Hari Sabtu di sebuah Universitas ternama dan terbaik di Negeri ini. Seorang gadis tengah membersihkan sebuah halaman dari banyaknya guguran daun kering.
"Srek! ... srek! ... srek! ...."
Suara dari sapu lidi memecah keheningan di sebuah kampus yang tengah sepi karena para mahasiswanya masih menikmati libur semester.
"Jelita!" panggil seorang Bapak tua pengurus kebun.
Jelita menoleh ke sumber suara sambil tersenyum dia bertanya, "Iya Pak Budi, ada apa memanggil saya?"
"Istirahat dulu, mari duduk temani Bapak. Oiya bagaimana dengan keadaan Ibumu?" tanya pria ini sesekali mengusap peluh di dahinya.
Jelita menunduk, dia merasa sedih jika mengingat kondisi Ibunya yang sedang sakit, dengan berusaha tegar Jelita membalas pertanyaan tersebut. "Ibu masih sama, belum ada kemajuan."
Pak Budi merasa iba, apa daya dia hanyalah orang miskin dan tidak sanggup membawa seorang teman untuk berobat. Tanpa terasa Pak Budi menghela nafas panjang, beliau mengambil sesuatu dari saku baju lusuh yang dia kenakan lalu memberikannya kepada Jelita.
"Ini Bapak ada sedikit uang, kamu bisa pakai untuk beli lauk."
Jelita menolak pemberian dari Pak Budi, dia merasa telah banyak berhutang dengan beliau. "Tidak perlu Pak, hutang kemarin saja saya belum kembalikan."
Pak Budi tersenyum kemudian meraih tangan Jelita yang masih memegang sapu lidi. "Jangan dianggap hutang. Bapak ikhlas memberikan ini untuk kamu, Nak."
"T-tapi Pak ...."
"Tidak usah menolak, ambil saja. Bapak lanjut bekerja lagi ya." Pak Budi meninggalkan Jelita dan kembali bekerja.
Pemberian dari Pak Budi membuat Jelita menangis haru. Walau uang yang berada di tangannya itu hanya bernilai sepuluh ribu rupiah, tetapi bagi Jelita yang terlahir sebagai seorang anak miskin rejeki tersebut amatlah sangat berharga.
Jelita menghapus air matanya lalu berjalan mendekati Pak Budi, dia meraih tangan pria tua tersebut dan menatapi sebuah tangan dengan sedikit keriput dan berwarna kehitaman akibat sengatan matahari.
Sambil memejamkan kedua mata, Jelita meletakkan keningnya diatas punggung tangan Pak Budi dan berucap, "Terima kasih Pak, Jelita mohon pamit sebentar untuk melihat Ibu."
"Sama-sama, pergilah dan cepat kembali."
Pak Budi mengusap atas kepala Jelita dan menatapi gadis muda tersebut dari kejauhan, dengan hati pedih dia harus melihat perjuangan anak semuda itu dalam menjalani kehidupan yang begitu berat.
"Anak yang malang, sejak kecil sudah di tinggal ayahnya. Sekarang harus menghidupi diri sendiri dan juga mengobati ibunya yang sedang sakit." Pak Budi terus bergumam dalam hati sesekali dia menggelengkan kepala karena memikirkan kerasnya hidup ini.
***
Yah! Dunia ini memang tak adil bagi sebagian orang termasuk Jelita, dengan langkah kaki terus bergerak dia menuju rumah yang tidak terlalu jauh dari tempatnya bekerja.
Bubur hangat polos seharga lima ribu rupiah dia genggam dengan erat, berharap ibunya tidak kelaparan padahal dia sendiri sudah merasakan perih pada lambungnya.
"Kreeott ...."
Pintu dari kayu rapuh itu dibuka dengan perlahan. Sambil mengucapkan salam, Jelita masuk dan bergegas menghampiri Ibunya. Tanpa membuka sendal jepit usang miliknya, Jelita masuk menapaki lantai yang masih berupa tanah merah.
