NovelToon NovelToon

Mahligai Cinta Zeda Humaira Emerson

Prolog - Ketika Cinta Bertasbih

Sebagai seorang wanita, Zeda Humaira Emerson memimpikan sosok suami yang terbaik. Dermawan seperti Abu Bakr As-Shiddiq, tegas dan berani seperti Umar Bin Khattab, lembut dan menjalankan hartanya untuk agama seperti Utsman bin Affan, cerdas dan setia pada satu istri seperti Ali Bin Abi Thalib.

Terlalu sempurna?

Aira terkekeh saat mengingat laki-laki impiannya itu yang bahkan sampai ia tuliskan di sebuah buku diary sejak ia remaja.

Namun Aira tahu, jika ia ingin laki-laki yang terbaik, maka Aira harus menjadi wanita yang terbaik pula.

"Sepertinya, Allah mengabulkan impianmu, Sayang." Aira mendongak dan ia tersenyum pada ibunya yang datang membawakan gaun pengantinnya.

Ini adalah hari yang sangat istimewa, juga menegangkan, dimana hari ini akan menjadi hari penyatuannya dengan seorang lelaki yang sangat baik, walaupun tak sebaik empat Sahabat Nabi yang di diinginkan.

Namun Aira tahu, pria yang di jodohkan dengannya itu itu adalah pria yang sholeh, menguasai ilmu agama, taat pada ilmu agama, berbakti pada orang tua terutama pada ibunya karena ia memang tak lagi memiliki ayah.

Arsyad Ibrahim, bukankah itu nama yang indah? Seindah wajahnya, seindah tutur katanya, seindah adabnya pada semua orang. Dan yang membuat Aira sangat menyukainya, Arsyad membangun sebuah sekolah TK yang di gratis-kan untuk orang yang tak mampu, dan yang lebih membuat Aira kagum, Arsyad tetap membuyar para guru di TK itu dengan uang pribadinya.

Selain mengelola sekolah TK, Arsyad juga memiliki restaurant yang sangat besar dan terkenal di Jakarta, yang kini telah memiliki beberapa cabang di berbagai kota.

"Ummi, aku sangat gugup, tanganku sampai dingin," ucap Aira sembari menggosok tangannya.

"Ummi tahu, setiap wanita akan seperti ini di hari pernikahannya," jawab Ummi Firda kemudian ia membantu Aira memakai gaun pengantinnya.

Aira menarik napas dalam beberapa kali, guna menenangkan hatinya yang bergejolak.

"Sekarang, pakai cadarmu, Sayang," tukas Ummi Firda sembari memakaikan cadar Aira.

Aira telah memutuskan memakai cadar sejak usianya 8 tahun, tidak ada yang memintanya, namun ia mengatakan itu adalah panggilan jiwanya, apalagi Aira adalah gadis pemalu, yang hanya berani mengangkat wajah di depan keluarganya sendiri dan selalu menundukan wajahnya saat di depan orang lain.

...***...

Di sisi lain, Arsyad pun tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Berkali-kali ia menarik napas dalam, meminum air putih, mondar-mandir di dalam kamarnya.

Zeda Humaira Emerson, mendengar namanya saja sudah membuuat jantungnya berdetak cepat, hatinya berbunga-bunga. Dalam sekejap, wanita yang di jodohkan dengannya itu mampu mengalihkan seluruh perhatian Arsyad padanya.

"Sudah siap?" Arsyad menoleh saat mendengar suara ibunya.

"Aku sangat gugup, Ummi," jawab Arsyad, ia menujukan tanganya yang gemetar dan itu membuat sang Ummi tertawa.

"Tenanglah, semoga hari ini semuanya lancar," ucap Ummi Ridha kemudian ia mengambilkan jas Arsyad, memakainkannya dan seketika sang Ummi meneteskan air matanya. "Kamu sudah dewasa, Arsyad. Padahal rasanya baru beberapa hari yang lalu Ummi selalu memakaikan bajumu, masih menyuapi kamu, bahkan membacakan dongeng pengantar tidur. Sekarang, kamu sudah dewasa, dan akan menjadi raja dari ratumu sendiri."

