NovelToon NovelToon

Gorgeous Jewel

Bab I Chapter 1

Seorang gadis dengan tampak angkuh berjalan menuju sebuah ruangan. Dengan gaun panjang berwarna merah maron, sedikit dilengkapi rumbai kecil dan kerlap-kerlip perhiasaan di beberapa bagian tubuhnya, gadis itu tampak elegan dan mewah. Tatapan matanya yang merendahkan orang di sekitarnya, membuat perasaan menjadi lirih. Pelayan yang melihat sosoknya tak berani untuk menatap langsung matanya melainkan hanya bisa menunduk sembari menyambut kedatangannya.

Gadis itu tidak lain adalah putri sulung dari kediaman duke Strongfort.

Dia bukanlah jenius, orang cerdas atau memiliki keterampilan khusus lainnya. Gadis itu sendiri adalah sebuah ancaman atau beban bagi keluarga Strongfort. Sombong, tamak, licik, hedonis adalah sedikit kata untuk menggambarkan dirinya.

Alicia Lein Strongfort, satu-satunya yang membuatnya istimewa, hanya status yang ia pegang saat ini yaitu sebagai putri dari keluarga duke Strongfort yang terkenal.

Alicia berjalan melewati pintu menuju ruang makan yang megah dari kediaman Strongfort. Ayah, ibu dan adik perempuannya telah duduk di kursi mereka masing-masing dan sudah siap untuk menyantap hidangan sarapan.

Seperti biasa, Alicia dengan tingkahnya yang kurang sopan santun dan tak mencerminkan seorang putri bangsawan sebagaimana mestinya berjalan menuju kursinya. Ia bahkan tak ingin repot untuk menyapa kedua orang tuanya.

" Alice. " Begitulah panggilannya. " Jangan lupa untuk menghadiri kelas etika mu siang nanti. Ku dengar kau telah berkali-kali absen. " Lanjut Ayahnya, Ernard Lein Strongfort.

Merasa jenuh dan malas untuk membalas ucapan ayahnya. Alice menarik nafas panjang sambil memutar bola matanya. " Tapi Yah, nanti siang aku ingin pergi ke kediaman Lilia. Dia mengundangku dalam acara pesta teh. "

Melihat sikap putrinya, Liana hanya bisa menghela nafasnya perlahan, sementara itu Ernard mengernyitkan alisnya merasa kesal dengan tingkah Alice .

Ernard yang berkali-kali dan berhari-hari telah menasehati Alice merasa semakin putus asa. Usianya sudah menginjak angka 15 tapi perilakunya bahkan lebih buruk dari pada seorang anak-anak. Padahal setahun lagi adalah pesta debutnya.

" Baiklah jika itu maumu." Ucap Ernard setelah menghela nafas panjangnya. " Tapi ingat! Ini yang terakhir. Berikutnya kau tidak boleh absen lagi dari kelas etika mu. " Ernard merasa bahwa nafasnya hanya akan semakin memendek ketika ia menghadapi putrinya yang satu ini.

" Iya Iya. " Dengan tampak malas Alice menjawabnya. Waktu terus berputar dan keadaan hening berlanjut hingga sarapan mereka selesai.

Setelah mengelap mulutnya dengan sehelai kain. Alice meninggalkan ruangan tersebut begitu saja tanpa sepatah kata.

Dalam benaknya, Alice sendiri berpikir bahwa pelajaran etika itu adalah hal yang paling merepotkan. Sedikit-sedikit harus inilah harus itulah, tidak boleh inilah tidak boleh itulah.

Dengan banyaknya peraturan mengenai tingkah seorang wanita bangsawan, Alice merasa terbebani. Ia terkekang, ia ingin bebas dan menikmati hidupnya sepenuh hati. Toh apalagi yang tidak ia miliki, menurutnya. Wajah rupawan, kekayaan begitu banyak, pamor sudah pasti, kekuatan? Jangan ditanya. Dengan semua hartanya itu Alice hanya ingin berfoya-foya.

Saat waktu pesta teh tiba. Dengan dandanannya yang terbilang 'Wah' Alice melangkah dari pintu kamarnya.

Para pelayan wanita telah ia buat repot kiri-kanan.

Dari ketika mereka harus menyiapkan bak mandi hingga gaun dan riasan. Alice tiada henti-hentinya melemparkan umpatan, cemoohan dan kekesalannya pada mereka.

