NovelToon NovelToon

Cerita Di Balik Tirai

Perngorbanan

“Aku nikahkan engkau, dan aku kawinkan engkau dengan putriku Sameira Erliana dengan mahar seperangkat alat salat dan emas 24 gram di bayar tunai.” Tangan kanan Jafar bergerak memberi isyarat ke pada Rafan Winasis, pemuda yang berkorban demi kehormatan seorang gadis.

“Saya terima nikah dan kawinnya Sameira Erliana dengan mahar yang telah disebutkan dibayar tunai,” ucapnya dengan lantang tanpa tersendat sedikit pun.

Penghulu dan Jafar menatap kedua belah pihak saksi yang duduk berdampingan dengan mereka kala itu.

Penghulu bertanya seraya menatap saksi secara bergantian, “Bagaimana saksi, sah?”

Semua saksi berseru dengan sangat antusias, “Sah ....”

Jabatan tangan Jafar dan Rafan pun terlepas, mereka semua menadahkan tangan untuk berdoa bersama. Setelah penghulu selesai berdoa Erli di tuntun sang bibi ke dalam ruangan akad nikah.

Di sana Rafan telah berdiri menunggu Erli yang kini telah sah menjadi istrinya, diulurkan tangannya menyentuh ubun-ubun kepala Erli, pemuda itu membacakan doa yang wajib dipanjatkan sesaat setelah akad.

Allahumma inni as’aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih. Wa a’udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha ‘alaih, Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya. Dan Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau tetapkan atas dirinya.

Erli meraih tangan suaminya dan mencium punggung dan telapak tangan Rafan cukup lama, setelah rangkaian sesi foto akad nikah usai. Pasangan pengantin baru tersebut menggelar resepsi, terlihat para tamu undangan telah memadati ruangan. Sebagian teman Rafan naik ke pelaminan sekedar berswafoto dan mengucapkan selamat kepada mereka berdua.

“Selamat ya, sudah sah. Semoga cepat dapat momongan,” ucap Galang sahabat sekaligus Abang tiri Rafan.

Sontak Erli tersedak mendengar ucapan Galang, kedua bola mata gadis itu bergolak dan tangan kiri Erli mengelus pelan perutnya.

“Erli, kamu tidak apa-apa ‘kan?” tanya Galang panik.

“T-tidak apa-apa, Mas. Aku baik-baik saja kok,” jawab Erli gugup.

“Kamu yakin tidak apa-apa? Aku panggilkan Rania, ya?” sahut Rafan dengan ragunya pria itu mengelus punggung Erli.

Erli hanya mengangguk pelan membenarkan ucapan suaminya barusan, sedangkan Galang tersenyum lebar melihat Rafan bersikap manis kepada sang istri. Selama ini Rafan selalu cuek terhadap wanita, terkecuali ibunya. Tidak pernah sekalipun dia menjalin hubungan dengan wanita, sampai-sampai dia di juluki perjaka pintu surgawi.

“Jangan pamer kemesraan dong! Kasihanilah kami yang jomblo ini,” ujar Ragil yang berdiri di belakang Galang sejak tadi.

Rafan menepuk bahu Ragil sembari tersenyum tipis, Erli pun ikut tertawa. Namun, kebahagiaan pengantin baru itu lenyap ketika Marlita datang dan menggandeng lengan Rafan tanpa sungkan ataupun malu.

“Urat malumu sudah putus rupanya, Mar!” ujar Galang dengan kening yang mengerut.

“Tentu saja tidak. Sejak dulu kami telah dekat, sebelum kedatangan wanita ini!” kata Marlita pelan tapi tajam.

“Hai, jaga ucapan lo! Wanita itu adalah istri sah Rafan. Jangan bikin ulah di hari bahagia adik gua!” ancam Galang dan terlihat tatapan tajamnya yang membunuh.

Marlita mendengus kesal mendengar ucapan Galang, terlihat jelas kemarahan di wajah gadis bermata sipit itu.

“Siapa yang ingin menghancurkan kebahagiaan Rafan? Justru kedatangan gua kemari menambah kebahagiaan yang hakiki. Iya ‘kan Fan?” celetuk Marlita tanpa menghiraukan Erli yang berdiri di samping Rafan.

