Hai kembali lagi dikarya ku yang keempat, cerita ini merupakan skuel dari cerita Mawar Tak Berduri dan Takdir Cinta Indah.
Sebelum mulai baca, tambahkan sebagai favorit bacaan kalian ya, jangan lupa like dan komenya juga.
Enjoy reading, semoga selalu sama cerita-ceritanya ya. Love you all 🥰😍❤❤ makasih atas dukungannya selalu.
*
*
*
Suara ketukan stiletto menggema dikoridor kantor lantai lima belas dimana terletak ruang seorang direktur perusahaan Mahardika corp, yang kini dipimpin oleh Marsha Mahardika, generasi ketiga penerus Mahardika corp.
Jika seorang anak yang akan mewarisi perusahaan biasanya akan ditempatkan terlebih dahulu sebagai karyawan biasa, atau staf biasa. Tapi tidak dengan Marsha, dia tak mau menjadi karyawan biasa, dia ingin menjabat direktur langsung.
"Apa kata dunia, jika Marsha Mahardika yang cantik dan stylish ini jadi karyawan biasa. Nggak level." Ucapnya pada sang Apo (panggilan kakeknya), dan Apapnya (panggilan ayahnya).
Menjadi seorang direktur tentunya tidak didapat Marsha begitu saja, gadis yang suka dianggap nakal oleh kedua orangtuanya itu harus memenuhi syarat dan menyanggupi beberapa peraturan. Dia harus bisa membuat perusahaan lebih berkembang lagi, setidaknya lima persen setiap tiga bulan sekali. Dan Marsha menyanggupi itu.
"Kecil," ucapnya seraya menjenntikkan jari. Dan terbukti, selama memegang perusahaan selama enam bulan ini, dia mampu meningkatkan kualitas perusahaan seperti yang keluarganya mau, menarik banyak investor, meningkatkan penjualan, serta meningkatkan kualitas penyiaran televisi, yang biasanya tidak masuk ranting, kini perlahan menunjukkan jati dirinya.
Tentu saja semua itu dia lakukan dengan kerja keras, pergi pagi pulang malam, lembur dan bahkan tidur dikantor, yang menyebabkannya jarang berada dirumah, dan tanpa dia ketahui jika kedua orangtuanya sering kali berselisih paham, karena Amamnya (panggilan mamanya) tidak mau anak perempuannya terlalu memforsir tenaga dan pikirannya.
"Sya, kamu terlalu menyiksa Marsha, tidak seharusnya kamu menargetkan dia seperti itu. Lihat, sekarang dia jarang pulang, bahkan lembur setiap hari, dai sampai tidur dikantor, tidak kenal hari dan tidak bisa membedakan mana hari senin, mana hari minggu." Protes Mawar pada suaminya, dia sedang memasangkan dasi, suaminya itu akan kekantor, memantau kerja putri sulungnya.
"Biarkan saja sayang, kita tidak bisa memanjakanya, dia sendiri yang memilih memegang jabatan direktur. Dan sudah menjadi risikonya, jika menjadi direktur itu kerjanya bukan hanya ongkang-ongkang kaki, duduk didepan laptop, tanda tangan, tidak hanya sekedar itu. Kemajuan perusahaan ditentukan bagaimana cara dia memimpin." Rasya, Apapnya membela diri.
"Bagaimana kalau anak kamu sakit? Kamu tidak memikirkan itu? Aku tidak terima kalau itu sampai terjadi, kamu harus bertanggung jawab. Dia itu baru lulus, harusnya dia bersenang-senang dulu, bukan langsung dihadapkan begitu banyak pekerjaan." Marah Mawar pada suaminya, dia ingin anaknya menikmati masa muda, jangan seperti dirinya, yang bahkan tidak memiliki teman dan tak pernah nongkrong seperti anak muda layaknya.
"Bukan aku yang meminta sayang, dia sendiri yang memilih. Bahkan aku menawarkan dia jabatan biasa, tapi dia tidak mau, ya Marsha harus bertanggung jawab." Mawar mendesah, dia tahu itu, anaknya memang keras kepala, sama seperti Apapnya.