"Ummi akan selalu menjadi ratuku yang utama," sela Arsyad. "Istriku adalah ratu dalam rumah tanggaku, tapi dalam hidupku, Ummi adalah ratuku." Ummi Ridha hanya tersenyum menanggapi ucapan putranya itu.

"Terima kasih, karena Ummi memilihkan dia untukku," ucap Arsyad kemudian dengan wajah yang tersipu malu.

"Kamu belum pernah melihat wajahnya, Arsyad. Ucapkanlah terima kasih setelah kamu melihat wajah calon istrimu."

"Aku melihat adabnya yang sangat indah, Ummi. Tutur katanya begitu lembut dan hati-hati, dia tidak pernah mengangkat wajahnya di depan orang asing, aku melihat betapa besar kebaktiannya pada keluarganya dengan menerima perjodohan ini, apa ada yang lebih sempurna darinya? Dia akan selalu terlihat sangat cantik di mataku. "

...***...

"Saya terima nikah dan kawinnya Zeda Humaira Emerson putri dari Gabriel Emerson dengan mas kawin uang sebesar satu juta seratus seribu satu rupiah dan seperangkat alat sholat di bayar tunai!"

"Bagaiamana? Saksi? Sah?"

"SAH!"

Saksi pernikahan dan semua para tamu yang hadir menjawab dengan serampak, Arsyad langsung bernapas lega sementara keluarga Aira pun hanya bisa menangis haru.

Kini anak gadis mereka telah menemukan pasangannya, akan memiliki keluarganya sendiri.

Sementara Arsyad begitu gugup menanti kedatangan pengantinnya dan saat sang pengantin datang, ia terpana melihat sosok sang bidadari yang kini berjalan mendekatinya dengan di gandeng oleh Abi Gabriel dan Ummi Firda.

Micheal dan Jibril yang merupakan kakak Aira pun berdecak kagum melihat keanggunan tuan putri mereka yang kini akan menjadi ratu suaminya.

Aira di dudukan di samping Arsyad dan saat ia di suruh mencium tangan suaminya, tangan Aira langsung gemetar, begitu juga dengan Arsyad.

Selama ini, baik Aira maupun Arsyad tak pernah berinteraksi dengan lawan jenis mereka, sehingga keduanya begitu gugup saat harus bersentuhan.

"Ayo, Sayang. Cium tangan suamimu, setelah itu, dia akan mencium keningmu," ucap Abi Gabriel sembari menyatukan tangan Aira dan Arsyad.

Dengan malu-malu, Aira mencium tangan Arsyad, di balik cadarnya, pipinya merona dan terasa panas.

Setelah itu, Arsyad pun mencium kening istrinya dengan lembut.

"Kau ingin melihat wajah istrimu, Arsyad?" Tanya Abi Gabriel namun Arsyad menggelengkan kepalanya. "Kenapa?" Tanya Abi Gabriel lagi, karena selama ini Arsyad tidak pernah mau meskipun di izinkan untuk melihat wajah calon istrinya.

"Nanti, aku akan melihatnya di kamar," ucap Arsyad yang langsung membuat semua orang tertawa. Sepasang pengantin itu pun hanya bisa tertunduk malu.

...***...

Arsyad membawa Aira ke kamar pengantin yang sudah di siapkan untuk mereka, sepasang suami istri itu tampak malu-malu juga canggung, terutama Aira yang terus menundukan wajahnya.

"Apa kau tidak ingin menatapku, zaujatii?" Tanya Arsyad sembari menangkap pipi Aira dan memakasa Aira menatapnya.

Di balik cadarnya, Aira tersenyum malu. "Kau punya mata yang sangat indah, aku khawatir semua yang kau tatap akan jatuh cinta padamu," puji Arsyad yang membuat darah Aira berdesir.

"Bolehkah aku melihat senyummu?" Tanya Arsyad kemudian dan Aira hanya bisa mengangguk pelan. "Aku juga ingin mendengar suaramu," ucap Arsyad lagi karena sejak tadi Aira hanya menggeleng atau mengangguk.

"Ya, Zauji," jawab Aira dengan suara lembutnya yang membuat hati Arsyad langsung berdesir.

