Di sebuah pemakaman yang sunyi dan senyap. Seorang wanita tengah berjongkok di samping makam sambil menyatukan kedua telapak tangannya. Matanya terpejam erat, begitu khidmat dalam doanya.
Surai merah mudanya berayun pelan seiring angin berhembus. Bunga lili putih disandarkan olehnya pada batu nisan. Selesai berdoa, wanita itu berdiri dengan tetap di posisi yang sama.
Kelopak matanya terangkat, memperlihatkan iris matanya yang berwarna lilac. Wanita itu menarik sudut bibirnya dengan lembut, sebuah senyuman penuh kehangatan pun tercipta.
"Aishia."
Merasa namanya dipanggil, wanita itu berbalik dan menemukan sosok pria dewasa yang tengah menggenggam tangan anak kecil yang punya wajah mirip dengannya. Wanita itu tampak bahagia ketika mereka berdua datang.
"Kalian seharusnya tidak datang kemari. Bukankah sudah kukatakan untuk menunggu saja di luar?" Kata Aishia setengah merengut. Namun sedetik kemudian dia tersenyum penuh makna. "Apa kau merindukanku?"
"Kau terlalu percaya diri. Shane 'lah yang menarikku paksa untuk menemuimu." Kata pria dewasa itu dengan tenang.
Aishia merajuk mendengarnya, suaminya memang tak pernah mampu untuk bersikap romantis padanya kalau ada Shane di antara mereka. Tapi entah kenapa, jika Shane ada di sekolah, suaminya selalu menempel padanya.
Mungkin, dia hanya berusaha menjadi ayah yang keren.
Aishia hanya senyum - senyum tak jelas saat melihat wajah tenang suaminya. Kemudian Aishia berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan anaknya.
"Apa Shane merindukan Mama?" Tanya Aishia, menyampirkan senyuman bertabur gula di wajahnya.
Anak kecil bernama Shane itu pun mengangguk semangat, lalu memeluk Aishia dengan eratnya. Kedua tangan mungilnya telah melingkari leher Aishia. Tak tahan akan kegemasan anaknya, Aishia juga turut memeluk Shane.
"Papa mau dipeluk Mama juga?" Tanya Aishia sedikit menggoda.
"Tidak, terima kasih. Kita harus segera ke mansion, sebentar lagi mereka akan kembali. Kepulangannya sudah sangat dinanti oleh kita semua."
Senyum penuh godaan Aishia memudar. Lirikan matanya menatap penuh pada makam yang baru saja didoakan olehnya. Warna putih dari lili begitu mencolok sehingga mematikan cokelatnya tanah. Ada kehidupan yang telah berakhir di dalam sana.
"Apa kau menyesal?"
"Hm?"
Aishia kembali menatap suaminya.
"Menjadi bagian dari Shceneider."
Angin berhembus kencang sampai membuat ranting pohon melambai - lambai. Kuatnya angin tak dipedulikan Aishia, pikirannya masih melalang buana.
Ia melepaskan pelukannya pada Shane, lalu memandang lamat - lamat figur wajah anaknya. Jujur saja, Aishia nyaris tidak mendapat bagian disana. Mulai dari mata, hidung, hingga warna rambut, itu semua dari suaminya. Shane hanya mewarisi sikap hangatnya dari Aishia.
"Pertanyaan yang lucu. Jika aku menyesal, aku sudah meninggalkan Mansion Shceneider sejak hari pertamaku bekerja di sana."
Seketika Aishia terkekeh, wajahnya penuh rona kebahagiaan. Tangannya bergerak untuk mengangkat Shane ke udara lalu menggendong anak pertamanya itu.
"Biar aku saja yang menggendongnya." Ujar Aishia ketika suaminya bergerak mengambil alih Shane dari tangannya.
"Terserah."
Pria itu berjalan lebih dulu dari Aishia. Meski begitu, langkah kakinya begitu pelan agar Aishia bisa menyamainya. Hal itu membuat rasa bahagia dalam diri Aishia bertambah. Keluarga kecil yang ia bangun dengan susah payah ini menjadi sumber kebahagiaannya.