* * *
"Bu Melati, berikan padaku semua lamaran yang masuk, aku yang akan mawawancarainya sendiri." Ucap Marsha pada seorang HRD perusahaannya.
"Baik, miss." Ucap Melati mengikuti langkah panjang atasanya, kemudian memasuki ruangan luas yang didominasi warna pink, dan wangi harum bunga mawar menyambut siapa saja yang memasuki ruangan itu. Sesuai bunga kesukaan Amamnya, dan nama Amamnya sendiri, Marsha begitu mencintai dan mengagumi ibunya itu.
Melati, seorang wanita berusia lebih dari kepala empat, menjadi HRD saat masih dipimpin oleh Rasya Mahardika. Jam baru menunjukkan pukul setengah tujuh pagi sebenarnya, tapi Melati sudah berada dikantor, dia berharap, Marsha segera mendapat sekretaris baru, dan betah, karena dia sendiri tidak betah harus mengikuti jam kerja Marsha yang sangat otoriter, dia punya anak yang harus diurus pagi-pagi, serta mertua yang sakit struk dirumahnya, sudah pasti dia sangat sibuk dan kerepotan.
Benar kata orang, jika perusahaan dipegang oleh seorang wanita, semuanya pasti akan berubah, peraturan menjadi sangat ketat, teliti, tidak bisa bersantai, bawaannya serius dan tegang, tidak bisa salah sedikit pasti ketahuan, apalagi berbohong, jangan harap itu bisa terjadi. Itulah yang menyebabkan tak ada yang betah bersama Marsha.
Melati meletakkan tumpukan lamaran yang masuk diatas meja Marsha, enam bulan menjadi seorang direktur, sudah lima kali Marsha berganti sekretaris, semuanya hanya sanggup bertahan satu bulan. Ckckck, membagongkan.
Marsha meneliti satu persatu dokumen yang masuk untuk ditandatangani.
"Hah, semua laporan dokumen ini sangat memusingkan," Marsha memijat keningnya "orang Indonesia ini kebiasaan kerjanya mau santai, makanya nggak ada yang betah. Bagaimana mereka mau cepat maju, selama ini bukan salah salah saya kan Bu Melati, jika mereka tidak betah?" tanyanya menaikkan pandangan, menatap Melati yang setia berdiri didepan mejanya.
Melati hanya mengangguk kecil seraya tersenyum tipis.
Ya tapi nggak otoriter juga miss, nggak akan ada yang betah, walau gaji besar, saya aja milih resign dari pada tersiksa, kalau udah nggak butuh, sayangnya saya masih butuh pekerjaan. Gumam melati dalam hati, pastinya hanya berani dalam hati, kalau tidak mau kepalanya mengalami benjol atau luka.
Marsha melihat satu persatu lamaran itu, melihat profil para pelamar, yang menurutnya masuk kriterianya. Pergerakan tangan Marsha terhenti pada satu lamaran, dari sekian banyak yang melamar, ada satu yang menarik perhatiannya, seorang laki-laki tampan, dari data yang diisinya jika laki-laki itu lulusan luar negeri.
"Panggil yang ini," Marsha meletakkan satu lamaran diatas meja, Melati memanjangkan lehernya untuk melihat nama dan wajah yang dimaksud atasanya. "Zidan Xavier."
"Iya, lulusan luar negeri, predikat Summa Cumlaude, seorang laki-laki dengan predikat seperti itu pasti dia punya otak yang cerdas, dia pasti kesulitan mencari kerja, aku yakin dia betah. Kamu mau bertaruh dengan ku, Bu Melati?"
"Hah! Tidak miss, saya takut salah prediksi, saya percaya sama miss, jika laki-laki ini betah kerja sama miss Marsha. Sesuai yang miss katakan."
Marsha menjentik jarinya "Good, kamu memang pintar cari aman Bu Melati, cepat panggil, jadwal saya padat. Jangan buang-buang waktu percuma."
Melati membungkukkan badan sebelum keluar, saat pintu ruangan Marsha tertutup, Melati mengusap dada seraya membuang nafas panjang, "Sabar Melati, chayo, ya Allah, semoga pelamar kali ini diterima dan betah." Melati menengadahkan tangan berdoa.
