bisa berkomunikasi juga berbisnis dalam kondisi yang sama-sama menguntungkan. Ini yang kemudian bakal menjadi hal yang langgeng serta bisa dipertahankan.
“Bagaimana ya, sudah aku jual ini. Aku bersihkan juga sudah.“ Tunjuk Kintoko pada benda yang masih ada basah-basahnya setelah dia main semprot dengan di bersihkan pakai lap basah kemudian lap kering sekalian sehingga semakin mengkilat tanpa debu dan kotoran membandel. Walau belum sempat memakai salju dan poles semir, setidaknya sudah layak untuk diserahkan ke tangan kedua agar merasa puas mendapat barang yang bagus itu.
“Bagaimana lagi, perlu ini,“ ujar Luhkita yang sangat berharap. Kalau tak perlu mungkin juga enggan. Apalagi sampai mengeluarkan ongkos. Sebab nanti dia bisa memakai untuk segala keperluan jika benda itu laku. Dia mesti meminjam kendaraan juga agar bisa ada kelebihan untung, jadi selain sebagai uang saku juga bisa di tabung demi masa depan. Masa belakang, ya depan.
“Ya lah.“
“Entar aku kasih ongkos.“
“Ya kalau tanpa ongkos, mana mau aku,“ kata Kintoko yang sudah biasa demikian. Mengantar, maka akan ada uang. Karena dari situ juga ada rejeki tambahan. Namun kali ini sedikit berbeda. Karena mobil sudah di jual. Ada tanggung jawab lebih yang mestinya dia lakukan buat si pemilik sekarang. Beda kala masih menjadi miliknya, itu bisa dilakukan sesukanya. Walau ada kecenderungan jika benda pribadi tentu lebih baik dalam menanganinya. Karena sudah terbiasa memegang, juga tahu kelemahan kendaraan itu. Beda dengan jika benda milik orang lain, kebanyakan akan sembrono, walau bisa juga akibat belum paham akan sesuatu yang menjadi masalah di kendaraan tersebut. Semisal untuk kecepatan yang butuh gas kenceng, itu juga tak dipahami kalau bukan pemiliknya jika suatu gas tak bisa lebih panjang di ukuran tertentu, tapi saat pengereman lebih kencang. Dan bagi pemilik akan bisa menanganinya sehingga tak perlu terlampau di habiskan kemampuannya. Yang tak tahu, pastinya asal main tekan saja. Karena kebiasaan di setiap kendaraan memang demikian. Hal ini tentu di luar kebiasaan tersebut.
“Itulah makanya.“ Dengan senang hati, gadis itu pulang ke rumah untuk mempersiapkan segala sesuatunya demi perjalanan panjang ke kota nanti.
“Yuk berangkat,“ ujar Luhkita yang merasa kalau semua barang sudah siap dan tak ada yang terlupa. Semua gula yang di pak dalam plastik ukuran besar telah memenuhi kendaraan kol sewaan itu.
“Wih bawa apa itu?“ tanya Kintoko yang melihat cewek itu masih menenteng barang di pangkuannya, pada dekat sopir. Tempatnya menjadi agak sempit karena ada tambahan barang tersebut.
“Bekal dikasih mama.“ Biasa orang tua selalu kepikiran kalau anaknya hendak pergi. Walau sebenarnya tak terlampau lama nanti. Ini mungkin bagi dia barangkali saja kendaraan tak sempat berhenti. Maka bisa langsung mengambil makanan sebelum perut sampai bunyi. Kan malu di kira kentut. Padahal suara perut yang bunyi akibat kurang isi.
“Oh. Banyak amat.“
“Iyalah, biar tidak kelaparan.“
“Apa aja itu?“
“Ini ada kue kering bagelen, gorengan, sama roti jigong.” Sebenarnya masih banyak lagi yang lain, tapi tak sempat terbawa. Takut merepotkan orang lain. Ini saja sudah demikian banyak. Roti-roti serta jajanan pasar tak sempat dibawa. Padahal masih banyak di rumah tadi.
“Air minum mineralnya yang belum.“ Kalau makan kering-kering begitu, bakalan seret tenggorokan jika tak di gelontor pakai air putih higienis. Makanya sebelum pegang persiapan tersebut tak berani makan. Bisa juga membawa botol yang ada talinya buat dikalungkan ke pundak, supaya selalu bersama tubuh, dan tak hilang di taruh sembarangan.
“Entar mampir di mini market, beli yang gede.“ Biasa hal yang lumrah kalau bepergian. Apalagi sekarang dimana-mana banyak tempat seperti itu yang serba praktis. Walau harganya lebih mahal, namun karena mudah dan seakan tak sulit membuat tempat tersebut banyak yang bertahan, bahkan terkadang menggusur yang pasaraya atau swalayan besar yang justru kalah saing. Seperti saat ini, jika hendak bepergian mampir sebentar sudah bisa membawa kebutuhan yang sangat diperlukan. Tak perlu mesti masuk ke lahan parkir dulu yang ribet terutama untuk kendaraan besar begitu. Jika masuk sudah sulit keluarnya juga ribet mesti melewati darah sempit serta ramai takut menyerempet atau bersenggolan yang tak menyenangkan.
“Yuk berangkat sebelum mobil ini diserahkan sama pembeli.“ Nanti sebentar jika sudah beres tentu akan langsung di serahkan dan di tinggal minggat saja ke kota. Tinggal memikirkan bagaimana bisa bertahan hidup, bahkan untuk menambah penghasilan kelak. Kalau belum diserahkan, padahal sudah di bayar, maka akan jadi pemikiran. Belum lagi kalau sampai di tanya terus. Bisa-bisa HP selalu bunyi nanti. Akan risih di telinga. Mau di angkat membosankan tidak diangkat bikin bingung jangan-jangan berita penting. Makanya bertambah nyesek kalau sudah demikian.
“Yuk. Kan sebentar ini.“
Mereka berangkat dengan kecepatan tinggi. Di tikungan saja sampai 80 km per jam. Apalagi kalau uma jalan lurus, baru... agak pelan, soal nya banyak truk besar.
Baru sampai hutan.
“Hati-hati bang, hutan angker.“ Luh khawatir. Banyak kejadian aneh disitu soalnya. Jangan sampai terkena pada mereka. Setidaknya nanti mobil itu tak jadi pindah tangan bisa gawat.
“Ah masa.“
“Klakson tiga kali bang.“ Masih tetap khawatir. Itu juga yang kata orang-orang tua mesti dilakukan. Semacam permisi atau numpang lewat pada para penghuni hutan yang tak nampak di dunianya. Jangan-jangan mereka tengah asik kongko-kongko yang membuat mereka tak nyaman kala ada yang melintas tersebut tanpa disertai sopan santun.
“Ada- ada aja lu.“
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!