Perlahan, dan tak lupa dengan mengucapkan bismillah, Arsyad membuka cadar istrinya dan seketika Arsyad menahan napas melihat kecantikan yang selama ini tersembunyi di balik cadar Aira.

Arsyad tak bisa menemukan kata-kata yang pantas untuk menggambarkan keindahan istrinya itu.

Aira yang di tatap begitu intens oleh suaminya langsung tertunduk dalam, tangannya gemetar dan terasa dingin, dadanya berdebar hebat.

"Kau ... sangat indah, Zeda Humaira. Aku bahkan tidak bisa menemukan kata-kata yang pantas untuk menggambarkan keindahanmu." Aira langsung tersipu malu mendengar pujian suaminya itu, pria pertama yang menatap wajahnya dan memujinya dengan begitu mesra.

"Bolehkah jika sekali lagi aku mengecup keningmu sebagai ungkapan cintaku?"

"Apa kau ... mencintaiku?" Tanya Aira dengan kening yang sedikit berkerut.

"Tentu, kita menikah memang karena di jodohkan, tapi aku menikahimu, mengucapkan akad atas namamu, karena aku mencintaimu. Aku tidak tahu kenapa dan bagaimana, tapi di sini...." Arsyad membawa tangan Aira ke dadanya, dimana jantungnya berdetak sangat cepat. "Ada cinta untukmu."

"Cintamu adalah anugerah yang luar biasa untukku, Mas Arsyad," jawab Aira lirih.

"Aku hanya berharap, juga ada cinta untukku di hatimu, Aira."

Arsyad mendekatkan wajahnya ke wajah Aira kemudian ia mengecup kening Aira dengan begitu lembut sementara Aira hanya bisa memejamkan mata, menikmati kecupan suaminya yang terasa begitu hangat di hatinya.

"Apa yang kau inginkan dariku dan dari pernikahan kita, Sayang?" Tanya Arsyad kemudian.

"Membawa cinta kita bertasbih, Mas Arsyad."

...TBC......

MC Zeda Humaira #1 - Cinta Manis

Kehidupan pernikahan yang Aira jalani sesuai dengan apa yang ia impikan selama ini, cinta suami yang begitu besar, di perlakukan bak ratu, mertua yang sangat pengertian juga penuh kasih sayang, yang membuat Aira merasa hidup dengan orang tuanya sendiri.

Namun ada satu kekurangan besar yang membuat Aira selalu merasa kesepian, kosong, dan sedih setiap malam. Kehadiran seorang anak, yang begitu ia impikan, namun tak kunjung menjadi kenyataan, bahkan setelah Aira menunggu selama 5 tahun.

Tiada malam yang ia lewati tanpa berdo'a dengan sepenuh hati pada sang maha kuasa, agar ia di kasihani dan di karunia seorang anak, yang akan menyempurnakan pernikahan mereka.

Namun sepertinya, Tuhan masih menyukai alunan do'a Aira dan Tuhan ingin melihat kesabaran Aira lebih lagi sehingga sang Khaliq belum memberinya buah hati.

Aira begitu iri saat melihat wanita yang seusia dengannya sudah memiliki anak yang lucu dan pintar. Seperti sahabatnya, Hulya, yang saat ini sedang merayakan ulang tahun putrinya yang berusia 3 tahun.

Namanya Jihan, anak yang cantik, pintar, menggemaskan. Aira memberinya hadiah sejadah, mukena dan tasbih lucu yang semuanya di beri nama Jihan.

"Kau baik-baik saja?" Aira terperanjat saat tiba-tiba sang suami merangkul pundaknya.

"Hulya sangat beruntung, di karunia seorang putri yang sangat cantik, Jihan seperti malaikat kecil yang menyempurnakan hidup Hulya," kata Aira dengan suara lirih kemudian ia mendongak, menatap suaminya dengan sendu. "Aku jadi tidak sabar, Mas. Kapan Allah akan mengabulkan do'aku, ya?"

"Segera, Sayang," jawab Arsyad sembari menatap mata sayu sang istri.

