Nama desa itu terdengar aneh. Desa Larangan. Apakah ada banyak larangan di desa itu? Entahlah. Aku tak peduli.
Yang terpenting kini kami sudah memiliki rumah sendiri. Tidak tinggal bersama dengan mertua galak yang selalu ingin ikut campur dalam urusan rumah tangga kami. Mengatur setiap apa yang aku lakukan. Rumah sudah serasa neraka saja. Hidup seperti itu, lama-lama bisa membuat otakku tidak sehat.
Segala hal diaturnya. Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Aku ini manusia. Punya perasaan. Bukan robot yang diprogram untuk memenuhi segala perintah dari majikannya.
Namun kegembiraanku langsung sirna tatkala melihat rumah yang akan kami tinggali. Sebenarnya aku sudah merasa janggal saat baru saja melewati pintu masuk ke desa ini.
Hawa dingin dan mencekam sontak membuat bulu kudukku meremang. Padahal hari masih siang, dan mentari sedang panas-panasnya.
"Mam, ayo turun." Suara Althaf, anak kami satu-satunya yang berusia 10 tahun membuyarkan lamunanku.
Dengan ogah-ogahan aku pun turun dari mobil.
"Mas!" panggilku mengejar mas Raihan, suamiku, yang sudah hampir mencapai pintu.
Dia menoleh.
"Ada apa, Dek?"
"Mas yakin beli rumah ini?" tanyaku heran.
Bagaimana tidak?
Kesan pertama ketika melihat rumah ini adalah angker. Bahkan jika dilihat dari kejauhan, maupun dari lubang sedotan juga akan tetap sama.
Rumah itu nampak tak terurus dengan bangunan yang seluruhnya terbuat dari kayu—meski tak menampik kenyataan bahwa itu bahan kayu dengan kualitas terbaik. Tamanan rambat tubuh subur di atas atap, dan lantai yang kotornya naudzubillah ....
Apakah bangunan ini pantas disebut rumah?
"Mau bagaimana lagi. Kamu yang minta cepat-cepat beli rumah. Ya, cuma rumah ini yang dijual dengan harga murah. Kamu tau keuangan Mas saat ini 'kan?" tutur Mas Raihan, membuatku melongo.
"Tapi gak kayak rumah hantu juga kali, Mas."
"Hus! Hati-hati kalau ngomong."
"Apa? Hantu?" Althaf tiba-tiba nongol dari belakang, sambil menyeret kopernya sendiri.
"Mama kamu tuh, kalau ngomong gak difilter dulu. Lagian mana ada hantu di siang bolong seperti ini." Suamiku menimpali.
"Yang ada, Mama tuh hantunya. Hihihi," seloroh Althaf. Mulai mengikuti arus.
"Bukan. Hantunya yang bakalan takut sama Mama kamu. Soalnya kalau lagi marah hantu pun kalah seremnya. Hahaha."
"Hahaha."
Tertawalah sepuas kalian. Gerutuku dalam hati.
Aku pergi meninggalkan pergunjingan ayah dan anak itu dengan wajah ditekuk.
"Ma, perginya jangan jauh-jauh, nanti tersesat!" teriakan mas Raihan aku abaikan begitu saja. Bodoh amat, aku kesal.
Pantas suamiku mendapat rumah dengan jangka waktu yang bisa dibilang cepat dan harga terjangkau. Lagian mana ada orang yang mau membeli tanah seperangkat dengan bangunannya yang berpenampilan angker seperti itu.
Melangkahkan kaki menuju jalan setapak di tengah perkampungan yang masih asing itu, berharap bertemu dengan penduduk asli sini untuk menanyakan perihal desa ini. Bahkan meski aku tinggal lama di daerah tak jauh dari sini, tak pernah sedikitpun kudengar tentang desa Larangan ini.
Atau mungkin letak desa ini tidak ada di google map? Lalu bagaimana caraku berbelanja online jika posisinya saja impossible? Kalau kurirnya nyasar gimana?
Ini kampung hantu atau apa sih? Kenapa sesiang ini seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan? Tak ada orang yang lalu lalang, bahkan keluar rumah pun tidak. Pintu-pintu tertutup rapat serempak.
Eh? Apa itu di depan? Sungai?
Ternyata jalan setapak ini menuntunku ke sebuah sungai dengan air yang terlihat jernih. Wah, kebetulan sekali. Meski hawa di sini sedikit mistis, namun tubuhku tetap butuh kesegaran alami.