Tak lama Melati kembali bersama seorang laki-laki tampan, muda, kulit putih bersih, wangi, yang membuat Melati betah berjalan disampingnya, bahkan Melati ingin menempel rasanya.
Dengan dada berdegup kencang, Melati mengetuk pintu, dan terdengar suara yang terdengar horor itu menyahut. "Masuk," bagi orang yang tidak mengenalnya, mendengar suara lembut itu akan terpesona, apalagi melihat wajah cantiknya, tapi tidak dengan Melati dan karyawan yang sudah kena dampratanya, suara itu terdengar horor ditelinganya.
"Silahkan masuk Pak Zidan, miss Marsha sudah menunggu." Melati menutup pintu, membiarkan Zidan masuk sendiri, dia memilih kembali keruanganya, tak sanggup jika harus mendengar kata-kata pedas yang keluar dari wanita cantik itu, apalagi korbannya kali ini laki-laki tampan, Melati tidak akan kuat melihat wajah memelas laki-laki itu.
"Sayang banget cakep-cakep kalo sampe harus jadi anak buah wanita harimau itu." Melati bergidik, dia berlari keruanganya.
Zidan memasuki ruangan Marsha, berjalan percaya diri, dia berdiri didepan meja calon atasanya yang masih betah memandang i-mac yang ada dalam genggamanya.
"Perkenalkan diri kamu" Ujar Marsha tanpa mengalihkan pandangan.
"Bukanya anda sudah membacanya sebelumnya?" Ucap Zidan berani.
Marsha cukup terkejut dengan jawaban tak sopan itu.
"Kamu sepertinya tidak butuh pekerjaan. Silahkan keluar dari ruangan saya," usirnya sambil mengibaskan tangan, walau dia butuh, tapi harga dirinya sangat tinggi.
Zidan yang memiliki tujuan sendiri disini hanya bisa pasrah dan menurunkan egonya, wanita didepanya ini cukup angkuh, pikirnya.
"Saya Zidan Xavier, melamar menjadi sekretaris pribadi Marsha Mahardika, lulusan terbaik universitas ternama luar negeri, memiliki dedikasi tinggi, melayani, membantu kemajuan perusahaan yang bergerak dibanyak bidang. Memiliki loyalitas tinggi dalam bekerja."
"Loyalitas tinggi?" Marsha mengetuk-ngetukkan jarinya yang sudah dimenipadi menicure dan dicat warna brand ternama seperti channel, dan dipadukan dengan motif blink-blink lucu kesukaanya. "Berarti kamu siap bekerja hingga jam kerja yang tak ditentukan? Begitu maksudku?"
Zidan mengangguk, tanpa mengerti jam kerja yang dimaksud Marsha.
"Jawaban singkat tepat padat, aku suka. Kamu tahu Zidan, jika laki-laki yang dipegang dari ucapannya?"
"Apa?" Marsha mendelik mendengar keterkejutan Zidan "Ehh maaf Bu,"
Memang ini hubungan relation ship.
Marsha mengeluarkan kertas dari laci meja kerjanya "Tanda tangan ini, tapi sebelum kamu menandatanganinya, baca terlebih dahulu dengan teliti, ingat, bacaan dan daya ingat kamu, saya artikan jika itu kemampuan otakmu bisa bekerja dengan baik disini." Ucap Marsha tegas kembali mengetukkan jari telunjuknya diatas kertas itu.
Zidan berangsur mengambil kertas dihadapanya, membaca dengan teliti satu persatu poin yang tertera disana. Aturan yang biasa seperti perusahaan pada umumnya, namun diakhir poin, tertera nominal yang bisa membuat bola mata Zidan hampir copot "Jika melanggar kontrak, akan didenda satu triliun?"
"Iya, bagaimana, kamu keberatan?" Marsha menaikkan alisnya. "Tapi gaji sebulan kerja kamu disini, hanya bisa kamu dapatkan dengan bekerja berpuluh-puluh tahun diperusahaan lain." Lanjut Marsha sombong, sengaja dia melakukan perjanjian yang tak masuk akal ini agar tidak seenaknya saja yang menjadi sekretarisnya bisa mengundurkan diri sebelum waktu yang ditentukan.
"Oke, saya terima." Zidan meletakkan kertas, dan langsung membubuhi tanda tangannya.