Cahaya cinta yang Aira pancarkan dari matanya  selalu berhasil membuat hati Arsyad menghangat laksana sinar mentari di pagi hari. Namun mata yang sama juga memancarkan kesedihan setiap kali Aira membicarakan tentang buah hati, yang membuat Arsyad juga sedih tapi ia tak tahu harus berkata apa.

Arsyad mengecup pelipis istrinya yang terbalut kain cadar itu dengan lembut, Arsyad tahu, sang istri sangat merindukan kehadiran seorang anak, begitu juga dirinya. Namun mau bagaimana lagi? Ikhtiar terbaik telah mereka lakukan, kini meraka hanya bisa pasrah pada sang Khaliq.

"Apa kita bisa pulang sekarang, Mas? Aku ingin masak untuk makan malam," tukas Aira dan Arsyad pun mengangguk.

"Iya, kita pamitan dulu sama Hulya dan Fahmi," ujar Arsyad sembari membawa Aira menemui Fahmi juga Hulya.

"Kami rasa kami harus pulang, Hulya," tukas Aira dengan sedikit penyesalan karena ia tak bisa menunggu sampai pesta usai.

"Nggak apa-apa, Aira. Terima kasih banyak sudah hadir, Jihan suka banget hadiah dari kalian," kata Hulya dengan antusias.

"Alhamdulillah kalau dia suka, semoga dia jadi lebih semangat lagi belajar sholatnya," jawab Aira sambil tersenyum di balik cadarnya.

"Baiklah, kami pulang dulu, Assalamualaikum," ucap Arsyad kemudian.

"Waalaikum salam." Hulya dan Fahmi menjawab secara bersamaan.

"Mereka pasangan yang sempurna, bukan? Pria sholeh dan wanita sholehah, bahkan setelah beberapa tahun mengenal Aira, tidak pernah sekalipun dia mendongak saat bicara sama aku," tukas Fahmi yang langsung mendapatkan hadiah cubitan dari sang istri.

"Kamu mau dia menatap kamu, begitu?" Sinis Hulya yang membuat Fahmi terkekeh.

"Nggak, Sayang. Dia itu bidadarinya Arsyad, sedangkan bidadariku, ya kamu."

"Gombal!"

"Serius!"

...***...

Meskipun di rumah, Aira selalu memakai pakaian syar'i namun ia melepas cadarnya. Aira sudah terbiasa sejak kecil seperti ini, tak perduli apakah di rumah ada orang atau tidak.

Dan ini adalah salah satu hal yang paling di sukai oleh Arsyad dari istri tercintanya itu.

Saat ini, Arsyad dan Aira sedang membuat makan malam, sesekali keduanya bercanda ria, tertawa bersama, dan tak jarang bermesraan yang membuat wajah Aira merona, tentu jika tak ada mertuanya di rumah.

Saat Aira sedang sibuk menggoreng ikan, tiba-tiba Arsyad datang mencolek pipi Aira menggunakan jarinya yang terkena tepung.

"Mas...." tegur Aira sembari mengusap pipinya namun Arsyad justru kembali menjahili istrinya itu. "Aduh, Mas. Nanti ikannya gosong," tukas Aira kesal

"Sayang, kok kamu nggak marah aku jahil begini?" Tanya Arsyad yang membuat Aira melongo.

"Ini aku sudah marah sama kamu, Mas Arsyad Ibrahim," ucap Aira penuh penekanan.

"Oh ya? Tapi kok suara kamu tetap lembut meskipun kamu marah? Wajah kamu juga masih cantik, mana marahnya?" Tanya Arsyad sembari mencubit kedua pipi Aira dengan gemas.

Kecantikan yang Aira miliki tidak akan pernah berubah, akan selalu sama di mata Arsyad seperti saat pertama kali ia melihat wajah sang istri di malam pernikahan mereka.

Aira akan selalu cantik, bukan hanya karena ia memiliki mata yang indah, hidung yang mancung, ataupun kulit yang putih. Melainkan karena Aira selalu menjaga pandangannya, tutur katanya dan juga adabnya sebagai seorang muslimah. Sehingga kecantikannya selalu terpancar dengan sempurna.

"Mas, aduh. Sakit," gerutu Aira namun kemudian ia tertawa saat melihat hidung Arsyad juga terkena tepung.