Aku pun berniat untuk bermain-main air sebentar. Untuk mendinginkan hatiku yang sedang panas. Hasrat untuk mandi di sungai itu tiba-tiba muncul entah dari mana.
Tanpa menunggu lama, kulangkahkan kaki menuruni batu terjal yang akan menuntunku menuju bibir sungai.
Namun sebuah tepukan di pundak tiba-tiba mengagetkanku.
"Astaghfirullahal'adzim!" seruku sambil menoleh.
Ingin tahu siapa orang iseng yang tiba-tiba mengagetkan. Padahal aku yakin, tadi tidak ada orang lain di sini.
"Ya ampun, Nek. Ngagetin orang mau berenang aja!" protesku, melihat seorang wanita tua yang sudah berdiri di belakang.
"Nduk, jangan turun. Dilarang mandi di Sendang Wangi."
Aku mengamatinya sejenak sambil mengernyitkan dahi.
"Jangan banyak tanya. Sekarang kembalilah ke rumahmu," lanjut nenek itu seolah tahu tatapan penuh tanya yang aku layangkan padanya.
"B-baik, Nek."
Terpaksa aku mengiyakan. Sambil kembali menaikkan sebelah kakiku yang sudah terlanjur turun.
Setelah nenek tua itu pergi untuk melanjutkan perjalanannya, aku pun kembali ke niat awal.
Jujur saja, aku tak percaya dengan hal-hal berbau mistis. Aku ini tipe orang yang berpikiran rasional. Prinsipku manusia itu derajatnya lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk halus. Jadi kita tidak perlu takut dengan ancaman mereka.
Masa bodoh dengan larangan nenek tadi. Apa haknya melarang orang sembarangan. Tak tahu apa, aku sedang gerah?!
Ku tapaki batu terjal yang menurun itu dengan hati-hati. Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di bibir sungai.
Segera menanggalkan pakaianku satu per satu, kemudian memasukkan tubuh yang masih berbalut kain tipis di dua tempat sensitif itu ke dalam sungai.
Ah, segarnya ....
Belum pernah aku merasakan air sesegar ini. Biasanya air di tempat kami tinggal dulu cenderung hangat dan berbau karat.
Sungai ini pun berbau wangi. Seperti aroma berbagai macam bunga. Perasaanku saja, atau memang tubuhku terasa seperti melayang. Tubuh ini bagai kehilangan bobotnya. Yah, meski berat tubuhku tak seberat itu juga, sih.
Hampir saja aku tertidur karena suasana yang begitu tenang dan asri. Hingga teriakan yang sangat kukenal menggangu me time berhargaku.
"Mama ... !"
Ku lihat di atas sana Althaf sedang celingukan sambil memanggil-manggilku.
"Mama di sini, Nak!" Aku balas berteriak.
Namun, Althaf seperti tak mendengar. Padahal aku sudah mengeluarkan suara auman singaku. Terdengar suara Althaf yang terus memanggil membuatku risih juga.
Aku segera menyudahi pekerjaanku meski ada sedikit rasa tidak rela. Mengenakan pakaian yang kuletakkan di atas sebuah batu besar, lalu naik ke tempat anakku berada.
"Ada apa, Al?" tanyaku, sambil menepuk bahu Althaf dari belakang.
"Astaga!!" Althaf terlonjak.
"Mama?! Bikin kaget aja." Ia reflek memegangi dadanya sembari berbalik ke arahku.
"Kok kaget gitu? Gak lihat tadi Mama dari sana," sahutku, menunjuk ke arah sungai di bawah sana.
"Masa? Kok Al gak lihat, ya?"
Tampak anakku berpikir keras.
"Alah paling kamu gak lihat karena tertutup pohon. Yuk pulang."
Menggaet tangan Althaf yang masih berdiri mematung, lalu kami berjalan melewati jalan setapak untuk kembali. Namun ekspresi anehnya sedikit menggangguku.
"Kenapa, Al?"
"Eh, enggak, Ma. Tapi tadi Al yakin gak ada siapa-siapa di sungai. Al udah cek kok, bener-bener."
"Kamu mungkin kurang teliti, Al. Sudahlah. Sudah waktunya makan siang. Emang kamu gak laper?"
"Masa iya? Apa Al kurang teliti tadi? Mungkin efek laper juga. Hihi."
Althaf akhirnya mengangguk setuju. Kami pun menuju rumah semrawut itu. Semoga mas Raihan sudah selesai beberes. Biarin aku tidak ikut membantunya bersih-bersih dan menata rumah. Kalau kondisinya sekotor itu, jujur aku tidak sanggup.