Aishia tersenyum simpul kala melihat Shane yang mulai menguap. Anak ini pasti kelelahan setelah bermain - main selama seharian dengan sepupunya. Aishia membiarkan kepala Shane bersandar pada bahunya.
"Kau memang bukan cinta pertamaku. Tapi, kau adalah seseorang yang ingin kucintai hingga akhir hidupku."
Aishia sedikit kecewa melihat suaminya itu tak menghentikan langkahnya meskipun sekarang dirinya sudah bersusah payah menyatakan perasaannya.
"Seseorang yang kau pikirkan ketika sedang tak terjadi apa pun. Pasti dia adalah orang yang paling berharga untukmu." Aishia terdiam sejenak. "Itu adalah ucapanmu yang takkan pernah kulupakan."
Kini pria yang telah menjadi suami Aishia selama tujuh tahun itu berhenti melangkah. Namun dia tak sedikitpun menoleh pada Aishia. Seperti biasa, dia selalu bersikap aneh di luar rumah. Aishia heran, ke mana semua keromantisan itu pergi?
"Aku mencintaimu. Jangan tanyakan alasannya karena aku tidak tahu." Ucap Aishia lagi, volume suaranya semakin merendah.
"Aku tahu."
"He?"
"Aku tahu kalau kau mencintaiku. Kuharap kau tidak pernah menyesal karena telah jatuh cinta padaku. Soalnya aku itu begini..."
Tawa Aishia terdengar begitu lembut, dia melangkah agak cepat dan berhenti ketika sudah sejajar dengan suaminya.
"Ada apa denganmu? Setelah tujuh tahun pernikahan kita dan kau masih memikirkan persoalan penyesalan? Ckck!"
Pria itu mendengus kesal dan kembali melanjutkan langkahnya, sementara Aishia memperlihatkan ekspresi penuh kebingungan.
"Aku juga mencintaimu."
Mata Aishia melebar sempurna ketika telinganya menangkap suara samar dari arah depannya. Kemudian wajahnya memerah, rasanya seperti hatinya meletup.
"Jarang - jarang kau mengatakannya..." Bisik Aishia.
Aishia berjalan cepat menyusul suaminya. Dengan malu - malu dia memegang kelingking pria itu. Jantungnya semakin dibuat berdetak kencang ketika suaminya membalas pegangan itu dengan mengaitkan jari - jari mereka.
Aku senang telah dipertemukan denganmu.
TBC
_*18 April 202**4*_
[Breaking news! Seorang wanita berusia 20 tahun ditemukan tewas di dalam lift pada pukul 04:00 oleh saksi mata. Forensik menyatakan korban meregang nyawa pada pukul 02:00. Saat ini polisi masih menyelidiki kasus ini, sulitnya mengidentifikasi pelaku karena kerusakan CCTV di dalam lift.]
Seorang pria dengan hoodie menatap layar videotron yang menampilkan berita viral terbaru. Pembawa acara itu tampak dengan serius menjabarkan setiap detail yang didapatkannya dari hasil wawancara dengan saksi mata dan juga pihak penyidik.
Senyum kecil tersungging di bibirnya.
"Semakin sedikit yang kau tahu, maka akan semakin baik."
...****...
_*17 April 20**27*_
"Mengundurkan diri? Lagi?"
Seorang pria bersurai hitam memekik tertahan ketika menanyakan kondisi penjaga adik bungsunya. Dia nyaris saja berteriak, sebab ini bukanlah yang pertama kalinya. Adik bungsunya sudah membuat puluhan penjaganya mengundurkan diri mereka sendiri.
Sementara pria dengan surai putih tulang yang memberikan kabar itu kepadanya hanya diam saja. Meskipun dia juga adalah seorang kakak, sebenarnya dia tidak sepeduli itu terhadap setiap kenakalan yang dibuat oleh adik bungsu mereka. Itu adalah tahap yang normal bagi remaja mengalami masa pemberontakan.
Hanya saja yang membuat mereka khawatir adalah sikap berlebihan adik bungsu mereka. Sudah berkali - kali dia dipanggil konselor karena menciptakan kekacauan di sekolahnya.
"Padahal ini sudah yang keempat puluh tujuh..."
"Dia punya situasi terburuk di antara kita." Ujar pria bersurai putih tulang, dia menyandarkan punggungnya pada badan sofa.