Dia mendapati Ibunya yang tengah terbaring di atas sebuah kasur lapuk, Jelita menggapai tangan sang Ibu yang sedikit bengkok dan terlihat kaku lalu mencium punggung tangan nya.
"Jelita mampir bawa makanan, tunggu sebentar ya Bu Jelita mau ambil mangkok dulu."
Jelita bergegas ke dapur untuk mengambil sebuah mangkok dan juga sendok lalu membuka bungkus bubur yang dibelinya dan menuangkan ke atas mangkok seadanya yang sudah dicuci bersih.
"Ibu makan siang dulu ya."
Tubuh lemah itu dia sandarkan di kepala ranjang agar sedikit meninggi, lalu dengan perlahan dan sabar Jelita mulai menyuapi Ibu yang kesulitan makan dikarenakan stroke yang membuat tubuh Ibu lumpuh sebagian.
Indera perasa Ibu bergetar seperti ingin berbicara dan menanyakan sesuatu kepada putrinya. Jelita yang paham akan kekhawatiran sang Ibu dengan cepat dia berkata, "Jelita sudah makan Bu."
Sesuap demi sesuap sendok berisi bubur lunak itu masuk ke dalam indera perasa Ibu, sambil sesekali Jelita menjedanya dengan menyendok air minum agar memudahkan Ibu untuk menelan bubur.
Ibu berhenti dia memberi tanda jika dirinya telah cukup makan dengan menutup rapat bibirnya dan memejamkan mata.
"Bagus Ibu makan nya banyak sekali, Jelita taruh mangkoknya dulu ya," ucap Jelita kepada Ibunya lalu pergi menuju dapur setelah memberi minum kepada Ibu.
"Masih ada sisa sedikit, sayang jika di buang," batin Jelita merasa mubazir.
Jelita menatap bubur sisa tersebut dan tak terasa dia meneguk ludah, kedua tangannya sedikit gemetar karena rasa lapar yang dia alami. Lalu tanpa rasa jijik dia menghabiskan bubur sisa itu sampai habis.
Sehabis menyuapi Ibu makan, anak berbakti ini tidak lupa memberi obat dan juga membersihkan yang kotor dari tubuh sang Ibu. Tidak ada rasa jijik atau mengeluh sedikitpun dalam mengurus Ibunya, karena dalam hati dan pikirannya Ibu adalah seorang malaikat berhati mulia.
Serasa Ibu telah merasa nyaman, Jelita kemudian berpamitan. "Jelita kembali kerja ya Bu." Tidak lupa dia menitipkan kembali kepada tetangga sebelah rumah agar memberitahukan kabar apapun tentang Ibu.
"Terima kasih Bi, Jelita titip Ibu dan secepatnya Jelita akan pulang ke rumah sehabis bekerja," ucap Jelita begitu hormat dan sopan.
"Tidak apa Jelita, biar Ibu kamu Bibi yang jaga ya. Kamu kerja saja yang rajin. Ini ada makan siang buat suami Bibi, tolong berikan ya," balas Bi Sumi lalu menyerahkan nasi bungkus kepada Jelita.
Jelita mengambil bungkus nasi tertutup kantong kresek tersebut lalu membalas perkataan Bi Sumi. "Iya Bi, nanti Jelita kasih ke Pak Budi. Jelita pamit ya Bi."
"Hati-hati."
Jelita kemudian pergi ke kampus kembali untuk bekerja, menyelesaikan kembali pekerjaannya yang tertunda.
……………………………………………………………………………
Mansion Chandra Putra.
Sementara itu di halaman sebuah Mansion mewah, seorang pria muda tampan sedang memanaskan sebuah kuda besi miliknya.
"Broom! broom!"
Pria itu memacu gas dengan kencang sambil bercermin pada sebuah kaca pada spion motornya dia tersenyum mengagumi diri sendiri.
"Hai Michael kau sangatlah tampan!" ucap pria tersebut menjentikkan jari dan mengedipkan sebelah mata.