"Kontrak kamu dua tahun, kamu sudah baca Zidan?"
"Sudah Bu."
"Good, you can start working today, and i hope you can be professional ." (Bagus, kamu bisa mulai bekerja hari ini, dan aku harap kamu bisa bekerja profesional."
Zidan mengangkat alisnya mendengar kata profesional, apa maksudnya "Jangan melanggar kontrak kerja Zidan, memang apa yang kamu pikirkan?" Jelas Marsha yang seolah tahu pertanyaan dalam hati Zidan, belum apa-apa chrmistry diantara keduanya sudah terbentuk "Tapi kamu juga harus profesional dalam hal lain," Zidan memicingkan mata "Dilarang jatuh cinta pada atasan," ucap Marsha percaya diri, membuat Zidan tertawa dalam hati, "lucu sekali wanita ini, sangat percaya diri, tapi aku akan membuatmu jatuh cinta padaku, hai nona angkuh. Dan aku akan menghancurkanmu, seperti keluarga mu, menghancurkan ibuku."
Walau sempat terkejut karena dia harus memulai bekerja hari ini juga, tapi Zidan bisa mengimbangi kerja Marsha yang cukup padat dengan cepat. Setelah diberi tahu Melati meja kerjanya yang terletak didepan ruang Marsha, dan telah diperkenalkan staff-staff yang sering berhubungan dengan Marsha, makanan dan minuman apa saja yang disukai dan tidak disukai oleh atasanya itu. Kini Zidan mengikuti Marsha mengadakan rapat diluar bersama seorang clien yang cukup penting.
Pertemuan itu diadakan direstoran cukup mewah, ditempat yang tertutup dan sangat privasi, awalnya Zidan tidak diperbolehkan masuk, namun Marsha cukup pintar dalam membaca situasi, dan akhirnya Zidan diperbolehkan ikut serta dalam meeting.
Selama meeting, Zidan memperhatikan cara clien Marsha memandangnya penuh minat dan tatapan liar. Namun Marsha tak terganggu sedikitpun, setiap pertanyaan dan ucapan laki-laki tua yang memiliki perut buncit itu ditanggapi Marsha seadanya.
"Brengsekk, jangan dia pikir aku wanita dan masih muda dia bisa mengecoh ku." Marsha melempar map yang telah ditandatangani oleh clienya itu disisi tempat duduknya "dasar laki-laki hidung jambu, sudah jelek banyak tingkah." Gerutu Marsha setelah didalam mobil. "Pak, antar aku ke mall biasa," pintanya tak ingin dibantah.
Zidan hanya diam, dia tak berani berkomentar, namun dia memperhatikan cara kerja Marsha, dan mencari cela, terobosan apa yang akan wanita itu lakukan? Zidan harus tahu rahasia perusahaan Mahardika corp.
Sampai di mall, Zidan terus mengikuti langkah Marsha dari belakang, wanita itu banyak membeli barang-barang brandet kesukaanya hingga menghabiskan uang ratusan juta rupiah, dan berhasil membuat kepala Zidan cukup pening.
"Laki-laki seperti apa yang bisa menerima wanita boros seperti ini? Terlalu menghambur-hamburkan uang." Gumam Zidan dalam hati.
"Zidan, bagaimana menurutmu? Aku ..." Marsha mengulum senyum "cocok nggak pakai gaun ini?" Marsha keluar dari ruang ganti mengenakan gaun hitam dengan tali spagetthy, yang mengekspos bahu serta punggungnya, serta belahan hingga kepahanya. Pandangan Zidan makin turun, kini kaki bosnya dibalut dengan sepatu hight heels baru lagi.
Perasaan tadi udah beli?
"Terlalu seksi dan terbuka." Jawab Zidan apa adanya, dan itu membuat Marsha mendengus.
"Kamu tidak tahu fashion Zidan, model pakaian terbuka seperti ini sudah menjadi tren dipakai oleh kalangan pengusaha seperti ku," Marsha mengibaskan rambutnya kebelakang "Ahhh kamu tidak akan paham, kamu anak baru didunia bisnis." Ucapnya seolah merendahkan.