Bibirku kembali melengkung saat melihat penampakan rumah itu dari kejauhan masih nampak sama seperti ketika aku datang tadi. Dengan langkah yang sedikit dipercepat, aku menghampirinya dan langsung masuk ke dalam rumah.
Althaf yang tangannya aku gandeng nampak terseok-seok mengikuti langkahku yang terlampau lebar.
"Mas?!"
"Salam dulu, kek, kalau masuk rumah," cibir mas Raihan yang sedang duduk santai di ruang tamu. Peluh bercucuran dari dahinya. Pasti baru selesai bersih-bersih. Kasihan juga sih.
"Assalamu'alaikum... !" seru Althaf dengan suara menggelegarnya yang membuat telingaku sedikit berdengung.
"Wa'alaikumussalam ... " jawab mas Raihan menahan senyum.
Aku menyapu setiap sudut rumah itu dengan mata nyalang. Hmm, lumayan juga. Tidak terlalu buruk. Meski dindingnya terbuat dari kayu, tapi ini terlihat rapi. Sungguh berbeda ketika aku melihat bangunan dari luar. Benar sekali istilah jangan lihat rumah dari luarnya. Hehe.
Hanya sedikit aura aneh yang aku rasakan saat memasukinya tadi. Tapi aku anggap itu hal biasa. Namanya juga kesan pertama.
"Bagaimana?" tanya mas Raihan dengan senyuman puas terukir di wajahnya yang tampan.
"Lumayan."
"Ha? Cuma lumayan? Mas yang bersih-bersih sampai kembang kempis lho ini."
"Hehe. Makan, yuk, Mas? Lauk yang tadi kita bawa dari rumah mana?"
"Ada di dapur."
Aku langsung saja mencari dimana letak dapurnya. Setelah berenang, cacing-cacing di perut ini tak bisa di ajak kompromi lagi.
"Kyaaaa!" pekikku saat baru saja sampai di dapur.
Dua langkah kaki langsung menghampiri ke arahku.
"Ada apa, Ma?"
"I-itu ... A-ada kepala ... " balasku yang sudah menangkup wajah dengan kedua tangan, sambil mengatur jantung yang hampir saja lompat dari posisinya.
"Kepala?" Althaf ikut nimbrung.
"Mama ni kalo bercanda yang bagus dikit, kek. Pastilah ada kepala. Orang lauk kita aja ikan tongkol. Maksud Mama kepala ikan 'kan?" Tuduhan suami yang mengira aku bercanda membuatku geram.
"Kalo gak percaya, cek sendiri aja, Pa. Orang serius dibilang bercanda."
"Terus dimana kepalanya? Di kotak makan?" Suamiku terus saja mengolok-olok.
"Di dekat tas itu lho. Masa gak lihat, sih? Orang jelas gitu. Hii ... Mama gak berani lihat."
Suami dan anakku masuk ke dapur lalu mengecek setiap sudutnya. Aku yang masih syok berdiri di ambang pintu dengan membelakangi mereka.
"Mana, Ma? Mama salah lihat kali."
Suara mas Raihan membuatku berbalik. Aneh juga, tadi letaknya ada di dekat barang bawaan. Kepala anak kecil dengan mata melotot menatap kearahku. Membayangkannya saja aku tak sanggup.
"Loh? Mana?" tanyaku heran, saat sudah berbalik dan melihat ke tempat kepala itu berada.
"Mama halu kali. Atau kurang teliti." Althaf menirukan ucapanku padanya tadi.
Aku mencebik. Lalu segera menyiapkan makanan dibantu dengan mas Raihan. Cobaan apa lagi ini, Tuhan? Apa ini bentuk perkenalan penghuni lain di rumah ini?
Malam ini kami kedatangan tamu. Dua orang pria yang berbeda usia. Katanya sih pak Kades dan anaknya. Saat aku bertegur sapa sembari menaruh suguhan di meja, salah satu dari mereka terus memandangi hingga membuatku risih sendiri.
Apa ada yang salah dengan wajah atau penampilanku?
Yang kutahu dia anak dari pak Kades bernama Bryan. Aku pun memilih undur diri. Lebih baik menemani Althaf yang sedang belajar di kamar, daripada tidak nyaman dengan pandangan intimidasinya.
Ceklek.
Saat baru membuka pintu, kulihat Althaf yang terus memandang ke luar jendela.
"Ngapain, Al? Gak belajar?"
