NovelToon NovelToon

Dinikahi Berondong Saleh

Bab 1

"Nikahi dia."

Sontak Zaidan diam mendengar permintaan sang Abah.

Hatinya sangat getir tapi mulutnya tidak sanggup menolak permintaan lelaki yang tengah terbaring di ranjang pasien.

"Hanya itu permintaan Abah," lanjutnya menambah getir hati Zaidan

"Bah, sebaiknya Abah istirakhat, tidak usah memikirkan hal yang rumit. kesehatan Abah yang paling penting," sela seorang wanita yang sedang duduk di tepi ranjang, tangannya bergerak mengelus bahu lelaki yang dipanggil dengan sebutan abah.

"Ummi tidak usah khawatir tentang kesehatanku, aku yakin, Allah akan memberikan yang terbaik buat aku," sahut lelaki yang dipastikan suami dari wanita tersebut.

"Bagaimana Zaidan, kamu setuju?" lontar Abah, kembali ke pembicaraan awal.

Mulut Zaidan sudah membuka. Namun suara ummi Aisyah membuat Zaidan mengatupkan mulutnya kembali.

"Abah... Abah kan tahu sendiri, Zaidan sudah mempunyai calon istri," sela Aisyah dengan lembut.

"Dia masih calon Ummi, belum menjadi istri Zaidan," sanggah Abah.

"Walaupun masih calon, Zaidan sangat mencintai Khanza. Begitupun sebaliknya, Khanza sangat mencintai Zaidan. Tolonglah mengerti ini Abah," bujuk Aisyah.

"Zaidan, bagaimana Nak?" lontar Abah, ingin mendengar langsung jawaban dari Zaidan, anaknya.

"Beri waktu satu minggu Bah, insyaallah setelah itu aku akan sampaikan persetujuan atau penolakan atas permintaan Abah," pinta Zaidan.

Abah mengangguk pelan, "tentu Nak, semoga Allah menuntut jalan yang tepat atas keputusan kamu nanti," sahut Abah.

Zaidan sekali lagi mengangguk tidak lama setelah itu dia pamit karena ada urusan pekerjaan.

Malam sebelumnya, lelaki tinggi tegap dengan penampilan rapi masuk ke ruang rawat Abah Fatah.

"Kerja yang bagus Fer," ujar Fatah setelah menerima semua data informasi mengenai orang yang menjadi korban tabrak oleh dirinya.

"Besok kamu berikan ini padanya," ucap Fatah menyodorkan ponselnya.

Fernando menatap tajam apa yang terpampang di layar ponsel lalu kepalanya mengangguk, mengiyakan titah sang bos.

"Jangan sampai dia curiga uang tersebut dari aku," sambung Fatah.

"Baik Pak. Satu hal lagi, mulailah belajar bekerja untuk Zaidan."

Fernando hanya terdiam tidak menyahuti apa yang diminta bosnya.

"Zaidan anakku, dia yang akan menjadi penerusku kalau Allah telah memanggilku," ujar Fatah.

Hal ini lah yang menyebabkan Fernando tidak menanggapi apa yang dititahkan sang bos karena ujungnya Fatah akan membicarakan kematian.

"Bapak harus yakin kalau Bapak pasti sembuh," ucap Fernando.

Fatah hanya tersenyum kecil menanggapi ucapan orang kepercayaannya.

"Semua yang ada di bumi ini pasti akan kembali pada Allah, hanya waktunya saja yang menjadi rahasia," sahut Fatah, masih dengan senyum yang menghias wajah.

"Sudahlah, kamu boleh istirakhat dahulu. Aku juga sudah lelah," lanjut Fatah, merebahkan tubuhnya dan menarik selimut hingga ke dada.

"Baik Pak, selamat malam, selamat beristirahat, assalamualaikum,"

"Waalaikum salam," jawab Fatah.

...****************...

Khanza terperangah tidak percaya mendengar perkataan atau tepatnya keputusan lelaki yang duduk di depannya.