Rafan hanya tersenyum masam seraya menatap wajah Erli sebentar.

“Wanita gila seperti Lo ini, tidak pantas di ajak bicara!” hardik Ragil pelan, pemuda itu menjabat tangan Rafan lalu pergi.

“Sana pergi jauh-jauh! Kalau perlu jangan balik lagi.” Marlita mengibaskan tangan kanannya seraya melirik tajam Erli.

Erli paham dengan maksud Marlita dan dia juga dapat mengetahui dibalik sikap teman suaminya itu. Perlahan istri Rafan menelisik Marlita dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Kenapa aku diperlakukan seperti pelakor? 'Kan aku istri sah pria ini! gerutu Erli dalam hatinya.

Marlita adalah teman Rafan di kala kuliah dulu, sejak pertemuan mereka di tahun 2010 Marlita telah menyimpan perasaannya, hingga saat ini.

Namun, sayangnya perasaan Marlita tidak terlihat oleh Rafan, entah karna dia terlalu cuek atau memang tidak bisa merasakan bentuk kasih sayang Marlita sejak dulu.

“Jangan lupa dengan rencana kita lusa!” kata Marlita mengingatkan rekan kerjanya itu.

Rafan mengangguk sembari menjawab ucapan Marlita sesingkat mungkin, “Iya ....”

Marlita melenggang pelan melewati sepasang raja dan ratu semalam itu.

“Gara-gara wanita sialan itu, membuat sikap Rafan berubah drastis,” keluh Marlita, netra gadis itu menelisik satu persatu wajah tamu undangan berharap dia mengenal salah satu tamu undangan yang hadir pada malam ini.

Istri sah Rafan mengelus kepalanya, rasa sakit yang ia rasakan semakin parah, tetapi Erli mencoba menahan semua itu tanpa mengeluh sedikitpun.

kenapa aku sering merasakan sakit kepala? Batin Erli pandangan gadis itu sedikit kabur, tetapi dia tetap menyuguhkan senyuman.

Malam semakin larut semua tamu undangan telah pulang, Erli dan Rafan pun meninggalkan gedung pernikahan mereka. Sesampainya di kediaman sang mertua, pengantin baru itu berjalan beriringan masuk ke dalam menuju kamar mereka.

Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan saat ini? Apakah hamba harus melaksanakan kewajiban hamba sebagai seorang istri? Atau ..., gumam Erli dalam hati, tangannya gemetar sesekali netranya melirik pria yang kini menyandang gelar suami.

“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Rafan dengan suara beratnya.

Erli kaget dari lamunan setelah mendengar suara berat sang suami.

“Maaf, Anda tanya apa tadi? Saya tidak terlalu fokus,” tutur Erli lembut.

“Apa yang ada dalam pikiranmu itu?” Rafan mengulang pertanyaannya.

“Tidak ada. Saya hanya ...,” kata Erli terhenti tangannya menggaruk kepala meski tidak gatal.

“Cepat masuk!” titah Rafan yang telah membuka pintu kamar lebar-lebar.

Netra gadis itu terbelalak melihat kamarnya telah di hiasi ratusan bahkan ribuan kelopak bunga mawar.

Apa ini? Kenapa mereka menghiasi kamar ini sedemikian rupa? A-aku ‘kan sudah tidak.

“Apa lagi yang kamu pikirkan? Cepat masuk dan ganti bajumu!” perintah Rafan, kali ini terlihat ketegasan di wajah pria itu.

Erli hanya mengangguk dan bergegas melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar, aroma bunga mawar menyebar dan merasuk ke dalam indra penciuman Erli. Sesaat gadis itu terbuai aroma mawar yang menggoda, secara perlahan kedua kelopak matanya tertutup rapat, jiwa Erli berkelana entah ke mana yang pasti raga gadis itu masih di dalam kamar.

“Pakaianmu telah aku masukan ke dalam lemari. Aku akan tidur di ruang ganti dan kamu tidurlah di ranjang, jika perlu sesuatu panggil saja aku!” ujarnya dengan wajah yang datar.

“Biarkan saya yang tidur di ruang ganti. Anda tidurlah di ranjang!” sergah Erli dengan senyuman menghiasi paras imutnya.

