NovelToon NovelToon

Pesona Wanita Modern

Menyebrang

"Kenapa tidak Kau jual saja dirimu? Itu lebih cepat dan lebih banyak menghasilkan perak daripada penghasilan buruh mu saat ini! Uang sewa bulan ini dan tunggakannya bisa segera kau bayar! " Istri keempat tuan tanah berkata pedas dengan muka sinis dan jijik memandang wanita di depannya.

Wanita itu berwajah pucat sedang berjongkok memegangi remaja laki-laki berusia sekitar dua belas tahun. Mata coklatnya menatap kasihan pada remaja laki-laki di pelukan.

Wajah remaja itu sangat tipis dan kurus namun kini agak berisi, bukan karena lemak, tapi karena bengkak dan lebam. Anak itu meringis kesakitan memegangi kakinya.

Istri keempat Tuan Tanah itulah pelakunya, dia menendang sangat kuat sampai anak remaja itu terjatuh menimpa pintu di belakang yang dia coba halangi namun gagal.

Istri keempat tuan tanah melihat atas, bawah menilai dan memperkirakan nilai ekonomis wanita di depannya.

"Sepertinya kau belum disentuh siapapun, nilai mu setidaknya bisa menambah satu keping perak. Hey berani sekali kau menatapku seperti itu!" karena wanita itu memberikan tatapan tajam, sontak wajah Istri keempat Tuan Tanah memburuk.

"Apa Kau merasa terhina, tidak setuju dengan saran ku? Apa Kau marah? Dengar ya wanita lemah, miskin dan tanpa sandaran sepertimu tidak layak tinggal di tanah ku. Aku bisa..." ucapan Istri keempat tuan tanah terhenti, karena datangnya pelayan paruh baya ke rumah bobrok itu.

"Nyonya keempat, Tuan Tanah memanggilmu." Pelayan itu menunduk melaporkan perintah tuannya.

Wajah kesal Istri keempat Tuan Tanah berubah ke ekspresi normal dengan sedikit rasa penasaran di wajahnya yang penuh dengan bedak tebal.

" Suami? Kenapa dia memanggilku?"

"Ada berita penting dari Utusan Pemerintah Kota, Tuan menyuruh untuk memanggil seluruh Nyonya ke kediaman utama." Pelayan itu menjawab masih dengan wajah menunduk rendah.

"Begitu." Istri keempat Tuan Tanah menoleh, wajahnya kembali sinis.

"Beruntung sekali kalian berdua, untuk masalah ini Aku memberi waktu tujuh hari. Aku tidak peduli Kau mencari uang dari menjual tubuhmu atau mencuri sekalipun, yang jelas hutang itu harus lunas. Jika tidak, Aku akan membuat adikmu menjadi budak milikku!" Ancamnya dengan satu jari menunjuk pada remaja di pelukan wanita berwajah pucat.

Setelah mengatakan itu, Dia pergi meninggalkan rumah bobrok dan penghuninya yang menyedihkan.

Setelah kepergian Istri kempat Tuan Tanah, anak remaja mulai bertanya dengan wajah menyedihkan.

"Kak Jean, apa Aku akan dijadikan menjadi budak?"

Jean masih memeriksa lutut di kaki kanan adiknya, kini lututnya tampak memerah dan bengkak dengan cepat.

"Tidak, Dia tidak akan bisa menjadikanmu budak." Jane meyakinkan adiknya.

"Tapi bagaimana dengan hutang kita. Apa Kakak akan menjual diri? Jangan lakukan itu Kak! Aku, biarkan Aku..."

Jean memotong, "Apa yang bisa Kau lakukan? Mau mencuri lagi? Apa tidak kapok dengan mukamu yang bonyok, lain kali mungkin nyawamu yang hilang. Sudah jangan berpikir macam-macam, biar kakak yang mencari solusi, tapi tidak dengan menjual diri." Topik berat itu ditutup olehnya.

Jean mencari sesuatu di dekat tempat tidurnya. Itu adalah salep sederhana dari tanaman obat yang dihaluskan oleh mendiang Ibu mereka sendiri.

Dengan salep itu Jean mengoleskannya pada luka memar di wajah dan lutut adiknya yang membengkak.