"Mas, 5 hari lagi Mas akan ke rumah aku untuk melamar, tapi kenapa ini yang aku terima?" tolak Khanza sebagai balasan apa yang dilontarkan Zaidan.

Zaidan terdiam, matanya sekilas bersitatap dengan mata milik Khanza. Ada luka di gadis itu. Ya, tentunya luka karena dirinya tiba-tiba meminta memutuskan hubungan yang akan dibawa ke jenjang keseriusan.

"Berikan alasan yang tepat agar aku ikhlas menerima semua ini," lanjut Khanza dengan lirih, dadanya menahan sesak elu hati yang teramat. Matanya nampak menahan bongkahan cairan bening yang siap meluncur hingga hilir.

Zaidan terdiam sejenak, rasanya keluh untuk mengungkapkan semuanya, "abah orang yang paling berjasa dalam hidupku, aku tidak bisa menolak permintaannya untuk menikahi wanita pilihan beliau," ucapnya kemudian.

"Apa Mas tidak bisa perjuangkan cinta kita?"

Zaidan menggeleng, "maafkan aku."

Khanza mengempaskan napasnya kasar, seolah sesak di dalam dadanya juga ingin terbuang bersama empasan itu.

"Maafkan aku," ulang Zaidan.

"Mas kenal baik dengan wanita itu?"

Zaidan kembali bungkam mendengar lontar tanya dari Khanza atau tepatnya sebuah retoris yang jelas Khanza sendiri tahu jawabannya.

"Bahkan Mas sama sekali tidak mengenal dia tapi Mas mau menikahinya," ucap Khanza menjawab sendiri pertanyaan yang dia lontarkan pada lelaki yang ada di depannya karena itu yang dia tangkap dari diamnya Zaidan. Khanza tertunduk lemas.

Nyeri di elu hati Khanza semakin menjalar ke tubuh. Dia sendiri sebenarnya tahu di balik sikap patuhnya Zaidan pada sang abah. Jelas tahu, selain rasa hormat juga karena hutang budi yang tidak mungkin diabaikan begitu saja oleh Zaidan.

Kisah Zaidan menjadi anak angkat abah Fatah dan ummi Aisyah pernah Khanza dengar dari salah satu teman Zaidan. Menjadi salah satu fans dan berubah status menjadi kekasih hati membuat Khanza begitu bahagia. Namun, kebahagiaan status itu hanya bertahan 2 bulan karena status itu langsung berubah menjadi mantan manakala Zaidan memintanya untuk mengakhiri hubungan itu.

Zaidan memang berniat menjalin hubungan serius dengan Khanza. Seharusnya 5 hari lagi, adalah momen bersejarah yang akan terukir dalam indah hidup mereka. Namun sayang, hari esok atau nanti adalah rahasia Sang Illahi Robbi. Semua niatan Zaidan harus pupus setelah 7 hari dalam doa dan istikharahnya, Zaidan menjatuhkan pilihan untuk menyetujui permintaan dari Abah Fatah untuk menikahi wanita yang saat itu menjadi korban tabrak Abah Fatah.

"Aku yakin, kamu akan mendapatkan lelaki yang tepat. Bukan lelaki brengsek seperti aku," ujar Zaidan.

Wajah Khanza menengadah mendengar umpatan Zaidan untuk dirinya sendiri karena baru pertama kali Khanza mendengar Zaidan berkata kasar dan penuh penekanan.

"Kalau aku tidak menemukannya?" Kalau aku malah terperangkap dalam lembah keterpurukan yang dalam dan semakin dalam?" elak Khanza.

"Kamu bukan wanita lemah, aku tahu itu dan kamu masih punya Allah yang selalu memberikan petunjuk," sahut Zaidan.

Tangan Khanza bergerak cepat menyapu lelehan cairan yang sedari tadi menggenang di pelupuk mata. Hatinya sangat perih mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan Zaidan.