Althaf mengacuhkan panggilanku. Ia nampak tak bergeming sama sekali. Apa yang dia lihat di luar sana?
Aku mendekatinya. Ikut berdiri di depan jendela, lalu mengarahkan pandangan sesuai dengan arah pandang Althaf.
"A-apa itu?!" gumamku terkejut.
Bagaimana bisa? Kenapa aku tak menyadarinya dari tadi?
Tapi kalau tidak memastikannya sendiri aku tidak akan tahu apakah benda itu sesuai apa yang ada dalam pikiranku. Karena penerangan di luar yang minim membuatku tidak bisa melihat dengan jelas benda itu.
"Al?" Aku memegang pundak Althaf. Membuatnya terperanjat dengan wajah yang sudah pucat dan keringat muncul dari dahinya.
"Mama?! Sejak kapan Mama ada di sini?" tanyanya membuatku heran.
Apakah matanya mulai rabun? Ini sudah ke dua kalinya dia seperti tidak melihat kehadiranku. Semoga ini hanya perasaanku saja. Berusaha menepis pikiran buruk yang kini berkecamuk dalam benak.
"Kamu ini kenapa? Tadi Mama panggil gak nyaut. Sekarang Mama di sini malah kaget," omelku.
"T-tapi, aku ada denger Mama manggil, kok. Suwer." Althaf menunjukkan dua jarinya.
"A-apa?"
Aku yakin Althaf tidak bohong. Ekspresinya terlihat serius. Apa yang terjadi sebenarnya dengan anakku?
"Ma?"
"I-iya?" sahutku sedikit tergagap karena aku sedikit melamun tadi.
"Jangan melamun malam-malam dong, Ma. Jam segini kok udah sepi, ya? Al takut gak punya temen main."
Althaf memang anaknya aktif. Jarang bisa berdiam diri di rumah.
"Besok pasti rame, kok. Mungkin lagi pada belajar aja. Makanya sepi."
"Hmm, gitu, ya?"
"Al?"
"Apa, Ma?"
"Kamu bener, tadi gak denger Mama panggil? Mama masuk ke kamar pun, Al gak tahu?"
"Enggak, Ma. Makanya Al kaget kok tiba-tiba Mama udah di sini aja."
Lama-lama kepalaku pening mengingat kejadian demi kejadian aneh hari ini.
Atensiku teralih pada dua siluet sedang berjalan di luar dari jendela. Ah, pak Kades dan anaknya sudah pulang. Waktunya menemui mas Raihan. Ada hal yang ingin aku tanyakan.
"Mas?" Aku mendudukkan diri di samping mas Raihan.
"Pak Kades tadi ngapain?" tanyaku yang sedikit melenceng dari niat awal. Lagipula aku juga penasaran dengan kedatangan mereka.
"Cuma nyuruh kita buat ngurus surat pindah biar bisa bisa cepet didata. Sama ngasih tahu beberapa aturan dan larangan di desa ini. Terus soal—"
"Apa? Belum apa-apa udah main atur-atur aja. Desa ini aneh tau, Mas. Apa lagi rumah ini. Masa mphh—"
Mas Raihan tiba-tiba menempelkan telunjuknya di bibirku.
"Dengerin dulu Mas ngomong. Jangan main potong aja."
"Maaf," kataku sambil nyengir. "Terus?"
"Peraturan di desa ini gak banyak, kok. Kita cuma harus menghargai adat dan istiadat desa ini saja. Jangan banyak tanya tentang beberapa larangan. Cukup mematuhinya saja. Intinya kita harus menjaga sopan santun dimana pun kita tinggal. Lalu tentang makam di samping rumah kita .... "
Nah, itu dia yang mau aku tanyakan dari tadi. Makam di samping kamar Althaf tadi sangat menggangguku.
"Mas? Gak bisa ya, makam itu kita pindahin aja? Kan ini tanah udah kita beli. Kita harus hubungi pihak keluarga biar mindahin makam itu," usulku.
"Gak boleh, Dek. Itu salah satu larangan di desa ini. Jangan mengusik makam itu."
"Makam siapa, sih itu? Merepotkan saja."
"Hus. Jangan bicara sembarangan. Udah turutin aja. Toh, kita masih baru di sini."
"Tau ah. Aku lelah."
Kutinggalkan mas Raihan seorang diri di ruang tamu. Biarlah dia yang membereskan gelas-gelas kosong bekas tamu tadi. Kepalaku jadi semakin pusing saja. Berniat keluar dari kandang singa, eh, malah masuk ke kandang harimau.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!