"Kak, jangan banyak-banyak, nanti habis." Adik Jean meringis bukan karena sakit, tapi hatinya sakit menyadari harga obat sangat mahal dan tidak terjangkau untuk mereka, jadi penggunaan obat untuk mengobati lukanya, terhitung sangatlah boros di matanya.

"Biarkan saja habis, yang penting lukamu segera sembuh. Kalau Kau sayang dengan obat ini, maka lain kali jangan melakukan pencurian atau menghalangi pintu seperti tadi." Jean menutup wadah salep 'klup' dan mengembalikannya ke tempat semula.

"Bau apa ini? Seperti bau gosong." Jean bertanya setelah mengendus sebuah bau terbakar.

"Oh tidak, buburnya!"

Adik Jean sontak bangkit dan berlari ke arah gubuk dapur di samping rumah. Meski larinya tidak bisa dianggap lari, sebab kakinya pincang menghambat kecepatan geraknya.

Jean tidak mengikuti karena tubuhnya masih lemah. Dia sakit akibat kelelahan berkerja ditambah terkena sengatan panas matahari.

Dua hari sebelumnya Jean diantar kembali oleh rekan kerja di ladang padi, karena dia ditemukan pingsan saat bekerja.

Jika pada Masa Modern, penyakit itu adalah stress tubuh akut akibat kelelahan bekerja ditambah sengatan panas. Hal itu bisa berakibat fatal bahkan bisa menyebabkan kematian, jika tidak ditolong dengan cepat.

Jean yang asli sebenarnya telah tiada di hari itu juga, lantaran mengalami henti jantung akibat sengatan panas.

Itu adalah rahasia, tidak ada yang tahu kecuali Marrissa, Dia adalah jiwa baru yang menghuni tubuh Jean.

Marrissa bukan pemilik asli dari tubuh yang Dia tempati saat ini, Dia bahkan bukan penduduk dari dunia ini.

Yah, Marrissa berasal dari Dunia lain yang lebih makmur dan tidak se-kacau Dunia ini. Di Dunia sebelumnya, Marrissa adalah wanita kantoran yang mengejar karirnya dari 0.

Sebagai anak yatim piatu, masa kecilnya besar di panti asuhan. Marrisa berjuang keras dari mulai mendapatkan beasiswa sampai kuliahnya tuntas dengan nilai yang tergolong tinggi.

Dia kemudian diterima di sebuah perusahaan dan dalam dua tahun, dia sudah berhasil mengubah standar hidupnya yang mana dulu hanya tinggal di Kos sewaan sempit, kini Dia sudah pindah ke Apartemen sederhana namun dengan fasilitas yang lebih baik.

Keinginannya akan karir yang lebih tinggi tidak berhenti karena zona nyaman, dia berkerja dengan rajin dan memiliki disiplin diri. Baru kemudian istilah usaha tidak mengkhianati hasil akhirnya dia dapatkan.

Marrissa menerima surat promosi jabatan ke Perusahaan Pusat. Rasa suka cita memenuhi benaknya. Dari situ selama seharian wajah Marrissa sangat ceria dengan senyum sumringah yang tak henti-henti menghiasi wajahnya.

Sampai kemudian, ketika di malam hari, Marissa baru tiba di rumah setelah makan-makan dengan rekan kerja untuk merayakan promosinya.

Mata Marrisa melebar terkejut, 'Sling' tiba-tiba dari arah kaca balkon muncul cahaya hijau terang meluncur cepat menuju ke arahnya. Karena cahaya itu terlalu cepat, dia tidak punya waktu menghindar, lalu semuanya menjadi gelap.

Ketika membuka mata, Marrisa terbangun di Gubuk kecil ditemani oleh anak remaja laki-laki kurus yang merupakan adik dari Jean asli.

Juno, itu namannya. Dia menatap khawatir pada kakaknya yang baru saja membuka mata..

"Kakak, akhirnya Kau bangun. Aku sangat takut kakak, Aku takut Kau tidak akan bangun lagi seperti Ayah dan Ibu." Juno merangkul kakaknya seolah takut ditinggalkan.

Ketika Marrissa dipeluk oleh anak remaja itu sambil menangis, kepalanya tiba-tiba sakit, ada banyak kenangan asing yang masuk ke otaknya. Itu adalah ingatan dari Jean.

Dari situ Marrissa tahu jika dia telah menyeberang ke dunia lain.

'Sial, baru saja Aku dipromosikan!' Marrissa membatin dan ingin menangis saat itu juga.