Telah banyak pelayan yang meninggalkan kediaman Strongfort, utamanya bagian pelayan wanita. Salah sedikit saja atau suasana hati Alice sedang buruk, maka bisa dipastikan akan ada keributan yang terjadi akibat gadis itu. Namun, beruntungnya, Alice tak pernah main tangan atau kekerasan pada pelayan rumahnya, hanya ucapan pedas yang pas menusuk hati atau perabotan yang ia lempar berantakan ke lantai atau dinding.

Di temani oleh seorang pelayan wanita dan dua ksatria, Alice dengan kereta kudanya berangkat menuju kediaman Matilda.

~

Di rumah kediaman Matilda, dalam sebuah ruangan cukup luas, kumpulan muda mudi dari kalangan bangsawan saling bertukar kata. Ruangan tersebut langsung terhubung ke area taman keluarga Matilda membuat para tamu yang menghadiri pesta bisa langsung menikmati pemandangan taman bunga.

" Tau tidak, Beberapa hari yang lalu aku mendengar berita yang cukup menarik "

" Benarkah? Apa itu? "

Kelompok wanita tersebut tampak asik berbincang.

" Sepertinya putri sulung kediaman Strongfort kembali berulah. "

" Sungguh? Wah~wah~ keluarga Strongfort Sepertinya akan mempunyai masa depan yang kemilau dengan kehadirannya " sindirnya.

Kumpulan wanita tersebut tertawa pelan bersama.

Topik tentang Alice memang selalu hangat di telinga untuk dibicarakan.

Beberapa saat kemudian, kereta kuda yang ditumpangi Alice tiba di depan kediaman Matilda.

Penjaga gerbang yang melihat sosoknya sekejap terpana akan paras Alice

' Apakah dia adalah gadis tercantik di kerajaan Solis ini....'

Alicia yang tampak anggun berjalan menuju tempat pesta teh tersebut diadakan.

Wajah putih sedikit pucat dengan kulit halus dan bibir kecil berwarna merah muda itu menarik perhatian begitu banyak orang. Tidak hanya lelaki, begitu juga dengan para wanita yang hadir dan melihatnya. Hidung mancung dan mata birunya yang cerah seperti lautan membuat orang merasa nyaman ketika melihatnya tak hanya itu. Rambut pirang keemasannya yang panjang membuat orang iri akan betapa lembut dan indahnya saat mereka terbelai angin.

Ya, seharusnya jika dia bersikap lebih baik dari pada rumor itu, maka orang-orang mungkin akan mengaguminya saat melihat kecantikannya tapi mengetahui tempramen dan sifat lainnya. Mereka tahu untuk tidak begitu lama meletakkan mata itu pada Alice.

" Alice! " Liliana menegur Alice saat melihatnya. " Kau datang rupanya. Bagaimana perjalananmu?"

" Terima kasih telah mengundangku Lilia " Balas Alice dengan sopan dan lembut. Meski ia sendiri malas belajar etika tapi terima kasih dengan pengulangan yang begitu banyak dari gurunya sehingga ia bisa mengingat beberapa hal mengenai tata krama.

Alice dan Lilia berjalan dan berbincang dengan akrabnya.

" Jadi, bagaimana kabarmu dengan pangeran Kevin? " Tanya Lilia pada Alice.

" Hmm... Ku rasa baik-baik saja. Tapi... Aku tidak tahu akhir-akhir pangeran selalu sibuk dan tak bisa ku temui" Jelas Alice mengerutkan alisnya karena kesal.

' Sibuk? Sungguh? Aku tahu dia adalah putra mahkota tapi... bukankah ia sebenarnya hanya tidak ingin bertemu denganmu ' Pikir Lilia menggelengkan kepalanya melihat Alice.

" Sebaiknya kau perbaiki saja sikapmu itu, jika kau berniat ingin menjadi tunangannya " Terang Lilia sembari menawarkan cemilan manis.

Alice menghela nafas panjangnya. Kenapa orang-orang selalu menyuruhnya berubah? Bukankah ia lebih menikmati hidupnya saat ini, ia lebih bahagia. Begitulah pikir Alice.

Sifat Egois inilah yang membuat orang lain membencinya.

Sembari berjalan, Lilia tersenyum dan sesekali melambaikan tangannya untuk menyapa para tamu yang ia temui.

" Yah... Pokoknya, kau harus berubah itu saja. Terlebih lagi jangan terlalu mudah untuk dekat dengan pria lain." Jelas Lilia seperti seorang ibu pada anaknya.

Sungguh beruntungnya Alice memiliki sahabat seperti Lilia.

