Musim panas, Juli, 2021.
"Nathan ...."
Masih dengan mata terpejam, Alya mengguncang tubuh Nathan di sampingnya ketika mendengar Elric merengek di box bayinya. "Your turn (giliranmu)," perintahnya seraya menarik selimut dan kembali masuk ke alam mimpi.
"Panggil Rosalina saja," gumam Nathan menyebutkan nama baby sitter Elric.
Mata Alya seketika terbuka lebar. Ia mendecak lalu memukul bahu Nathan pelan. "Kau ini? Aku sudah bilang Rosalina libur dua hari!"
"Damn (sial)!" maki Nathan. Dengan menahan kantuk yang begitu berat, ia beranjak dari atas ranjang ketika rengekan Elric berubah menjadi tangisan keras.
Father Jacob,
Father Jacob,
Are you still sleeping?
Are you still sleeping?
All the bells are ringing
All the bells are ringing.
Bim bam bom.
Bim bam bom.
Nathan menyenandungkan sebuah lagu untuk Elric yang sedang ditimangnya, berharap bayi mungil itu cepat tertidur lagi dan ia bisa kembali ke peraduannya. Namun rupanya Elric tidak ingin membuat tugas ayahnya menjadi mudah. Ia mengeraskan tangisannya seakan-akan lagu yang dinyanyikan Nathan adalah lagu yang menyeramkan.
"Oh, baiklah, Elric ... kau menantangku, ya?" ujar Nathan seraya tersenyum miring.
Ia mengulang lagunya namun kali ini dengan suara growling (menggeram) teknik death metal yang ia buat setengah berbisik seraya mengangguk-anggukkan kepala sehingga rambut panjangnya menyapu wajah Elric.
Namun hal itu membuat bayi mungil itu menghentikan tangisannya seketika.
"Elric, kau memang bayi rockstar," ucap Nathan seraya menciumi pipi montok Elric gemas.
Alya terkikik melihat tingkah Nathan yang lucu. "Wierdo (orang aneh)," gumamnya. Lalu ia membiarkan saja ayah dan anak itu berinteraksi hingga ia pun terlelap kembali dengan tenang.
Saat membuka mata keesokan harinya, ia melihat pemandangan yang menggemaskan di sampingnya. Nathan tidur terlentang memeluk Elric yang tertidur tengkurap di dadanya. Kedua lelakinya itu terlihat seperti malaikat dengan wajah polos yang tampan.
"Owh ... you guys are so cute (kalian lucu sekali)," ucap Alya lirih seraya menyentuh dadanya pelan.
"Geez, tanganku pegal sekali," keluh Nathan.
Alya terbahak, lalu meraih Elric dari dekapan Nathan dan membawanya ke pelukannya. Bayi mungil itu menggeliat dan bibir tipisnya bergerak-gerak mencari sumber nutrisinya.
"Jangan mengintip!" hardik Alya seraya memicingkan mata pada Nathan yang melongokkan kepalanya ke arah dadanya.
Nathan terkekeh. "Menyebalkan sekali aku harus berebut dengan Elric."
"Ish!" desis Alya sebal.
Nathan beranjak dari atas ranjang dan berjalan memutar mendekati Alya dan Elric. "Jangan lupa nanti siang ada interview di rumah ini."
"Interview? Di rumah ini? Kenapa kau baru bilang sekarang?" tanya Alya.
"Sial, aku belum bilang sebelumnya?" Nathan menepuk keningnya.
Alya memutar bola matanya. "Interview apa?" tanyanya kemudian.
"Memeperkenalkan si bayi ini kepada dunia," jawab Nathan seraya mengelus kepala Elric.
Alya mencebikkan bibirnya. "Kenapa harus diperkenalkan?"
"Karena dia calon rockstar di masa depan," sahut Nathan mantap.
"Dari mana kau tahu Elric akan tertarik dengan musik?"
Nathan duduk di tepi ranjang seraya menatap Alya dengan wajah serius. "Darah musisi mengalir deras dalam tubuhnya, bukan?"
Alya tergelak mendengar ucapan Nathan hingga Elric yang ada di dalam gendongannya menggeliat karena kaget.
Siang harinya, interview diadakan di taman belakang rumah mereka yang luas dengan mengundang wartawan dari beberapa media cetak dan elektronik ternama.
Elric tertidur pulas dalam gendongan Alya, sementara Nathan menjawab semua pertanyaan wartawan dengan antusias.
"Namanya Elric Arthur Bradley," ucap Nathan dengan bangganya.
"Perasaanku sebagai seorang ayah? Perasaan paling luar biasa yang ada di dunia."
"Yeah, dia akan menjadi rockstar masa depan."
Senyum Nathan tak henti-hentinya tersungging di bibirnya ketika para wartawan berebut mengambil foto si bayi tampan Elric.
