NovelToon NovelToon

Jerat Asmara Sang Mafia

Incagliato

Di suatu malam yang sangat dingin, seorang pria terkapar dengan badan tertelungkup menghadap aspal. Pria itu merasakan tubuhnya begitu ringan seakan melayang, sampai-sampai dia dapat melihat diri sendiri. Akan tetapi, si pria sama sekali tak dapat menyentuhnya. Tiba-tiba, beberapa tangan memegang tubuh lemah itu, lalu melemparkan tinggi-tinggi.

Pria tersebut dapat merasakan kengerian luar biasa. Namun, lagi-lagi dia tak punya kuasa untuk menggerakkan anggota badan. Dia hanya bisa pasrah, ketika dirinya melayang dari ketinggian. Terempas begitu saja ke dalam samudera. Menyambut ombak yang segera menggulungnya, hingga tubuh tak berdaya itu menghilang.

Tak berselang lama, dia mulai tenggelam. Pandangan yang awalnya samar, berubah menjadi buram seketika. Di dalam kegelapan itulah, waktu di sekelilingnya seakan berputar kembali ke masa lalu. Saat-saat di mana dia masih remaja.

Pria tadi, dapat melihat dengan jelas sosok dirinya pada awal usia tiga belas tahun. Tubuhnya kurus kering dan seakan tak bernutrisi. Dia berjalan tak tentu arah, setelah sang ibu tiri mengusirnya dari rumah.

Langkah kaki lemah terseok-seok, bahkan hampir saja terjatuh. Untunglah ada tangan mungil yang segera meraih dan membantu dia agar tetap berdiri. “Kau tidak apa-apa?” tanya gadis manis si pemilik tangan mungil tadi.

Remaja malang itu menggeleng lemah. “Aku hanya lapar. Karena itulah tubuhku terasa lemas,” jawabnya lesu.

Mata bulat nan indah milik gadis kecil tadi terbelalak. Tampak jelas sorot iba di sana. “Makanlah bekalku. Hari ini, aku pulang sekolah lebih awal. Jadi, aku bisa makan di rumah,” ujar gadis itu, seraya menyodorkan kotak bekal berwarna kuning cerah pada si remaja tadi.

Tanpa ragu, remaja kurus itu menerima, lalu membuka kotak makan siang tersebut. Matanya berbinar, tatkala melihat isi dari kotak itu. “Wah! Ini pasti enak,” gumam si remaja dengan air liur yang hampir menetes.

“Ayo. Makanlah,” suruh si gadis kecil yang duduk di sebelah remaja kurus tadi.

Tanpa menunggu lama, si remaja kurus itu menyantap makanan yang tersaji di hadapannya dengan lahap. Berkali-kali, dia memuji betapa enak makanan yang tengah dirinya nikmati, hingga tanpa sadar isi kotak itu pun habis. Bersih tak tersisa. Si remaja mengelap mulutnya. Tak lupa, dia mengucapkan terima kasih kepada gadis kecil yang baik hati.

Si gadis kecil, kemudian memberikan botol air minumnya untuk remaja kurus itu. “Minumlah."

Si remaja kurus segera menerima. Sejenak, dia mengamati botol air minum berwarna bening, dengan banyak tempelan stiker di sana. “Stiker superhero? Kau suka superhero ini?” tunjuk remaja itu pada sebuah stiker bergambar tokoh salah satu pahlawan super terkenal.

“Iya. Aku sangat menyukainya. Aku mempunyai banyak koleksi stikernya di rumah,” terang gadis kecil itu sambil tersenyum. Senyuman yang terlihat sangat menawan, hingga sang remaja terpana dibuatnya.

“Siapa namamu?” tanya si remaja.

Belum sempat gadis itu menjawab, tiba-tiba datanglah seorang pria dewasa dengan setengah berlari menghampirinya.

“Tuan Adriano? Anda Tuan Adriano, kan?” Pria itu segera mengeluarkan sebuah foto dari saku kemejanya, lalu membandingkan dengan wajah si remaja. “Ya, Tuhan. Ternyata Anda benar Tuan Adriano. Mari ikut denganku. Tuan Alessandro Moriarty sudah menunggu Anda.” Tanpa menunggu jawaban si remaja, pria itu menarik tangannya begitu saja, lalu membawa dia menjauh dari si gadis kecil.