"Bagaimana kalau kita buat iklan saja?"
"Bukankah dia akan merasa malu dan semakin tidak mau menerima keberadaan penjaga di sampingnya?"
"Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Paman Mo. Haish... aku benar - benar dipusingkan dengan sikapnya. Meskipun aku sudah mencari keberadaan Paman Mo di banyak tempat, nyatanya tidak ada hasil apa pun."
"Kau benar, kita harus membuat iklan."
"....."
"Apa?"
"Kenapa saat aku mengusulkannya kau tidak langsung menyetujuinya saja?!"
...****...
Alba berjalan dengan langkah lunglai di trotoar. Pria bersurai hitam itu masih memikirkan bagaimana caranya agar bisa mendapatkan penjaga yang berkualitas seperti Paman Mo. Tidak hanya kuat secara fisik, namun juga memiliki kesabaran dan hati yang lembut untuk membimbing adik bungsunya perlahan supaya bisa meninggalkan kebiasaan buruknya.
"Aku nyaris saja putus asa..."
Langkah Alba berhenti ketika pandangannya menangkap sekumpulan pria berbadan kekar serta pakaian serba hitam. Mata mereka semua tertutup oleh lensa dari kacamata hitam dan kepala mereka benar - benar bersih dari sehelai rambut.
Apa ini hari kesialanku?
Saat Alba hendak mengambil langkah mundur, orang - orang itu menyadari kehadirannya dan melangkah cepat mengelilingi Alba. Mereka tidak membiarkan Alba untuk melarikan diri.
"Mau kuantar Kak? Ini sudah malam soalnya. Dan aku membaca berita kalau ada preman yang suka memalak pejalan kaki dan pemotor menggunakan senjata tajam di jalan yang biasa kau lewati."
Seketika Alba merasa menyesal dalam hatinya karena tidak menerima tawaran adik ketiganya yang mau mengantarnya. Alba malah menampik fakta kalau ada preman di sini karena biasanya juga dia aman - aman saja saat melewati jalan ini. Sekarang lihatlah? Dia menginjak kulit durian setelah menolak menggunakan sepatu.
"Pakaianmu sepertinya mahal, tuan. Kau pasti mempunyai banyak uang untuk membelinya, bukan?" Tanya salah satu preman.
Dalam hatinya Alba mengumpat kesal dengan imajiner dirinya yang sedang menendang para preman itu sambil tertawa iblis. Dia bukannya tidak mampu melawan bajing*n seperti mereka, hanya saja waktunya sekarang tidak tepat. Alba sangat sulit fokus karena kelakuan adiknya yang membuatnya kembali bertemu ruang konseling.
"Aku membelinya dengan hampir sebagian simpananku agar aku terlihat rapi saat melakukan interview." Alba melemparkan kebohongan pada lima preman dengan pakaian mewah.
Sebenarnya dari penampilannya saja, Alba tidak bisa mengatakan kalau mereka preman. Mereka terlalu rapi dan berkharisma dari segi pakaian. Kalau mereka adalah mafia atau yakuza, barulah Alba akan percaya. Tapi karena dalam berita dikatakan mereka adalah preman, maka apa boleh buat.
Karena ini bukan novel detektif, jadi mereka bukan mata - mata 'kan?
Salah satu preman itu tersenyum miring, "Jangan berbohong! Aku tahu berapa harga jam tanganmu hanya dalam sekali lihat. Kau tidak bisa menipuku New Head Family of Shceneider~"
Alba terperanjat. Dia sadar, wajahnya sebagai kepala keluarga Shceneider pasti sudah banyak terpampang di berbagai situs serta berita di layar kaca. Alba menyesal, seharusnya dia tidak melakukan konferensi pers saat pergantian kepala keluarga.
Yah, konferensi pers itu tidak bisa dihindari mengingat keluarganya yang masih berpengaruh dalam dunia teknologi meskipun orang yang sebenarnya berurusan langsung dengan dunia itu sudah meninggal.
Alba mendengus kesal, "Baiklah. Kalian mengetahui identitasku. Tapi bukan berarti aku akan menyerahkan hartaku kepada kalian."
"Ho? Sombong sekali."