"Sudah siap untuk pergi?" tanya pria itu kepada dirinya sendiri.
"Tentu aku siap, aku selalu siap untuk apapun!" ucap pria muda itu menjawab sendiri pertanyaannya.
Michael menyurai rambutnya kebelakang lalu memakai sebuah helm berlogo SNI. Dengan semangat dia menyentak standar dua penopang pada motornya dengan kaki.
"Duash!"
Motor tersebut siap untuk melaju kencang, akan tetapi seorang wanita berteriak memanggil nama Michael.
"Hei Michael Chandra Putra!"
"Kiitt!" Michael menekan rem dengan cepat.
"Ada apa Mi?" tanya Michael menengok ke belakang.
Seorang Nyonya cantik bertolak pinggang dengan wajah sedikit kesal melihat anaknya ingin kabur. "Mau kemana kamu?"
"Mau jalan-jalan sebentar!" jawab Michael dari kejauhan.
"Jangan lupa hari senin kamu sudah mulai masuk kuliah, persiapkan diri jangan keluyuran terus sampai malam!" teriak Nyonya yang bernama lengkap Carisa Lie Djuanda istri pengusaha kaya dari Tuan Nathanael Chandra Putra.
"Siap Mi!" Michael kemudian pergi meninggalkan Maminya tersebut.
"Ck ck ck! anak muda jaman sekarang. Bisanya main terus, kalau begitu terus kapan bisa suksesnya!" guman Nyonya itu sambil geleng-geleng kepala.
.
.
Bersambung.
Di Kampus.
Jelita telah sampai di tempat kerja, dengan nafas yang masih ter engah-engah dia bergegas mencari Pak Budi untuk menyerahkan sebungkus nasi beserta lauk dari Bi Sumi.
"Pak Budi, ini ada makan siang dari istri Bapak." Jelita kemudian duduk di pinggiran batu taman sambil berusaha mengatur nafasnya.
"Terima kasih Jelita." Pak Budi mengambil makan siangnya lalu tertawa melihat Jelita yang sedang ter engah-engah.
"Kasian sekali, pasti capek ya bulak balik ke rumah?" tanya Pak Budi mulai menyantap makanannya.
Jelita mengangguk, sesekali dia melirik nasi bungkus yang berada di tangan Pak Budi. "Iya Pak Budi, capek. Tapi itu bagus Pak, anggap saja sedang berolahraga."
Mereka berbincang dan tertawa kecil, lalu dirasa cukup beristirahat Jelita mulai kembali bekerja. "Jelita mau nge pel lantai dulu ya Pak, biar cepat selesai dan tidak kemalaman nanti pulangnya."
Pak Budi mengangguk dengan mulut yang masih penuh makanan dia berucap, "Iya Jelita, Bapak juga sedang ngebut kerja nya, soalnya hari Senin anak-anak orang kaya itu sudah mulai pada masuk. Oiya Bapak saranin lebih baik kita orang miskin jangan terlalu dekat dan mencari masalah dengan mereka."
Jelita mengangguk. "Baik Pak Budi, Jelita akan ingat pesan Bapak."
"Hem, sudah sana kerja lagi," balas Pak Budi kemudian pergi mencuci tangan.
Jelita menatap beberapa gedung tinggi Universitas dihadapannya. Dengan mengepalkan tangan dengan erat dia menatap begitu heran, mengapa ada perbedaan yang begitu mencolok dihadapannya sendiri.
"Si miskin seperti ku dan si kaya adalah mereka, dunia ini sungguh tidak adil bagi sebagian orang. Mereka si orang kaya pastilah sangat beruntung ...."
Jelita meratapi nasib, sambil mengepel lantai bagian bawah gedung tinggi tersebut dia berusaha membuang jauh-jauh perasaan negatif yang bersarang dalam hatinya. Kemudian Jelita terdiam sambil menatap air bekas pel lantai yang kotor.
