NovelToon NovelToon

Single Parent Tapi Perawan

Kegiatan Rutin

"Fir, ayo sayang cepat sarapannya, nanti Mimi telat." Wanita berambut sebahu itu sedang mengejar seorang anak kecil berusia 3 tahun, sambil membawa mangkuk berisi bubur.

"Ayo kejal Fil, Mimi." Anak lelaki dengan kulit putih itu terus berlari di taman belakang.

"Fir, awas nanti kamu jatuh!" teriak wanita berambut sebahu itu, saat melihat sang putra berlari tanpa melihat ke depan.

"Ayo, Mimi kejal Fil!" Tanpa anak kecil itu duga tubuhnya menabrak sesuatu hingga anak lelaki bernama Firdaus itu mengaduh.

"Aduh!"

"Makanya kalau Mimi bilang makan dulu, makan jangan lari-larian!" ucap wanita paruh baya yang kini menggendong tubuh kecil Firdaus.

"Ah, Oma nggak selu," rajuk Fir sambil melipat kedua tangannya. Sementara itu sang oma dan Mimi hanya tergelak melihat raut wajah Firdaus yang terlihat lucu.

Setelah banyak drama setiap pagi, akhirnya Fimi pun berangkat kerja ke butiknya. Sementara itu, Firdaus pergi ke sekolahnya di kelompok bermain Ar-Riadhah bersama sang oma.

Fimi adalah designer muda yang merintis usahanya dengan sang kakak. Namun, karena suatu hal gadis itu juga akhirnya menjadi single parent untuk sang putra.

Di dalam ruangan yang tak terlalu besar, Fimi sedang berkutat dengan kertas dan pensilnya. Wanita itu sedang merancang sebuah gaun untuk sebuah pesta pernikahan.

Saat wanita itu sedang fokus dengan gambarnya, tiba-tiba seorang wanita yang sebaya dengannya masuk dan menghampirinya.

"Fi, nih ada pesanan baru dari perusahaan baru juga?" 

"Simpan saja dulu, Nes di sana!" Fimi menunjuk meja lain, tanpa melihat ke arah wanita yang disebut Nesa itu.

"Oke." Nesa berjalan ke arah lain untuk menyimpan sebuah map berwarna biru.

Kemudian, wanita itu kembali menghampiri Fimi dan duduk di kursi yang tersedia di sana.

"Hei, lo beneran nggak mau nerima Heru lagi. Ini gue ngomong sebagai temen lo ya, Fi. Bukan asisten lo," papar gadis berambut panjang itu. 

"Stop ngobrolin dia, Nes. Gue nggak mau." Fimi menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.

"Lo ngapain sih ganggu kerjaan gue, emang udah nggak butuh kerjaan?" lanjut Fimi dengan nada mengancam.

"Ish, jangan gitulah, gue masih butuh buat makan, buat ke salon, buat jajan, buat ngasih adik gue juga." Nesa menjawab panjang lebar.

"Ya udah sana kerja!" sela Fimi yang kembali mencoret-coret gambarnya.

"Dih, lo lagi kesel ke siapa? Marahnya ke gue. Gue ke sini mau ngasih kerjaan ya, Fimi Klarisa." Nesa kemudian mengambil map biru tadi dari meja lain.

"Nih, lihat dulu!" Nesa memberikan map biru itu pada Fimi.

Akhirnya, Fimi pun mengambil map itu dan melihat sebuah nama perusahaan yang baru. "Pramudya Group, ini perusahaan besar lo, Nes." Fimi berubah antusias saat membaca nama perusahaan itu.

"Nah, kan?"

Fimi kemudian membaca isinya dengan serius. Ternyata perusahaan itu membutuhkan beberapa pakaian untuk acara tahunan perusahaan.

"Kita punya proyek baru, Nes." Wanita cantik itu berdiri dan berjingkrak.

"Kamu kirim email ke perusahaan Pramudya bahwa kita menerima tawaran mereka, kamu juga jangan lupa beri beberapa contoh baju punya kita," ucap Fimi pada Nesa.

"Oke."

Setelah itu keduanya kembali sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.

Di Pramudya Group

"Apa kamu sudah menemui butik Klarisa itu, Ris?" tanya pria berjas hitam itu sambil tetap fokus pada layar datar di depannya.

"Sudah, Pak. Nanti mereka akan mengirim email untuk contoh baju yang akan digunakan untuk acara tahunan perusahaan," jawab pria tinggi dengan na lengkap Haris itu.