Preman dengan wajah paling sangar itu menjentikkan jarinya. Alba jadi waspada ketika keempat preman berseragam itu mengepung dirinya sambil memegang senjata tajam.
Cih, aku makin optimis kalah.
Tubuh Alba membeku saat menyadari kedua kakinya semakin berat untuk digerakkan.
Hey... hanya karena aku mendadak berlari lima kilometer kemarin tanpa pemanasan dan sekarang kakiku gempor? Sialan, kakiku mulai mati rasa.
Alba semakin memperbanyak sumpah serapah dalam hatinya. Berusaha meminimalisir amarah yang bergegolak dalam dirinya. Jujur, dia tidak pernah merasa bahwa ada hari sesial ini dalam hidupnya.
"Kenapa? Kakimu tidak bisa digerakkan?"
Alba berdecak saat ketua preman itu tahu kondisi buruknya sekarang ini, pihak mereka semakin diuntungkan. Dia tertawa terbahak - bahak sampai Alba menyumpahinya tersedak karena angin atau apa pun itu.
Salah seorang anak buahnya mendadak berlari ke arahnya sambil mengacungkan senjatanya ke arah Alba. Mata pisau dari senjatanya tampak sangat tajam, sepertinya baru diasah. Refleks Alba memejamkan matanya sambil mengepal erat kedua tangannya.
Aku janji jika ada yang menolongku saat ini akan kujadikan penjaganya Kei, bahkan boleh tinggal di mansionku juga!
BUGH
Dalam pendengarannya, Alba bisa mendengar suara - suara yang ditimbulkan akibat pukulan atau mungkin tendangan. Dia tidak tahu karena tidak melihatnya.
"Tuan, tolong menjauh dari tempat ini. Biar aku yang mengurus mereka."
Sebuah suara feminin nan lembut menyapu pendengarannya. Alba yang penasaran memilih mengintip apa yang sedang terjadi pada para preman itu karena sejak tadi dia tidak merasa bagian tubuh mana pun disentuh senjata tajam.
Saat pandangannya bisa melihat jelas keadaan sekitar. Yang bisa dirinya lihat adalah seorang gadis bersurai kamelia sedang menendang para preman. Gadis itu dengan lihai menggerakkan badannya layaknya angin ketika menghindari serangan senjata tajam yang mereka bawa.
Ketika Alba tersadar sepenuhnya, ternyata ada dua preman yang sudah terkapar di dekat kakinya. Sesuai permintaan gadis itu, awalnya Alba juga ingin melarikan diri. Namun dia tidak tega karena menyadari gadis itu yang mulai kewalahan menghadapi para preman yang menang jumlah.
Alba mengambil ponsel di sakunya dan menelepon nomor darurat. Saat panggilan tersambung pada sebuah kantor kepolisian, segera Alba meringkas kejadian yang menimpa dirinya juga gadis itu.
Alba berjongkok di dekat kedua preman yang sudah kehilangan kesadarannya akibat pukulan maut dari gadis itu. Alba mencoba meraba mereka, mana tahu ada keterangan lebih lanjut mengenai identitas mereka. Sesuai perkataan Arsene, mereka adalah orang - orang yang meresahkan.
"Tidak ada apa - apa."
Alba mendadak mati kutu ketika tubuh seseorang terlempar tak jauh dari kepalanya melewati dirinya dan menabrak dinding pembatas di belakangnya. Dia semakin panik saat tahu tubuh yang terlempar adalah gadis itu.
Heh... polisi cepatlah datang!
Alba mundur perlahan dan menghampiri gadis malang yang memiliki banyak luka lebam dan dua luka tusuk, tidak dalam namun tetap terasa sakitnya. Alba menggeram kesal ketika ketiga pria sisanya memojokkan mereka sambil menodongkan senjata tajam mereka yang dua di antaranya sudah berlumuran darah.
Tak lama, suara sirene polisi memenuhi udara. Para preman itu tampak gelisah dan kacau, tapi tidak ada lagi waktu untuk kabur sehingga saat beberapa polisi mengarahkan pistol mereka pada para preman itu, mereka hanya mati gaya dan pasrah kedua tangannya diborgol.