“Tunggu. Tunggu! Aku belum mengembalikan botol minumnya!” ucap si remaja.

“Tidak apa-apa. Bawa saja. Untuk berjaga-jaga supaya kau tidak kehausan di jalan. Stiker superhero-ku akan melindungimu, agar kau tidak jatuh lagi!” seru gadis kecil itu dari kejauhan. Senyumannya yang indah kembali terkembang.

Hati si remaja menghangat atas kebaikan yang telah diberikan gadis kecil itu. Dalam ingatannya, sudah terpatri senyuman manis dan lucu dari wajah lugu tersebut. “Aku akan kembali! Aku akan menjemputmu!” seru si remaja dari jendela mobil, sesaat setelah tubuh kurusnya masuk ke kendaraan.

Gadis kecil itu hanya tersenyum lebar sembari melambaikan tangan. “Sampai jumpa lagi, Adriano!” serunya.

“Sampai jumpa lagi, Adriano!” Suara itu kembali terngiang di telinga. Mengganggu lelapnya, serta menyingkirkan kegelapan yang sedari tadi menyelimuti. Setengah tersadar, pria itu melihat dirinya terombang-ambing di tengah lautan. Rasa perih yang teramat sangat, mulai dia rasakan di bagian perut. Terlebih sinar matahari yang berada di atas kepala semakin menambah penderitaan. Teriknya begitu membakar permukaan kulit pria itu. Perlahan tapi pasti, kegelapan kembali menyergap dirinya.

......................

Corsica. Pulau yang indah dan menjadi tujuan para wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Berjarak sekitar dua ratus kilometer lebih dari Pulau Elba, dan termasuk ke dalam wilayah region Perancis.

Seorang gadis berambut hitam, berdiri di sisi sebuah tebing yang tidak terlalu terjal. Seperti biasa, setiap siang dia selalu menikmati embusan angin di sana dengan suasana pantai berombak. Namun, pada siang itu ada sesuatu yang tak biasa. Tepat di bibir pantai yang kebetulan tengah sepi pengunjung, pandangannya terkunci pada sesuatu yang tampak mencurigakan. Gadis itu bergegas menuruni bukit dengan hati-hati. Dia berlari di atas pasir dalam cuaca panas, menuju garis pantai.

Sesosok tubuh seorang pria dalam posisi tertelungkup dirinya dapati di sana. Gadis itu terlihat resah. Dia memilih untuk bergerak mundur. Gadis tadi tak tahu, apakah pria itu masih hidup atau sudah menjadi mayat. "Astaga!" seru si gadis setengah ketakutan. Dia lalu melihat sekeliling, dan segera berlari dari pantai tersebut.

Tak berselang lama, gadis itu kembali bersama seorang pria setengah baya. Dia menunjukan temuannya kepada pria yang menyertainya. "Apakah pria ini masih hidup?" tanya pria paruh baya tersebut, seperti pada dirinya.

"Entahlah, Paman. Apa yang harus kita lakukan sekarang? Masih hidup atau tidak, kita tetap harus menolongnya. Kita tak mungkin membiarkan pria itu tetap berada di sini," ujar gadis berambut hitam itu.

"Kau tunggulah di sini. Aku akan mengajak Tuan Bailey kemari." Dengan terburu-buru, pria paruh baya tadi kembali ke atas bukit dan menghilang dari pandangan si gadis berambut hitam. Sementara, dia masih berdiri terpaku di dekat tubuh pria yang tubuhnya sesekali tersiram ombak.

Selang beberapa saat, pria paruh baya yang dipanggil paman oleh gadis itu, telah kembali dengan seorang pria dengan tampilan jauh lebih rapi. "Lihatlah, Tuan Bailey. Itu yang keponakanku temukan," tunjuk pria dengan janggut yang sudah memutih tersebut.

