🪧 Prolog
Ini hanya sebuah cerita… bukan sebuah kisah nyata, tidak diambil dari latar belakang hidup siapapun.
Dalam setiap kehidupan tidak mengenal strata, status, tempat, latar belakang dan situasi hidup, ada kebaikan dan keburukan yang tak bisa dipungkiri, dan ada nilai kearifan yang bisa diambil di sana dalam setiap kisahnya.
Cerita ini tidak bermaksud mendiskreditkan seseorang atau sekelompok orang. Ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi, mungkin saja dalam cerita ini terkandung sebuah kisah random yang bisa jadi milik seseorang di tempat dan situasinya sendiri.
Maka jika ada kesamaan itu bukan kesengajaan, murni hasil rekaan penulis dan sifatnya hanya semata-mata menghibur para pembaca.
.
🎸
.
Mari mulai dengan Brill...........
Brill keluar dari ruang kelas dengan dengusan sebal. Dia tidak pernah menyukai berada di dalam ruangan kelas lebih lama. Belajar buatnya sangat menjemukan. Sejak kelas sepuluh motivasi belajarnya turun ke titik rendah, keinginannya melanjutkan sekolah di sekolah favorit di ibukota negara atau paling tidak di ibukota provinsi ini bersama sahabat-sahabatnya sejak SMP tidak mendapat persetujuan dari sang mami.
Ini membuat dia tidak punya dorongan untuk melakukan apa pun selama ini, tidak pernah belajar dengan benar, tidak pernah mengerjakan tugas, tidak pernah serius memperhatikan pembelajaran di kelas, tidak pernah mencatat, buku-buku pelajarannya kosong melompong.
Guru wali kelas, guru BP sampai Ibu Kepala Sekolah sudah bosan menasehati dan mengingatkan, Brill konsisten tak merubah sikap dan cara belajarnya. Hanya karena dia anak pejabat nomor satu di daerah ini maka dia bisa naik kelas dan sekarang duduk di kelas dua belas semester akhir.
Di depan gerbang, dia sudah ditunggu mobil hitam besar dan mewah dengan plat nomor khusus. Napas berat terhembus bersamaan dengan pintu mobil yang dibanting kasar.
“Langsung pulang ya nak Brill, ibu mau berangkat ke Jakarta, nunggu nak Brill pulang sekolah baru berangkat…”
Brill diam saja di deret kedua mobil itu. Sebenarnya jarak sekolah dengan rudis bupati tempat tinggalnya selama ini lima belas menit jalan kaki lewat jalan pintas sudah sampai, tapi dia dilarang melakukan itu, ke mana-mana harus diantar-jemput pak Markus, sopir khusus untuknya.
Tujuh menit kemudian, Brill keluar dari mobil dengan cara yang sama yaitu membanting pintu, kemudian berjalan cepat melewati pintu samping. Rudis ini jadi seperti penjara untuk cowok ini karena dikelilingi tembok setinggi hampir tiga meter. Untung saja dia masih dibebaskan keluar rumah tapi dengan persyaratan diantar pak Markus.
“Ully… mami mau ke Jakarta… sini sebentar, sayang…”
Ibu bupati tercantik di antara 12 kepala daerah tingkat dua di provinsi ini karena satu-satunya wanita, melambai saat anak semata wayang melintas di ruang tengah. Di dekat mami dua sespri sedang sibuk menyiapkan kebutuhan ibu pejabat untuk keberangkatan dinasnya.
“Pergi aja mam… hati-hati di jalan…”
Brill menjawab malas tanpa menghentikan langkahnya.
“Brill…”
Suara mami berubah tegas dan itu menghentikan langkah cowok setinggi 177 sentimeter itu.
“Sini… kenapa semakin hari semakin tidak sopan?”
“Apa gunanya kesopanan?”
“Hadap sini, Ully… jangan mulai berdebat dengan mami… dengerin mami…"
Brill mendekat dengan rasa jengkel yang menyeruak di permukaan wajah putihnya.
“Mam, aku bukan anak kecil lagi, stop memanggilku dengan nama itu…“
“Itu ucapan kamu sendiri…”
“Itu aku umur tiga tahun mam…”
Brill berbalik dengan marah, langkahnya kembali terayun menjauh dari maminya menuju kamarnya sendiri.