"Tuh, kamu juga kena tepung," tukas Aira kemudian sembari membersihkan hidung suaminya itu dengan lembut.

"Aira...." Arsyad memanggilnya penuh cinta, selalu seperti itu, dan selalu berhasil membuat Aira melayang.

Arsyad meletakkan kedua tangannya di pinggang ramping sang istri yang selalu di tutupi dengan baju longgar, Arsyad menarik Aira mendekat hingga tubuh keduanya saling bersentuhan. Tatapan Arsyad begitu dalam, terasa menusuk ke hati Aira.

"Aku sangat mencintaimu, Sayang. Sama seperti kamu yang akan selalu sempurna di mataku, seperti itu juga cinta di hatiku akan selalu sempurna untukmu."

"Mungkin akan lebih sempurna jika aku bisa memberikan anak untukmu, Mas Arsyad," lirih Aira sedih.

"Dengan atau tanpa seorang anak, pernikahan kita sudah sempurna." jawaban Arsyad selalu seperti ini, yang membuat Aira senang tapi juga merasa bersalah. "Ini bukan salahmu, apakah kita akan punya anak atau tidak, itu di luar kendali kita, Sayang. Yang perlu kita lakukan hanya ikhtiar," ujar Arsyad yang membuat hati Aira menghangat.

Dengan malu-malu, Aira mengecup bibir suaminya itu sekilas sebelum akhirnya ia memalingkan wajahnya yang sudah pasti merah merona itu.

Arsyad terkekeh, ia menarik Aira dan membalas kecupan itu, namun tentu lebih lama dan lebih lembut. "Sudah lima tahun, Sayang. Apa kamu masih malu-malu hanya untuk sekedar mencium bibir suamimu, hm?" goda Arsyad yang semakin membuat pipi Aira terasa panas.

"Mas, aku...."

"Kalian sedang apa?" ucapan Aira terpotong saat ibu mertuanya datang menganggu. Aira langsung menjauh dari Arsyad dan kembali menyibukan diri dengan acara masak memasaknya, sementara Arsyad justru tertawa melihat sikap malu-malu kucing istrinya itu.

"Masak, Ummi," jawab Arsyad kemudian dan Ummi Ridha pun hanya tersenyum melihat kelakuan anak dan menantunya itu.

...TBC......

MC Zeda Humaira #2 - Penantian

Karena ini hari minggu, maka hari ini akan menjadi hari khusus Arsyad untuk Aira, seperti hari minggu yang lainnya. Biasanya Arsyad akan membawa Aira jalan-jalan, belanja, atau bahkan menghabiskan harinya di depan TV atau memasak di dapur. Apapun yang Aira ingin lakukan di hari minggu, Arsyad akan selalu menemaninya.

Bahkan, Ummi Arsyad sampai memberi nama khusus untuk hari minggu, yaitu Love day. Karena di hari minggu ini, Aira dan Arsyad seperti sepasang kekasih yang di mabuk asmara, selalu bersama.

Seperti hari ini, Aira enggan kemana-mana, ia hanya di kamar, membersihkan kamarnya juga lemari pakaiannya, dan Arsyad dengan setia menemani Aira.

"Mas, bajumu banyak yang udah nggak di pakai, apa nggak sebaiknya di sumbangkan saja, Mas? Masih bagus nih," kata Aira sembari mengeluarkan beberapa pakaian Arsyad yang memang jarang di pakai.

Arsyad menghampiri Aira, ia bergelanyut manja di punggung istrinya yang sedang sibuk itu. "Mas.... " tegur Aira kesal.

"Terserah kamu aja, Zaujatii," jawab Arsyad lembut.

"Kok terserah aku? Ini yang mana yang nggak mau kamu pakai lagi?" Tanya Aira sembari memberikan tumpukan baju Arsyad. "Ya Allah, bajumu banyak banget ya, Mas. Nanti baju-bajumu ini menggugat di akhirat lho, Mas."  Arsyad terkekeh mendengar omelan istrinya itu.