Pria bernama Bailey itu segera mendekat dan mengamati tubuh pria yang masih dalam keadaan tertelungkup di atas pasir. "Aku akan segera menghubungi petugas medis," ucapnya. Dia lalu merogoh ponsel dan mulai menghubungi seseorang. Mereka bertiga kemudian menunggu beberapa saat, hingga para petugas medis setempat datang.

Para petugas medis itu segera memeriksa pria yang terdampar di bibir pantai. "Pria ini masih hidup!" seru salah seorang dari mereka yang berjumlah empat orang. "Ada beberapa luka tembak di perut samping sebelah kiri. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit pusat," lanjutnya setelah memeriksa dengan lebih saksama.

"Aku akan menghubungi pihak rumah sakit pusat agar mereka mengirimkan helikopter kemari," ujar pria bernama Bailey tadi. Tanpa berlama-lama, dia kembali menggunakan ponselnya. Sedangkan, tubuh pria yang tadi terdampar segera dibawa menjauh dari pantai, untuk menunggu bantuan datang.

Tidak perlu menunggu terlalu lama, helikopter yang akan membawa pria yang terluka itu telah tiba. Para petugas segera membawa pria tersebut ke dalam helikopter. "Bolehkah aku ikut? Aku ingin mengetahui keadaannya," pinta gadis berambut hitam tadi sedikit berharap.

"Masuklah!" suruh Bailey tanpa banyak bicara, membuat si gadis terlihat senang. Dia segera mengikuti para petugas medis tadi, masuk ke helikopter. Setelah itu, mereka pun terbang menuju rumah sakit pusat.

Setibanya di rumah sakit, para petugas di sana sigap menangani pasien yang baru tiba. Mereka segera membawa pria yang tengah terluka itu menuju ruang tindakan, sementara si gadis menunggu di luar dengan khawatir.

Take Me Away

Dua hari tak sadarkan diri setelah menjalani operasi besar, pria itu akhirnya siuman dan sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Sementara, gadis yang menemani sejak awal, duduk dengan raut tegang di samping tempat tidur. Dia menyembunyikan wajah cantiknya yang agak pucat, dari tatapan pria yang telah melewati masa-masa kritis setelah menjalani serangkaian tindakan medis.

“Siapa kau?” tanya pria itu dengan suaranya yang berat dan dalam, meski masih agak lemah. “Bagaimana aku bisa berada di sini?” tanyanya lagi.

Gadis berambut hitam itu perlahan mengangkat wajahnya. Dia memberanikan diri, melawan tatapan sepasang mata biru pria yang masih terlihat belum memiliki tenaga sepenuhnya. “Namaku Olivia Bellamy. Aku menemukanmu terdampar di pesisir pantai. Kau tak sadarkan diri dengan beberapa luka tembak. Namun, untungnya tim dokter di rumah sakit ini telah berhasil menyelamatkan nyawamu,” tutur gadis bernama Olivia tersebut. Nada bicaranya terdengar pelan dan juga lembut. Sepertinya gadis itu merupakan seseorang yang baik dan ramah.

“Di mana ini?” tanya pria itu lagi, tanpa mengalihkan tatapan dari Olivia yang mulai salah tingkah karenanya.

“Kita berada di Ajaccio,” jawab Olivia yang seketika membuat pria itu tersentak.

“Apa? Itu artinya aku berada di Pulau Corsica?” Pria itu menggumam pelan seperti pada dirinya. Sesuatu yang sulit dipercaya. Kembali terlintas dalam ingatannya, saat-saat terakhir ketika dia masih berada di Pulau Elba. Bayangan itu hadir dan tampak begitu jelas, ketika dirinya ditembak oleh wanita yang sangat dia cintai. “Tolong panggilkan perawat,” pinta pria itu dengan segera.

Olivia mengangguk. Dia beranjak dari tempat duduknya. Gadis itu lalu menekan tombol yang berada di atas tempat tidur.

Tak berselang lama, seorang wanita berseragam perawat masuk ke ruangan. “Ada yang bisa dibantu, Tuan?” tanya perawat itu sopan.

“Aku ingin menghubungi seseorang. Bisakah Anda membantuku, Suster?” jawab pria itu dengan nada bicaranya yang terdengar cukup tegas, meskipun dia masih terlihat lemah.