“Brill... mami belum ngomong apa-apa, ke sini kamu…”
“Aku udah hafal mam, apa yang mau mami omongin… kalau ada yang penting wa aja… malas ngomong sama mami…”
Wanita yang dihormati dan disegani banyak orang tidak berkutik di hadapan anaknya sendiri. Hubungan mereka memang buruk sebagai mami dan anak, tak ada bedanya dengan hubungan Brill sama papinya. Hanya di depan publik saja mereka terlihat harmonis dan bahagia serta saling sayang. Jika para sespri atau orang yang bekerja di rumah dinas yang megah ini bocor mulut, mungkin cerita tentang keadaan keluarga ibu pejabat terhormat akan terkuak.
Beberapa waktu kemudian Brill keluar dari kamar dengan ransel yang menggantung di satu bahunya serta tangan yang menenteng quitar kesayangan. Seragam sekolah telah berganti dengan celana sport pendek dan kaos oblong tanpa lengan. Dia melewati sang mami yang masih sibuk menelpon sementara seorang penata rias pribadi sedang membenahi rambut sasak badai wanita yang selalu elegant itu.
“Mau ke mana Brill…”
Sang mami menjauhkan hp dari telinganya.
“Mau ke rumah oma…”
Brill bertingkah sopan sekarang, matanya melihat sepintas ada beberapa orang yang dia ketahui pejabat eselon satu di lingkungan kantor sang mami yang sudah duduk agak jauh di set sofa ruang tamu, mata mereka sedang memperhatikan dirinya.
“Sini dulu sayang…”
Tangan mami melambai, sebuah sikap yang sudah jadi spontanitasnya memanggil bawahan, berlaku juga untuk Brill. Drama dimulai, Brill mendekat sambil mengubah ekspresi wajahnya, tersenyum untuk mami yang sekarang merentangkan tangannya hendak memeluk anaknya. Sang penata rias berhenti untuk memberi kesempatan ibu terhormat ini melakukan salam perpisahan.
“Mami dua hari aja di sana, gak mungkin bisa lama kan… pulangnya bareng papi, baik-baik di rumah ya sayang…”
“Mami gak terlambat… ini udah siang…”
“Mami penerbangan terakhir, gak lama lagi berangkat… gak mungkin juga pesawat berangkat sebelum mami sampai di bandara…”
Ya benar, seperti ada aturan tak tertulis, orang-orang seperti maminya punya banyak prioritas dan perlakuan khusus untuk sesuatu. Brill turut menikmati perlakuan khusus dan istimewa sebagai anak pejabat.
Anak dan mami itu saling peluk beberapa saat, drama bahagia berakhir dengan sebuah kalimat manis…
“Take care mam… I love you…”
“I love you, too… son…”
Brill keluar dari ruangan itu dan sebelumnya melepaskan senyum ramah pada beberapa orang terhormat yang sedang menunggu maminya.
Di dalam mobil, dia melepas sebuah hembusan kasar dari paru-parunya. Setiap maminya berangkat entah ke luar daerah untuk dinas atau untuk urusan bisnis keluarga, Brill juga akan meninggal rumah dinas itu, rumah yang dibangun di masa jabatan maminya yang pertama, sekarang adalah masa jabatan yang kedua setelah maminya terpilih kembali. Ini tahun terakhir untuk maminya, dan tak mungkin terpilih lagi karena batasan dua kali menjabat.
Kedua orang tuanya telah sukses menjadi pebisnis tapi tak puas dengan itu, merasakan panggilan hati untuk terjun di dunia politik, papinya terpilih menjadi anggota dewan tingkat provinsi bahkan menjadi ketua dewan karena papinya adalah ketua DPD tingkat I sebuah partai besar, dan sekarang sedang berancang-ancang maju sebagai kandidat walikota di kota Manado.
Hidupnya bergelimang harta, tapi hatinya menyimpan sepi dan marah sejak lama. Hidupnya diatur menurut keinginan sang mami, dengan alasan dia anak satu-satunya.
Hanya oma yang menjadi sosok satu-satunya yang peduli padanya...
.
Brill Timothy Ratulangi...
Semoga kisahnya manis ajaaa....
Salam hangat...
Aby 💟
.
🎸
.
"Hei... Mbing... kamu yang bersihkan kelasnya..."
Lengan Rilly ditarik masuk lagi ke dalam kelas dengan cara yang kasar oleh dua orang cewek, Lorry dan Debra, duo penguasa kelas ini yang menjadi teman kelompok kebersihan kelas yang bertugas hari ini.
"Giliran kalian... masa aku terus yang melakukannya sendiri..."
Rilly menjawab lirih. Lorry hanya mencibir melewati dirinya, sementara Debra menirukan ucapannya tapi dengan suara sengau, lalu menyambung dengan kalimat...