Ya ya ya, suka suka anda saja Bu Marsha terhormat.
"Gaun ini akan aku pakai dalam rangka ulang tahun televisi ku nanti, kamu juga harus berdandan yang rapi, jangan membuatku malu."
Setelah selesai dengan acara belanja, kini mereka kembali lagi ke kantor, Zidan duduk ditempatnya, kemudian menyalin hasil meeting mereka tadi, hingga tak lama, datang laki-laki muda tampan masuk menerobos keruang Marsha begitu membuat Zidan terkejut.
Zidan segera berdiri dan mengekori pemuda itu.
"Maaf Bu, laki-laki ini langsung menerobos masuk," ucap Zidan seraya menundukkan tubuhnya, dihari pertamanya dia merasa benar-benar ceroboh.
Marsha menatap tajam Zidan, kemudian berpindah pada pemuda yang justru tersenyum manis padanya.
"Kamu perhatikan wajahnya Zidan," tunjuk Marsha wajah pemuda didepanya "jika laki-laki ini datang lagi, tendang dia sampai kelantai bawah." Marsha berkata ketus, membuat pemuda itu tertawa kecil bukannya marah atau terhina. Zidan mengangkat pandanganya untuk melihat jelas wajah yang dimaksud atasanya, cukup tampan dan kira-kira seusia Marsha, namun gayanya cukup trendy dan santai, gaya anak kuliahan, sepatu sneakers, mengenakan kaos putih dan dilapisi kemeja biru tua polos.
"Sekretaris baru lagi? Dan sekarang laki-laki?" pemuda itu berkata lembut, melihat Zidan sekilas kemudian menatap Marsha.
"Keluarlah Zidan," usir Marsha dengan mengibaskan tangannya.
Zidan menurut, dia membungkukkan badan terlebih dahulu sebelum berlalu keluar dari ruangan Marsha, meninggalkan Marsha dan pemuda itu hanya berdua saja didalam, Zidan mencoba mengingat, dia seperti sering melihat wajah pemuda itu, tapi siapa? Zidan menggeleng cepat, itu bukan urusannya, apapun status laki-laki itu, tujuan utamanya adalah membuat Marsha jatuh cinta padanya.
"Mau apa kamu kesini?" Tanya Marsha sambil menandatangani berkas-berkas tanpa mengalihkan pandangannya.
"Hanya berkunjung, melihat kakak ku yang sekarang sangat sibuk, sampai tak sempat menjenguk bunda." Mahesa, adik angkatnya menarik kursi yang ada didepan Marsha, Mahesa melipat tangannya didepan dada, memandang wajah cantik yang terlihat semakin cantik saat sedang serius bekerja seperti ini.
"Aku nanti pasti akan mengunjungi bunda, dan bunda tahu kalau aku saat ini benar-benar sedang sibuk."
"Luangkan waktumu untuk menjenguk bunda. Bunda merindukanmu" Ucap Mahesa "Kenapa harus sekretaris laki-laki, kenapa tidak perempuan seperti biasa?" Mahesa mengatakan hal yang tidak ia suka, ia tidak suka Marsha dekat dengan laki-laki manapun.
Tangan Marsha yang sedang sibuk membolak-balikkan berkas yang harus ia tanda tangani, sontak menghentikan kegiatannya, dan mengangkat pandangan melihat Mahesa.
"Bukan urusanmu." Jawab Marsha singkat, kemudian kembali membaca berkas yang ada dihadapanya.
"Tentu menjadi urusanku, sudah aku katakan, aku yang akan menjadi sekretarismu, hanya tinggal beberapa minggu lagi aku sudah mendapatkan ijazah ku. Lagipula apa sulitnya menerima aku menjadi sekretarismu tanpa harus menunggu lulus kuliah. Aku akan bersikap profesional dan bekerja sesuai yang kamu mau."
"Jangan membuang waktuku Mahesa, cepat keluar aku banyak pekerjaan."
"Kamu selalu menghindar Marsha, apa kurangnya aku? Aku bisa setia seperti yang kebanyakan wanita inginkan. Aku akan bertahan disampingmu seperti apapun kamu. Lihat sudah berapa kali kamu ganti sekretaris, tidak ada yang kuat dengan sifat angkuh dan galak mu itu."