Jika biasanya wanita memiliki baju lebih banyak dari pria, Arsyad dan Aira justru sebaliknya. Arsyad memiliki lebih banyak pakaian karena Ummi Ridha sering membelikannya, sementara Aira hanya membeli saat ia membutuhkannya saja. Dan ketika Arsyad ataupun Ummi Ridha membelikannya pakaian, maka pakaian yang lama akan langsung Aira sumbangkan pada orang yang membutuhkan.

"Sumbangkan saja semua yang masih bagus, emm tapi yang ini jangan...." Arsyad langsung menyambar baju berwarna putih, baju pertama yang Aira belikan untuknya.

"Tapi ini sudah kekecilan, Mas. Kamu juga sudah jarang pakai," ujar Aira.

"Jangan, Sayang. Ini hadiah pertama dari istri pertama, jadi ini sangat berarti untukku," jawab Arsyad sembari memeluk baju itu.

"Istri pertama? Memangnya kamu punya istri kedua?" Tanya Aira sambil terkekeh dan seketika Arsyad membisu dengan raut wajah yang langsug berubah.

"Mas, habis Dzuhur nanti kita ke panti asuhan, ya. Sudah lama kita nggak kesana," tukas Aira namun Arsyad justru terdiam melamun. "Mas...." Aira menarik hidung suaminya itu yang membuat Arsyad terkejut.

"Eh, i-iya, Sayang...."

"Habis Dzuhur kita ke panti asuhan," ulang Aira dan Arsyad langsung mengangguk sambil tersenyum.

"Apapun yang kamu minta, Sayang," ucapnya yang membuat Aira kembali terkekeh.

Sementara Arsyad, ia menatap istrinya lekat-lekat kemudian ia memeluk Aira dari belakang dengan erat.

Arsyad teringat dengan beberapa orang terdekat mereka yang selalu bertanya kapan mereka punya anak, kenapa tidak ke Dokter dan sebagainya.

Arsyad tidak bisa membayangkan betapa tertekannya Aira akan keadaan itu, apalagi hampir setiap malam Arsyad mendengar panjatan do'a Alira yang begitu lirih, memohon, memelas kepada sang Khaliq agar memberikan seorang anak untuknya.

"Aira, aku sangat mencintaimu, Sayang. Aku mencintaimu apa adanya, tidak perduli apakah kamu bisa memberikanku anak atau tidak, kamu adalah bidadari yang sempurna untukku. Jangan dengarkan kata orang, Sayang." Aira mengernyit saat mendengar ucapan panjang lebar suaminya itu, ia berbalik badan dan menangkup pipi Arsyad, menatapnya dengan sendu.

"Aku juga mencintaimu apa adanya, Mas." Aira berkata dengan lembut. "Dokter bilang, kita berdua sehat, kita berdua bisa memiliki anak, hanya belum di kasih aja sama Allah. Aku yakin, suatu hari nanti, aku akan melahirkan anak yang sholeh dan sholehah untukmu dan orang-orang akan ikut bahagia untuk kita." Aira berkata dengan percaya diri, walaupun dadanya juga sesak, hatinya sedih, karena penantian lamanya tak kunjung berakhir.

"Aku tahu," lirih Arsyad.

"Tidak ada yang tidak mungkin, Mas. Kita baru menunggu selama 5 tahun, sedangkan Nabi Zakaria menunggu puluhan tahun."

"Kamu bener," Arsyad memeluk istrinya dan mengecup pucuk kepalanya dengan lembut. "Kamu bener, Aira. Kita akan menunggu, apakah puluhan tahun atau ratusan tahun, kita akan menunggu."

Aira terdiam dan tanpa sadar ia menitikan air matanya, Aira tidak sekuat yang ia tunjukan pada dunia, ia begitu rapuh dan lemah. Ia takut, khawatir dan cemas. Namun selama Arsyad ada di sisinya, tetap mencintainya, Aira akan bertahan.

Seperti kata Arsyad, puluhan atau bahkan ratusan tahun, Aira akan menunggu dengan sabar, sampai Allah menunujukan belas kasih-Nya padanya.

Aira takkan lelah berdo'a, karena ia tahu, Allah tidak pernah dan tidak akan pernah mengecewakannya dalam setiap do'a harapannya.

...TBC......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!