"Kamu digariskan untuk melakukannya sendirian... paham?"
Bahu Debra itu menyeruduk kasar bahu Rilly, lalu meninggalkan kelas dengan pandangan mengancam.
Rilly, gadis setinggi 163 sentimeter ini punya nama yang indah dan bagus, tapi nasibnya tak sebagus namanya. Prestasinya tak sebrilian namanya, rangking kelas selalu masuk tiga besar dari belakang, dia sama sekali tak cocok menyandang nama itu.
Hidup juga tidak secerah arti namanya, dia punya kekurangan fisik yang nampak jelas, ada celah di bibirnya, istilah yang populer adalah bibirnya sumbing. Seharusnya kekurangannya bisa dioperasi, karena bukan sebuah operasi yang sukar untuk derajat celah bibir miliknya, bahkan negara memfasilitasi dengan operasi gratis, tapi demikian adanya dia sekarang, menjadi gadis yang selalu dibully bahkan di lingkungan rumahnya sendiri.
Selesai membersihkan kelas Rilly meninggalkan sekolah dengan langkah gontai. Masih tampak beberapa siswa di halaman sekolah, dia melewati mereka sambil menundukkan kepala.
Rilly hampir terjungkal saat melintasi sebuah halaman kosong yang sangat besar, seseorang menyeruduk punggungnya dengan keras dari belakang.
"Aww..."
Seorang cowok berseragam putih abu-abu, wajah penuh keringat dengan rambut berantakan sedang mengejar layangan putus bersama seorang bapak yang menggunakan setelan PSH warna hitam.
Cowok itu hanya menoleh sejenak lalu melanjutkan larinya, sementara bapak berseragam resmi itu berhenti sejenak saat melihat Rilly setelah berhasil menyeimbangkan tubuhnya memijat bahunya serta punggungnya yang kesakitan.
"Maafkan nak Brill ya..."
Si bapak menatap prihatin pada gadis itu tapi segera meneruskan mengejar anak yang harus dia jaga dengan jiwa dan raganya.
"Nak Brill... nanti kita buat yang baru aja, gak usah dikejar... nanti om buat yang baru..."
Rilly hanya menatap sedih dua orang yang sudah menjauh tapi saling kejar objek yang berbeda. Rilly mengeluh pendek menahan sakit di bagian bahu dan punggungnya. Cowok itu memang tidak sengaja menabrak dirinya tadi karena pandangannya tertuju pada layangan yang dikerjarnya. Sekarang memang musim layangan di sini, tapi agak aneh melihat anak dengan strata hidup seperti Brill melakukan itu, sementara anak lain sekarang lebih tertuju pada mainan di ponsel mereka.
Rilly kenal cowok itu tentu saja, mereka sekelas sejak kelas sepuluh, nama di absen berurutan, beberapa kali sekelompok dalam pembuatan tugas, tapi jarang sekali atau malah tidak pernah mereka berbicara satu dengan yang lain. Mereka hanya sekelas, tak bisa disebut teman sekelas, lagi pula siapa yang mau berteman dengan gadis seperti dirinya.
Rilly mempercepat langkahnya, banyak tugas menantinya di rumah, terutama oma Betsy. Di kejauhan dia masih bisa menangkap sosok Brill yang sekarang masuk ke rumah dinas, jalan pintas ini jalan terdekat untuk pulang ke rumah yang ada di jalan yang sama dengan rumah dinas bupati.
Tiba di rumah berhalaman luas penuh pohon dan bunga yang ditanam sembarangan tanpa mempertimbangkan estetika, Rilly semakin mempercepat langkahnya.
"Lagi-lagi kamu terlambat!"
Suara lantang bertekanan tinggi menyambut dirinya di pintu samping.
Om Emil berkacak pinggang dengan tatapan menusuk ada di depan pintu.
"Siang om... maaf, hari ini jadwal membersihkan kelas..."
Rilly berdiri dengan wajah takut di teras, dia tak berani masuk jika om Emil masih bicara.
"Cepat masuk, urus mami! Sudah sejak pagi dia pup, gantikan diapersnya bau busuk sudah menyebar sampai ke sini. Lain kali... jangan berangkat sekolah sebelum mami pup!"
"Baik om..."
Rilly masuk dengan langkah lemahnya. Berangkat sekolah gak sempat sarapan, di sekolah tidak mungkin membeli jajanan sekedar penganjal perutnya, dia tak pernah dibekali uang jajan. Sekarang dia harus membersihkan oma Betsy, itu berarti dia akan lanjut mengerjakan pekerjaan yang lain, semoga sempat mengisi perut.