"Aku bilang aku tidak mencintaimu Mahesa, kamu tetap adikku ku," tatap Marsha Mahesa "Adikku tetap adikku, tak akan pernah merubah status itu, kamu paham anak kecil." Ucap Marsha tegas dan itu membuat dada Mahesa naik turun karena menahan emosi. Sudah berapa kali pernyataan cintanya ditolak, jika dia bisa memilih lahir kembali, dia tak ingin menjadi adik angkat Marsha.
Mahesa berdiri dari duduknya, "dan aku juga seperti itu Marsha, perasaanku padamu tak akan berubah, dan tidak ada yang bisa merubah pendirianku. Aku tetap mencintaimu, kita lihat, aku pasti bisa mendapatkanmu." Kemudian Mahesa keluar meninggalkan Marsha yang kini memijat keningnya.
"Mahesa tidak waras, bagaimana kalau amam dan apap tahu perihal ini, atau bunda dan ayah tahu? Apa dia tidak memikirkan perasaan mereka? Anak kecil hanya mementingkan perasaannya." Seketika moodnya menjadi turun, kedatangan Mahesa selalu membuatnya kacau.
Zidan menatap heran pada laki-laki yang keluar dari ruang atasanya itu dengan raut marah dan kecewa, walau dia cukup penasaran dengan apa yang terjadi.
* * *
Hari yang cukup melelahkan bagi Zidan, hari pertamanya bekerja menjadi swkretaris Marsha Mahardika benar-benar menyita waktunya. Jam satu dinihari dia baru sampai rumah. Zidan memakirkan motornya digarasi, dia mengendurkan dasinya, melepaskan kancing kemeja teratasnya.
"Baru pulang Zidan?" Suara kakek mengagetkan Zidan, kakinya yang sudah menyentuh anak tangga sontak terhenti, Zidan membalikkan badanya, melihat kakek yang ternyata sedang menonton televisi.
Zidan kemudian menghampiri sang kakek, menyalami punggung tangannya.
"Kenapa Kakek belum tidur?" Zidan duduk disebelah kakeknya.
"Apalagi jika bukan menunggu cucu kesayangan Kakek pulang."
"Maaf Kek, membuat Kakek khawatir." Zidan mengusap punggung tangan kakeknya.
"Yasudah istirahatlah, kamu pasti kelelahan mengahadapi wanita yang dikenal galak itu." Zidan yang memang sudah sangat mengantuk dan lelah memilih beranjak kekamarnya.
Baru saja sepertinya Zidan memejamkan mata, tapi dia sudah terganggu dengan pergerakan disebelahnya, perlahan ada sesuatu mengusap kelakianya, menyapa dengan manja, Zidan menggeliat, dan tangannya seperti menyentuh benda kenyal yang sekarang malah bermain-main didepan bibirnya. Zidan seketika membuka mata, senyum wanita yang sudah setahun menemaninya menyambut paginya.
"Morning sayang." Sapa wanita yang sudah tak mengenakan apa-apa itu.
Zidan amat terkejut mendapati Nana, teman masa kuliahnya waktu diluar negri telah berbaring disampingnya tanpa mengenakan apapun, dan apa itu tadi?
"Apa yang kamu lakukan tadi Nans?" Zidan membola, mengusap bibirnya kasar dengan selimutnya, dan langsung menjauh dari Nana.
Nana tersenyum, merapatkan selimut menutup tubuhnya "Jangan ditarik donk selimutnya, nanti kelihatan semua, kamu tuh masih kaku aja si Zidan."
"Nana cepat keluar dari sini," perintah Zidan tagas sambil menunjuk arah pintu, menatap tajam Nana yang dibalas tersenyum menggoda andalan wanita itu, saat ini satu-satunya laki-laki yang sulit ia taklukkan hanyalah seorang Zidan Xavier.
"Keluar Nana." Ulang Zidan meninggikan suaranya.
"Masih pagi sayang, jangan marah-marah, kamu sekarang sudah menjadi sekretaris anak bau kencur itukan? Pasti sangat melelahkan, kita olahraga pagi dulu, agar urat-urat kamu tidak kaku." Nana tidur menyamping dengan tangan menyanggah kepalanya menghadap Zidan, tanganya masih memegang selimut menutupi bagian sensitif didadanya walau tadi dia sempat menempelkan pada bibir Zidan.