"Aku pulang, terima kasih untuk semuanya," ujar Khanza mengangkat pantatnya kemudian seuntai salam dia ucapkan sebelum melangkah pergi.

"Waalaikum salam," jawab Zaidan dengan lirih.

'Semoga Allah memberikan kamu kebahagiaan yang penuh barakah,' batin Zaidan matanya menatap nanar punggung wanita yang semakin jauh dari tempat dia duduk.

Zaidan memegang dadanya, di sana terasa sesak dan berdenyut nyeri, ya nyeri elu hati yang seperti menghantam jantung.

"Astaghfirullah haladhim," lirih Zaidan.

Beberapa kali Zaidan menarik dan membuang napas dengan lirih, mulutnya mengucapkan kalimat istighfar.

Setelah dirasa tenang, Zaidan bergegas ke rumah sakit. Dua hari ini, karena ada urusan pekerjaan dia tidak berkunjung ke rumah sakit untuk menemui Abah Fatah.

Dia berjalan tenang melewati lorong-lorong rumah sakit.

"Assalamualaikum," sapa Zaidan setelah membuka pintu kamar inap yang tidak dikunci.

"Waalaikum salam," jawab serentak wanita dan lelaki paruh baya.

Seutas senyum terlihat dari bibir dua pasang suami istri itu.

"Alhamdulillah, yang ditunggu akhirnya pulang," ujar ummi Aisyah.

Zaidan tersenyum menanggapi ucapan Aisyah, kakinya melangkah ke ranjang dimana sang abah terbaring di sana. Zaidan meraih tangan kedua orang tuanya lalu mencium takdhim.

"Kalau kamu capek, tidak usah langsung ke sini, istirakhat dulu di rumah," ucap Fatah.

Zaidan membalas dengan sebuah senyum.

"Abah sudah mending?" tanya Zaidan.

"Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat, Abah sehat dan selalu semangat," jawab Fatah diiringi senyum lebar.

Aisyah ikut tersenyum namun senyum getir. Dia tahu suaminya menyembunyikan semua rasa sakit yang dia rasa agar dirinya dan anaknya tidak khawatir.

Zaidan duduk di belakang Aisyah, tangannya bergerak memijit kaki Fatah.

"Sudah makan Zaid?" tanya Aisyah karena sekarang masih dalam waktu makan siang.

"Sudah Ummi," jawab Zaidan.

"Barangkali belum, Ummi antar ke kantin," sahut Aisyah lalu berdiri.

"Ummi mau ke toilet dulu," pamit Aisyah.

Zaidan bergeser, berpindah memijit tangan sang abah.

Fatah menatap wajah anaknya, "Kamu baik-baik saja Zaid?" tanya Fatah melihat ada raut gusar pada sang anak.

"Alhamdulillah Bah, aku baik-baik saja," jawab Zaidan menutupi kebohongannya.

Fatah menanggapi dengan senyum.

"Bah, Zaidan menyetujui permintaan Abah untuk menikahi wanita itu," ucap Zaidan setelah mengempaskan napas agar berbicara dengan tenang.

Bab 2

"Bah, Zaidan menyetujui permintaan Abah untuk menikahi wanita itu," ucap Zaidan dengan nada keseriusan.

"Alhamdulillah, terima kasih Nak. Insyaallah apa yang menjadi keputusan kamu itulah yang terbaik," sahut Fatah dengan lega dan lagi senyum lebar menghiasi wajahnya.

Aisyah mendekat ke arah Fatah dan Zaidan, dia mendengar jelas apa yang dikatakan Zaidan karena dirinya sudah keluar dari toilet.

"Apakah kamu sudah mantap memutuskan itu Zaid?! Nak, menikah itu bukan perkara sah saja. Semuanya harus dijalankan dengan keikhlasan karena Allah. Sanggupkah kamu lakukan itu?" cecar Aisyah karena jujur dari lubuk hatinya dia merasa tidak rela anak satu-satunya menerima permintaan sepihak dari Fatah.