"Siang oma..."
"Rilly... oma sudah bau sekali... oma sekalian mandi..."
"Iya oma... sabar sebentar ya, Rilly siapin air panas dulu..."
Rilly senyum untuk oma Betsy. Tanpa mengganti seragamnya, hanya meletakkan tas berisi buku di sebuah kursi di kamar oma Betsy, Rilly masuk ke kamar mandi, menyalakan saklar untuk menghidupkan water heater listrik dan menyiapkan semua kelengkapan mandi oma Betsy. Setelahnya dia membuka jendela dan menyibak gorden membiarkan udara berganti.
Untuk hal sederhana sekedar membuka jendela saja, penghuni rumah ini yang notabene anak-anak dan cucu si oma Betsy enggan melakukannya. Tadi pagi saat mau berangkat sekolah oma Betsy masih mengeluh kedinginan sehingga dia membiarkan jendela tetap tertutup.
"Oma mau pakai baju apa?"
Oma yang terbaring tak berdaya di tempat tidur menggerakkan kepala melihat Rilly yang tengah membuka lemari baju.
"Oma mau pakai daster bunga-bunga merah pemberian Isye..."
"Oma kangen tante Isye ya..."
Rilly bertanya sambil mencari baju yang dimaksud oma Betsy.
"Oma kangen Isye dan Irma..."
Oma Betsy menjawab dengan airmata yang mulai menggenang di pelupuk mata saat menyebutkan dua anak perempuannya yang tinggal di kota berbeda.
"Kalau begitu, Rilly carikan juga cardigan putih yang dikasih tante Irma... selesai oma mandi, makan dulu baru kita telpon tante Isye ya oma..."
Oma Betsy mulai menangis, tubuh tua renta tak berdaya itu berguncang. Fisiknya terbatas sekarang sejak terjatuh di kamar mandi, tulang panggulnya retak dan tak bisa pulih seperti sedia kala karena faktor usia. Dia pasrah hanya dirawat seorang anak SMA, bukan seorang perawat.
"Jangan nangis dong oma... nanti Rilly dimarahin tante Isye..."
"Iya... iya..."
Oma mengeringkan sendiri airmatanya. Setelah pakaian ganti oma Betsy siap, Rilly memgambil kursi roda. Pintu kamar mandi telah dibuat lebih lebar sehingga memudahkan oma Betsy ke kamar mandi dengan kursi roda, memudahkan juga buat Rilly untuk membersihkan si oma. Jam mandi oma Betsy hanya sekali sehari, itupun setelah Rilly pulang sekolah.
Dengan cekatan Rilly melakukan tugasnya, tidak ada kata jijik lagi karena hampir dua tahun melakoni ini. Tadinya oma Betsy diurus oleh perawat khusus, tapi kemudian Rilly yang diharuskan mengurus oma.
Rumah oma Betsy ini ditinggali tante Ineke, si anak bungsu oma Betsy. Tante Ine seorang PNS, suaminya membuka bengkel motor di jalan utama. Tante Ine dan Om Emil punya tiga orang anak, yang tertua kuliah di ibukota negara, dua lainnya ada di sini satu sekolah dengan Rilly tapi berbeda kelas. Ada anak tante Irma juga di sini, sudah menikah dan punya bisnis kafe di tepi pantai.
Di rumah besar ini Rilly hanyalah anak pungut oma Betsy, seorang anak yang dianggap membawa sial karena fisiknya.
Ada kebiasaan dan kepercayaan yang masih dipegang sekelompok orang di daerah ini, jika ada anak yang lahir kemudian sakit-sakitan, anak itu akan 'dibuang' atau dibesarkan oleh orang lain supaya anak itu bisa tumbuh sehat. Rilly sejak bayi sakit-sakitan, dan oma Betsy meminta untuk merawat dirinya. Tapi hanya oma Betsy yang memperlakukannya dengan baik, lainnya memperlakukan dia sebagai pembantu di rumah ini.
Dia sering bertemu orang tua kandungnya, tapi tak pernah sekalipun dia melihat sikap penerimaan atau pun sekadar pengakuan bahwa dia adalah salah satu anak mereka.
.
Brillianty Jeanetta Tendean...
Namanya indah sebenarnya, semoga ke depannya garis hidupnya bisa seindah namanya...
.
🌻
.
Hi....