Tanpa melihat sekeliling dia berniat membuang air kotor tersebut ke halaman kampus yang sepi dan luas di hadapannya, sambil memejamkan mata dia berkata. "Hus pergilah perasaan dengki dan perasaan iri bersama air kotor ini, aku akan membuangmu jauh-jauh."
"Byuur!!"
Air kotor dalam ember tersebut telah kosong, begitu pula dengan keluh kesahnya yang telah hilang bersamaan dengan air tersebut. Hatinya sedikit merasa lega, diapun menarik nafas dalam-dalam.
"Ah lega rasanya ..."
Jelita tersenyum lalu mulai membuka kedua matanya, dirinya dibuat terkejut ketika mendapati seorang pria tengah berdiri dihadapannya dengan tatapan gusar dan menakutkan.
Pria tersebut mendekat lalu dengan pakaian setengah basah dan kotor dia mulai memarahi Jelita.
"Hei punya mata tidak!" Teriak Pria itu sambil mengibas-ngibas tangan dan menepis kotoran pada pakaiannya.
"M-maaf!" sahut Jelita dengan gugup sambil membungkukkan badan lalu secepat mungkin dirinya membantu membersihkan pakaian pria tersebut.
"Cih! minggir, jangan sentuh aku dengan tangan kotor mu itu!" ucap pria tersebut lalu pergi menuju toilet.
Jelita yang merasa bersalah lalu mengekor kepadanya sambil terus meminta maaf di sepanjang jalan.
"M-maaf!" ucap Jelita sekali lagi dan pria itu segera membalikkan badan.
"Apa kau tidak tahu siapa diriku?" tanya Pria itu dengan sombong.
Jelita menggeleng cepat dan tak berani melihat mata pria dihadapannya. "T-tidak, apa kamu mahasiswa baru disini?" balas Jelita dengan bertanya.
"Benar, aku mahasiswa baru disini. Keluarga ku juga yang memberi sumbangan terbesar di kampus elit ini."
Jelita terkejut, dia teringat kembali perkataan Pak Budi untuk tidak mencari masalah dengan orang-orang kaya disini. "M-maaf kalau begitu T-tuan."
Pria ini mendengus kesal lalu memarahi Jelita, "Huh entah mimpi apa aku semalam harus menghadapi nasib sial seperti ini, bertemu dengan wanita jelek seperti mu dan juga tidak punya mata! pergi lah dari hadapanku dan jangan pernah muncul kembali!"
Jelita menunduk, perkataan pria itu sedikit menusuk hatinya tetapi dia hanya bisa menerima itu semua, karena memang begitulah penampilan dirinya yang sama sekali tidak mempunyai daya tarik sebagai seorang gadis muda.
Wajah yang kusam, kacamata bulat agak tebal, rambut cepol atas tidak beraturan, kulit yang tidak bersinar, terkadang bau panas matahari dan hanya ada wangi sabun atau cairan pembersih lantai sebagai ciri khas aroma pada dirinya.
"M-maaf ...." Jelita lalu berbalik dan berjalan menjauhi pria tersebut.
"Awas saja kalau sampai bertemu lagi. Bukan hanya memarahinya tapi aku juga akan menyeret dia keluar dari kampus ini!" Pria itu menggerutu kesal lalu masuk ke dalam toilet untuk membersihkan dirinya yang kotor.
***
Jelita menatap pria itu dari kejauhan ada perasaan bersalah karena perbuatannya, tetapi bukan itu saja yang mengganjal di hatinya, mengingat ucapan pria tadi. Apakah besok dia masih bisa bekerja disini lagi atau tidak.
"Ya Tuhan semoga saja dia tidak mengadu pada pihak kampus atau keluarganya, jika itu terjadi bagaimana aku bisa mencari uang untuk berobat ibu."
Jelita sangat khawatir, hatinya tiba-tiba menjadi gelisah memikirkan sesuatu. Jika pria itu benar-benar mengadukan dirinya dan dia dipecat selain sulitnya mencari pekerjaan, maka dia juga harus melunasi hutang ibunya yang tidak sedikit selama bekerja di kampus tersebut.