Zaidan mengangguk dan melempar sebuah senyum.

"Tapi Zaid_"

"Aku lapar lagi Ummi, bisa Ummi temani aku ke kantin," potong Zaid, kakinya turun dari ranjang lalu merangkul pundak umminya agar mengikuti arah dia berjalan.

Aisyah mengikuti langkah Zaidan hingga mereka duduk di kursi yang ada di kantin rumah sakit. Dia sebenarnya tahu, permintaan Zaidan untuk menemani ke kantin hanya akal-akalan saja karena Zaidan tidak ingin ada perdebatan di depan Fatah.

Aisyah menatap wajah anaknya dengan iba. "Nak, kamu tidak harus berkorban sejauh itu. Kamu pikirkan kembali apa yang kamu putuskan sebelum semuanya terlambat," rayu Aisyah.

"Aku sudah mantap Ummi dengan keputusanku. Doakan saja agar semua berjalan lancar dan Allah selalu memberi berkah setiap langkah yang kutempuh," ujar Zaidan.

Aisyah terdiam. Menatap kembali wajah sang anak lalu kepalanya mengangguk pelan.

"Apa kamu sudah omongkan dengan Khanza?"

Zaidan mengangguk.

"Dia bagaimana?" penasaran Aisyah.

"Semoga Allah memberi pengganti yang lebih baik," jawab Zaidan.

"Pasti dia tidak dapat menerima begitu saja keputusan kamu. Ibu juga seorang wanita, sedikit banyak merasakan apa yang dirasakan Khanza," ucap Aisyah dengan raut sedih.

Zaidan terdiam, apa yang dikatakan umminya adalah fakta yang tak terelakkan. Namun, dirinya harus mengambil sikap egois sebelum melangkah lebih jauh dan pastinya akan lebih menyakitkan untuk Khanza.

"Ummi tidak mengerti jalan pikir dari abah kamu. Apakah dia meminta kamu untuk menikahi wanita itu agar tuntutan dari wanita itu dicabut? Atau ada maksud lain? Kamu tahu sendiri, Abah kamu selalu bermain teka-teki ketika mengambil sebuah keputusan."

Zaidan hanya tersenyum mendengar kekesalan dari ummi Aisyah.

'Terlepas dari apa alasan abah memintaku untuk menikahi wanita itu. Aku akan selalu berusaha memenuhi apa yang menjadi titah dari abah. Karena kalian, abah dan ummi adalah segalanya buatku,' batin Zaidan matanya menatap lekat ke arah wanita yang sedang duduk sambil memanyunkan bibirnya dari rasa kesal yang mendera.

Tangan Zaidan kini meraih tangan umminya, dia elus dan raba tangan yang sudah terlihat berkerut itu.

"Ummi jangan khawatir. Pernikahanku bukan akhir dari hidupku, justru itu awal hidupku yang baru. Aku mohon restu dari ummi," ujar Zaidan dengan lembut.

Aisyah menatap lekat anak yang ada di hadapannya. Tiba-tiba kejadian 20 tahun lalu terlintas dalam benaknya. Saat itu bocah kecil usia 5 tahunan tengah menangisi kedua orang tuanya yang telah meninggal karena melawan sekelompok perampok. Bocah itu Aisyah bopong agar diam. Dia seperti oase yang hadir di tengah-tengah pernikahan dirinya dengan Fatah yang sudah 10 tahun tak kunjung diberi momongan. Dialah Zaidan anak dari sahabat Aisyah dan Fatah yang akhirnya diasuh oleh dirinya.

"Nak, maafkan Abah kamu yang tidak bisa mengerti perasaan kamu," lirih Aisyah.

Zaidan tersenyum kecil, "Abah dan ummi segalanya buat aku," jawab Zaidan.

"Kalau Ummi meminta kamu untuk tidak mengabulkan permintaan Abah, apa kamu akan menuruti permintaan Ummi?"