Elric adalah calon kebanggaan Nathan di masa datang. Dalam benaknya sudah tersusun banyak rencana untuk putera kesayangannya itu.
"Selamat datang di dunia, Elric Arthur Bradley."
***
Hallo, jumpa lagi dengan aku Lady Magnifica dalam novel yang kesekian kalinya. Semoga tidak bosan membaca tulisan-tulisanku.
Ini kisah Elric, anak Nathan dan Alya dari novel Married To Rockstar yang ada di aplikasi Fictum (jika kalian ingin membacanya sebelum melanjutkan ke sini).
Setelah Love In Black yang agak berat, Mari kita refresh otak dengan cerita yang ringan dan uwu tentunya, ya.
Selamat membaca.
With love,
Lady Magnifica.
HUNTER SCIENCE HIGH SCHOOL, MANHATTAN.
January, 13 2038.
"Hei, Rockstar Boy, tidak diantar bodyguardmu?"
Seruan itu membuat Elric yang baru saja muncul dari gerbang sekolah memasuki halaman, menoleh pada segerombolan anak lelaki yang sedang tertawa-tawa mengejeknya.
Remaja berambut ikal panjang dengan rahang tegas itu mengangkat tangannya dan mengacungkan jari tengah. Lalu tanpa memedulikan ejekan-ejekan yang terus meluncur dari mulut mereka, Elric melenggang masuk ke dalam gedung sekolah.
Ia menelusuri koridor tanpa memerhatikan sekelilingnya menuju ke arah lokernya. Di sana, dua orang temannya telah menunggu.
"Good morning, Elric," kekeh Michael.
"Shut up (diam)!" hardik Elric sembari membuka pintu loker dan memasukkan tas punggungnya.
"Kau kenapa?" tanya Ryan sembari memperhatikan wajah Elric yang terlihat masam.
"Kenapa memangnya?" Elric menutup lokernya dan melangkah menuju kelasnya yang berada di ujung koridor diikuti oleh Michael dan Ryan.
"Hi, Elric."
Dua orang gadis cantik yang berpapasan dengan ketiga pemuda itu menyapa sembari melemparkan senyum termanis mereka. Namun Elric hanya melirik sekilas tanpa menyahut. Ia melenggang tak acuh masuk ke dalam kelasnya tanpa memedulikan kedua gadis itu.
"Kau mengacuhkan Clara dan Ashley?" Michael membelalakkan matanya tidak percaya. Remaja berambut hitam cepak itu melongok keluar pintu memperhatikan dua gadis bernama Clara dan Ashley itu.
"The most beautiful girls in school (gadis-gadis tercantik di sekolah)," kekeh Ryan.
Elric mengedikkan bahunya. Ia sebal dengan semua siswa wanita di sekolah ini. Mereka selalu bersikap ramah padanya dan cenderung menggodanya. Baginya, mereka tidak lebih hanya penjilat. Mereka berusaha dekat dengannya karena ia anak seorang Nathaniel Bradley. Sementara siswa lelakinya, mereka semua membenci dirinya karena merasa tersaingi baik secara popularitas, ketampanan dan juga kekayaan.
Elric pikir, merasa iri padanya hanya membuang-buang waktu saja. Bahkan ia merasa dirinya hanyalah seorang pecundang. Kalau bukan karena nama besar ayahnya, ia hanya remaja biasa yang tidak tahu arah.
Ia menyukai musik dan ia bisa memainkan beberapa alat musik. Gitar, piano, biola, semua sudah dikuasainya. Kedua orang tuanya mencekokinya dengan semua hal tentang musik dari ia kecil. Dan ayahnya sangat berharap ia terjun ke dunia yang sama. Tapi, hati kecilnya mengatakan, ia tidak mau selalu berada di bawah bayang-bayang nama besar ayahnya. Ia ingin mencari jati dirinya sendiri. Entah apa pun itu.
Dan sore harinya begitu sekolah selesai, seperti biasa, Elric tidak langsung pulang ke rumah. Ia bersama Michael pergi ke East Harlem, tempat tinggal Ryan di area padat penduduk dan kumuh yang ada di Manhattan. Entah kenapa ia merasa lebih nyaman bergaul dengan orang-orang kelas bawah yang tidak tahu identitasnya sama sekali sebagai anak dari rocker ternama di negara ini. Elric pun sudah memperingatkan Ryan untuk tidak menceritakan siapa dirinya pada orang-orang di sana, bahkan kepada orang tua Ryan sekali pun.
Erlic bisa menghabiskan berjam-jam di East Harlem dengan kedua sahabatnya itu, untuk sekedar main game di apartemen Ryan, atau nongkrong bersama remaja-remaja di sekitar lingkungan tempat tinggal sahabatnya itu.