Dua polisi lainnya mengangkut tiga preman yang sudah tak sadarkan diri. Sementara yang lainnya mencoba mencari tahu kondisi Alba dan gadis itu yang menjadi korban. Alba diminta untuk menjadi saksi mata oleh polisi muda tersebut.
"Boleh saja. Asalkan gadis ini dibawa dulu ke rumah sakit." Pinta Alba.
"Saya sudah memanggil ambulans."
Alba mengangguk, kemudian melirik pada gadis itu lagi. Kalau dilihat lebih lama, gadis ini punya wajah yang menawan meski tertutupi oleh banyak luka lebam. Alba mendadak ingat kembali apa yang dijanjikannya pada dirinya sendiri sebelum gadis ini datang menyelamatkannya.
Ah... setelah siuman aku akan bertanya padanya.
...****...
"Kau agak telat, Kak. Ini sudah sangat larut. Kemana saja?"
Saat Alba memasuki mansion, adik ketiganya berdiri di sana menyambutnya. Tapi Alba yakin jika dia ada di sana bukan untuk menyambut dirinya melainkan kebetulan saja ada di sana.
"Arsene, kau benar tentang preman itu."
Pria bersurai putih tulang itu mengangkat sebelah alisnya lalu mengangguk mengerti. Tanpa Alba menjelaskan pun dia sudah paham skenario yang ada. Karena beberapa saat lalu aplikasi berita favoritnya memberitakan bahwa preman meresahkan di jalan itu sudah dibekuk kawanan polisi.
"Kakak menjadi saksi mata?"
Alba mengangguk, "Aku ditolong oleh seorang gadis dan sekarang gadis itu terluka parah. Sekujur tubuhnya dipenuhi lebam dan ada dua luka tusuk. Karena merasa bersalah, biaya rumah sakit semua kutanggung."
"Hari ini kau lemah."
"Bukan begitu!" Alba berdecak pelan. "Karena kemarin aku lari jarak jauh tanpa pemanasan dan sekarang aku kena imbasnya. Kakiku mati rasa. Percayalah, ke sini saja aku perlu diantar pihak kepolisian."
"Aku mengerti."
Alba menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Membiarkan kepalanya dipenuhi oleh kelembutan dari bantal sofa. Ini adalah teknik relaksasi yang dilakukan olehnya ketika merasa letih setelah bekerja atau karena aktifitas lainnya.
"Untuk makan malam kau mau daging sapi atau ayam?" Tanya Arsene yang melenggang menuju dapur.
"Kau bertanya apa pun juga yang tersaji di atas meja makan pasti adalah pasta. Jadi terserahmu sajalah." Jawab Alba dengan malas. Pasta adalah masakan keahlian Arsene yang paling tidak mengecewakan.
Alba memandang seisi mansion. Yang terlihat hanya Arsene saja, mungkin saudara - saudaranya yang lain masih berada diluar. Apalagi adik pertamanya, pria itu selalu berkeliling tokonya di berbagai kota dengan alasan mengawasi.
Arsene kembali ke ruang tamu sambil mengenakan celemek. Dia mengambil ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja, memastikan notifikasi yang masuk kemudian meletakkannya kembali.
"Apakah Idol Tour Elvan belum selesai? Soalnya sampai hari ini aku belum mendapatkan surel darinya."
Arsene terdiam sejenak mencoba mengingat - ingat, "Dia menelepon lewat telepon rumah sore tadi ketika kau masih di kantor."
"Eh? Apa yang dikatakannya?"
"Dia akan pulang besok sore."
"Baguslah. Semuanya akan kembali pulang. Aku senang sekali, karena..."
Ingatan Alba terlempar pada masa ketika semua anggota keluarganya masih lengkap serta tambahan kehadiran seorang pria tua bijak yang menjaga adik bungsunya dengan begitu telaten.
Menyadari kebisuan Alba, Arsene tak bergeming.
"Rumah ini sudah terlalu lama sepi."
TBC
Setelah malam yang panjang berakhir, matahari dengan malu - malu menyembul menggantikan posisi bulan. Langit biru berseri di pagi hari. Karena semalam turun hujan, tersisa genangan air di permukaan tanah.