Zaidan terdiam, lalu dengan pelan dia membuka suara, "Abah hanya meminta, aku yang telah memutuskan menerima permintaan Abah atau tidak dan kali ini aku menyetujui untuk menikah dengan wanita pilihan Abah."

Aisyah menyeka air mata yang menggenang di pelupuk mata. "Ummi tahu itu. Namun, yang Ummi tanyakan apakah kamu bisa menolak permintaan Abah dan mengabulkan permintaan Ummi?"

"Ummi," sebut Zaidan melihat raut Aisyah belum menerima keputusan Zaidan.

"Ummi khawatir kamu akan_"

"Seperti yang sudah Zaidan katakan, yang terpenting restu dan doa dari Ummi juga Abah. Insyaallah semua akan berkah," rayu Zaidan memotong ucapan Aisyah, mata Zaidan lekat menatap pada Aisyah agar wanita di depannya yakin apa yang menjadi keputusannya.

Wanita itu akhirnya mengalah, menganggukkan kepalanya pelan. Dia hanya khawatir Zaidan akan hidup menderita dengan keputusan yang dia ambil.

"Jadi, Zaidan minta tolong. Ummi jangan katakan hal yang sekiranya membuat pikiran Abah terbebani," pinta Zaidan.

Aisyah menarik tubuh Zaidan, memeluknya dan sesekali tangannya mengusap linangan air mata yang membasahi dua pipi.

"Ummi selalu berdoa untuk kebahagiaan kamu Nak," sahut Aisyah masih dengan tangisnya.

...****************...

Zaidan menatap sekilas wanita yang kini duduk di hadapannya, di sebelah Zaidan ada Fernando yang mulai ditugaskan Fatah untuk menjadi asistennya.

Dia Delmira Cinta Kusuma, wanita yang diajukan Abah Fatah untuk menjadi istrinya.

Tangan Delmira menyibak anakan rambut yang terlihat menutup sebagian matanya.

Mata Delmira menatap tajam bahkan menatap secara detail lelaki yang akan menjadi calon suaminya.

Satu minggu yang lalu Fatah melalui asistennya, Fernando menyampaikan maksud meminang Delmira untuk anaknya.

Delmira meminta waktu dua hari untuk menjawab apa yang diminta Fatah dan hari ini, dia akan menjawab semuanya. Langsung di depan sang calon suami.

"Kamu sudah bekerja?" lontar Delmira tanpa basa-basi.

"Sudah, beliau mempunyai dealer di berbagai daerah," sahut Fernando.

"Apa aku tanya kamu!" cekat Delmira dengan tatapan tajam ke arah Fernando.

Fernando langsung diam dan menundukkan kepalanya.

Mata Delmira berpindah tatap ke arah Zaidan, isyarat agar Zaidan menjawab pertanyaan dirinya. Namun Zaidan yang diberi isyarat tetap saja diam tidak bereaksi.

"Hei, aku tanya kamu!" ketus Delmira.

"Aku?" retoris Zaidan telunjuknya menunjuk diri.

Delmira tersenyum sinis, "pertanyaan konyol macam apa! Ya, jelas kamu! Ok, sepertinya kamu tidak serius! Lebih baik ku pergi dari pada buang-buang waktu di sini!" kesal Delmira mengangkat pantatnya, bergerak dari kursi akan pergi.

"Tunggu Mbak!" cekat Fernando agar Delmira duduk kembali tapi Delmira sudah terlanjur melangkahkan kaki.

"Den Zaidan, kenapa malah berantakan seperti ini? Aden sengaja merencanakan ini?!" bentak Fernando secara refleks mengingat kalau pertemuan dengan hasil semacam ini pasti dapat mengecewakan Pak Fatah.

"Astaghfirullah haladhim," lirih Zaidan sambil meraup wajahnya. Dia segera bangkit dari kursi dan mengejar langkah Delmira. Bayangannya tiba-tiba teringat akan Abah Fatah melihat reaksi kemarahan Fernando.