Dia adalah asisten pribadi Davanka Pramudya. Pria itu sudah mengganti asistennya dengan laki-laki sejak penghianatan yang dilakukan oleh Azrina, sekretarisnya dulu.

"Baguslah, kamu urus saja semuanya." Davanka pun kembali pad pekerjaannya dan menyuruh asistennya itu untuk untuk kembali bekerja.

Pria tampan itu, sekarang menjadi seorang yang gila kerja setelah pernikahan sang abang dengan mantan kekasihnya. Semuanya berubah, apalagi saat ini sang abang sudah dikaruniai dua malaikat kecil, laki-laki dan perempuan.

"Kamu kapan nikah, Dav?" Pertanyaan itu seringkali terngiang jika pria itu sedang sendirian seperti sekarang ini. Sang mami yang selalu bertanya mengenai hal itu. Karena setelah Kavindra menikah, Davanka tidak pernah membawa seorang perempuan ke rumahnya.

"Aku akan menikah jika hatiku bergetar seperti saat melihat Arisha dulu. Aku nggak mau salah lagi memilih calon istri." Davanka bertekad dalam hatinya.

Namun, bukan berarti Davanka masih berharap pada kakak iparnya, tetapi kakak ipar sekaligus mantan kekasihnya itu adalah wanita yang menurutnya paling istimewa dari yang lainnya. Hanya saja dulu dirinya terlalu egois hingga merasa bangga dengan banyak wanita yang hadir dalam hidupnya, sampai akhirnya wanita yang benar-benar tulus malah ia tinggalkan.

"Permisi, Pak!" Tiba-tiba Haris kembali dan membawa satu map di tangannya.

"Iya, ada apa lagi, Ris?" Davanka menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.

"Ini beberapa contoh baju yang dikirimkan butik Klarisa, Pak." Haris menyodorkan map di tangannya.

Davanka pun mulai melihat setiap lembar model baju yang terpampang di sana. Semuanya terlihat unik dan berbeda. Davanka bahkan menarik satu unjung bibirnya membentuk lengkungan.

"Unik," pikirnya.

"Kita akan menggunakan semua model ini, kecuali yang dua ini, ini sudah pasaran dan biasa." Davanka menunjuk pada dua lembar gambar baju laki-laki dan perempuan yang terlihat sudah banyak dipakai orang banyak.

"Baik, Pak. Oh iya, apa Pak Dava mau menemui pemilik butiknya nanti? Katanya sih masih muda dan cantik," goda Haris yang malah terkena lemparan pulpen dari sang atasan.

"Baiklah, biar saya saja, Pak." Haris pun pamit undur diri sambil menahan tawanya.

Haris seringkali menggoda sang bos, karena selama pria itu bekerja sebagai asistennya, belum pernah sekalipun atasannya itu membawa seorang wanita. Haris bahkan pernah menganggap bahwa sang bos memiliki kelainan. Namun, setelah pria jangkung bertanya pada pegawai yang lama, akhirnya ia pun tahu alasannya kenapa.

Sementara itu di tempat lain, terlihat seorang wanita yang mengikat rambutnya dengan rapi, sedang membereskan rumahnya yang tampak berantakan. Sesekali wanita itu tersenyum saat melihat beberapa mainan anak kecil berserakan di setiap sudut rumahnya.

"Ale sama Aksa memang aktif, tiap hari rumah tak pernah beres." Wanita cantik itu bergumam sambil terus membereskan semuanya.

"Non Riri, bia Bi Sumi aja yang beresin, Non istirahat saja," teriak wanita paruh baya berbaju biru itu sambil menghampiri majikannya.

"Sudah, Bi nggak apa-apa ini cuma ngeberesin mainan anak-anak aja." Wanita bernama Riri itu menolak secara halus.

Kedua wanita berbeda usia itu pun akhirnya membagi tugas mereka. Riri adalah istri dari Kavindra Pramudya, kakak dari davanka Pramudya.

"Assalamualaikum."

Bersambung...

Happy reading 

Hai semua ada yang kangen akoh kah? Aku kembali dengan cerita baru lo, lebih tepatnya spin off dari Batal Calon Kakak Ipar ya guys. Jangan lupa tap love nya ya, gerakin jempol doang kok kaya biasa buat like, komen, vote di setiap babnya ya bestie.