“Oh, iya. Tentu,” jawab perawat itu.

“Bolehkah jika aku meminjam ponselmu? Aku berjanji akan memberikan sejumlah uang sebagai ucapan terima kasih,” ucap pria itu lagi, membuat si perawat tadi terlihat senang. Tanpa banyak bertanya, wanita berseragam putih tersebut segera menyodorkan benda yang akan dipinjamkannya, kepada pria yang sedang dalam masa pemulihan tersebut.

Tak berselang lama, si pria tampak menghubungi seseorang. “Pierre? Ini aku, Adriano D’Angelo. Datanglah ke rumah sakit pusat di Ajaccio hari ini juga. Jangan lupa bawakan aku pakaian.” Pria yang tiada lain adalah Adriano, kemudian memberitahu nomor kamar tempatnya dirawat. Setelah itu, dia menutup sambungan telepon dan mengembalikan ponsel milik perawat tadi. “Terima kasih, Suster. Ajudanku akan segera kemari. Tidak perlu khawatir. Aku tak akan mengingkari janji,” tutupnya.

Perawat itu tersenyum seraya mengangguk penuh semangat. “Setengah jam lagi aku akan kembali, karena waktunya Anda meminum obat. Sekarang, aku permisi dulu.” Perawat itu kemudian berlalu dari dalam kamar.

Sementara, Olivia hanya diam terpaku menatap pria yang sebagian tubuhnya dibalut perban, karena luka tembak yang dia alami. “Dari mana asalmu, Tuan?” tanya Olivia, masih dengan nada bicaranya yang pelan dan lembut.

“Monte Carlo,” jawab Adriano seraya melirik gadis berambut hitam yang masih tampak kebingungan. “Siapa yang bertanggung jawab atas operasi yang telah kujalani?” tanya Adriano.

“Aku,” jawab Olivia dengan segera. Namun, dengan segera gadis itu kembali terdiam. “Maaf, jika aku telah lancang. Akan tetapi, kau memerlukan penanganan dengan segera,” ucapnya kemudian.

“Terima kasih banyak, Nona Bellamy. Aku tak akan melupakan budi baikmu,” balas Adriano. Sesaat kemudian, pria bermata biru itu terdiam. Tatapannya tertuju ke luar jendela. Menerawang jauh entah ke mana. Siapa sangka, ternyata dirinya masih diberi kesempatan kedua untuk tetap berada di dunia.

Adriano begitu bersyukur, meskipun pada kenyataannya luka di dalam hati kian membesar. Di memejamkan mata dengan erat. Bayangan paras cantik wanita yang teramat dia cintai kembali hadir. Senyuman manis itu tak dapat dirinya singkirkan begitu saja dari ingatan.

“Mia …,” ucap pria itu pelan dan terdengar begitu lirih. Satu nama yang selalu mengisi hatinya, tetapi tak mampu untuk dia miliki. Sementara, Olivia lagi-lagi hanya terdiam memperhatikan pria yang saat itu sepertinya akan kembali tertidur.

Menjelang sore, seorang pria berusia sekitar empat puluh tahun, datang mengunjungi Adriano. Pria itu adalah Pierre Corbyn, ajudan setia Adriano yang baru tiba dari Monaco. Melihat keadaan sang majikan yang cukup memprihatinkan, pria bertubuh tinggi tersebut segera mendekat dengan raut wajah yang teramat khawatir. ”Tuan, bagaimana keadaan Anda?” tanyanya. “Siapa yang sudah melakukan hal seperti ini?” tanya pria itu lagi.

“Sudahlah, yang terpenting saat ini aku masih hidup,” jawab Adriano pelan. Sesekali, pria itu meringis saat merasakan luka bekas operasinya yang dirasa tak nyaman.

“Katakan, Tuan. Apakah Matteo de Luca yang melakukan ini terhadap Anda?” tanya Pierre lagi dengan sedikit memaksa. Loyalitasnya yang begitu tinggi terhadap sang majikan, tak dapat diragukan lagi. Hal itu membuat dirinya merasa tak terima, saat melihat kondisi sang ketua dari organisasi bernama Tigre Nero tersebut dalam kondisi seperti saat ini.