" Eh Tunggu! " Alice tiba-tiba berhenti saat melihat kumpulan gadis bangsawan disisi kirinya.

Melihat seringai Alice, lilia meletakkan telapak tangannya di dahinya sambil menggelengkan kepalanya.

' Mulai lagi  '

Dengan membusungkan dadanya. Alice menghampiri para gadis tersebut.

" Apa yang sedang terjadi? "

Para gadis spontan menoleh ke asal suara tersebut. Mereka menahan nafasnya sejenak melihat Alice.

Yang tadinya sedikit ribut tiba-tiba menjadi sunyi senyap saat ia hadir di tengah-tengah mereka.

' Apa ini? Penindasan? Siapa dan kepada siapa ' Alice mengamati dan melihat para gadis bangsawan yang ada di hadapannya ' Hmm~ Begitu rupanya. ' Senyum lebar pun mulai terlukis di wajahnya.

Para gadis tersebut seperti terikat menjadi satu pikiran 'Gawat' kata itulah yang menggambarkan situasi mereka saat ini.

Di sisi kirinya dua orang gadis muda yang terlihat gemetaran dan menunduk. Di sisi lainnya seperti sebuah kelompok yang terlihat lebih arogan dari pada dua orang lainnya.

" Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi...tampaknya menarik. Kenapa tidak dilanjutkan? " Ucapnya sambil berjalan pelan mengitari mereka.

Kipas kecil kesayangannya tak lupa ia tepuk - tepuk di telapak tangannya.

" Ti-tidak. Ka-kami... Kami hanya bercanda. " Jawab salah satu gadis berkelompok tersebut lalu ia melirik temannya yang di sebelahnya.

" Benar. Kami hanya bercanda " Lanjut gadis di sebelahnya.

Alice terdiam. Entah takdir atau kebetulan, ketika seorang pelayan yang berkeliling sambil menawarkan minuman melewati mereka. Alice meraih salah satu gelas.

" Ah... Maaf, sepertinya gelas ini sedikit licin. " Ucapnya setelah ia dengan sengaja menumpahkan minuman tersebut pada gadis yang terlihat seperti pemimpin kelompok itu " Untung saja gelas itu kuat. Mungkin jika gelas itu terlalu murah sepertinya akan pecah begitu saja saat terjatuh. Benar kan?!" Sindirnya dengan tatapan sinis pada kelompok gadis itu.

" Ma-maafkan kami nona Alicia. " Gadis-gadis itu menunduk dan segera berlari menjauh.

" Te-terima.. "

" Aku tidak memiliki niat untuk membantu kalian. Rendahan! " Tegasnya lalu ia pun berlalu.

Setelah melihat aksi Alice. Lilia segera menghampirinya.

" Apa yang kau lakukan? Bukankah itu sedikit berlebihan " Tegurnya.

Alice tersenyum tipis dan menjawab " Aku hanya tidak suka melihatnya " Ia diam sejenak " Lagi pula aku sedikit bosan." Sambungnya.

Lilia bingung dengan sahabatnya ini. Dia tidak tampak seperti ingin membantu mereka tapi kenapa ia ikut campur? Dia bahkan tidak ingin repot untuk melerai jika ada pertengkaran.

Lilia memegang tangan Alice "Ayo, kita ke kamarku. Ada yang ingin ku ceritakan " Ajaknya.

~

Setelah menunggu beberapa lama di depan pintu kamar Lilia. Pelayan wanita Alice pun memutuskan untuk mengetuk pintu.

" Siapa? "

" Maaf nona. Saya pelayannya nona Alicia "

" Masuklah "

Pelayan itu menunduk sekali lalu berkata. " Nona Alicia sudah waktunya untuk kembali. Tuan menyampaikan agar tidak sampai larut. " Jelas pelayan tersebut

Alice mengernyitkan alisnya kesal. Kenapa? Ia ingin bertanya tapi sepertinya pelayan itupun tak tahu apa-apa. Alice hanya bisa menatap kesal pelayan tersebut lalu ia kembali menoleh ke Lilia.

" Kalau begitu, terima kasih atas kedatangannya nona Alicia "

" Aku juga. Terima kasih atas undangannya. "

Keduanya membungkuk sembari mengangkat gaunnya perlahan.

Saat di atas kereta kuda. Alice tak bisa berhenti memikirkan perkataan Lilia. Entah apa yang ia maksud dengan 'keluarga Strongfort sedang dalam bahaya'

Tak lama setelah itu. Kereta kudanya telah jauh dari kediaman Lilia. Entah apa gerangan tiba-tiba kabut muncul. Bukan musim dingin atau gugur dan matahari pun belum sepenuhnya tenggelam.