“Jangan membantah! Lakukan saja apa yang aku perintahkan barusan.” Wajah Rafan terlihat sangat datar dan tatapan tajamnya membuat Erli takut.

“Maafkan saya! Saya telah membuat Anda susah dan ... kini hidup Anda terbebani dengan kehadiran saya,” kata Erli dengan kepala tertunduk. Kedua tangan gadis itu menggenggam erat gaun yang ia kenakan saat ini.

“Ini sudah malam, pelankan suaramu! Ingat kata-kataku ini. Aku melakukan ini ikhlas dan tidak merasa terbebani, insya Allah akan aku penuhi kewajiban-kewajibanku!” pungkas Rafan tanpa keragu-raguan.

“Terima kasih. Anda pria terbaik yang pernah saya temui. Setelah semua usai, saya akan meninggalkan rumah ini!” Dengan mata yang berkaca-kaca Erli mengucapkan kalimat tersebut.

Mata Rafan membulat sempurna menatap gadis yang berdiri di hadapannya itu.

“Jaga ucapanmu dan jangan asal bicara!” bentak Rafan dengan mata yang melotot.

Kenapa dia marah? bukankah bulan lalu kami telah menyepakati keputusan ini. andai saja aku tidak hamil. Tentunya dia tidak akan mengambil tanggung jawab seberat ini, batin Erli tatapan matanya tidak pernah terlepas dari sang suami.

Pernyataan

“Keputusan pisah ada di tanganku. Kapan dan di mana itu terserah aku, kamu jangan ikut campur!” ucapnya penuh penekanan.

“Tapi ‘kan keputusan ini sudah kita sepakati sebulan yang lalu. Anda pun setuju tanpa keberatan,” tutur Erli lirih.

“Cukup! Aku tidak mau mendengar sepatah kata apa pun darimu.”

Lagi-lagi Erli bingung dengan kata-kata yang terlontar bebas dari mulut suaminya, netra gadis bertubuh ramping itu berkaca-kaca. Buliran bening yang sedari tadi dia tahan kini terus mendesak ingin keluar, sekuat tenaga Erli menahan air matanya. Namun, jutaan air matanya tidak dapat terbendung lagi.

Melihat wanitanya menangis Rafan salah tingkah dan dia bergerak gelisah, entah kenapa hati pria bertubuh kekar tersebut terasa teriris.

“Maafkan aku. Aku sudah terlalu keras terhadapmu, aku mohon jangan bahas perihal perpisahan! Biarkan semua mengalir begitu saja,” ungkap Rafan seraya menepuk pelan bahu Erli.

Kedengarannya sepele, tetapi kalimat itu mampu menambah kepiluan di hati Erliana Sameira. Isak tangis gadis itu semakin keras sampai-sampai terdengar oleh zulaika—ibu Rafan yang melewati kamar mereka. Merasa ada yang tidak beres, wanita paru baya tersebut menerobos masuk ke dalam kamar anaknya.

“Ada apa ini? Kenapa menantu ibu menangis? Coba jelaskan masalahnya Rafan!” pinta Zulaika sembari memeluk Erli yang masih sesenggukan.

“Hanya masalah sepele, Bu!” sahut Rafan buru-buru.

“Benarkah itu, Sayang?” Zulaika mengangkat kepala Erli yang tadi dia benamkan di pundak kirinya.

Pengantin wanita itu mengangguk seraya mengusap kasar wajahnya yang basah.

“Lalu, kenapa kamu menangis?” Zulaika kembali bertanya.

“Tangan Erli kejepit pintu, Bu!” ungkap Erli dengan isak tangis yang masih terdengar.

“Jika Rafan membuatmu susah, bilang sama ibu! Nanti ibu yang akan menghukumnya,” tutur Zulaika sembari mengelus kepala Erli.

“Iya Bu.”

Zulaika tersenyum manis seraya mengelus pipi menantu perempuannya itu.

“Jangan menangis lagi, ya! Hai ... kamu belum ganti baju. Apa perlu bantuan untuk melepas gaunmu ini?” tanya Zulaika dengan mata yang mengerling.

“Tidak perlu Bu!” sahut Erli cepat.

Zulaika melirik ke arah anak laki-lakinya yang berdiri di sebelah ranjang, dia tidak menyangka dengan respons menantu perempuannya itu.