"Aku harus menjauhi pria itu dan jangan sampai membuat kesalahan lagi pada anak orang kaya yang lainnya."
Jelita terus memperhatikan pria tersebut dari kejauhan sambil bersembunyi dan setelah pria itu pergi dari kampus, baru lah dia menampakan diri dan memulai kembali pekerjaannya.
Ada pertanyaan dalam hatinya, "Apa yang pria itu lakukan disini? Kelas masih belum aktif, lalu untuk apa dia datang kesini?"
……………………………………………………………………………
Mansion Chandra Putra.
Michael pulang ke rumah dengan raut wajah kesal membuat Nyonya rumah tersebut menghampirinya dan bertanya, "Ada apa Miki kenapa kamu marah-marah seperti itu?"
Michael menatap Maminya dengan wajah cemberut lalu berkata, "Mommy berapa kali ku bilang jangan panggil aku Miki, panggil aku Mike (Maik)."
Mamy menggeleng lalu melihat putranya dan berkata, "Tidak mau, Mamy lebih suka panggil kamu Miki. Sekarang jawab pertanyaan Mamý, kamu habis dari mana? kenapa cuma pakai jaket tapi tidak pakai baju dan kenapa kamu bau sabun pembersih lantai?" tanya Mamy bertubi-tubi.
Michael menghela nafas, berusaha tenang dia menjawab semua pertanyaan Mamy nya. "Habis jalan-jalan lihat kampus tempat Mike nanti belajar Mi. Baju Mike kotor kena air bekas cuci lantai, jadi Mike buka karena bau. Ah ketampanan ini jadi luntur karena kena air kotor, semua gara-gara si cewek jelek itu."
Mamy terheran-heran dengan jawaban dari putranya. "Anak Mamy tak pernah habis ketampanan tapi, bagaimana kamu bisa terkena air kotor Miki?"
"Ada gadis jelek tidak punya mata, dia main siram-siram saja tidak lihat kalau ada orang yang lewat." Michael mengingat wajah gadis tersebut dan seperti ingin muntah.
"Gadis jelek tidak punya mata, siapa dia?" tanya Mamy.
"Cleaning service dari seragamnya, gara-gara dia Mike tidak jadi malam mingguan dan tidak bisa kumpul sama teman-teman," jawab Michael dengan kesal.
"Oh, Mamy harus berterima kasih padanya. Karena perbuatan gadis itu anak Mamy jadi tidak pulang malam." Mamy terkekeh dan itu membuat Michael menjadi bertambah kesal.
Michael mengerucutkan bibirnya dan menatap Mamy nya yang tertawa. "Sudah lah Mamy sama saja! lebih baik aku mandi dan nonton di kamar."
Michael pergi ke kamarnya sambil sesekali menatap kesal Mamy nya itu.
"Huh!"
.
.
Bersambung.
Hari menjelang sore tiba, jam kerja Jelita pun berakhir. Dia menyempatkan diri pergi ke toilet untuk mengganti seragam dan membersihkan diri.
Sesampainya di pintu masuk toilet wanita, Jelita melihat sesuatu seperti kartu identitas yang tergeletak di depan pintu toilet pria.
"Apa itu? seperti kartu identitas, tapi milik siapa. Apa milik pria tadi?" ucap Jelita bertanya sendiri kemudian mengambil kartu tersebut dan membaca nama yang tertera didalamnya.
"Michael Chandra Putra ...." Jelita terdiam sambil memandangi seksama foto di dalam kartu tersebut.
"Ternyata dugaanku benar, kartu ini milik pria itu ... Dasar pria ceroboh, pasti terjatuh saat dia ke toilet tadi dan sekarang, mungkin dia sedang panik karena kehilangan kartu mahasiswanya. Aku akan mengembalikan kartu ini ke pihak kampus saat acara penyambutan mahasiswa baru Senin nanti," ucap Jelita lalu menyimpan kartu tersebut di dalam tasnya agar tidak hilang.