Butik Klarisa

"Assalamu'alaikum." Terdengar suara bariton dari arah pintu rumah Riri. Wanita yang sedang sibuk membereskan mainan kedua putra-putrinya itu pun beranjak dan menuju ke depan.

Saat wanita yang masih tetap cantik itu membuka benda di depannya, terlihat adik iparnya berdiri di sana. 

"Kaivan? Tumben sendirian mana papi sama mami?" tanya Riri sambil melongokkan kepalanya ke arah lain.

"Ish, nggak ada, Kak. Ini aku disuruh Bang Kavin buat ngasihin ini." Pria tinggi itu memberikan paper bag ke arah sang kakak lalu masuk ke dalam dan duduk di sofa. Tertera nama 'Butik Klarisa' di paper bagnya.

"Oh, iya makasih ya, ini pesenan baju Sera, besok dia main ke sini. Gimana kerja kamu oke, kan?" Riri menjelaskan dan bertanya tentang status baru adik iparnya yang sudah bekerja di perusahaan sang papi.

"Enakan kerja sama Bang Kavin, Kak. Banyak ketawanya, kerja di perusahan papi main laptop mulu pusing aku," jawab pria jangkung itu yang menutupi wajahnya dengan bantal sofa.

"Ish, kerja di mana saja sama, Kai. Oh iya,kenapa masih pagi udah ke sini?" Riri sepertinya baru menyadari bahwa sekarang adalah jam kerja.

"Iya, aku izin tadi sama Bang Dava, mau ke tempat Bang Kavin dulu, eh malah disuruh ke ngambil baju," jawab Kaivan dengan posisi yang sama.

"Ya udah nggak apa-apa deh, bagus jadi Kakak nggak usah ke butik." Riri terkekeh geli melihat adik iparnya yang kini sudah terlihat dewasa.

"Oh iya, Ale sama Aksa masih di sekolah ya?" Kaivan menyimpan bantal sofa di wajahnya ke tempatnya, lalu membenarkan posisi duduknya menjadi tegak.

"Iya, kenapa?" Riri menoleh sambil membereskan meja.

"Nanti biar aku yang jemput, ya. Sekarang aku mau minta makanan dulu deh, Kak Riri pasti udah masak, kan?"

"Udah dong sana gih ke dapur, tanya ke Bi Sumi, biar dia sekalian nyiapin. Kakak mau beresin ini dulu." Riri berucap tanpa menoleh ke arah adik iparnya.

Akhirnya, Kaivan pun beranjak dari duduknya menuju dapur. Pria itu memang sudah biasa jika mampir ke rumah sang kakak, pasti langsung meminta jatah makan atau pun hanya sekedar ngemil.

Pria itu baru kembali setelah satu jam berada di rumah sang kakak.

Beberapa hari kemudian, Fimi terlihat sibuk merancang beberapa baju untuk kantor Pramudya. Butik itu dibangun bersama sang kakak. Namun, baru saja berdiri sekitar satu tahun, sang kakak pergi untuk selama-lamanya. Jadi Fimi pun merintis sendiri butik itu dan memberi nama Klarisa, nama panjangnya yang dibuat oleh sang kakak.

"Nes, kamu tolong pesankan makan siang ya," ucap Fimi pada asistennya yang juga sahabatnya.

"Oke, kamu mau makan apa hari ini, Bos?" jawab Nesa sambil meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku karena seharian membantu membuat rancangan dan tentu saja duduk di kursi selama berjam-jam.

"Yang biasa saja," jawab Fimi tanpa menoleh.

"Nasi padang deh ya, jangan makan mie ayam mulu, Fi. Aku lagi pengen nasi padang pakai rendang ini," saran Nesa.

"Iya udah apa saja yang penting makan, jangan lupa sambelnya banyakin ya," titah Fimi.

"Oke." Nesa pun berlalu dari ruangan itu. 

Kini tinggal Fimi sendirian masih berkutat dengan tabnya. Wanita itu, benar-benar mencintai pekerjaannya. Apalagi saat ini, ia memiliki tanggung jawab penuh kepada putra kecilnya, Firdaus Iskandar.

"Andai kakak masih ada, aku nggak akan mungkin menjadi seperti ini, aku pasti masih manja," gumamnya sambil melihat sebuah foto wanita yang duduk di sofa bersama dirinya.

"Makasih untuk semuanya, kak. Aku sayang kakak." Wanita itu mencium foto tadi.

Tak berselang lama, Nesa sudah kembali dengan dua piring di tangannya.