Ia baru akan pulang jika ibunya sudah menelponnya berkali-kali. Itu pun ia menolak mentah-mentah ketika ibunya menyuruh supir untuk menjemputnya. Elric memilih untuk naik subway dan turun di stasiun bawah tanah yang dekat dengan rumahnya di Greenwich Village. Ia juga lebih senang berjalan kaki dari stasiun menuju rumahnya.
"Elric, where have you been (kau dari mana saja)." Begitu yang selalu ibunya tanyakan setiap kali ia menginjakkan kaki di rumah mewah milik ayahnya itu.
"Dari rumah teman." Ia pun hanya menjawab singkat saja. Ibunya, Alya, biasanya tidak akan menanyakan apa-apa lagi.
Namun, ketika ayahnya, Nathan ada di rumah, ia akan diinterogasi. Ayahnya itu selalu mengecek dengan siapa saja ia berteman, atau pergi ke mana saja. Kedua orang tuanya tahu ia bersahabat dengan Michael, namun mereka tidak tahu tentang Ryan dan tempat tinggalnya yang hampir setiap hari ia datangi.
Mungkin, jika kedua orang tuanya tahu, ia tidak akan pernah lagi diizinkan untuk bertemu dengan Ryan apalagi datang ke rumahnya di East Harlem. Tempat paling kumuh dan berbahaya di Manhattan, menurut kebanyakan orang.
Ia juga bersahabat dengan kakak laki-laki Ryan yang bernama Noah. Pemuda berumur dua puluh dua tahun itulah yang mengenalkan rokok, cannabis, dan juga minuman beralkohol padanya, Michael dan Ryan.
Nathan juga menyimpan botol-botol alkohol. Tapi, Elric hanya diizinkan meminum wine saja karena umurnya masih terlalu muda. Ada aturan yang diterapkan oleh Nathan untuk Elric, bahwa ia tidak boleh minum-minum atau merokok sampai cukup umur. Namun dalam benak Elric tersimpan sebuah slogan bahwa aturan ada untuk dilanggar.
"Aku jarang melihatmu masuk studio," kata Nathan pada Elric di suatu pagi ketika menikmati sarapan.
"Aku sibuk." Elric menyahut sekenanya seraya mengunyah potongan croissant yang ia cocolkan ke dalam bubur kentang.
"Memangnya kau sibuk apa, Elric?" desak Nathan seraya menatap putera semata wayangnya itu penuh selidik. Namun sentuhan tangan Alya di lengannya membuatnya mengerti kalau istrinya itu tidak ingin menikmati sarapan pagi dengan perdebatan antara ayah dan anak.
"I gotta go now (aku harus berangkat sekarang)." Elric beranjak dari duduknya dan melangkah mendekati Alya dan mencium pipinya sekilas.
"Biar Pablo mengantarmu, Sayang," ucap Alya.
"Tidak perlu," tolak Elric seraya menghambur keluar ruang makan tanpa berpamitan dengan Nathan.
"Kenapa dia sepertinya sangat membenciku?" keluh Nathan seraya menatap Alya keheranan.
Alya mendecak. "Jangan berpikiran seperti itu, okay?!" tegasnya.
Nathan mengangkat kedua tangannya pasrah. Ia tidak mengerti jalan pikiran remaja seumuran Elric. Mereka membenci apa saja. Tidak mau mendengarkan orang lain, dan hanya menuruti ego mereka sendiri.
***
EAST HARLEM, MANHATTAN.
Dari kamarnya, berkali-kali Emma mendengar suara-suara benda dilempar dan menabrak dinding, diselingi dengan suara dua orang yang sedang beradu mulut dan saling memaki. Ia menghela napasnya dalam-dalam dan menggeleng pelan. Gadis itu beranjak dari ranjangnya, menyambar jaketnya yang tergantung di belakang pintu, lalu melangkah keluar dari kamarnya.
"Pastikan kalian berdua tidak saling membunuh, okay?" sindirnya pada dua orang pria dan wanita yang sedang berada argumen dan saling melempar barang satu sama lain.
"Kau mau ke mana?" tanya si wanita, berwajah Latino, mirip dengan dirinya.
"Terserah Emma mau ke mana, kau tidak usah cerewet!" hardik si pria. Sekilas, fitur wajahnya mirip dengan Emma.
Emma mengenakan jaketnya. Tanpa memedulikan keributan dan adu mulut yang kembali memanas, ia melangkah keluar apartemen seraya membanting pintu dengan keras.
"Astaga," desisnya seraya melangkah menelusuri koridor, lalu menuruni tangga dan melangkah keluar dari gedung apartemennya.
Ia berdiri di depan gedung seraya menyalakan sebatang rokoknya. Dihisapnya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya ke udara. Sesekali Emma menyambut sapaan beberapa orang yang melintas di depannya.