Zidan mengacak rambutnya kesal, kemudian melihat waktu diponselnya, Zidan membola melihat angka yang tertera menunjukkan pukul 06.57 "Mati aku, ibu Marsha pasti akan marah." Tanpa mempedulikan Nana lagi, Zidan melesat kekamar mandi
Belum sampai satu menit dia sudah keluar dengan rambut basah, Zidan tak ingin melihat kearah tempat tidurnya dimana masih ada Nana disana, ditangkap oleh ekor matanya, dia langsung berlalu ke walk in closed miliknya yang berkonsep dark in wood. Zidan benar-benar terburu-buru, kemarin dia sudah menunjukkan kesan pertama yang buruk, tidak mungkin hari ini dia kembali memberikan kesan buruk itu lagi.
Beruntung Nana tidak menyusulnya masuk, jadi dia bisa mengenakan pakaian dengan cepat.
"Sarapan dulu Zidan." tegur kakek saat Zidan menuruni anak tangga sambil mengancingkan jasnya.
"Zidan udah telat Kek." Zidan menghampiri kakeknya dan menyalami punggung tangan laki-laki tua itu, yang kini duduk bersama Nana dimeja makan, Zidan enggan menyapa wanita itu.
"Kamu bahkan lebih sibuk saat menjadi direktur diperusahaan kamu sendiri Zidan."
Zidan tak lagi mempedulikan ucapan kakeknya, pikiranya saat ini sudah penuh oleh ketakutan karena terlambat masuk kantor. Dan benar saja, saat Zidan sampai Melati sudah membawakan kue dan secangkir lemontea hangat didalam nampan.
"Maaf Bu Melati saya terlambat."
"Tidak masalah buat saya Zidan, tapi tidak tahu dengan miss Marsha." Melati menampilkan wajah kasihan pada Zidan.
Zidan mengatur nafas sebelum Melati mengetuk pintu ruangan Marsha, lalu dia menepuk dada menghilangkan rasa gugupnya, Melati tersenyum menyadari kegundahan Zidan terdengar sahutan dari dalam, Melati masuk diikuti Zidan dibelakangnya.
"Pagi miss." Melati meletakkan nampan berisi camilan kenakas sebelah meja Marsha, lalu dia pergi tanpa menunggu jawaban dari atasanya. Meninggalkan Zidan dengan kegugupanya, ditambah Marsha yang tak melihatnya sama sekali.
"Pagi Bu Marsha, maaf saya terlambat."
"Sampahhh," jawaban Marsha membuat Zidan seperti dilempar dari ketinggian, "jangan ucapkan kata-kata sampah dipagi hari membuat mood orang menjadi tidak baik. Apa harus saya ajarkan Zidan? Panggil saya miss Marsha seperti itu, seharusnya kamu sudah mendengar dari yang lain."
"Maaf miss,"
"Aduhhh Zidan, bacakan agenda saya sekarang." Ucap Marsha sedikit tinggi.
Tanpa menunggu lama Zidan pun membacakan serangkaian agenda Marsha, dari pertemuan dengan para investor yang akan memberikan dana untuk acara ulang tahun televisinya, meeting bersama para penaggung jawab acara, dan dengan para tim kreatif, dan yang terakhir bertemu Mr Matthew Blue Smith, pengusaha asal Jerman.
Jam sebelas malam Marsha baru selesai meeting dengan tim kreatif, dan dia harus bertemu dengan mr Matthew disebuah club.
"Miss yakin mau menemuinya disana?" Tanya Zidan takut-takut, karena dia sendiri sebagai seorang lelaki akan memikirkan dua kali untuk melakukan pertemuan ini.
"Kenapa jadi kesanya kamu mengatur saya Zidan? Kamu tinggal ikuti saja, jangan bawel. Jadi pengusaha itu harus memiliki banyak keyakinan, mr Matthew ini harus kita dapatkan malam ini juga untuk menjalin kerja sama, beliau pemilik otomotif terbaik dan terbesar, jadi aku harus bisa menggaetnya untuk bisa bekerja sama dengan perusahaan kita, menjual harga diriku pun aku tidak masalah." Ucap Marsha enteng membuat Zidan mendengus.