“Sudah dua hari kami mencari keberadaan Anda. Aku mendatangi Brescia dan juga Kastil Coradeo. Orang-orang yang kutemui, semuanya mengatakan bahwa Anda telah bertolak dari Pulau Elba malam hari setelah pesta. Menurutku itu sangat aneh, karena beberapa hari yang lalu saat Anda datang ke pulau, Anda memerintahkan pilot helikopter untuk langsung kembali ke Milan. Setelah itu, Anda tidak meminta pilot untuk menjemput saat pulang. Dengan kendaraan apa Anda bertolak dari Pulau Elba?” cecar Pierre yang tak putus asa demi mendapatkan jawaban yang memuaskan diri sang majikan.

Sementara Adriano sepertinya tak ingin menjawab pertanyaan itu. Dia hanya menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Pria berparas rupawan tersebut kemudian mengalihkan tatapannya kepada Olivia, yang masih berdiri dan seakan tak tahu harus berbuat apa. Gadis itu terlihat bingung. “Bisakah kau tinggalkan kami sebentar, Nona?” Tatap mata Adriano, mengisyaratkan bahwa dirinya ingin membahas sesuatu yang pribadi dengan sang ajudan.

Olivia segera mengangguk. Tanpa banyak bicara, gadis berambut hitam itu melangkah keluar dari ruangan tersebut.

“Siapa gadis itu, Tuan?” tanya Pierre yang mengikuti kepergian Olivia dengan tatapannya.

“Dia yang membawaku ke rumah sakit ini. Siapkan sejumlah uang sebagai hadiah untuknya,” jawab Adriano. Sesekali, pria itu mendesis pelan seraya memejamkan kedua mata, demi menahan rasa sakit dari luka yang dia alami. “Apakah ada berita penting selama aku tidak ada?” tanyanya. Dalam keadaan seperti itu pun, Adriano masih sempat memikirkan organisasi dan juga bisnis.

“Ya, Tuan. Ada beberapa email yang masuk dari rekan bisnis Anda. Dalam bulan ini, Anda seharusnya menghadiri beberapa pertemuan penting. Akan tetapi, aku rasa itu hal yang tidak mungkin mengingat kondisi kesehatan ….”

“Jangan meremehkanku, Pierre! Aku tidak selemah itu. Aku justru ingin segera pergi dari sini,” sela Adriano.

“Maafkan aku, Tuan. Bukan itu maksudku. Tuan Sergei Redomir datang ke mansion beberapa hari yang lalu. Dia menanyakan keberadaan Anda. Aku pikir, Anda masih berada di Italia. Karena itulah aku benar-benar terkejut, ketika tiba-tiba Anda mengatakan tengah berada di Ajaccio. Katakan yang sebenarnya, Tuan. Aku akan mengerahkan anak buah pilihan kita untuk membalaskan semua yang telah mereka lakukan terhadap Anda.” Pierre mengepalkan tangannya dengan sempurna.

“Sudah kukatakan bahwa aku tak ingin membahasnya!” sentak Adriano dengan nada cukup tinggi. Namun, pada akhirnya dia harus meringis kesakitan.

Dengan segera Pierre mendekat. Rasa cemas akan keadaan tuannya, membuat pria itu terlihat tak karuan. “Tenanglah, Tuan. Jika memang itu kemauan Anda, maka aku akan menahan diri,” ucapnya mengalah.

“Lebih baik sekarang kau urus agar aku bisa segera kembali ke Monaco!” titah Adriano setelah rasa sakitnya mulai mereda.

“Ya. Akan tetapi, kondisi Anda ….” Pierre lagi-lagi tak sempat melanjutkan kata-katanya.

Adriano kembali menyela dengan cukup tegas, meskipun dengan penekanan yang tak terlalu tinggi seperti tadi. “Aku tidak mau tahu! Bagaimanapun caranya, aku ingin segera kembali ke Monaco!” ucap pria bermata biru itu, membuat sang ajudan tak mampu untuk membantahnya lagi.