Jika suka, seperti biasa aku minta dukungannya 😁🥰
.
"Siang oma..."
Brill menyapa oma saat memasuki rumah. Di meja makan Brill melihat banyak makanan.
"Siang..."
Oma menyambut dengan senyum, tangannya merangkul hangat cucunya saat Brill sudah di dekatnya. Sebuah ciuman oma berikan dengan menarik kepala Brill agar menunduk.
"Ada acara?"
Brill bertanya singkat.
"Ada pertemuan Lansia siang ini... eh eh... cuci tangan dulu..."
Brill yang tangannya hampir menggenggam sebuah kue khas daerah ini mengurungkan niatnya. Oma Susan mengangkat jari telunjuknya melewati dahinya, kebiasaan unik oma setiap melarang sesuatu.
"Oma pelit..."
"Bukan pelit, tangan harus bersih sebelum memegang makanan, kebiasaan jorok kamu tidak berubah..."
Brill menekukkan wajah lalu meninggalkan oma Susan. Oma memperhatikan langkah gontai salah satu cucu laki-lakinya, cucu yang paling dekat dengannya, oma merasakan sesuatu dari gestur itu, sambil berjalan wajahnya menunduk, itu sebuah pertanda telah terjadi sesuatu.
"Gak jadi makan kuenya? Masih panas dan lembut, kamu pasti suka..."
"Malas cuci tangan..."
Brill hanya berteriak tanpa menghentikan langkahnya semakin menjauh menuju kamarnya yang ada di salah satu bagian rumah besar ini. Rumah yang berbentuk unik, seperti empat rumah yang masing-masing ujungnya bertemu di tengah, jika di lihat dari atas seperti membentuk tanda plus, kata oma itu mewakili empat mata angin. Bagian poros tengah yang menjadi area luas dengan banyak bukaan, merupakan ruang makan sekaligus ruang tempat acara-acara keluarga diadakan.
Markus dan dua orang yang dikenali oma membawa masuk banyak barang.
"Apa ini Markus?"
"Peralatan musik nak Brill..."
"Kenapa dibawa ke sini?"
"Nak Brill yang minta..."
"Dia dimarahin maminya lagi?"
"Saya tidak tahu oma... tadinya ini sudah diletakkan di Aula Pemkab, tapi disuruh angkat oleh nak Brill untuk dibawa ke sini..."
"Maksudnya ditaroh di Aula untuk apa?"
"Sudah disumbangkan ibu buat kegiatan di Aula itu..."
"Disumbangkan? Kenapa diambil lagi?"
"Kata nak Brill itu miliknya...tidak ada yang bertanya padanya tentang itu..."
"Lalu bagaimana caranya kalian bisa mengambil lagi?"
"Nak Brill datang sendiri ke Aula dan minta ijin untuk mengambil ini semua... ini diletakkan di mana oma?"
"Di ruangan di ujung sana, Lurus aja... kamar kedua dari sini suka dipakai anak itu jadi studionya..."
Oma Susan mengambil hpnya sambil mengamati dua ART pria dari rumah dinas putrinya yang sudah kembali menuju mobil pick up, terlihat dari posisi oma Susan di atas mobil pick up masih banyak barang berupa speaker dan alat lain.
.
📱
"Mana Inggrid..."
"Maaf... Ibu tidak bisa diganggu, ada rapat penting..."
"Saya tidak peduli dengan semua rapatnya, berikan hp padanya atau saya yang ke kantor..."
.
Oma Susan berbicara dengan nada dingin dan berwibawa membuat sespri ibu bupati memberikan hp khusus keluarga dan orang dekat langsung kepada ibu terhormat itu. Dari gestur sesprinya, ibu bupati tahu bahwa si pemanggil bukanlah orang yang bisa ditolak oleh bawahannya itu.
Mimik bertanya ibu bupati langsung dijawab dengan bisikan...
"Dari oma Susan bu..."
.
"Mama, jangan mengangguku..."
Suara pelan ibu bupati menjawab telpon mama tersayang yang tidak bisa dia abaikan, sebesar apapun otoritasnya, kehendak oma Susan lebih berkuasa.
"Mama sudah berulangkali katakan padamu Inggrid, sesibuk-sibuknya dirimu, jangan abaikan perasaan anakmu... alat musik miliknya itu haknya, kenapa kamu tega menyumbangkannya..."
"Mama, dia mendekati ujian akhir, makanya aku suruh singkirkan alat musiknya... biar dia fokus belajar."
