"Mmmmm! Mmmmm! Mmmmmm!" Sarah Caitlyn Yoseph berusaha keras menarik perhatian kakanya agar menoleh ke arahnya.
Latisha Calina Yoseph hanya menoleh selintas dari novel yang sedang di bacanya, untuk melihat ada apa gerangan adiknya memanggilnya. Bukannya melihat wajah cantik adiknya itu, mata Latisha justru tertuju pada gelembung bulat biru muda yang hampir seukuran kepala Sarah.
"Bagus juga" ucap Latisha sambil tersenyum, lalu mendadak dia menusuk gelembung itu sampai pecah.
"HEI!" Sarah memekik ketika gelembung permen karet biru muda itu meletus di kedua pipi dan dagunya.
Latisha tertawa. "Hahaha... kena kau."
Dengan marah Sarah merampas buku kakaknya dan menutupnya dengan cepat. "Whoops-sampai halaman mana hayoo!!" serunya. Dia tahu jika kakaknya sebal sekali jika kehilangan lembar halaman yang sedang di bacanya.
"Sini kembalikan padaku!!" Latisha merampas kembali buku tersebut sambil cemberut.
Kemudian Sarah berusaha menarik permen karet biru muda di wajahnya. "Baru kali ini aku bisa meniup gelembung sebesar itu," ucapnya dengan kesal sambil terus menarik permen karet di dagunya yang sedari tadi tidak mau lepas.
"Aku pernah meniup yang jauh lebih besar dari itu," Latisha menyahut sambil menyeringai sombong, membusungkan dadanya.
"Astaga, kalian berdua ini," Ibunda mereka mengomel sambil masuk ke kamar kedua anak gadisnya, dan menaruh tumpukan pakaian yang sudah dilipat rapih di sudut tempat tidur. "Gelembung permen karet saja kalian ributkan!" ucap Laura.
"Kami tidak ribut Mom, kami hanya sedang bercanda" gerutu Latisha. Gadis cantik itu menyibakan rambut pirangnya yang di ikat dan meneruskan membaca bukunya.
Kedua gadis itu sama-sama memiliki rambut pirang lurus, tetapi rambut Latisha panjang dan bisa di ikat ke belakang atau pun ke samping. Sedangkan rambut Sarah di potong sangat pendek.
Kakak beradik beda satu tahun ini sangatlah mirip, sehingga banyak orang yang mengira jika mereka adalah saudari kembar.
Mereka sama-sama mempunyai dahi lebar dan bermata biru bulat, sama-sama punya lesung pipi kalau tersenyum, dan sama-sama mudah bersemu merah merona di pipi mulus mereka. Namun keduanya menganggap hidung mereka agak sedikit lebar seperti kipas tangan, milik ibu-ibu yang sering di pakai saat kondangan.
"Sudah lepas semua, belum?" tanya Sarah sambil menggosok-gosokan dagunya yang biru dan lengket akibat permen karet yang menempel di wajahnya.
"Belum semuanya," ucap Latisha sambil mengangkat wajah. "Ada sedikit tuh di rambutmu."
"Oh hebat sekali kau ini," gerutu Sarah Ia meraba-raba rambutnya, namun ia tidak menemukan sedikit pun permen karet di rambutnya.
"Kena lagi kau hahah..." ucap Latisha sambil tertawa terbahak-bahak. "Kau ini gampang sekali tertipu!"
Sarah mengeram marah. "Kenapa sih kakak selalu jahat sekali padaku?" tanya Sarah kepada kakaknya.
"Aku? Jahat?" Latisha terbelalak dengan lagak tak bersalah. "Bukakah aku kakak yang terbaik di dunia? Coba kamu tanyakan saja pada Mommy atau Uncle"
Dengan jengkel Sarah menoleh ke arah Ibundanya yang sedang memasukan baju-baju kedalam lemari pakaian. "Mom, kapan aku punya kamar sendiri?" tanyanya.