Pierre mengangguk setuju. Dia tahu apa yang harus dilakukannya. Pria itu pun kemudian berpamitan untuk keluar sejenak. Dia hendak mengurus proses pemindahan Adriano ke Monaco.

Setelah Pierre keluar, Olivia kembali masuk. Gadis itu lagi-lagi menunjukkan sikapnya yang canggung. Dia lalu mendekat kepada Adriano yang tampak memejamkan mata. Entah Adriano benar-benar tertidur atau tidak. “Tuan, apakah Anda tidur?” tanya gadis berwajah pucat tadi terdengar ragu. Dia terus memperhatikan Adriano sambil berdiri di sisi tempat tidur.

“Ada apa?” tanya Adriano tanpa membuka matanya.

“Tuan yang tadi berbicara dengan Anda, mengatakan bahwa dia akan mengurus pemindahan Anda ke Monaco. Apakah itu benar?” tanya Olivia lagi.

“Ya,” jawab Adriano masih dengan matanya yang terpejam.

Suasana hening untuk sesaat. Tak terdengar Olivia bertanya apa-apa lagi. Sementara, Adriano pun seakan tak peduli. Pria itu terus memejamkan mata. Beberapa saat kemudian, kembali terdengar suara lembut Olivia memecah keheningan di dalam ruangan tersebut. “Maukah kau membawaku bersamamu ke Monaco?” tanyanya memberanikan diri.

Back Home

Adriano menoleh kepada Olivia. Sementara, gadis berambut hitam itu hanya berdiri dengan sikap yang malu-malu. Dia masih terlihat canggung. Olivia juga tampak salah tingkah, karena tatapan lekat dari Adriano yang ditujukan kepadanya.

Tak lama kemudian, Adriano kembali mengalihkan pandangannya, lalu terpejam. Dia sama sekali tak menanggapi permintaan dari Olivia. Membuat gadis itu menjadi semakin galisah.

“Kau bisa menjadikanku sebagai pelayan atau apapun, Tuan. Aku pandai memasak, juga melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga. Aku terbiasa mencuci pakaianku sendiri dan melakukan segala sesuatu seorang diri,” ucap Olivia lagi tak putus asa. Dia masih berharap agar Adriano membawanya ke Monaco.

Pria yang tadi sempat memejamkan matanya, kini kembali menoleh. Akan tetapi, Adriano belum juga menanggapi permohonan dari Olivia. Gadis itu pun menjadi semakin resah. “Jika kau tak berminat untuk membawaku, maka aku akan kembali saja ke Piana,” ujar Olivia seraya menundukkan wajahnya yang cantik.

“Mengapa aku harus membawamu bersamaku, Nona Bellamy?” tanya Adriano datar. “Jika kau ikut denganku, lalu bagaimana dengan keluargamu?” tanyanya.

“Kedua orang tuaku berada di Italia. Di Piana, aku hanya tinggal sendiri. Memang, ada seorang pria yang telah kuanggap sebagai paman angkat. Akan tetapi, aku tak ingin terus-menerus merepotkannya,” jelas Olivia menanggapi pertanyaan Adriano.

Belum sempat pria bermata biru itu menanggapi jawaban dari Olivia, Pierre sudah terlebih dulu masuk ke kamar rawat tersebut. Dia langsung menghampiri sang tuan, yang menyambut pria berambut pirang itu dengan tatapan penuh tanda tanya.

“Segala urusan pemindahan Anda ke Monaco sudah selesai, Tuan. Pihak rumah sakit ini, telah berkoordinasi dengan pihak dari rumah sakit pusat di Monaco. Anda bisa melanjutkan perawatan di sana hingga pulih. Seluruh biaya administrasi juga sudah kulunasi. Apakah ada yang lainnya?” Pierre selalu melakukan tugas yang Adriano perintahkan dengan sangat baik dan cepat. Hal itulah yang membuat Adriano menjadikan pria berusia empat puluh tahun itu, sebagai ajudan pribadinya.