Setelah bebenah diri dan juga merapihkan peralatan kebersihan, Jelita bergegas pergi meninggalkan kampus elit tersebut dan kembali ke rumahnya.
……………………………………………………………………………
Ke esokan harinya.
Suatu pagi di hari Minggu yang indah dan damai dengan udara sejuk dan pemandangan asri yang memanjakan mata di sebuah taman sebuah Mansion mewah.
Nyonya dan Tuan besar pemilik Mansion itu tengah menikmati hari libur akhir pekan mereka yang indah dengan di temani secangkir kopi hangat di tambah cemilan pagi yang sehat mereka berdua menghabiskan waktu bersama.
"Aku sangat mencintaimu istriku," ucap Tuan besar menunjukkan sikap romantis dan mesranya.
"Aku juga sangat mencintaimu suamiku," balas Nyonya besar tak kalah romantis dari suaminya.
"Aku tidak bisa hidup tanpamu Carisa."
"Aku juga Nael."
"Emuach!" sikap tidak tahu malu itu mereka tunjukkan secara terang-terangan dimanapun mereka berada, tidak peduli dengan orang-orang yang berada di sekitar mereka.
Kata-kata romantis dan sikap mesra yang tidak pernah ada habisnya selalu mereka lontarkan sejak mereka masih berpacaran hingga umur mereka sekarang yang sudah menginjak kepala empat. Namun faktanya suami istri itu berhasil mengalahkan semua pasangan mesra lainnya di dalam dunia ini.
Lain halnya dengan seorang pria muda tampan satu ini, dengan wajah baru bangun tidur dia sedang kelimpungan mencari sesuatu. Michael menuruni anak tangga dengan setengah berlari lalu mencari dan memanggil seseorang.
"Mom! ... Mommy!" teriak Michael.
Mendengar dirinya dipanggil, Nyonya cantik ini segera melepaskan ciuman maut suaminya dengan kedua tangan yang masih melingkar di leher sang suami dia kemudian menyahut, "Iya Miki ada apa teriak-teriak? Mamy disini bersama Daddy mu." Lalu melanjutkan kembali kemesraannya.
Michael menghampiri arah suara tersebut, matanya dibuat gatal jika melihat kelakuan orang tua kandungnya setiap hari. Diapun memprotes dengan berkata, "Hei kalian, tahu malu lah sedikit. Di mansion ini bukan hanya ada kalian berdua saja. Masih ada aku dan Sansan yang masih dibawah umur, belum lagi ada orang-orang yang bekerja disini."
Mereka hanya tersenyum menatap putranya yang sudah tumbuh besar dan tidak menghiraukan aksi protesnya.
Tak lama kemudian Daddy melepaskan pelukannya itu lalu menatap heran putranya yang sudah bangun pagi-pagi sekali, dia lalu bertanya kepada istrinya, "Sayang ini hari Minggu kan, apa mataku ini tidak salah lihat? Tumben sekali dia sudah bangun jam segini, apa matahari terbit dari sebelah barat?" Michael cemberut seketika.
Mamy terkekeh dengan ucapan Daddy. "Jangan berkata seperti itu sayang, bagus jika dia sudah bangun. Oiya Miki ada apa mencari Mamy?"
"Apa Mamy lihat kartu mahasiswa Mike?" tanya Michael.
Mamy menggeleng lalu membalas Michael. "Tidak, bukan kah kartu itu sudah Mamy berikan ke kamu."
"Entah lah Mamy, seingat Mike terakhir kali ..." Michael terdiam, dia mengingat kejadian kemarin lalu menepuk dahi dan melanjutkan kembali perkataannya, "Ah! pasti kartu itu terjatuh di kampus kemarin."
Mendengar kartu mahasiswa anaknya yang hilang, Mamy memarahi Mike. "Kenapa bisa hilang? apa kamu tidak tahu kalau kartu itu sangat penting Miki!"