"Nanti, tahun depan," sahut Laura sambil tersenyum
Sarah mengerang. "Dari dulu Mommy selalu saja bilang begitu" protesnya. Laura mengangkat bahunya. "Kau kan sudah tahu, jika di rumah ini sudah tidak ada ruangan kosong lagi Sarah." Ia menoleh ke jendela kamar. Sinar matahari cerah menyeruak masuk dari tirai-tirai tipis.
"Hari ini sangat cerah. Kenapa kalian di kamar saja?" tanya Laura.
"Mom, kami bukan anak kecil lagi," ucap Latisha sambil merotasikan bola matanya. "Aku sudah lima belas tahun, dan dia sudah empat belas tahun. Kami sudah terlalu besar untuk bermain-main di luar."
"Sudah lepas semua, belum?" Sarah bertanya lagi, masih sambil melepaskan sisa-sisa permen karet biru muda di dagunya.
"Biarkan saja warna kulitmu jadi kebiru-biruan seperti hantu," sahut Latisha.
"Kenapa sih kalian tidak bisa akur, sebentar saja? Kalian berdua ini saudara kandung" ucap Laura sambil menghela napas beratnya.
Tiba-tiba terdengar gonggongan nyaring dari bawah. "Nah, kenapa lagi si Milo?"
Laura mengomel. Anjing pudel cokelat kecil itu selalu saja menggonggongi sesuatu. "Kenapa tidak ajak Milo jalan-jalan?"
'Akh malas sekali rasanya' gumam Latisha dalam hati, ia tak berani mengutarakannya karena takut mommynya mengomel lagi, ia kembali asyik dengan novelnya.
"Bagimana dengan sepeda baru kalian, hadiah ulang tahun kalian tahun ini?" ucap Laura sambil berkacak pinggang "Bukankah itu hadiah yang kalian inginkan? mengapa sekarang hanya di simpan saja di garasi?"
"Okay, okay, Tidak perlu mengomel seperti itu Mom," ucap Latisha sambil menutup bukunya, ia berdiri meregangkan badannya, dan melemparkan bukunya ke tempat tidur.
"Aku mau ikut ya" ucap Sarah kepada Latisha.
"Kemana?"
"Ya ikut denganmu, jalan-jalan naik sepeda ke lapangan. Siapa tahu saja ada teman-teman kita di sana"
"Halah, bilang saja kamu mau ingin bertemu Daniel" ucap Latisha sambil menyeringai "Masih kecil sudah main naksir-naksiran" lanjutnya.
"Lalu?" sahut Sarah dengan wajah yang mulai memerah.
"Sudah sana kalian cari udara segar, Mommy mau ke supermarket sebentar dulu ya" ucap Laura sambil meninggalkan kamar anak-anaknya.
Sarah berkaca di depan cermin lemari pakaiannya, ia melihat sebagian besar permen karetnya sudah lepas, kemudian ia menyisir rambut pendeknya dengan jari jemarinya. "Ayo kita keluar," ucapnya. "Yang keluar belakangan pecund*ng." Sarah berlari ke arah pintu, mendahului kakaknya.
Sewaktu mereka berhambur keluar dari pintu belakang kediamannya terdengar gonggongan nyaring suara Milo, namun mereka tak menghiraukannya dan tetap menuju garasi untuk mengambik sepeda.
Matahari siang bersinar tinggi di langit yang tak berawan serta udara kering dan hening. Kedua gadis itu mengenakan celana pendek dan kaus oblong. Latisha menarik pintu garasi kediamannya, namun ia berhenti sejenak melihat rumah yang berada di sebelah rumahnya yang tiba-tiba saja menarik perhatiannya.
"Tembok rumahnya sudah jadi" ucapnya kepada Sarah, sambil menunjuk ke arah rumah tersebut.
"Cepat sekali pembangunan rumah baru itu, sungguh luar biasa," ucap Sarah, mengikuti arah tatapan Latisha.