“Kerja bagus, Pierre,” puji Adriano bangga. Tersungging sebuah senyuman kecil di sudut bibir pria tampan tersebut. “Siapkan uang tunai sebagai hadiah untuk perawat yang sudah meminjamkan ponselnya padaku. Setelah itu, aku ingin segera pergi dari sini,” ujar Adriano seraya mengalihkan tatapannya ke luar jendela. Menerawang pada langit kota Ajaccio yang cerah.

Adriano ingin segera pulih dan kembali memulai hidupnya seperti biasa. Dalam hati, dia sudah bertekad untuk mengubur dalam-dalam serentetan peristiwa mengerikan, yang terjadi beberapa waktu lalu. Termasuk perlakuan tak manusiawi yang dilakukan anggota Klan de Luca terhadap dirinya. Satu hal yang juga harus segera dia lakukan adalah, menghapus bayangan sosok cantik dengan senyum terindah, yaitu Florecita Mia de Luca.

“Lalu, bagaimana denganku, Tuan? Berikan jawabanmu segera,” desak Olivia kembali bersuara. Wajah gadis itu masih diliputi perasaan tak menentu.

“Memangnya apa yang kau inginkan, Nona? Tenang saja, aku sudah menyiapkan uang tunai sebagai imbalan bagimu karena telah berjasa membawa Tuan D’Angelo kemari. Berapa yang kau inginkan?” Pierre menatap Olivia dengan cukup tajam.

Sedangkan, Olivia tidak segera menjawab. Gadis itu justru memandang penuh harap kepada Adriano. Walaupun pria itu tak membalas tatapan gadis tersebut, tetapi Adriano mengerti betul makna yang tersirat dari sorot mata si gadis.

“Siapkan tempat di dalam helikopter untuk Nona Bellamy, karena dia akan ikut dengan kita ke Monaco,” titah Adriano, yang kemudian bersambut senyum ceria dari gadis berambut hitam itu.

Olivia melonjak kegirangan. Dia bahkan bermaksud untuk memeluk Adriano yang masih terbaring. Akan tetapi, dengan segera Adriano mengangkat sedikit tangannya, sebagai tanda agar gadis itu tak mendekat. Olivia pun mengurungkan niat tersebut. Meskipun Adriano terkesan menolaknya, tapi Olivia tetap memperlihatkan raut yang bahagia.

Menjelang malam, tim perawat yang menangani Adriano telah selesai mempersiapkan pemindahan pria itu menuju helikopter. Adriano, akhirnya dapat bernapas lega, ketika alat transportasi dengan gambar seekor macan hitam pada bagian body sampingnya itu telah lepas landas dan terbang meninggalkan Pulau Corsica yang indah.

Tak hanya Adriano yang merasa bahagia. Raut ceria pun terlihat dengan jelas pada wajah Olivia. Entah mengapa, gadis itu merasa begitu bahagia, ketika bisa ikut pergi menuju Monaco. Padahal, dia belum mengetahui siapa Adriano D’Angelo yang sebenarnya.

Tak membutuhkan waktu yang lama, hingga akhirnya helikopter yang membawa Adriano sudah mendarat di atas atap rumah sakit pusat Kota Monte Carlo, Monaco. Di sanalah, Adriano akan menjalani masa pemulihannya. Sementara, Olivia dengan setia menemani dan melayani segala sesuatu yang Adriano butuhkan. Gadis itu memang bisa diandalkan.

Beberapa hari kemudian, Adriano sudah dinyatakan pulih. Dia diperbolehkan pulang oleh tim dokter yang merawatnya.

“Seluruh biaya administrasi telah dilunasi, Tuan. Mobil juga sudah menunggu di halaman parkir rumah sakit. Kita pulang sekarang?” Pierre memberikan laporannya kepada Adriano, yang saat itu tengah berdiri sambil memandang ke luar jendela kamar rawat.

Pria yang sudah tampil rapi dengan kemeja hitam tersebut, kemudian menoleh. Dia lalu mengangguk dan berjalan mendahului sang ajudan setia. “Bagaimana dengan gadis itu?” tanya Adriano sambil terus melangkah tenang menuju pintu keluar rumah sakit.