"Makan dulu, Fi. Biar kuat ngadepin kenyataan," ucapnya dengan raut wajah yang lucu. Hal ini sukses membuat Fimi melempar bantal sofa ke arah Nesa.

"Ish, bener kali, untung piringnya nggak jatuh," omelnya sambil menyiapkan makan siang mereka di meja.

Fimi pun menghampiri sahabatnya dan duduk di sofa. Wanita cantik yang mencepol rambutnya itu mulai menyuapkan makanannya.

"Eh, udah lama nggak ajak Fir ke sini, gue kangen banget tuh sama bocah bawel itu," tanya Nesa di sela makannya.

"Ssstt." Fimi hanya menempelkan satu telunjuknya di bibir.

Wanita itu tidak suka jika makan sambil mengobrol, ia selalu berkata habiskan dulu makannya lalu kita bisa berbincang sepuasnya. Selain etika juga, karena Fimi merasa makan itu harus dinikmati dan juga tidak membuat kegiatan itu menjadi lama, sehingga kita tidak membuang-buang waktu.

Nesa hanya mengangguk, wanita itu lupa kebiasaan atasannya. Memang benar, kebiasaan itu membuat Fimi tak pernah menyia-nyiakan waktu hanya untuk makan. Jika makannya telah selesai, mereka akan berbincang sebentar lalu kembali bekerja. Sehingga butiknya maju pesat.

Sekitar lima belas menit, keduanya sudah menyelesaikan makan siangnya. Keduanya terlihat masih duduk di tempat yang sama.

"Gimana kabar Fir? Gue kangen tahu sama tuh bocah," tanya Nesa tak sabar.

"Alhamdulillah, dia baik, sehat dan makin aktif. Gue juga udah lama nggak jemput dia, nanti lusa lah sambil week end." Fimi menjawab sambil menyandarkan tubuhnya pada sofa.

"Gue ikut ya," ucap Nesa antusias.

"Oke, tapi beresin dulu semua kerjaan kita oke!" Fimi membentuk huruf O dengan kedua jarinya.

Keduanya kembali sibuk dengan pekerjaan mereka. 

"Eh, Nes ini kita buat baju itu buat semua karyawannya?" Fimi baru bertanya setelah satu rancangannya selesai.

"Katanya sih iya, tapi kok baik banget ya bikinin buat karyawan sebanyak itu," jawab Nesa.

"Mungkin hadiah karena mereka bekerja keras untuk perusahaan," imbuhnya. Fimi hanya menganggukkan kepalanya.

"Oh, iya pesanan Bu Arisha udah ada yang ambil beberapa hari lalu." Nesa mengingat sesuatu.

"Oh iya, baguslah, mudah-mudahan selalu suka. Anak kembar beliau kan satu sekolah sama Fir." Fimi mengingat pertemuan pertama dengan Arisha di sekolah. Wanita anggun dan juga ramah.

"Iya gue tahu, anak kembar cowok sama cewek, kan. Gue kalau nikah pengen juga punya anak kembar gitu, seru kali ya," ucap Nesa sambil melihat ke arah jendela.

"Halu, nyari pacar dulu sana!" Fimi mengibaskan tangannya di depan wajah Nesa.

"Bukan halu gue berdoa ya, Fi." Nesa menepis tangan Fimi.

"Kalau gue sedikasihnya deh, mana ada yang mau sama single parent kaya gue," ucap Fimi pasrah.

"Jangan gitu, lo tahu nggak single parent tuh pesonanya lebih kenceng dari anak perawan, apalagi istri orang beuh!" Sebuah bantal pun melayang tepat di wajah Nesa.

"Ish, Fi beneran tahu," omel Nesa.

"Nggak."

"Emang lo nikah umur berapa sih? Terus bapaknya Fir ke mana?" Nesa akhirnya bertanya tentang sisi pribadi sahabatnya itu yang sejak dulu ia pendam.

"Gue ... papa Fir meninggal saat Fir berusia 1 tahun ...." Fimi tak melanjutkan ucapannya saat tiba-tiba ponselnya berdering.

"Iya, apa?"

Bersambung...

Happy Reading 😊

Makasih yang udah mampir, tap love, like, komen, vote sama hadiahnya aku suka. Tetep gerakin jempolnya ya biar aku semangat nulisnya. Makasih.

Insiden

Kober Ar-Riadhah sedang mengadakan acara mengenal alam. Firdaus, Aleena, Aksa mereka teman satu kelas. Ketiganya bermain bersama dan cukup akrab. Namun, entah mengapa hari ini Aksa dan Fir tiba-tiba berebut mainan selama mereka berada di luar kelas.