Dua bulan lalu para pekerja bangunan telah merobohkan rumah yang lama, kemudian tak lama kemudian beton sudah mulai di buat. Sarah dan Latisha pernah sekali mengitari rumah baru tersebut, tentu saja pada saat para pekerja sedang libur, mereka berdua mengira-ngira letak ruangan-ruangan yang berada di dalam rumah tersebut.
Dan sekarang tembok-temboknya sudah selesai di bangun, terasa sangat cepat.
"Hari ini para pekerja sedang libur," ucap Latisha.
Mereka berdua melangkah mendekati rumah baru tersebut "Menurutmu siapa yang akan tinggal di rumah itu?" tanya Sarah.
"Kalau menurutku nih ya. Cowok keren, tinggi, putih dan tidak jauh umurnya dengan kita. Atau mungkin juga dia punya kakak atau adik yang usianya tidak jauh seperti kita, tapi yang pasti harus keren!!" ucap Sarah.
"Iiih di otakmu hanya ada cowok!" Latisha memasang wajah muak. "Bisa-bisanya aku punya adik sepertimu."
Sarah sudah terbiasa dengan kesinisan kakaknya, namun meskipun demikian Sarah tetap menyayanginya.
"Tak ada orang, ayo kita masuk!" ajak Latisha kepada Sarah.
Sarah mengikuti kakaknya dari belakang, keduanya berjalan menyusuri halaman rumah baru itu.
Seekor tupai, setengah berlari menaiki batang pohon mangga yang terdapat di rumah itu, tupai itu mengawasi mereka dengan tatapan tajam.
Namun mereka tak memperdulikan tupai yang mengawasinya itu dan mereka terus berjalan menembus semak-semak rendah yang membagi dua halaman rumah tersebut, kemudian mereka berjalan melewati tumpukan kayu dan gundukan pasir yang di gunakan untuk pembangunan rumah tersebut, setelah itu mereka berdua naik ke beranda beton dan mereka menyelinap masuk ke dalam rumah.
Suasana dalam rumah tersebut sangat gelap, dingin dan berbau kayu segar, meskipun dinding sudah berdiri kokoh namun dinding tersebut sama sekali belum dicat.
"Hati-hati," ucap Latisha. "Ada banyak paku-paku," ia menunjuk ke arah paku-paku yang berserakan di lantai. "Jika kau menginjaknya satu saja, tubuhmu akan kejang dan mati." Latisha mengingatkan Sarah.
"Itu sih keinginanmu," ucap Sarah.
"Aku tidak ingin kamu mati," jawab Latisha. "Tapi jika hanya kejang, tidak apa-apa lah," lanjutnya mencibir.
"Haha.. itu sama saja," ucap Sarah tertawa sinis. "Ini pasti ruang tamunya," ucapnya, sambil berjalan dengan hati-hati melewati ruang depan ke arah perapian yang berada di dinding belakang.
"Bagus sekali atapnya" ucap Latisha, menatap langit-langit di atas kepala mereka. Ia amat terkagum melihat desain interior rumah baru tersebut yang terhat sangat modern.
"Ruang tamu ini besar sekali, tidak seperti rumah kita," ucap Sarah membandingkan dengan ruang tamu di rumahnya, kemudian ia mengintip dari jendela besar untuk melihat situasi di luar, ia khawatir sang pekerja atau pemilik rumah tiba -tiba saja datang.
"Ya, tapi di sini baunya sangat luar biasa sekali," ucap Latisha, ia mengambil napas dalam-dalam. "Semua serbuk kayu ini sangat bau."
Mereka berdua terus berjalan menuju dapur.
"Apakah kabel-kabel itu menyala?" tanya Sarah, sambil menunjuk ke setumpuk kabel listrik hitam yang tergantung di balok langit-langit.
"Mengapa kamu tidak menyentuhnya saja satu, untuk mencari tahu apakah kabel itu menyala atau tidak?" usul Latisha.
"Kau saja duluan," serang Sarah kembali.
"Dapurnya tidak terlalu besar, sama seperti rumah kita" ucap Latisha, ia terus berjalan hingga mencapai anak tangga yang menuju lantai dua.