“Sesuai perintah Anda. Aku sudah menempatkannya di salah satu kamar tamu. Menurut kepala pelayan, gadis itu sangat rajin membantunya. Dia juga pandai memasak,” tutur Pierre yang terus mengekor langkah tegap sang majikan, yang tak menunjukkan bahwa pria itu baru selesai menjalani masa perawatan, setelah operasi dari luka tembak yang dialaminya.

“Baguslah kalau begitu,” sahut Adriano, Dia sudah berdiri di dekat mobilnya, setelah Pierre mengarahkan pria itu ke tempat di mana dirinya memarkirkan kendaraan mewah tersebut.

“Dia terus menanyakan kapan Anda akan pulang,” ujar Pierre lagi seraya membukakan pintu mobil untuk sang majikan.

“Karena itulah aku menyuruhnya untuk pulang lebih dulu. Dia benar-benar berisik,” keluh Adriano seraya masuk dan duduk di jok belakang. Pria bermata biru itu sempat meringis kecil, karena gerakan tubuhnya yang kurang hati-hati. Namun, Adriano mengabaikan rasa tak nyamannya. Seperti biasa, dia harus kembali berdamai dengan segala rasa sakit.

Tanpa terasa, mereka kini telah tiba di depan mansion mewah nan luas milik Adriano. Dari pintu gerbangnya saja yang menjulang dan terlihat sangat kokoh, sudah dapat dipastikan seberapa luar biasanya keadaan di balik tembok tinggi yang menjadi benteng mansion tersebut. Maserati Ghibli berwarna ungu metalik itu pun melaju dengan elegan, memasuki halaman luas mansion yang didominasi warna putih.

Mansion milik Adriano memiliki luas bangunan sekitar tujuh ribu lima ratus meter persegi. Di dalam mansion itu terdapat sepuluh kamar tidur, tujuh kamar mandi dengan pembangkit listrik sendiri. Selain itu, mansion mewah milik lajang dua puluh sembilan tahun tersebut, dilengkapi dengan tiga kolam renang, lapangan tenis, heliped, juga fasilitas lainnya yang sengaja dibuat sesuai dengan keinginan sang pemilik.

Lalu, dari mana sumber kekayaan Adriano selama ini? Jawabannya, tentu saja dari semua bisnis yang dijalani pria tersebut. Adriano memiliki klub malam dan juga kasino yang tersebar di berbagai kota besar dari negara-negara di dataran Eropa. Dia bahkan kini mulai merambah ke luar benua, tepatnya adalah Amerika. Selain itu, Adriano juga menguasai jalur perdagangan narkoba yang sebagian besar menyasar kalangan kelas atas.

Pierre menghentikan laju mobil yang dia kendarai. Setelah itu, sang ajudan berambut pirang tersebut segera turun dan membukakan pintu untuk sang majikan, yang terlihat jauh lebih berseri jika dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya.

Adriano tersenyum kalem, ketika seorang wanita cantik dengan tampilan yang anggun dan berkelas, datang menyambutnya. “Tuan D’Angelo. Akhirnya kau pulang juga,” ucap wanita cantik berambut hitam yang tergerai di atas pundak sebelah kiri.

“Bianca? Sejak kapan kau berada di sini?” tanya Adriano keheranan. Dia membalas hangat sambutan dari gadis cantik bernama Bianca tersebut. Adriano pun tak menolak, ketika gadis berkulit mulus itu mencium hangat pipi sebelah kanannya.

“Aku mendapat kabar dari Pierre, katanya kau akan kembali dari rumah sakit hari ini. Maaf, karena aku tidak sempat menjengukmu selama berada di rumah sakit. Aku baru kembali dari Lyon,” jelas Bianca seraya menggandeng lengan sebelah kanan pria bertubuh tegap itu. Bianca lalu melangkah masuk bersama sang pemilik mansion.

Bianca Alegra. Dia merupakan kenalan sekaligus rekan bisnis Adriano. Usianya terpaut tiga tahun dari pria itu. Bianca adalah seorang pebisnis yang andal. Dia juga merupakan wanita cerdas, sehingga telah membuatnya dapat menduduki jabatan penting yang sudah diwariskan dari mendiang sang ayah. Bianca pun berwajah sangat cantik serta menarik.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!