Zaidan hanya tidak suka dengan bentakan Delmira pada Fernando yang terkesan kasar. Dia akan sedikit memberi pelajaran tapi bukannya Delmira introspeksi diri justru bertambah marah.

"Mbak, tunggu sebentar," pinta Zaidan melihat Delmira masih berjalan di luar resto.

Delmira mengangkat kaca mata hitamnya hingga terlihat dua alisnya terpicing dan matanya membulat menatap kesal ke arah Zaidan.

"Kamu panggil aku apa?!"

Zaidan mengatupkan mulutnya, mungkin panggilan mbak membuat wanita di depannya menjadi marah. Dia ingat teori gombal yang sering dilontarkan temannya, Abel.

"Jangan sekali-kali kamu panggil seorang wanita yang akan kamu ajak kenalan dengan sapaan mbak karena pasti wanita itu marah karena merasa dituakan!" ucap Abel saat itu.

"Maksud aku, Kak, e... Dek, e... bukan tapi_"

"Panggil aku Delmira!" cekat Delmira dengan ketus.

"Ya, Delmira," tukas Zaidan.

"Nama yang bagus, aku Zaidan." lanjut Zaidan sekaligus memperkenalkan diri.

Delmira tersenyum sinis mendengar ucapan dari Zaidan, "kamu pintar ngegombal juga," sahut Delmira.

Zaidan hanya tersenyum mendengar entah itu pujian atau ledekan dari wanita yang ada di depannya. Pikirannya kini terlintas pada Abel, temannya yang pintar merayu wanita hingga berganti pacar dianggap lumrah.

"Kamu pasti biasa melakukan itu pada wanita," ucap Delmira.

Lagi, Zaidan hanya tersenyum menanggapi ucapan Delmira. Bagaimana mungkin dia biasa ngegombal wanita. Khanza adalah wanita pertama dalam hidupnya. Kisah cintanya pun terbilang singkat, dekat lalu merasa cocok dan Zaidan langsung akan melamar Khanza. Namun semuanya pupus karena sebuah permintaan dari abah Fatah.

"Bisa kita duduk kembali di kursi dalam resto?" pinta Zaidan tanpa menyahuti ucapan Delmira sebelumnya.

Bab 3

"Bisa kita duduk kembali di kursi dalam resto?" pinta Zaidan tanpa menyahuti ucapan Delmira sebelumnya.

"Kita cari tempat lain!" tawar Delmira.

Gensi saja bagi Delmira, sudah terlanjur keluar resto harus putar masuk ke dalam.

Zaidan mengangguk, lalu merogoh ponsel di dalam saku celana.

Tidak selang berapa lama, Fernando keluar setelah mendapat titah dari Zaidan melalui panggilan telepon.

"Kamu tidak bisa pergi tanpa adanya dia?!" kesal Delmira setelah duduk di kursi penumpang.

"Aku sudah diamanahkan Pak Fatah untuk menjaga Den Zaidan jadi kemanapun Aden pergi, aku akan selalu ada," sahut Fernando.

"Selalu main jawab! Aku tanya pada siapa yang jawab malah siapa!" protes Delmira.

"Maaf Non," ucap Fernando, merasa dirinya memang harus minta maaf. Sebenarnya dia tahu bagaimana sifat bos muda nya. Zaidan tipe orang yang lebih memilih diam atau hanya melempar senyum dengan pertanyaan yang sekiranya tidak perlu dijawab atau pertanyaan yang jawabannya terlalu pribadi. Maka awal Delmira menanyakan pekerjaan Zaidan, Fernando langsung menyambar jawaban. Kalau tidak dijawab Fernando mungkin Zaidan akan menjawab sebagai pekerja biasa jual motor tanpa menyebutkan lebih lengkap kalau dia pemilik beberapa dealer motor.