"Hah? suara apa itu?" Mata Latisha membelalak kaget. 'Apa ada seseorang di sini?' gumamnya
Sarah yang masih berada di tengah-tenagh dapur terdiam membeku mendengarkan suara tersebut.
Hening.
Kemudian mereka mendengar langkah kaki, semakin lama suara tersebut terdengar semakin dekat dan bisa di pastikan jika suara tersebut memang berada di dalam rumah.
"Ayo kita pergi!" bisik Latisha.
Keduaya berjalan menuju pintu keluar yang terbuka, kemudian melompat dari beranda belakang dan mulai berlari menuju halaman belakang.
Latisha menghentikan langkahnya, dan berbalik kembali ke rumah tersebut.
"Hei-lihat!" panggilnya.
Seekor tupai loncat keluar jendela samping, mendarat di tanah dengan keempat kakinya. Tupai yang sedari tadi mengawasi Latisha dan Sarah masuk ke dalam rumah tersebut.
"Hahahaha... cuma tupai bodoh," Latisha tertawa.
Sarah berhenti di dekat semak-semak rendah. "Kau yakin?" Tanyanya ragu-ragu, ia merasa suara yang di dengarnya tadi cukup keras untuk ukuran langakah tupai. Ia kembali menoleh ke arah rumah tersebut, memastikan jika memang benar-benar suara tupai.
"Hah sudahlah" Sarah menoleh ke arah Latisha, ia terkejut melihat kakaknya sudah tidak ada di tempatnya tadi.
"Kak, kamu pergi kemana?" tanya Sarah panik mencari keberadaan kakaknya.
"Disini bawel," ucap Latisha. "Aku melihat sesuatu!"
Sarah menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan kakaknya, butuh waktu beberapa menit untuk Sarah untuk akhirnya bisa menemukan kakaknya, karena Latisha setengah bersembunyi di balik tempat sampah di ujung halaman.
Sarah menyipitkan matanya agar penglihatannya lebih jelas untuk melihat bahwa kakaknya lah yang sedang membungkuk di tempat sampah itu dan nampak sedang mengaduk-aduk sampah disana.
'Sedang apa dia di sana?' gumam Sarah.
Latisha terus mengaduk-aduk sampah sambil melempar-lemparkan sampah di hadapannya.
"Apa itu?" tanya Sarah, dengan langkah enggan menuju tempat sampah itu sambil menutup hidungnya.
Latisha tak menjawab.
Kemudian perlahan-lahan, dia menarik sesuatu dari dalan tempat sampah tersebut. Namun dalam hitungan detik Ia langsung menahan benda itu.
Lengan dan kaki menjuntai lemas ke bawah, Sarah melihat sebuah kepala dengan rambut coklat panjang yang terurai berantakan.
Sebuah kepala? Lengan? dan kaki?
"Oh, tidak!" Sarah berteriak keras mengangkat kedua tangannya ke wajahnya dengan ketakutan.
Seorang anak?
Sarah mengeluarkan hembusan napas pelan, menatap ngeri saat kakanya mengangkatnya keluar dari tumpukan sampah.
Sarah bisa melihat wajah orang itu, membeku dengan tatapan mata terbelalak, rambut panjang cokelat orang itu terurai kaku di atas kepalanya, dia tampak mengenakan dress abu-abu. Lengan dan kakinya menjuntai lemas.
"Latisha!" panggil Sarah, tenggorokannya ketat dengan ketakutan. "Apa itu - Apa dia hidup...?" jantungnya berdegup dengan kencang.
Latisha memeluk benda malang itu di tangannya.
"Apakah dia hidup?" ulang Sarah.
"Hahaha... Tidak. Tak hidup!" kata Latisha dengan gembira.
Dan lalu Sarah sadar bahwa itu bukan anak-anak.
"Sebuah boneka!" jeritnya, Latisha mengangkatnya. "Sebuah boneka yang sangat cantik sekali." ucapnya. "Seseorang membuangnya. Apa kau percaya? Dia dalam kondisi sempurna."