Alba terus memperhatikan layar ponselnya yang tampak redup. Dia menyangga dagunya dengan malas, sedang menunggu sesuatu sejak dirinya selesai sarapan dengan pasta spesial buatan Arsene.
"Apa yang Kak Al lakukan sepagi ini? Tidak akan ada lagi yang menelponmu untuk mengatakan selamat pagi setelah kalian putus hubungan."
Alba mendelik kesal pada asal suara, itu adalah adik keempatnya. Pria muda dengan surai hitam dan netra semerah darah. Dengan langkah kaki menuruni tangga, pria itu terus menebarkan senyuman semangat pagi miliknya.
"Kapan kau pulang?" Tanya Alba.
"Semalam, ketika kalian bertiga sudah tidur."
"Memangnya kau bawa kunci cadangan?"
"Aku meminta milik Kak Louis." Jawabnya.
Alba mengangguk paham. Kemudian kembali memandang layar ponselnya yang tetap hitam, tak ada satu pun notifikasi yang muncul.
"Kak Al, apa sih yang sebenarnya kau tunggu? Sudah kubilang jangan terlalu berharap pada mantanmu! Wanita memang kebanyakan seperti itu. Habis manis sepah dibuang." Omel Nichol, adik keempatnya.
"Aku ini baru terkena insiden di gang sempit yang biasa kulewati. Seorang gadis menolongku dan sekarang berada di rumah sakit. Aku meminta pihak rumah sakit mengabariku jika gadis itu sudah sadar." Ringkas Alba.
Nichol membulatkan mulutnya sambil mengangguk - angguk. Dia duduk di samping Alba lalu memainkan game di ponselnya, beberapa kali dia mengumpat pelan saat mendapati punya rekan setim yang payah.
"Kak Al mau menjadikannya kekasih?" Di sela - sela permainannya, Nichol bertanya.
Alba mendelik, mengapa Nichol selalu punya lidah yang tajam? Terkadang Alba lebih bisa sabar terhadap Arsene yang jujur dibandingkan Nichol yang kalimatnya selalu ditaburi cabai.
"Bukanlah! Aku mau menawarinya menjadi penjaga Kei. Dia tampak hebat dan jago beladiri. Kali ini kalau perempuan dan usianya muda, bisa dicoba bagaimana reaksi Kei terhadapnya." Alba masih terus setia menatap ponselnya.
"Menurutku Kei akan sama saja. Dia bukan orang yang memedulikan gender dan usia seseorang. Jika orang itu mengganggunya, maka dia takkan segan- ****!" Nichol mengumpat ketika permainan berakhir dengan kekalahan timnya.
Nichol hampir membanting ponselnya sendiri kalau dia lupa di sana ada banyak arsip penting milik keluarganya. Nichol menghembuskan napas dengan kasar. Sebagai sekretaris Alba, dia juga punya banyak hal untuk dikerjakan. Kemarin dia bahkan pulang lebih lambat karena lembur.
"Di mana Rio?"
"Dia mengunjungi toko buku Louis, mungkin." Nichol mencoba mengingat - ingat ke mana Rio pergi belum lama ini.
"Bagaimana dengan Kei? Apa dia belum turun?"
"Ah, dia pasti berniat bolos lagi." Alba berkata dengan gusar, melempar ponselnya ke atas meja.
Nichol bangkit berdiri dan menaiki anak tangga dengan segera. Tindakan Nichol itu membuat Alba terkejut. Dia tahu, mungkin sebentar lagi akan ada ledakan suara atau barang yang pecah. Rutinitas yang seharusnya tidak dibiasakan.
Sesuai dugaan Alba. Dari atas sana terdengar suara pintu didobrak serta suara - suara gaduh lainnya. Dengan semua kebisingan itu, mustahil tidak ada yang terbangun. Kemudian teriakan dari Nichol yang memberikan ceramah rumus persegi panjang pada adik bungsu mereka.
Ponsel Alba bergetar, menampilkan sebuah notifikasi yang masuk. Dengan secepat kilat Alba menyambar ponselnya dan membaca surel tersebut. Melihat nama rumah sakit sebagai pengirimnya, dia tersenyum sumringah.
[RS.xxx : Selamat pagi Tuan Alba Shceneider. Pasien wanita yang biayanya anda tanggung sekarang sudah sadar. Anda bisa menemuinya di jam besuk.]