“Ya sudah, ibu mau ke dapur bikin susu buat kamu.”

“Susu? Erli tidak suka susu Bu!” ujar Erli seraya menggenggam pergelangan tangan ibu mertuanya.

“Sejak malam ini kamu harus suka!” Zulaika tersenyum sembari menepuk punggung tangan Erli, gadis itu sangat bingung dengan ucapan mertuanya dan ditambah lagi sikap Zulaika yang terus-menerus memperhatikan dirinya sejak akad nikah tadi pagi.

“Ada apa dengan ibu Anda? Sejak tadi pagi Beliau selalu mengkhawatirkan kondisi saya,” tanya Erli dengan mata yang menyipit.

Rafan melepas jasnya dan duduk di sofa, pria itu menarik tangan Erli.

“Tidak perlu bingung! Ibuku memang seperti itu, Beliau selalu perhatian dengan siapa pun,” seru Rafan yang kini berlalu pergi menuju ke ruang ganti.

“Benarkah? Tetapi hati saya berkata lain,” kata Erli yang saat ini memiringkan kepalanya melihat Rafan masuk ke ruang ganti.

“Iya, jangan berpikir yang macam-macam!” sahut Rafan dari dalam ruangan.

Walaupun Erli masih bingung dengan semua yang telah terjadi, dia mencoba membuang semua prasangka dan menerima keluarga barunya ini.

\*\*\*

“Ada di mana aku? Kenapa tempat ini familier sekali?” Netra Erli mengembara di setiap sudut ruangan yang berhiaskan lukisan bunga.

Langkah kaki jenjangnya terus menelusuri lorong yang panjang, sesampainya di ujung lorong Erli melihat secercah cahaya. Tiba-tiba cahaya itu pecah menjadi butiran berlian yang terbang ke arahnya.

Erli yang masih terbengong di tengah lorong dikejutkan dengan suara derap langkah kaki.

“Apa kamu bahagia dengan semua ini?”

Sontak Erli melihat sekeliling, tetapi tidak ada siapapun di sana. Namun, suara itu terdengar sangat dekat sampai-sampai menggema di daun telinga Erli.

“Siapa kamu? Jangan mempermainkan aku seperti ini!” teriak Erli sekuat tenaga.

“Ha-ha-ha, apa kau lupa denganku?” ucap pria itu disela tawanya yang terbahak-bahak.

Netra Erli melotot saat melihat sosok pria yang berdiri di hadapannya itu.

“Xavier ... a-apa maumu?” kata Erli gagap dan matanya melebar menatap Xavier.

“Ya, ini aku. Apa kamu sudah melupakan diriku dalam hidupmu?” Tatapan tajam pria itu membuat Erli ketakutan.

“Menjauh dariku dan jangan pernah mengganggu hidupku!” bentak Erli dan jari telunjuknya mengacung ke arah Xavier.

"Kau memintaku menjauh? Jika aku tidak mau, apa yang akan kau lakukan?" seru Xavier.

"Aku tidak mau lagi berurusan denganmu, menjauh ku bilang!" Suara teriakan Erli memenuhi ruangan.

Bukannya pergi Xavier malah menyuguhkan senyuman jahat dihadapan Erli. Perlahan-lahan pemuda itu mendekat dan menggenggam erat pergelangan tangan Erli, tangannya yang lain mencekik leher gadis itu.

Sekuat tenaga Erli berteriak dan meronta, tetapi tidak ada satu orangpun yang mendengar suaranya. Mata gadis itu melebar dan mulutnya ternganga. Napas Erli terasa berat dan kini tubuhnya bergerak lesu. Gadis yang malang, disaat seperti ini tidak ada orang yang membantunya.

“T-tolong jangan bunuh aku, Xavier ...," ujar Erli, suaranya terdengar lemah dan kedua kelopak matanya hampir terkatup rapat.

Xavier semakin menikmati keadaan yang dia ciptakan, bahkan pemuda itu terlihat sangat bersemangat.

“Nikmati perjalananmu ke neraka Sayang! Ha-ha-ha ....” Suara tawa Xavier menggema di seluruh ruangan.

Mata Erli melirik ke sana kemari, sekilas dia melihat bayangan seseorang di balik tirai, rupanya itu adalah Rafan.