Latisha menoleh ke arah Sarah dan melihat wajah ketakutannya "Sarah, apakah kau pikir dia benar-benar seorang anak kecil?" Latisha tertawa mengejek.
"Tentu saja tidak," elak Sarah.
"Bodoh sekali kamu," Latisha memeriksa secara keseluruhan kondisi boneka tersebut, kemudian ia beranjak dari tempat sampah menghampiri Sarah.
"Aku benar-benar seorang anak!" Latisha menirukan suara seorang anak kecil sambil menyodorkan boneka tersebut ke arah Sarah.
"Dasar menyebalkan," ucap Sarah sambil merotasikan bola matanya.
"Aku tak menyebalkan. Kamu yang menyebalkan!" Latisha kembali menirukan suara anak-anak, namun kali ini dengan suara yang lebih tinggi dan melengking. Dia menggerakan tangannya dan memainkan boneka tersebut.
"Pasti dia tidur dengan serangga atau tikus, selama berada di tempat sampah itu," ucap Sarah, memasang wajah jijik melihat boneka tersebut. "Buang dia, Latisha" pinta Sarah.
"Tidak," ucap Latisha sambil menyisir rambut boneka itu dengan jarinya. "Aku akan menyimpan dan menyayanginya."
"Dia akan menyimpan dan menyayangiku," ucap Latisha kembali menirukan suara anak kecil seolah boneka itulah yang sedang berbicara.
Sarah menatap curiga pada boneka itu, rambutnya yang cokelat panjang, matanya yang biru bergerak hanya di sisi kanan dan yang kiri tak bisa berkedip, selain itu boneka itu juga memiliki bibir di cat merah terang, melengkung ke atas menjadi senyum menakutkan.
Boneka itu mengenakan dress berwarna abu-abu, berkerah putih dan mengenakan sepatu cokelat besar yang melekat pada ujung kaki kurusnya yang menggantung.
"Namaku Lilly," Latisha kembali membuat suara anak-anak.
"Sangat tidak cocok dengan nama itu" Sarah menampar boneka tersebut hingga terjatuh, kemudian pergi meninggalkan kakaknya.
"Ihhhh menyebalkan sekali, aku balas kau nanti" Latisha mengambil boneka tersebut kemudian mengejar Sarah.
"Sudahlah, bukankah tadi kita mau ke taman. Jadi atau tidak?" tanya Sarah.
"Bilang saja kamu ingin bertemu dengan Daniel" Latisha berhasil menyusul Sarah dan meberikannya satu pukulan keras di pundak Sarah untuk membalas karena menjatuhkan bonekanya tadi.
"Iiih, sudahku bilang buang saja boneka jelek itu," ucap Sarah dengan tidak sabar.
"Aku tidak jelek," ucap Lilly dalam suara Latisha. "Kau yang jelek!"
Sepintas Sarah melihat jika bibir Lilly bergerak saat Latisha berbicara "Astaga, Latisha. Apa kau lihat tadi jika bibirnya bergerak?" tanyanya terkejut sekaligus merinding.
"Apaan sih kamu, aku tidak melihat apa-apa. Bilang saja kau mau aku membuangnya" elak Latisha.
"Aku serius, Latisha" ucap Sarah mencoba meyakinkan Latisha.
"Aku tidak sepertimu yang mudah tertipu," Latisha menatap tajam.
"Jadi kamu benar-benar akan menyimpannya?" teriak Sarah.
"Aku suka Lilly. Dia manis," ucap Latisha, memeluk boneka tersebut.
"Aku manis," Latisha membuat suara Lilly. "Dan kau jelek."
"Diamlah!" bentak Sarah kepada boneka itu.
"Kau yang tutup mulut!" Lilly menjawab, dalam suara Latisha yang melengking tinggi.
"Jika nanti boneka itu membuat masalah, aku tidak akan membantumu!" Sarah kembali berjalan terlebih dahulu dari Latisha.