[Anda : Terima kasih atas infonya.]
"Ah, kalau dipikir - pikir, aku belum tahu siapa namanya." Alba mengelus dagunya penasaran.
...****...
Seorang pria bersurai cokelat hazel menatap adiknya yang mendadak datang ke tokonya. Baru kali ini dia berinisiatif ke luar rumah tanpa diperintah saudaranya.
"Apa yang membawamu kesini, Rio?"
"Begini, Kak Louis. Nanti sore Elvan akan pulang. Apa kita hanya menyambutnya dengan biasa saja? Soalnya Elvan mendapatkan penghargaan sebagai idol pria paling populer tahun ini."
"Soal itu, Kak Al sudah memintaku memesan kue dan beberapa makanan manis kesukaan Elvan. Jadi, jangan khawatir. Kita akan memberi Elvan pesta yang besar atas pencapaiannya menjadi idol."
Louis mempersilahkan Rio masuk ke ruang istirahat dalam toko buku miliknya. Dia juga menyiapkan teh dan makanan kering sebagai camilan. Rasanya luar biasa karena Rio mau ke luar setelah sekian lama mengurung diri. Louis tidak bisa menyia - nyiakan kesempatan ini.
"Arsene dan Nichol masih di rumah?"
Rio mengangguk.
"Bagaimana dengan Kei? Dia tidak bolos seperti kemarin - kemarin 'kan?"
"Ya. Setelah Nichol kembali, dia mau masuk sekolah meski terpaksa. Tetapi kita tetap tidak bisa memantau kelakuannya di luar mansion."
"Sulit sekali mencari pengganti Paman Mo."
Louis menyesap latte miliknya. Perasaan campur aduk yang membuatnya gelisah entah kenapa tengah ia rasakan sekarang. Seolah dia sedang melupakan sesuatu yang amat penting.
"Kak Louis."
"Yah?"
"Apa Kak Louis sudah mengunjungi rumah temanmu? Biasanya di tanggal ini Kakak akan izin melakukan segala hal hanya demi bisa menemuinya hingga berjam - jam." Rio melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya.
Louis terkejut, ternyata benar dia melupakan sesuatu. Segera saja dia memberikan Rio kunci toko bukunya, dia mengambil mantel serta menitipkan pesan pada Rio.
"Kalau aku belum kembali sampai jam 12 siang. Itu berarti aku langsung pulang ke rumah!" Teriak Louis sambil terus berlari menuju mobilnya.
Louis tidak peduli pada teriakan Rio yang memanggil namanya. Sekarang tujuan Louis adalah toko bunga. Dalam beberapa menit perjalanan, Louis sampai di toko bunga langganannya. Toko bunga itu bernama 'Garden Colors'.
Bel beringing ketika Louis mendorong pintu kaca. Seorang wanita dengan celemek dan name tag Hana berdiri di sana. Biasanya memang gadis itu yang ada ketika dirinya datang membeli bunga, sehingga Louis dan Hana cukup kenal.
"Oh, apakah ini sama seperti tahun lalu?" Tanya Hana.
"Ya, tolong siapkan seperti biasa." Jawab Louis, sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman.
"18 April. Apakah ada hal yang istimewa di hari ini?" Tanya Hana di sela - sela kegiatannya membuat buket bunga anggrek. "Dan lagi, jika ini hari biru, seharusnya anda memberikannya lili 'kan?"
"Aku tidak terlalu mengerti bahasa bunga. Tetapi kekasihku pernah bilang kalau bunga favoritnya adalah anggrek." Jawab Louis seadanya.
"Begitu. Alasan yang simpel."
Hana selesai merangkai buket bunga anggrek dan mengikatnya dengan pita berwarna putih polos. Hana kemudian memberikannya kepada Louis lengkap dengan kartu ucapan terselip di antara bunga - bunga. Tak lupa Hana menyisipkan setangkai tulip di antara anggrek.
"Heh? Apa ini maksudnya?"
"Semoga kau mendapatkan cinta yang baru." Ujar Hana, seulas senyum terbit di wajahnya.
"Terima kasih banyak, beautiful flower."