Kakak Beradik yang Malang

Tiga hari Marrissa di dunia lain, dia tidak bisa bekerja dan butuh istirahat.

Untunglah ada Juno adik Jean, dia adik yang baik mau merawat dan mengurus kakaknya, meski makanan yang dia buat sangat tidak enak.

"Kakak makanlah, meski rasanya agak gosong, tapi masih bisa dimakan." Juno memberikan mangkuk berisi bubur kehijauan, jumlahnya tidak mencapai setengah mangkuk.

Sebelumnya bubur itu sangat encer sehingga mencapai setengah mangkuk lebih. Karena hari ini ada insiden tidak terduga, bubur itu gosong dan menyusut menjadi seperempat mangkuk.

Pertama kali memakan bubur itu, Marrissa terdiam dan mengembalikan mangkuk bubur pada Juno dengan alasan tidak selera makan. Dia menahan agar tidak muntah.

Bubur itu dibuat dari biji rumput yang diperoleh Juno di sekitaran sungai, di sana ada banyak anak lain seperti dia, mereka mencari biji rumput untuk di konsumsi.

Karena banyak anak mencari biji rumput, Juno hanya mendapat satu genggam paling banyak, itulah kenapa dia membuat bubur encer untuk kakaknya, agar lebih banyak dan lebih mengenyangkan.

Rasa bubur itu sangat tidak enak, tidak ada manisnya hanya rasa getir agak pahit dengan bau rumput, ditambah tekstur bubur sangat encer. Lidah Marrissa tidak terbiasa dengan rasa itu.

Akan tetapi kali ini berbeda, jika dia ingin sembuh lebih cepat dia harus makan.

Menahan segala rasa tidak enak, ditambah rasa yang lebih pahit karena gosong. Marissa menyelesaikan makannya, namun dia masih menyisakan dua sendok bubur untuk Juno.

Jika dihitung dia hanya makan 4 sendok dari seperempat mangkuk bubur.

"Kenapa tidak dihabiskan Kak? Kakak harus makan sampai habis supaya cepat sembuh." Juno menyodorkan mangkuk kembali pada Jean berharap kakaknya mau menghabiskan bubur.

"Tidak, kakak sudah kenyang. Aku tau kau belum makan, makanlah itu." Jean menolak lembut.

"Aku sudah makan kak, jangan khawatir." Juno berdalih, namun dia tidak bisa membohongi Jean.

'Groooookk' bunyi perut keroncongan terdengar sangat jelas dari arah perut Juno.

Wajah Juno tampak terkejut telinganya memerah karena malu kebohongan kecilnya tidak didukung oleh tubuh.

Jean menatap Juno dengan pandangan sayu, "Hmmn, makanlah sisa bubur itu dulu, jangan makan sisa bubur gosong di panci, itu tidak sehat. Besok Kakak akan membeli bahan makanan di pasar."

Jean merasa bersalah, dari ingatan Jean yang asli. Mereka makan lebih baik dan lebih enak dari biji rumput yang pahit.

Karena Jean yang asli selalu pulang membawa biji padi hasil dari memungut di ladang yang sudah selesai panen, itupun dia lakukan setelah bekerja.

Sayang hasilnya tidak banyak, paling banyak hanya dua genggam karena banyak buruh lain juga melakukan hal yang sama dengannya.

Bisa dibilang, biji rumput di tepi sungai adalah ranah anak-anak sedangkan biji padi di lahan usai panen adalah ranah orang dewasa.

Dari usaha dua kakak beradik itu, mereka bisa makan satu mangkuk penuh bubur nasi dicampur dengan biji rumput. Rasanya lebih mendingan daripada bubur biji rumput.

Mata Juno melebar,

"Membeli bahan makanan? Tapi, tapi bagaimana denga..."

Jean memotong, "Sudahlah makan saja, jangan banyak tanya. Kakak masih memiliki uang dan juga rencana lain."

Mendengar itu, Juno menyerah bertanya, Dia menciutkan leher memakan bubur di mangkuk sedikit demi sedikit. Tidak ada ekspresi tidak enak di wajahnya, malah dia terlihat menikmati bubur pahit itu.

Kemarin Jean dikejutkan oleh wajah bonyok adiknya. Juno tersenyum konyol memberikan satu buah apel tidak peduli dengan wajah bonyoknya.