"Sarah, bukankah kamu tahu jika dari dulu aku selalu menyukai boneka-boneka?" tanya Latisha. "Ingat wayang golek milikku? Dulu aku bermain dengannya selama berjam-jam."
"Ya, tapi ini beda Latisha"
"Hanya jenisnya saja yang beda, aku suka lilly." Latisha terus mempertahankan bonekanya.
"Okay, lalu apa yang akan kau lakukan dengan boneka ini?" tanya Sarah.
"Aku tidak tahu. Mungkin aku akan membuat pertunjukan dongeng bersama anak-anak kecil di lapangan," ucap Latisha berfikir, sambil memindahkan Lilly ke lengan yang satu laginya. "Aku berani bertaruh aku bisa mendapatkan uang dengannya, nanti kita akan muncul di pesta ulang tahun anak-anak untuk mendongeng."
"Selamat ulang tahun!" Latisha membuat suara Lilly. "Berikan Lilly uang!"
Sarah tak tertawa sama sekali, ia justru terlihat sinis.
Di sepanjang jalan di depan rumah mereka, Latisha terus memeluk Lilly dengan satu lengannya.
"Kau harus mengembalikannya lagi ke tempat sampah tadi," ucap Sarah sambil menendang kerikil besar di seberang jalan.
"Tidak," desak Latisha.
"Tidak," Latisha berkata membuat suara Lilly, sambil menggelengkan kepala Lilly "Aku yang akan menempatkanmu ke dalam tempat sampah!"
Latisha tertawa terbahak-bahak, sedangkan Sarah mengerutkan keningnya.
"Kau cemburu?" tanya Latisha.
"Hah? cemburu?"
"Iya cemburu, karena aku yang menemukan Lilly sedangkan kau tidak."
Sarah protes karena di anggap cemburu oleh Latisha, padahal perasaannya tidak enak terhadap boneka tersebut, namun sayangnya Latisha tak menghiraukannya.
Di tengah ocehan Sarah, keduanya mendengar suara Marsha (anak tetangga) yang berjalan ke arah mereka. Dia sangat lucu, berambut pirang dan terkadang Latisha dan Sarah mengasuhnya saat orang tua Marsha sibuk.
"Apa itu?" tanya Marsha, menunjuk ke arah Lilly.
"Apa dia berbicara?" tanya saudara laki-lakinya, Ben, yang juga mendekat ke arah Latisha mengikuti Marsha.
"Hai, namaku Lilly!" Latisha membuat boneka itu memanggil dengan memegang tangan Lilly agar melambaikan tangannya ke arah Marsha dan Ben.
"Dari mana kau mendapatkannya?" tanya Marsha.
"Apa matanya bergerak?" tanya Ben.
"Apa matamu bergerak?" tanya Lilly pada Ben.
Marsha dan Ben tertawa melihat Lilly yang terlihat sangat menggemaskan, Ben meraih tangan Lilly
"Aduh, jangan kencang-kencang memegang tanganku!" teriak Lilly.
Ben melepaskan tangan Lilly, lalu ia dan Marsha jatuh dalam tawa riang gembiranya.
"Hahaha...!" Latisha membuat Lilly juga tertawa sambil memiringkan kepalanya ke kananan dan ke kiri.
Anak-anak itu berfikir jika hal itu sangat lucu, mereka berdua tertawa lebih keras lagi. Senang dengan respon yang di dapatkannya, Latisha melirik ke arah adiknya.
'Dia cemburu dan merasa tersaingi oleh keberadaan lilly, Aku pasti akan menjaga Lilly!' gumam Latisha, diam-diam ia senang dengan kemenangan kecilnya.
Sarah sedang duduk di tepi jalan, memeluk kepalanya dengan tangannya, dan wajahnya nampak kesal. Sarah melihat bahwa anak-anak benar-benar menyukai Lilly, dan Latisha mendapatkan semua perhatian dari anak-anak. Ia menatap mata biru terang boneka itu, yang mengejutkan adalah, boneka itu tampak menatap juga ke arahnya sambil tersenyum lebar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!