"Dia di sini dengan alat musik yang kamu telah sumbangkan itu, dan lagi-lagi kamu menyakiti hatinya... kapan kamu bisa belajar memahami anakmu sendiri?"
"Ma... nanti selesai semua agenda hari ini, aku ke rumah..."
"Tidak perlu ke sini, Brill akan tinggal di sini mulai hari ini, jangan paksa dia sekarang, mama tidak akan mendukungmu lagi kalau soal Brill..."
.
Oma Susan menutup panggilan dengan wajah marah. Oma Susan menuju dapur, memerintahkan sesuatu pada Nelie, ART yang bertugas memasak di rumah ini.
"Nel, masih ada daging di kulkas?"
"Masih ada..."
"Buatkan Daging Lapis kesukaan Brill..."
"Sekarang?"
"Iya sekarang, dia pasti belum makan..."
"Baik oma..."
Segera Nelie mengolah resep sederhana oma Susan, olahan daging yg dipukul-pukul biar lembut atau dicincang dan hanya dimasak dengan bawang putih dan telur.
Oma Susan masih gesit bila hanya mengitari rumah besarnya. Sejak suami meninggal, dia hanya ditemani para ART yang sudah puluhan tahun mengabdi padanya. Para ART yang menikah di tangannya dan hingga kini masih setia bekerja untuk oma Susan.
Oma Susan mengambil beberapa buah kue yang tadi batal diambil Brill, meletakkan di sebuah piring lalu menuju ke kamar Brill. Oma menatap prihatin saat menemukan anak lelaki itu tengkurap di tempat tidur tanpa mengganti baju seragam dan melepaskan sepatu sportnya.
"Brill... ini kuenya, makan dulu, nanti makan siang setelah daging lapis kesukaan kamu selesai dimasak..."
Brill diam tidak menjawab atau bergerak dari posisinya. Kepalanya masih terbenam di bantal empuk berwarna putih. Oma Susan membuka jendela yang menghadap ke taman samping itu. Angin panas dari arah pantai masuk ke dalam kamar itu. Oma Susan meraba kusen jendela serta furniture di dalam kamar itu dengan telunjuknya.
"Pindah ke kamar oma dulu, tiduran di sana... kamar ini perlu dibersihkan..."
"Mmh... nanti aja, oma..."
"Kenapa malas?"
"Kamarnya bersih... aku pengen tidur omaaa..."
"Ganti bajunya sama lepas sepatu..."
Brill segera melepaskan sepatu menggunakan tumitnya tanpa menggerakkan bagian tubuh yang lain.
"Seragamnya?"
"Omaaa..."
Brill merengek manja, tidak ingin posisinya yang sudak enak harus berganti, tidak mau juga keluar dari kamar ini, keadaan hatinya sedang tidak baik.
"Kuenya?"
Brill hanya mengangkat tangan sebentar, entah apa maksudnya.
"Ya sudah... oma bawa lagi kuenya ke luar di sini banyak debu... nanti oma kasih tahu kalau makan siangnya sudah siap..."
Tak ada sahutan, si oma meninggalkan kamar. Dia tidak pernah memaksa Brill melakukan sesuatu, mengerti bahwa cucunya ini memerlukan space untuk menyepi dari semua larangan dan aturan anak dan menantunya. Tingkah yang seperti ini selalu berulang, setiap kali ada masalah dia akan mengurung diri di kamarnya di rumah ini.
.
Sore hari Brill keluar dengan tubuh lemah karena melewatkan makan siang. Dia menuju meja makan, makan siangnya masih ada di meja tersimpan di bawah tudung saji. Brill kemudian menikmati makan dengan porsi double, makan siang yang terlambat dan makan malam yang lebih cepat karena perutnya langsung terasa lapar melihat lauk kesukaannya. Makanan kadang menjadi penghibur saat hati lara.
Oma masuk dari halaman.
"Lama-lama bisa sakit maag kalau pola makanmu seperti ini..."
Brill tak menjawab, hanya menoleh sejenak pada oma Susan dan tetap meneruskan makan.
"Di dalam ada Wandy dan Gio, sama Lefrand, katanya mau setting alat-alat."
Brill hanya mengangguk.
"Papi menelpon oma, hpmu tidak aktif..."
Brill tidak bereaksi tapi raut wajahnya mengeras, dia tahu dia pasti akan didamprat orang tuanya lagi. Mereka pasti marah besar dengan tindakannya hari ini, mengambil kembali alat musik yang sudah disumbangkan sang mami.
.
🎸
.
Hi semua... suka gak dengan Brill...
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!