Kabut itu perlahan semakin tebal dan menutupi pandangan Ronald si kusir.

Kedua ksatria yang menemani Alice mulai curiga.

" Percepat keretanya. Sesuatu yang aneh terjadi " Perintah salah satu ksatria pada Ronald .

Suara cambuk pun mulai terdengar lebih keras dan kereta itu berlari lebih kencang. Berharap mereka bisa segera keluar dari kabut yang semakin menutup pandangan mereka. Namun, tiba-tiba saja kuda-kuda mereka berhenti dan menjerit. Ronald mencoba mencambuknya lagi dan berteriak tapi nihil. Kuda-kuda itu sepertinya takut akan sesuatu. Ya. Insting mereka mengatakan ada sesuatu yang berbahaya di sekitar mereka.

Kabut yang semakin tebal akhirnya menutupi jalanan dan pepohonan di sekitar.

" Lindungi nona! " Kedua ksatria turun dari kuda mereka dan mengambil posisi siaga, begitu pula Ronald dan juga pelayan wanita tersebut.

"A-apa yang terjadi. Kenapa berhenti?! " Tanya Alice panik.

" Maaf nona. Kita dalam masalah "

Keringat dingin mereka mulai mengucur. Hari sudah mulai petang. Mereka terjebak dalam kabut tanpa tahu arah dan musuh yang akan mereka hadapi.

Seketika dua buah belati terbang melesat menuju kedua ksatria tersebut dari balik kabut.

Dengan ketangkasan yang terlatih. Keduanya menangkis belati terbang tersebut.

Kedua ksatria itu menjadi lebih bersiaga. ' Sial! Dimana mereka?'

Keduanya terus menoleh ke seluruh arah, kiri-kanan-atas tapi tak menemukan tanda-tanda dari orang yang menyerang mereka.

Suara senyap menyelimuti Alice dan kelompoknya.

" Tak gentar, pantang mundur, kokoh dan tetap tegar. Benar-benar patut diacungi jempol. " Suaranya diiringi dengan langkah kaki yang pelan.

'Dimana?!' Benak kstaria itu.

Musuh mereka belum terlihat, hanya suaranya saja yang terdengar.

Sementara itu, di dalam kereta Alice gemetar ketakutan. 'Apa ini? Apa yang terjadi? Seseorang... Apakah aku akan di bunuh? Aku.... Akan mati?' Wajahnya histeris dan mulai memucat. Alice begitu ketakutan.

Alice menunduk sambil menutup telinganya dengan kedua tangannya.

Suara benturan pedang yang cukup keras tiba-tiba berbunyi. Alice tahu bahwa para kstaria sedang bertarung di luar tapi tak sedikitpun ia ingin melihat. Di balik topeng kesombongannya ternyata Alice begitu takut untuk mati.

Suara pedang yang tadinya berbunyi keras cukup lama tiba-tiba berhenti. Sebelumnya Alice mendengar suara teriakan. 'Apakah kami selamat?' Harapnya cemas.

"Nona! Lari! Cepat ikuti saya! " Ronald yang tiba-tiba muncul membuat Alice terkejut.

Ragu. Alice yang gemetaran tidak ingin keluar dari keretanya.

Melihat Alice tidak merespon uluran tangannya. Ronald langsung menarik paksa Alice " Maaf Nona ".

"Kyaaa!" Alice berteriak.

Alice dan pelayan perempuan itu melihat dua ksatria mereka berlumuran darah. Pelayan tersebut menutup mulutnya penuh kaget dan takut.

Keduanya masih sanggup berdiri meski terluka parah.

"Wah~ Wah.~Aku tak habis pikir. Kalian mau-maunya menyia-nyiakan nyawa kalian untuk gadis sepertinya " Kata salah seorang pembunuh tersebut saat melihat Alice keluar dari kereta kuda.

" Begini saja. Bagaimana kalau aku melepaskan kalian berempat tapi serahkan dia padaku sebagai gantinya. " Orang itu menyeringai.

Menarik. Penawaran yang sangat menarik. Mana ada orang yang tidak menginginkan hidupnya lebih dari apapun sama seperti Alice.

Mendengar kalimat itu. Alice makin panik. Pikirannya mulai bercampur aduk. 'Bagaimana kalau mereka benar-benar menyerahkanku?' Alice menjerit ketakutan dalam benaknya sambil melihat kelima orang itu.