Hana tertegun saat melihat Louis kembali tersenyum dengan lembut, namun tersirat akan kerinduan mendalam. Pasti Louis sangat mencintai kekasihnya itu.
Saat Louis ke luar dari toko Garden Colors, Hana hanya bisa melambaikan tangannya tanpa diketahui oleh Louis sendiri. Saat mobil yang dikendarai Louis telah melaju meninggalkan tokonya, tatapan Hana menjadi gamang.
"Tidak tahu kapan dia akan membutuhkan bunga lagi."
...****...
Alba menatap pintu berwarna putih dengan nomor 207. Di dalam sana terdapat gadis yang menolongnya, dia ingin mengutarakan niatnya untuk merekrut gadis itu sebagai penjaga Kei. Tapi jika dia menolak, Alba takkan memaksanya.
Alba berdehem, kemudian memberanikan diri memutar kenop pintu. Setelah pintu terbuka sepenuhnya, bisa Alba lihat sosok gadis itu dengan lebih jelas.
Gadis dengan surai seperti bunga kamelia, terlihat lembut seperti sutra. Netra matanya berwarna lilac. Terdapat semburat merah di kedua pipinya, kulitnya seputih salju. Dia menolehkan pandangannya pada Alba.
Langkah Alba seakan membatu, dia terkesima dengan tatapan lembut yang terpancar dari wajah gadis itu. Alba terbatuk sejenak, menghilangkan suasana canggung di antara mereka.
Alba melangkahkan kakinya menghampiri gadis itu yang terduduk di ranjang pasien. Karena Alba mendadak mendatanginya, gadis itu yang tidak mengenal Alba menatapnya penasaran. Namun sedetik kemudian, dia tampak menyadari sesuatu.
"Ah! Bukankah kamu orang yang dipalak para preman di gang sempit itu? Bagaimana keadaanmu? Kamu baik - baik saja 'kan?"
Alba sedikit terkejut saat mendapati gadis itu langsung melemparkan segudang pertanyaan kepadanya. Seakan dia lupa bahwa dirinyalah yang di sini perlu dipertanyakan kondisinya.
"Aku baik - baik saja, terima kasih sudah menolongku. Kalau kau tidak ada, aku mungkin sudah tergeletak lemas dengan kantung kosong."
"Itu bukanlah masalah besar. Rasanya senang sekali bisa menolong orang lain. Nenekku pernah mengatakan untuk memberikan orang lain pertolongan tanpa pamrih." Kata gadis itu lagi dengan nada semangat.
Ah, dia benar - benar melupakan luka lebam dan luka tusuk yang didapatkannya semalam.
"Lalu, bagaimana kondisimu sekarang?"
"Aku baik! Meski luka tusuk di perutku masih terasa tidak enak dan membuatku susah bergerak."
Gadis itu kemudian menyentuh bagian perutnya di mana terdapat dua luka tusuk sekaligus yang baru dijahit. Alba menatapnya dengan miris, ini semua karena keabaiannya yang menolak Arsene mengantarnya. Sekarang gadis ini malah menjadi korbannya.
"Omong - omong, ada sesuatu yang ingin kudiskusikan denganmu. Jawab saja pertanyaan dariku, oke?" Tanya Alba.
Gadis itu mengangguk patuh.
"Siapa namamu?"
"Aishia."
"Berapa usiamu?"
"23 tahun."
Eh?! Serius?! Bagiku wajahnya terlihat terlalu muda untuk usia segitu. Aku pikir dia masih 17 tahun tadi.
"Apakah kau punya pekerjaan?"
Aishia menggelengkan kepalanya.
"Apa kau tertarik dengan tawaran pekerjaan dariku, Aishia?"
Wajah Aishia nampak cemerlang seketika, dia menganggukkan kepalanya dengan semangat. Alba terkekeh melihat setiap perilaku Aishia. Ini sangat berbeda dari dirinya yang hanya punya adik laki - laki. Sekarang setelah berbicara sebentar dengan Aishia, dia seolah mempunyai adik perempuan.
"Pekerjaan macam apa yang kamu tawarkan?"
Alba terdiam sejenak.
"Menjadi seorang penjaga?"
"....."
TBC
[1] Hana dalam bahasa Jepang memiliki arti 'bunga'.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!