"Ini punya aku, Asa. Kamu nggak boleh lebut ini dali aku." Fir menarik sebuah benda berbentuk balok itu dari tangan Aksa.

"Ini aku duluan yang ambil, Fir." Aksa tak mau kalah hingga keduanya saling dorong.

Tentu saja hal itu menarik perhatian yang lainnya yang sedang mendengarkan penjelasan gurunya. Bu Mira yang saat itu sedang menjelaskan tentang alam, akhirnya berhenti dan menghampiri kedua anak itu.

"Kalian kenapa? Biasanya kalian tidak seperti ini, ayo saling memaafkan!" Bu Mira menarik kedua anak kecil itu di samping kiri dan kanannya.

Namun, sepertinya kedua anak itu masih enggan untuk saling memaafkan. Bu Mira tidak tinggal diam, wanita yang ditaksir berusia dua puluh delapan tahun itu pun, mulai melakukan sesuatu.

"Anak hebat itu saling memaafkan," ucap Bu Mira dengan menarik kedua tangan Aksa dan Firdaus untuk bersalaman.

Kedua anak itu pun akhirnya bersalaman setelah mendengar ucapan sang guru. Sambil tersenyum ceria keduanya saling bermaafan.

"Fil, minta maaf ya, Asa." Anak lelaki itu berucap sambil tersenyum.

"Iya, Fir, Aksa juga minta maaf ya," jawab anak bernama Aksa yang tak lain putra dari Kavindra Pramudya.

Setelah itu keduanya kembali bersama dan mengikuti arahan sang guru untuk mengikuti pelajaran mengenai alam. Suasana masih ceria seperti biasa sampai sebuah teriakan terdengar dari arah belakang.

"Awas!"

Hal ini sontak membuat yang lain menoleh ke arah suara. Ternyata itu suara Aksa, anak kecil itu melihat Fir berlari dan akhirnya terjatuh karena karena kakinya tersandung sebuah batu.

"Fir, kamu nggak apa-apa, kan?" Aksa berlari ke arah Fir yang kini sudah duduk dan memegangi lututnya yang berdarah.

"Fil, nggak apa-apa, Asa, ta-tapi lutut Fil atit, hiks … hiks …." Anak kecil itu pun akhirnya menangis. Tentu saja Bu Mira dan guru lain langsung menghampiri keduanya, bahkan anak-anak yang lain juga ikut mengelilingi Dir dan Aksa.

"Astagfirullah, Fir." Bu Lena langsung menggendong tubuh mungil Fir, untuk dibawa ke UKS. Anak dengan kulit putih itu, terus menangis.

Setelah sampai di UKS, Fir langsung dibaringkan di sebuah ranjang yang ada di sana. Seseorang dengan jas putih, langsung menghampirinya.

"Ini kenapa?" tanyanya saat melihat darah di lutut anak kecil itu cukup banyak.

"Tadi dia terjatuh karena tersandung batu," jawab Bu Lena.

Sementara itu, Bu Mira menghubungi orangtua Fir.

"Assalamu'alaikum ... maaf Bu Fimi Fir tadi terjatuh saat sedang belajar mengenal alam. Kami minta maaf, saat ini putra ibu sedang di UKS."

Di Butik Klarisa

Fimi baru saja menerima panggilan telepon.

"Waalaikumusalam, apa? Bagaimana keadaan Fir saat ini? Baiklah aku akan ke sana." Fimi beranjak dari duduknya dan menutup sambungan telepon itu.

"Nes, titip butik, aku harus ke sekolah Fir sekarang," ucap Fimi sambil membawa kunci mobil dan tasnya.

"Eh, sebentar kenapa dengan Fir? Gue boleh ikut, kan?" tanya Nesa saat melihat kekhawatiran di wajah Fimi.

"Nggak usah, kamu jaga butik saja, hari ini akan ada yang bawa baju pesanan." Fimi langsung pergi tanpa menoleh ke arah Nesa yang kembali memanggilnya.

Saat ini, wanita cantik itu sudah berada dalam mobilnya, wajahnya masih menyiratkan kekhawatiran. "Kamu akan baik-baik saja, sayang," gumamnya sambil terus melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi.