Fernando tidak menginginkan itu, tidak menginginkan sang bos mudanya terlihat remeh di mata wanita yang akan menjadi calon istrinya, Zaidan harus terlihat lebih istimewa dari lelaki manapun dan pada akhirnya diterima oleh Delmira. Bos Fatah akan merasa bahagia dengan kabar tersebut, itulah harapan terbesar Fernando.

Lima belas menit kemudian mereka turun dari mobil dan masuk ke salah satu cafe.

Beberapa menu pancake dan kopi sudah di atas meja setelah mereka pesan.

Mata Delmira sesekali melirik ke arah Zaidan yang tengah memakan pancake dengan tenang.

'Ini orang memang begini ya? Tenang saja tanpa seucap kata, sudah berapa menit aku menunggu dia membuka mulut!' batin Delmira merasa kesal.

'Tenang Del, kamu harus tenang. Kamu harus lebih setenang mungkin. Ingat! Jangan sampai kamu terlihat yang agresif walaupun sebenarnya kamu sangat greget dengan sikap lelaki yang ada di depan kamu. Ingat! Apa yang kamu rencanakan harus berjalan lancar, jangan sampai karena kecerobohan, akhirnya rencana kamu gagal total,' lanjut batin Delmira menasehati diri.

"Sebelumnya aku minta maaf atas insiden yang membuat kamu tidak nyaman," ucap Zaidan membuka pembicaraan setelah sepertiga pancake yang ada di piring telah masuk ke dalam perut.

"Harusnya memang seperti itu! Kamu minta maaf!" sungut Delmira, tangannya bergerak menyesap kopi cappucino lalu dia letakkan kembali dia tas meja.

Mata Delmira tidak segan menatap Zaidan kembali, punggungnya disandarkan pada kursi, kaki kanannya dia angkat menumpu kaki kiri.

Batin Delmira bergumam, 'apa dia nervous?' selidiknya melihat Zaidan kembali memakan pancake padahal Delmira sudah menunggu Zaidan untuk meneruskan pembicaraan.

"Kamu lapar?" tanya Delmira spontan, "apa doyan?" lanjut Delmira padahal otaknya memikirkan apa tapi yang terlontar dari mulut malah bukanlah itu.

Zaidan tersenyum lalu mengunyah kembali pancake yang ada di mulut.

"Isst! Benar-benar menguras emosi!" gumam Delmira karena Zaidan tidak langsung menyahuti tanyanya.

"Seharusnya di resto tadi aku makan siang," sahut Zaidan setelah menelan pancake dengan sempurna.

Delmira menarik satu sudut bibirnya merasa ucapan Zaidan sebagai bentuk sindiran atas sikapnya yang keluar begitu saja dari resto.

"Apa pertemuan kita hanya akan membicarakan ini saja?!" ketus Delmira yang sudah tidak sabar dengan sikap Zaidan yang dianggapnya terlalu bertele-tele.

Zaidan tersenyum, "maksud kamu kita langsung ke topik pembicaraan?" tanyanya.

'Skak! mati kamu Del! Sedikit jual mahal! Biar dia yang memulai pembicaraan tanpa kamu pancing seperti ini!' gerutu batin Delmira.

Zaidan kembali tersenyum melihat ekspresi wajah Delmira yang terlihat berubah memerah.

"Ya, karena aku tidak punya banyak waktu untuk meladeni kamu!" jawab asal Delmira.

"Menikahlah denganku Delmira Cinta Kusuma," sahut Zaidan dengan cepat.

"Apa?!" refleks Delmira merasa tidak percaya apa yang dia dengar hingga pancake yang harusnya dia telan nyembur ke muka Fernando.

'Sial! Pasti aku terlihat bodohnya! Lagian nih mulut kenapa refleks balik tanya!' batin Delmira, merutuki kebodohan diri.

"Ehem!"

Fernando berdehem agar Delmira meminta maaf atas kecerobohannya.

"Salah kamu kenapa kamu di situ!" ucap Delmira mengerti maksud dari deheman Fernando. Tangannya bergerak mengambil tisu lalu mengelap sudut mulut yang terasa belepotan.