" Cuih! Mimpi! " Tegas salah seorang ksatria. Ia kemudian memegang erat pedangnya sekali lagi dan kembali mengambil kuda-kuda untuk bertarung.

Melihat rekannya, ksatria yang satupun ikut berdiri tegap dan siap untuk bertarung. "Bagaimana pun itu, dia ada penerus dari kediaman Strongfort. Maaf saja ya, kalian harus melewati kami dulu. " Ucapnya dengan senyum pahit menahan sakit.

" Kalian berdua! Bawa pergi nona segera dari sini. Lawan kita cuma 3 orang. Kami akan menahannya sebisa mungkin. "

" Terima kasih. " Balas Ronald tanpa ragu. " Ayo nona! "

Bab I Chapter 2

" Haaah... Haaahh..."

Suara nafas mereka mulai terengah-engah, terutama Alice yang bahkan tidak pernah berlari sejauh ini dalam hidupnya.

'Apakah sudah cukup jauh?' Alice yang tak sanggup lagi berlari tiba-tiba berhenti dengan nafas yang tak beraturan. "Aku... Aku tidak ingin lari lagi." Ucapnya

" Tapi nona..."

" Cukup. " Alicia kemudian menarik nafas panjang dan memperbaiki posisi berdirinya. " Kurasa...mereka tak...mengejar kita lagi. Kedua ksatria itu mungkin berhasil."

Begitulah harapnya, tapi..satu hal yang mereka lupa adalah pembunuh itu berjumlah 3 orang sedangkan ksatria yang menghadang mereka cuma dua.

Ketika kedua kstaria itu lelah bertarung melawan dua pembunuh. Salah seorang di antara mereka kemudian segera melompat menjauh dan mengejar Alice.

"Sialan!" Kesal seorang ksatria.

" Haha... Sepertinya mau tidak mau gadis itu harus mati malam ini. " Ucap senang salah seorang pembunuh.

Pembunuh yang lepas dari kedua ksatria itu terus berlari dengan sangat kencang. Hingga akhirnya ia melihat sosok ketiganya. Alice, Ronald dan pelayan wanita itu terlihat berhenti dan sedang beristirahat.

Sontak pembunuh itu dengan segera melemparkan pisau belati ke arah Alice.

Ronald yang bersandar di sebuah pohon, tiba-tiba melihat sosok orang yang sedang bersembunyi di balik salah satu pohon. Dalam sekejap orang itu, mengambil sesuatu dari saku celananya dan melemparnya ke arah Alice. "Nona Alicia!" Melihat belati itu terbang ke arah Alice, dengan sigap Ronald langsung bergerak menggunakan tubuhnya untuk melindungi Alice. Alhasil Ronald terluka pada salah satu bahunya dibagian bekakang.

Alice menjerit ketakutan dan tersungkur ke tanah. Jantungnya berdetak tak karuan. Hampir, ya, hampir saja belati itu mengenai kepalanya.

"Bawa pergi nona dari sini! Lindungi ia." Tegas Ronald pada pelayan wanita itu sambil memegang bahunya yang terluka.

" B-Baik! " Pelayan itu pun segera menarik Alice lalu pergi meninggalkan Ronald.

Melihat target buruannya menjauh lagi pembunuh itu tampak makin kesal. " Cih! Lagi-lagi dia lepas "

" Tak akan ku biarkan kau lewat "

Pembunuh itu berhenti dan melihat seorang pria tua di depannya. Ia tertawa pelan " Kau? Menghentikanku? Apa tidak salah?" Sindirinya lalu ia tertawa terbahak-bahak. "Yah... Setidaknya aku akan melampiaskan kekesalanku ini padamu karena menghalangiku."

Ronald menoleh ke belakang dan melihat Alice sudah hilang di balik pepohonan. Lalu ia pun mengeluarkan pisau kecil dari balik saku celananya.

" Apa itu? Pisau dapur? " Pembunuh itu kembali tertawa melihat senjata Ronald .

Ronald tahu ia tidak akan menang melawannya. Sekalipun itu pedang yang ia bawa. Ia tahu kalau dirinya tak memiliki kesempatan sama sekali untuk menang. Seorang kusir melawan pembunuh yang berpengalaman. Sungguh lelucon jika ia menang yang seorang laki-laki tua berusia 40-an.

Sebenarnya ia hanya ingin mengulur waktu sedikit lebih lama agar Alice bisa menjauh dari pembunuh itu.

" Majulah!" Ronald mengacungkan pisau kecil itu ke arah pembunuh tersebut.