Michael mengerti kemarahan Mamy nya, mengingat kartu itu bukan lah kartu sembarangan dan hanya bisa di dapatkan oleh mereka orang-orang kaya yang belajar disana.
Dengan kartu elit tersebut mewakili segala kegiatan yang berada disana, seperti masuk ke gedung utama, makan siang yang menggunakan kartu tersebut dan lain sebagainya.
"Mamy jangan marah Mike akan mencari kartu itu sampai ketemu," ucap Michael menenangkan Mamy nya yang marah.
"Cari sampai ketemu! kalau tidak ketemu bagaimana kamu bisa masuk kuliah besok."
"Baiklah Mamy, Mike pergi cari dulu ya." Michael lalu pergi ke tempat dimana jatuhnya kartu tersebut.
Melihat istrinya yang marah Daddy pun tidak tinggal diam. "Jangan marah sayang, bukan kah teman kita Anthoni pemilik kampus tersebut, jika hilang minta saja yang baru kepadanya."
Mamy mendengus kesal. "Kau jangan terlalu memanjakan Miki, anak itu sudah besar harusnya dia bisa lebih bertanggung jawab. Menjaga sebuah kartu saja dia tidak bisa, bagaimana menjaga perusahaan dan keluarga nya kelak."
Daddy mengangguk. "Hem benar juga. Ya sudah tetapi jika benar-benar tidak ketemu, kamu jangan terlalu memarahinya."
"Baiklah."
***
Di Kampus
Michael telah sampai di tempat tujuan, dengan meminta bantuan security disana, Michael pun akhirnya masuk.
Michael mencari kartu tersebut di tempat yang pernah dia singgahi sebelumnya, tetapi kartu itu tidak dapat dia temukan.
"Kemana kartu itu perginya, apa sudah di temukan oleh seseorang? tanya Michael mulai kecapaian.
Pak Budi melihat Michael yang sedang kesulitan, beliau menghampiri dan bertanya, "Maaf Den, sedang cari apa disini?"
Michael menoleh lalu menjawab pertanyaan tersebut, "Saya sedang cari sebuah kartu mahasiswa, apa Bapak pernah melihatnya jatuh di sekitar sini."
Pak Budi menggeleng. "Tidak Den. Mungkin petugas kebersihan di gedung ini yang menemukannya. Cuma sayangnya kalau hari Minggu dia libur bekerja."
"Oh begitu, ya sudah Pak terima kasih," balas Michael lalu berdiri.
"Sama-sama." Pak Budi kemudian pergi meninggalkan Michael dan kembali bekerja.
Michael mengingat kembali petugas kebersihan yang dimaksud oleh Pak Budi. Dalam hati dia berkata, "Semoga saja cewek jelek itu memang benar-benar menemukannya, tapi kenapa dia tidak segera mengembalikannya kepadaku. Disana kan ada alamat rumahku dan lain sebagainya. Atau cewek itu sengaja tidak mengembalikannya karena balas dendam dengan ucapan ku kemarin."
"Awas saja kalau dia berani melakukan hal tersebut, aku tidak akan melepaskannya dengan mudah."
Michael lalu pergi meninggalkan kampus dan pulang ke rumah untuk memberitahukan hal tersebut kepada orang tuanya.
…………………………………………………………………………
Di Rumah Jelita.
Sementara itu Jelita sedang dilanda perasaan bimbang, dengan terus menatap kartu di tangannya dia bertanya-tanya dalam hati.
"Apa aku kembalikan saja sekarang ke rumahnya ya. Kartu ini kan sangat penting, tapi bagaimana caraku kesana? alamat ini sangat jauh, aku tidak punya uang untuk ongkos kesana."
Jelita menghela nafas, kemudian menggenggam kartu tersebut. "Baiklah aku akan kembalikan saja ke rumahnya hari ini, setelah Pak Budi pulang bekerja aku akan meminjam sepedanya."
.
.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!