Fernando membulatkan mata menatap kesal.

Zaidan hanya tersenyum melihat keduanya bertengkar dari awal pertemuan.

Setelah dirasa keduanya tenang, Zaidan melontar tanya, "Delmira Cinta Kusuma bin Salim Kusuma, maukah menikah denganku?" ulang Zaidan dengan raut setenang mungkin dan senyum yang mengembang dari wajahnya.

Delmira terdiam sejenak, entah kenapa jantungnya berdetak tak selaras, ada getar aneh tapi bukan cinta tapi sebuah rasa layang yang sulit diterjemahkan. Mungkin siapapun wanita yang mendapat lamaran dari lelaki yang duduk tenang di depannya akan merasakan hal yang sama.

Lelaki dengan wajah yang nyaris sempurna, mata yang tajam dengan warna hitam pekat, hidung yang tinggi, rahang yang keras, tubuh yang atletis, kulit yang bersih, bibir yang terlihat tipis berisi dan sikap yang ramah dan banyak diam menambah kaum hawa ingin menguak segala tentang dia.

Namun, Delmira yakin itu hanya sesaat karena tujuan utama dia bukan jatuh cinta pada lelaki yang dianggap dia nyaris sempurna itu melainkan membalas dendam.

Anak 3 tahun yang lucu, ayah, bunda, dan suami, menjadi korban dalam tragedi tabrakan itu. Lelaki yang ada di depannya harus menerima pembalasan apa yang menimpa dirinya.

"Tidak!" ucap Delmira dengan sorot mata tajam dan kosong.

"Kamu menolak lamaranku?" tanya Zaidan karena penolakan Delmira seperti kata mutiara yang tidak pernah dia dengar dari wanita manapun. Bahkan merekalah yang biasanya mengejar sesosok Zaidan.

"Iya!" lantang Delmira. Namun seketika itu Delmira langsung membungkam mulut dengan tangan kanannya, matanya membulat dan kepala menggeleng keras.

'Apa yang kamu ucapkan Del! Makanya jangan banyak ngelamun! Ayo bangkit dan jalankan rencana kamu!' protes batin Delmira.

"Maksud aku..., aku, aku menerimanya. Besok kita langsung menikah," sahut Delmira.

"Besok? Apa harus besok?" ucap Zaidan memastikan ucapan Delmira.

Delmira mengangguk cepat.

Zaidan menahan senyum melihat perubahan ekspresi wajah Delmira.

"Kenapa kamu malah senyum! Ada yang lucu?!" geram Delmira.

"Kamu juga kenapa ikut-ikutan senyum?!" Delmira bertambah kesal melihat Fernando juga ikut tersenyum.

"Sepertinya kamu yang terlihat tidak sabar ingin menikah dengan den Zaidan," ujar Fernando.

Delmira tersenyum sinis mendengar ujaran Fernando. "Karena lebih cepat maka semuanya akan terselesaikan lebih cepat pula!" jawab Delmira dengan wajah yang terlihat serius dan sedikit meninggi nada bicaranya.

Tangannya bergerak mengambil tas lalu melangkah pergi tanpa pamit.

"Tunggu!" cekat Zaidan setelah mengejar langkah Delmira hingga sampai di tempat parkir.

Delmira menoleh, tubuhnya dia urungkan untuk masuk ke dalam mobil.

"Satu minggu insyaallah semuanya akan selesai. Mulai dari urus berkas untuk pengajuan ke KUA hingga pesta sederhana untuk pernikahan kita," lanjut Zaidan.

Delmira terdiam, dia menyadari mengurus berkas pernikahan tidak semudah membeli kartu tanda pengenal.

"Besok kita mulai mengurusnya," ajak Zaidan.

"Ok!" jawab ketus Delmira tubuhnya kemudian masuk ke dalam mobil.

sore menyapa 🤗 jangan lupa like komen hadiah juga mau pake banget🥰

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!