Dari cerita Juno, Jean tahu jika sang adik mencuri buah apel dan dihajar oleh pemilik apel. Untungnya dia berhasil kabur membawa satu buah apel.

Juno berkata, " Kata temanku, buah apel adalah buah ajaib yang bisa menyembuhkan segala penyakit. Jadi makanlah buah ini kak, supaya kau bisa sembuh."

Jean tersenyum melihat tingkah Juno, dia masih polos dan mudah percaya omongan orang lain. Untung saja aksi mencurinya berhasil dan tidak memakan nyawanya.

Dalam hati, Jean membatin sangat kasihan pada remaja kurus di hadapannya.

Saat itu, Jean menerima apel hasil curian adiknya. Dia tidak memakannya langsung, namun membagi apel menjadi dua bagian, satu bagian dia berikan pada Juno.

Awalnya Juno menolak, namun akhirnya dia memakan setengah apel dengan wajah penuh nikmat, tanpa peduli rasa sakit dari wajah lebamnya.

Jika saja Marrisa bisa membawa Juno ke dunia asalnya, Dia akan menyuguhkan berbagai makanan lezat dan jajanan yang disukai anak remaja seumurannya.

Sayang itu hanya harapan mustahil untuk diwujudkan, dia sendiri belum tau apakah bisa kembali ke dunia asalnya.

Melihat kondisinya saat ini, Jean masih lemah, namun dia tidak lagi demam. Setelah makan, sedikit energinya mulai kembali.

Juno pergi membawa mangkuk kosong ke arah dapur, mungkin akan mencucinya.

Jean pergi ke ranjangnya, dia membalik kasur dan mengambil sebuah bungkusan kain hitam.

Dari ingatan Jean asli, Marissa menemukan uang tabungan hasil kerja Jean asli di bungkusan kain tersebut.

Jean asli juga khawatir akan penagihan utang dari tuan tanah. Itulah kenapa dia menabung uang hasil bekerjanya sebagai buruh panen padi, uang itu tidak pernah digunakan untuk membeli makanan yang lebih layak.

Mata uang di dunia ini berupa koin, mulai dari koin tembaga, koin perak, dan koin emas. Seratus koin tembaga bernilai satu koin perak, begitu juga seratus koin perak bernilai satu koin emas.

Pekerjaan buruh panen padi menghasilkan upah yang rendah, dari pagi sampai sore memanen padi hanya 3 koin tembaga yang didapatkan Jean.

Yah, itu gaji yang sangat rendah. Mungkin karena banyak tenaga kerja yang memilih bekerja sebagai buruh panen padi.

Akumulasi gaji satu bulan hanya mencapai 90 koin tembaga sedangkan harga sewa gubuk bobrok mereka adalah 1 perak sebulan.

Sebenarnya hanya butuh 4 hari bekerja untuk mengumpulkan sisa 10 tembaga guna melunasi tagihan itu, namun keluarga Jean memiliki hutang lain yaitu lima keping perak dan bunganya yang terus meningkat.

Jean asli pernah berhutang lima keping perak pada tuan tanah sebagai biaya mengobati penyakit Ibu mereka. Sayang, sang Ibu tidak tertolong dan meninggal setengah bulan kemudian, meninggalkan hutang dan kesedihan bagi kakak-beradik itu.

Marissa akhirnya tahu, mencari makan di dunia ini sangat sulit. Mereka harus bekerja keras. Bagi wanita yang lemah itu bahkan lebih sulit.

Sebenarnya Jean bisa bekerja di kedai-kedai dengan penghasilan lebih tinggi, namun perkerjaan sebagai pelayan kedai lebih rendahan dari pada buruh tani.

Wanita pelayan kedai kerap kali dijahili atau disentuh oleh tangan-tangan pria hidung belang, meski tidak mau, mereka hanya wanita lemah tidak bisa menolak, jika tidak tamu kedai akan marah dan merekalah yang dipecat.

Ada pekerjaan yang lebih mudah dan berpenghasilan lebih tinggi lagi, yaitu menjual diri seperti saran dari istri keempat Tuan Tanah.

Wajah Jean yang elok ditambah status perawan pasti menghasilkan koin perak yang lebih banyak lagi.

Marissa membatin,

'Sampai mati Aku tidak akan menjual diri, titik!!!'

Harga Rendah

Pagi berikutnya menjadi hari keempat Marrissa memakai tubuh Jean.