Tenggorokannya terasa kering. Sepertinya ia butuh bir untuk membasahinya. Emma membanting sisa rokoknya ke lantai dan menginjaknya. Ia menutup kepala dengan hoodienya lalu berniat untuk pergi ke super market yang berjarak dua blok dari gedung apartemennya.
"Hello, Cantik."
Sebuah sapaan disertai dengan siulan memaksanya untuk berhenti. Suasana hati Emma yang sedang buruk tidak bisa mentoleransi pelecehan verbal seperti itu. Ia membalikkan badan dan mendekati empat orang remaja pria yang sedang nongkrong di depan gang.
"Mau ke mana, Cantik?" Salah satu diantara mereka kembali menyapanya, disambut dengan kekehan tiga remaja lainnya.
Emma tahu siapa yang sedang menggodanya ini. Noah, si biang kerok di East Harlem yang tinggal di gedung sebelah. Ia bersama adiknya, Ryan, dan dua remaja lain yang tidak dikenalnya.
Ia melirik ke arah satu botol kosong minuman yang tergeletak di lantai, lalu menggeleng. Noah yang sudah dewasa benar-benar tidak bertanggung jawab mengajak tiga anak remaja itu minum-minum di pinggir jalan.
"Hei, Noah ... kau memang tidak punya otak, ya?" hardiknya.
"Uugh, aku tidak punya otak. Kalau aku tidak punya otak aku tidak bisa mengagumi kecantikanmu, Emma," gelak Noah membuat Emma semakin kesal.
Kebetulan sekali saat ini Emma sedang ingin memukul seseorang untuk melampiaskan kekesalannya di rumah. Gadis itu berjalan cepat ke arah Noah dan menarik kerah baju pemuda itu. Tanpa pikir panjang Emma menghadiahi Noah dengan bogem mentah yang tepat mengenai ulu hatinya.
"Hei, hei, hentikan! Hentikan!"
Hoodie Emma ditarik ke belakang oleh Ryan, adik Noah, untuk mencegahnya melancarkan pukulan kedua terhadap kakaknya itu. Amarah Emma seketika meluap-luap tak terbendung dan ia berniat melayangkan satu pukulannya pada Ryan. Namun, Ryan sempat menghindar dan kepalan tangan Emma mendarat di hidung satu temannya yang berdiri di belakang pemuda itu.
"Auch! My nose! My nose! You bi tch (hidungku! Hidungku! Dasar kau ja lang!" maki remaja berambut panjang ikal kecokelatan itu sembari memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah.
Emma menyeringai menyaksikan empat pemuda tidak berguna itu panik. "Kalian melakukan kesalahan dengan mencari masalah dengan kaum feminist!" decihnya seraya menatap sinis pada keempat pemuda itu.
Kemudian Emma melenggang dengan santainya meninggalkan keempat pemuda itu, dengan satu orang diantaranya yang sedang berteriak kesakitan seraya memegangi hidungnya yang berlumuran darah.
"Gadis gila!"
Emma tergelak dari kejauhan mendengar makian itu. Ia mengangkat tangan ke udara dan mengacungkan jari tengahnya tanpa menoleh.
Gadis itu menarik napas lega. Senyumnya tersungging di bibirnya sembari mendorong pintu supermarket dan masuk ke dalamnya. Beberapa saat kemudian ia keluar dengan membawa dua kaleng bir dan mencari tempat duduk di halaman supermarket.
Emma mengeluarkan bungkus rokoknya dan menyalakannya sebatang. Tangannya merogoh saku jaketnya untuk mengambil ponselnya yang bergetar.
Senyumnya mengembang ketika memeriksa layar ponsel. Sebuah email approval dari sebuah sekolah kepribadian private yang menyatakan ia diterima magang di sana.
Tahun ini, Emma baru saja lulus dari jurusan psikologi universitas Columbia di umur yang menginjak dua puluh satu tahun. Ia harus cepat-cepat mencari pekerjaan untuk membayar student loan (pinjaman mahasiswa) selama pendidikannya. Dan, ini adalah kabar yang sangat baik untuknya.
Sudah terbayang di benak Emma untuk keluar dari rumah orang tuanya dan tidak lagi menyaksikan pertengkaran dua orang itu setiap harinya. Gadis itu benar-benar sudah tidak tahan lagi. Seumur hidup ia tidak pernah melihat kedua orang tuanya harmonis. Sejauh ingatannya saat kecil, terekam dalam memorinya caci maki yang saling dilontarkan oleh ayah ibunya.
Ia mengambil jurusan psikologi mungkin hanya untuk menerapkan teori-teorinya pada diri sendiri. Agar ia tidak menjadi gila. Agar ia bisa mengendalikan diri supaya tidak terjerumus ke dalam hal-hal buruk.
Emma, seorang lulusan ilmu psikologi yang membutuhkan psikiater, yaitu dirinya sendiri.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!