Saat di pertengahan jalan, tiba-tiba sebuah mobil hitam menyalipnya, hingga membuat Fimi mendadak mengerem mobilnya. Apalagi mobil hitam itu juga malah menghadang mobilnya. Dengan wajah kesal, Fimi keluar dari mobilnya dan menghampiri mobil hitam itu.

"Hei, bisa nyetir nggak sih lo!" bentaknya sambil mengetuk jendela mobil itu. Namun, sepertinya pengemudi itu tak mendengarnya, hingga Fimi harus kembali mengetuk jendela itu. Tak berselang lama, seseorang membuka jendelanya, dan tampaklah seorang pria dengan penampilan acak-acakan.

"Heh, kalau baru bangun jangan nyetir di jalan raya, ya Tuan. Anda bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain juga," omel Fimi dengan melipat kedua tangannya.

Pria itu, hanya menatap Fimi. Namun, tak berapa lama ia keluar dari mobilnya.

"Maafkan saya, tadi saat menyetir hilang kendali, untung saja tidak sampai kecelakaan, karena saya langsung menabrakkannya ke trotoar," ucap pria tinggi itu.

Fimi hanya menatap jengah ke arah pria yang benar-benar berantakan itu. "Apa dia itu baru bangun, tapi kenapa masih memakai jas? Ah aku nggak peduli," gumamnya dalam hati.

"Kalau aku sedang tidak buru-buru, aku akan membuat perhitungan denganmu, Tuan." Fimi langsung kembali ke mobilnya dan mulai melajukan kembali mobilnya menuju sekolah sang putra.

"****!" Pria berantakan itu memukul mobilnya. "Ini pasti perbuatan Azrina, kamu benar-benar belum puas ya balas dendam ke aku?" umpat pria itu yang tak lain adalah Davanka.

Sementara itu, Fimi baru saja sampai ke sekolah Fir. Wanita itu setengah berlari untuk sampai ke ruang UKS. Wanita itu ingin segera menemui sang putra. Tak berselang lama, Fimi bertemu dengan Bu Mira guru Firdaus. 

"Bu Fimi, mari ikut saya!" ajak wanita berhijab itu.

Fimi hanya mengangguk dan mengikuti sang guru menuju ruang UKS. Saat mereka sampai, Fimi melihat sang putra sedang duduk bersandar pada kepala ranjang, dengan lutut yang sudah diperban.

"Fir, kamu nggak apa-apa kan, Sayang?" Fimi menghambur ke arah sang putra lalu memeluknya dengan erat.

"Fil, jatuh Mimi, jadi kaki Fil berdalah," ucap anak kecil itu dengan gaya cadelnya.

"Kenapa bisa jatuh, Sayang? Fir lari-larian lagi ya?" tebak Fimi yang sudah tahu bagaimana kebiasaan sang putra yang memang aktif.

Fir hanya mengangguk dengan mata bening itu yang kini kembali berkaca-kaca. Namun, Fimi tetap memeluk tubuh mungil itu.

"Maafkan Fil, Mimi. Fil tidak akan mengulanginya lagi," ucapnya.

"Iya, Sayang. Lain kali dengarkan kata Bu Guru ya, Fir nggak boleh membantah kepada Bu Guru."

"Iya, Mimi. Maafkan Fil ya Bu Gulu, hali ini Fil bandel," ucap Fir sambil menoleh ke arah sang guru yang berdiri di samping ranjangnya.

"Iya, Sayang. Fir kan anak hebat, anak kuat nanti kakinya pasti sembuh lagi ya, Nak." Bu Lena mengusap kepala Fir dengan sayang.

"Maafkan Fir hari ini ya, Bu. Maaf sudah merepotkan ibu-ibu semua," ucap Fimi.

Tiba-tiba saja wanita berjas putih menghampiri Fimi dan memberitahukan bahwa lukanya tadi cukup dalam, sehingga membuat darahnya keluar banyak, tapi semuanya baik-baik saja. Setelah itu, wanita bernama Silvi itu memberikan bungkusan berisi obat untuk Fir.

"Semoga lekas sembuh ya, Anak ganteng," ucap dokter Silvi sambil mencubit pelan pipi Fir yang memang menggemaskan.

"Timamakasih, Bu doktel," jawab Fir.

"Terima kasih, Fir," sela Fimi.

"Timamakasih, Mimi," ucap Fir kekeh.

Bersambung...

Happy Reading

Timamakasih buat kalian yang udah tap love, komen, like, hadiah sama votenya juga aku terhura.

Readers : Terima kasih thor, heleh!🙄

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!