Juno tidak terlihat di gubuk, dia sudah berpamitan di pagi buta untuk mencari biji rumput. Katanya biji rumput di pagi hari lebih besar karena menyerap air embun. Jean hanya tersenyum mendengar hal itu.

Di dalam gubuk, Jean sibuk menggeser lemari tua. Setelah lemari itu tergeser, tampak sebuah peti lengkap dengan gemboknya.

Jean mengambil peti tersebut dengan sedikit usaha, memindahkannya ke atas meja.

Kemudian Jean melepas kalung di lehernya. Kalung itu hanya kalung sederhana dengan tali biasa, tapi memiliki liontin kayu sukuran ibu jari. Di dalam liontin itulah terdapat kunci gembok peti tadi.

Jemari tangan Jean membuka liontin tersebut, dia membukanya dengan sedikit paksaan terlihat dari raut wajahnya yang berkerut meringis.

'Klik ' gembok peti terbuka. Jean membuka peti dengan cepat.

Di dalamnya terlihat isi peti berupa pakaian pemburu lengkap dengan lencana pemburu dan pedang panjang beserta sarungnya.

Setelah mengeluarkan benda-benda tersebut, Jean juga menemukan jubah hitam dengan bagian penutup kepala.

Melihat barang-barang di atas meja, Marissa merasakan sebuah rasa rindu dan kesedihan di hatinya.

Rasa itu timbul dari kenangan Jean asli, dia rindu akan pemilik barang-barang tersebut yang tidak lain adalah ayah Jean sendiri.

Marissa adalah anak yatim piatu tanpa kasih sayang orang tua, dia tidak pernah merasakan rasa disayangi oleh orang tua seperti Jean.

Jadi begitu dia melihat kenangan dan perasaan Jean asli tentang orang tuanya. Marissa merasa iri.

Meskipun nasip Jean sangat buruk, tapi dia bisa merasakan hangatnya keluarga. Berbeda dengan dirinya yang harus berjuang sendiri dari awal sampai akhirnya masuk ke dunia aneh ini.

Kembali ke topik barang-barang di meja.

Ayah Jean semasa hidupnya adalah pemburu tingkat menengah, tidak heran jika dia memiliki pedang yang lumayan bagus.

Dari pekerjaan ayahnya sebagai pemburu, keluarga Jean bisa hidup tenteram dan berkecukupan. Sayang itu hanya masa lalu sebelum mayat sang ayah di antar ke rumah oleh rekan pemburunya tiga tahun yang lalu.

Katanya ayah Jean meninggal setelah dadanya tertusuk duri ekor binatang buas. Masih untung mayatnya bisa diselamatkan dan dibawa kembali.

Saat itu Jean hanya bisa menangis memeluk mayat ayahnya bersama Juno. Sedangkan ibunya berteriak marah dan memukul-mukul dada rekan pemburu suaminya.

Ibu Jean menyalahkan rekan ayahnya tidak becus dan tidak bisa diandalkan, dia mengamuk dan berteriak histeris.

Dari sejak hari itu, kondisi kejiwaan ibu Jean mengalami masalah. Dia sering berteriak atau mengamuk menghancurkan perabotan rumah, terkadang dia menangis seharian tidak memperdulikan tubuhnya apalagi anak-anaknya sudah makan atau belum.

Dua tahun berlalu, ibu Jean hanya mengurung diri di kamar. Dia diam membisu ketika Jean atau Juno mengajaknya bicara, tapi Jean dan adiknya masih sabar merawat ibu mereka.

Karena tidak ada lagi yang menjadi tulang punggung keluarga, banyak barang berharga di rumah mereka terpaksa digadaikan atau dijual oleh Jean.

Akhirnya mereka terpaksa pindah dari rumah tersebut yang awalnya berada di pemukiman kelas menengah ke pemukiman kelas rendah alias wilayah pinggiran lebih dekat dengan tembok pembatas.

***

Jean memasukkan kembali semua barang ke dalam peti kecuali pedang beserta sarungnya.

Selimut putih lusuh dipakai Jean untuk membungkus pedang mendiang ayahnya, dia mengikatkan bukusan itu di depan dada.

Dengan langkah mantap Jean membawa pedang peninggalan ayahnya ke pasar untuk dijual. Seberharga apapun benda, keselamatan adiknya lebih berharga dari apapun.