Gila, memang gila orang yang mau bertemu dengan rekan bisnisnya dijam malam seperti, dan tidak ditempat yang seharusnya.
Dan satu kenyataan yang baru diketahui Zidan, ternyata Marsha wanita murahan, mau menghalalkan segala cara demi kesuksesan karirnya.
Dia pantas mendapatkan penderitaan seperti yang mama rasakan.
Memasuki diskotik terbesar yang ada di ibu kota, dentuman suara music elektronik menyambut kedatangan Marsha dan Zidan. Marsha sampai menyipitkan matanya karena sorot lampu, mencari sosok Mr Metthew yang membuat janji dengannya. Namun Marsha tak perlu repot-repot mencari keberatan laki-laki itu, karena tak lama, dua orang pengawal menghampirinya.
"Miss Marsha Mahardika?" Ujar salah satu pengawal.
"Yes, i'm Marsha Mahardika."
"Anda sudah ditunggu Mr Matthew miss, silahkan."
Marsha dan Zidan mengikuti langkah pengawal itu menuju lounge Vip yang terletak dilantai dua. Seorang laki-laki tampan berparas wajah asli Jerman berdiri menyambut kedatangan Marsha dan Zidan.
"Waw miss Marsha, tak menyangka anda akan menemui saya disini." Ucapnya dalam bahasa Inggris.
"Tentu Mr, saya begitu menghargai pertner saya, jam berapapun, dan dimana pun, saya akan temui." Jawab Marsha diselingi candaan.
"Thats rigt," Matthew memperhatikan penampilan Marsha dari atas hingga bawah, dan dia cukup terkesan dengan penampilan Marsha yang masih rapih, namun tetap terlihat sangat cantik dan seksi dimatanya.
"Suka minum?" tanyanya, tanpa menunggu jawaban Marsha dia menuangkan minuman beralkohol kedalam gelas dihadapan Marsha.
"Boleh." Jawab Marsha singkat, kemudian mereka mulai membicarakan inti dari pertemuan itu, dan untuk dunia marketing, wanita memang jago dalam mencari simpati pelanggan, terbukti, hanya dengan tatapan lembut dan ucapan lembut Marsha, Matthew, pengusaha asal Jerman yang terkenal susah didekati itu seketika luluh oleh ucapan maut Marsha.
"Anda mau kemana?" Tanya Matthew saat Marsha telah berdiri sambil membawa tas kerjanya.
"Tentu pulang Mister, apa ada lagi yang anda inginkan? Saya bisa menemani anda, sebagai ucapan terima kasih saya,karena anda telah menandatangani kerja sama ini tanpa menunda-nunda besok.
"Saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini miss, jarang sekali saya bisa menemukan seorang pemimpin wanita cantik, muda dan bertalenta seperti anda."
Marsha tertawa renyah mendengar pujian dari Matthew, yang membuat dada laki-laki itu berdegup, Marsha seperti telah menghipnotisnya.
"Boleh saya yang mengantar anda pulang Miss? Saya merasa bertanggung jawab karena telah mengajak anda bertemu semalam ini ditempat yang tidak seharusnya."
"Tidak perlu Mister, saya akan pulang bersama sekretaris saya." Marsha memandang Zidan yang sejak tadi hanya menyimak obrolan keduanya.
"Ayolah Miss, saya tidak suka dengan penolakan, suruh saja sekretaris anda pulang terlebih dahulu." Marsha nampak mempertimbangkan itu, dan kemudian dia menyuruh Zidan pulang lebih dulu.
Zidan tidak pulang, dia masih menunggu Marsha didepan club, penasaran dengan apa yang akan dilakukan Marsha dan laki-laki bernama Matthew itu, dan tak lama keduanya keluar dengan saling melempar tawa.
Zidan mengikuti mobil yang membawa Marsha, lagi, ada hal yang membuat hatinya langsung menilai kepribadian Marsha yang sesungguhnya, mobil itu berbelok memasuki area hotel.
"Benar-benar wanita licik dan murahan."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!