Suaminya tersebut sedang berdiri memunggungi mereka, dengan tenaga yang tersisa Erli menyerukan nama suaminya.

“M-Mas Rafan. Tolong bantu a-aku!” pekiknya pelan, air matanya mengalir dan kedua tangannya mencoba melepas kedua tangan Xavier yang melingkar di lehernya.

Walaupun Erli telah berteriak berulang kali memanggil Rafan, tetapi suaminya itu tidak mendengar suaranya sama sekali. Bahkan Rafan berlalu pergi meninggalkan ruangan tersebut.

Mungkin kemarin aku terhindar dari maut. Namun, kali ini malaikat telah bersiap mencabut nyawaku yang tidak berguna ini, gumam Erli dalam hatinya.

Mimpi

“Erli bangun!” Rafan mengguncang pelan tubuh istrinya.

Erli yang terbangun dari tidurnya langsung memeluk Rafan dengan erat.

“Ada apa?” tanya Rafan panik.

“Xavier, dia mau membunuh saya. Dan ... Anda tidak membantu saya! Bahkan Anda pergi dari tempat itu, meninggalkan saya yang hampir mati.” Erli menjelaskan kejadian yang dia alami dalam mimpinya tadi.

“Istighfar Erli! Itu semua hanya mimpi bukan kenyataan,” ucap Rafan sembari menyodorkan segelas susu yang terletak di atas nakas.

Erli meminum susu yang diberikan suaminya dan sedetik kemudian dia kembali berbicara.

"Tapi, mimpi itu terasa nyata. Bahkan jantung saya saat ini masih berdegup!” tuturnya dengan tangan yang memegang dada.

“Kamu hanya kecapekan. Sana ganti baju dan tidur lagi!” titah Rafan dan tangan pria itu mengelus kepala Erli.

Setelah perdebatan tentang perceraiannya bersama Rafan, Erli menangis sampai tertidur.

“Anda tidur di sini saja, ya. Saya takut!” ujar Erli, wajah gadis itu terlihat pucat.

Rafan mengangguk pelan dan dituntunnya Erli masuk ke dalam ruang ganti. Setelah mengenakan piyama berwarna biru, Erli kembali ke dalam kamar dan membaringkan tubuhnya di atas ranjang.

Sepasang bola mata berwarna coklat menatap serius wajah Rafan tanpa mengedipkan kelopak matanya.

“Terima kasih ya Allah, Engkau telah mengirim pria baik ini untukku!” gumam Erli lirih.

Namun, gumaman lirih Erli itu didengar jelas oleh sang suami, betapa terkejutnya dia melihat sosok pria yang dia kagumi menatapnya balik.

Suaminya tersebut duduk dan berdecak, “Erli ... Erli, mau sampai kapan kamu terjaga seperti itu? Cepat tidur!"

“Ah ... Maafkan saya!” sahut Erli gugup, bergegas dia memalingkan pandangan dan memejamkan kedua kelopak matanya.

Sejak pertemuan pertama mereka, Erli selalu menghormati Rafan dan tak pernah sekalipun dia memanggil nama Rafan.

***

Suara jarum jam yang terus berdetak membangunkan Rafan dari tidurnya yang lelap, mata pemuda itu melirik jam yang tergantung di dinding.

“Ya Allah, sudah jam lima. Kenapa tidak ada seorang pun yang membangunkan aku?” ucapnya pelan dan bergegas dia beranjak ke kamar mandi.

Setelah selesai mandi, Rafan membangunkan Erli yang masih terlelap.

“Erli bangun! Ayo, kita salat berjamaah,” tutur Rafan lirih sembari mengguncang tubuh Erli menggunakan bantal guling.

Alih-alih bangun Erli malah bergeser tanpa membuka kelopak matanya dan tangan gadis itu menepuk kasur seakan menyuruh Rafan untuk tidur disebelahnya.

“Astagfirullah gadis ini!” decak Rafan pelan.

Kedua matanya melirik ke sana kemari mencari sesuatu yang bisa membangunkan istrinya tersebut.

“Sepertinya benda itu bisa membangunkan si kebo ini,” Rafan meraih kemoceng yang terletak di atas lemari dan di oleskan bulu ayam tersebut di hidung Erli.