Sampai di salah satu toko senjata di pasar, Jean membuka bungkusan kain berisi pedang dan menunjukkannya pada pelayan toko.

Toko itu lumayan besar, terlihat ada 3 pelanggan lain yang sedang menawar senjata atau sekadar melihat-lihat, memilih senjata panjangan di dinding toko.

Ketika pedang milik mendiang ayah Jean diperiksa oleh pelayan toko yaitu seorang pria paruh baya botak berkumis melengkung dengan perut buncit. Dia juga melirik penampilan Jean.

Jean memakai pakaian berbahan kain kasar, pakaian itu sepertinya pakaian lama dinilai dari rupa warna kain memudar dan ada beberapa bagian yang ditambal.

Sekilas melihat penampilan Jean, pelayan toko itu bisa mengetahui identitasnya sebagai orang miskin tanpa latar belakang.

" Pedang ini lumayan bagus, tapi ini pedang lama, banyak goresan, pegangannya juga memudar, oh lihat ini ada retakan hampir separuh pedang. Jika ini dipakai kemungkinan pedang untuk patah sangat tinggi. Jadi pedang ini hanya bernilai 7 keping perak." Pelayan toko mengulas dan memberi nilai harga pedang sambil memelintir kumisnya.

"7 keping perak! Tidak bisakah lebih mahal, lihatlah ini pedang yang digunakan pemburu tingkat menengah. Mendiang ayahku menggunakan pedang ini sampai ke hutan dalam. Pedang ini bisa memotong kulit binatang buas di hutan dalam, seharusnya nilainya tidak serendah itu. Tidak bisakah kau naikkan menjadi 12 keping perak?" Dengan wajah memohon Jean mencoba menawar lebih tinggi.

Jean tidak bodoh, dia tahu nilai pedang mendiang ayahnya lebih tinggi dari itu. Bahkan bisa sampai 20 keping perak meski ada retakan pada pedang.

Dia mengetahui hal itu karena mendiang ayahnya semasa hidup pernah berkata, dia menghabiskan satu keping emas untuk mendapatkan pedang itu, bahkan jika pedang itu patah, masih akan bernilai dua puluh keping perak karena bahannya yang bagus.

Pelayan Toko melihat wajah memohon Jean, bibirnya tersenyum miring.

"Oh, tentu saja bisa untuk nona cantik sepertimu. Aku bahkan bisa memberi harga 15 keping perak asalkan kau mau melayaniku hmm." Pandangan pelayan toko itu kini menatap serakah pada bagian menonjol besar di dada Jean.

Pakaian lusuh tidak bisa menutupi bentuk tubuh indah Jean di mata pelayan toko tersebut. Meski wajah Jean kurus dan kulitnya agak pucat, masih terlihat jelas kecantikan diatas rata-rata pada wajahnya.

"Maaf sekali tuan, Aku tidak jadi menjual pedang ini padamu, apalagi melayanimu, ugh Aku tidak sudi!" Jean membungkus kembali pedangnya dan secepat mungkin beranjak pergi dari toko tersebut.

Yang tidak diketahui Jean, sejak dia menunjukkan pedang mendiang ayahnya, salah satu pelanggan di toko berjubah hijau gelap terus menatap dan memperhatikan pedang di tangan pelayan toko yang melayani Jean.

Pedang bersarung hijau dengan motif lilitan sulur tanaman anggur, orang berjubah hijau menatap nostalgia pada pedang itu.

Setelah penolakan Jean dan niatnya batal untuk menjual pedang, orang berjubah hijau tersenyum kecil, tertarik dengan Jean, dia menoleh melihat kepergian Jean meninggakan toko.

"Menarik sekali, jadi kau sudah mati." gumam orang berjubah hijau sebelum pergi meninggalkan toko senjata yang tidak lagi menarik perhatiannya.

Jean berjalan mengitari pasar, hanya ada tiga toko senjata di pasar itu. Dua toko senjata selanjutnya menawar lebih kecil daripada toko senjata pertama. Hal itu membuat Jean merasa putus asa.

"Ada apa dengan dunia ini, apa hanya karena Aku wanita lemah sehingga mereka berani merendahkan harga jual pedangku. Sial ingin kutebas saja mereka." gumam Jean dengan wajah kesal.

Dia tidak sadar jika ada orang yang mengikutinya dari belakang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!