Gadis itu hanya mengusap hidungnya yang terasa gatal bercampur geli, Rafan pikir istrinya akan bangun. Namun, Erli masih tertidur dan hal itu membuat Rafan jengkel bercampur kesal.

“Sungguh cobaan berat membangunkan wanita ini,” ucap Rafan bersungut-sungut.

Rafan bergegas salat dan membiarkan istrinya tertidur. Sesudah dia melakukan kewajibannya Rafan melirik Erli yang masih terbaring di atas ranjang, “Dasar kebo. Sudah siang bolong belum bangun juga, apa di rumahnya dia selalu begitu?” gerutu Rafan lirih.

Suara merdu Rafan membangunkan Erli dari tidurnya yang lelap, netra gadis itu terbuka lebar menatap pria halalnya sedang mengaji disebelah meja rias.

Pantas saja wanita itu sangat menyukainya. Sikapnya yang sopan dan pandai mengaji ini yang memikat, wanita mana yang tidak akan terpesona olehnya? ujarnya pelan, betapa terpesonanya Erli mendengar lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang di baca oleh sang suami.

Rafan menghentikan aktivitasnya dan dia melirik ke arah Erli, “Kenapa tidak bergegas ke kamar mandi? Kamu tidak lihat matahari akan menampakkan dirinya. Cepat mandi dan laksanakan salat!” Rafan mencibir sikap Erli yang lalai akan kewajibannya sebagai Muslimah.

Erli terkejut mendengar perkataan Rafan, gadis itu bergerak cepat menuju kamar mandi tanpa membantah sedikitpun. Sekian menit telah berlalu pengantin baru itu keluar kamar dan berjalan beriringan menuju ruang tengah, di sana sudah banyak orang yang berkumpul.

“Cie ... pengantin baru sudah keluar dari singgasananya,” ledek Rania disela tawa kecilnya.

Semua pandangan tertuju kedua insan yang kini duduk lesehan, Erli memalingkan pandangannya ke arah lain. Tampak jelas pipi gadis itu memerah karna malu, sedangkan Rafan memasang wajah datar seperti biasa.

Pemuda itu bersikap biasa saja seakan-akan tidak terjadi apa-apa dalam hidupnya, lain dengan Dewi—tante Rafan. Adik ipar ibu Rafan itu menatap Erli dengan padangan mata yang aneh.

“Eh, pengantin baru ini rambutnya kok kering. Apa kalian tidak bertempur tadi malam?” tanya Dewi dengan mata yang menyipit.

Netra Erli terbelalak menatap sang suami, gadis itu bergerak gelisah. Erli tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dan dia tidak dapat menjawab pertanyaan aneh dari sang tante.

“Jangan bertanya seperti itu, Tante! Hal yang Tante tanyakan itu terlalu sensitif dan tidak baik jika kami jawab,” sahut Rafan dengan santainya.

Mendengar jawaban Rafan, Erli menghembuskan napas berat. Betapa bersyukurnya dia melihat sang suami dapat menjawab pertanyaan julid sang tante, tanpa menimbulkan perselisihan di antara mereka.

“Sudah jangan berbicara hal yang tidak masuk akal. Ayo, kita sarapan!” ajak Zulaika sembari menggandeng tangan Erli.

Menantu pertama Zulaika tersebut menyuguhkan senyuman manis. Baru saja melangkahkan kaki, terdengar suara deruman mesin mobil yang berhenti di depan rumah. Tak lama kemudian mereka mendengar salam dari balik pintu utama, suara yang sangat familier sekali di telinga mereka.

Namun, tidak untuk Erli. Ya, hanya Erli yang tidak mengenali suara tersebut, begitu penasarannya Erli sampai-sampai dia rela memiringkan kepalanya demi melihat wajah orang yang sedang mengobrol dengan Rania—adik Rafan.

“Siapa yang datang, Nia?” pekik Dewi sembari melangkahkan kakinya menghampiri Rania yang masih berbincang asyik.

Wajah adik ipar Zulaika terlihat sangat bahagia setelah melihat tamu yang datang.

“Oalah ... cah ayu toh. Mari masuk, Nak!” sapa Dewi antusias.

Siapa sih yang datang? Mereka kok terlihat sangat bahagia begitu, gumam Erli dalam hati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!