" Serius? Baiklah kalau kau memang sebegitu niatnya. " Ucap pembunuh itu santai lalu ia menerjang cepat ke arah Ronald.

Saat pembunuh itu dekat di hadapannya. Ronald tiba-tiba melemparkan sebuah bola kecil ke tanah yang ternyata sebuah bom.

" uhuk - uhuk. " Asap yang cukup pedih muncul dan menghalangi pandangan si pembunuh. "Apa ini? Uhuk. Sial! Aku meremehkanmu kakek tua! " Kesalnya.

Kesempatan. Ronald yang mengendap-endap sambil menutup hidung dengan sehelai kain langsung menancapkan pisaunya ke paha pembunuh tersebut.

Pembunuh itu berteriak kesakitan. Reflesk ia pun menendang Ronald kebelakang " Kakek tua sialan! Uhuk " Pemburu itu makin kesal dan naik pitam.

Ronald tidak menyangka kalau bom asap pemberian Duke Strongfort akan sangat berguna saat ini. Ronald masih memiliki satu di sakunya. Tanpa tanggung ia melemparnya lagi ke arah pembunuh itu dan segera melarikan diri menyusul Alice.

~

Alice dan pelayan wanita itu sudah berlari cukup jauh meninggalkan Ronald , namun mereka tidak menyadari sama sekali bahwa mereka terlalu jauh masuk ke dalam hutan. Jalan utama bahkan tak terlihat lagi dan pepohonan semakin lebat.

"No-nona tampaknya kita tersesat." Ucap pelayan wanita itu gemetar setelah ia menyadari sekelilingnya.

Setelah berhenti dan menarik nafas akhirnya Alice sadar kalau mereka benar-benar tersesat. "Tidak mungkin. Aku... Aku ingin pulang." Alice merasa sedih dan takut. " Kau! Ini salahmu! Ini salah kalian semua! Dasar tidak becus! Percuma keluargaku mempekerjakan dan membayar mahal kalian! " Umpatnya kesal.

Pelayan wanita itu hanya bisa tunduk sambil meminta maaf dengan suara pelan.

"Aaghh!.. Sudahlah aku lelah. Aku ingin istirahat."

Alice yang telah beristirahat dengan pakaiannya yang terlihat lusuh kembali berjalan bersama pelayan wanita itu.

" Hei! apakah kau tidak bisa memikirkan sesuatu?" Tanya Alice kesal.

" Maaf nona. Saya... benar-benar tidak tahu kita ada dimana. "

" Tidak berguna. "

Alice dan pelayan itu terus berjalan menyusuri semak dan pepohonan.

" Haahh... Gaunku jadi rusak begini "

Dalam keadaan seperti ini? Pelayan wanita itu hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Alice.

Ketika suara semak-semak disekitar mereka tiba-tiba berbunyi, Alice dan pelayan itu langsung kaget dan menoleh ke arahnya.

"A-apa itu? "

Jantung Alice berdebar tak karuan lagi. " Kau! Pergilah dan periksa " Perintahnya kasar.

Pelayan wanita itu tersentak sekejap dengan apa yang Alice katakan. Ia juga takut, bagaimana ini? Apakah itu adalah si pembunuh atau...

Pelayan wanita mau tidak mau perlahan berjalan ke arah semak-semak tersebut.

Saat ia semakin dekat, matanya terbelalak. Seekor babi hutan besar sedang mengunyah sesuatu tepat dihadapannya.

Pelayan itu menelan air ludahnya. Ia mencoba untuk menarik mundur kakinya yang tiba-tiba terasa begitu berat. Sialnya saat ia melangkahkan kakinya ke belakang, tanpa sengaja ia menginjak sebuah ranting dan berbunyi patah begitu saja.

Babi hutan itu spontan mengangkat kepalanya lalu menoleh, mata mereka saling bertemu. Pelayan wanita itu makin gemetar. Detak jantungnya seakan berhenti sesaat.

Karena sangking takutnya, ia segera berlari kebelakang. "No.. Nona! Kita harus pergi! " Ucapnya terengah-engah.

" Ap-apa? Ada apa? " Alice ikut panik melihat gelagat pelayannya.

Suara babi hutan yang menggelegar itu tiba-tiba terdengar di telinga mereka.

" He-hewan buas! "

Alicia dan pelayannya kembali berlari dengan sekencang mungkin.

Kali ini bukan lagi manusia atau pembunuh melainkan seekor babi hutan liar yang berbahaya. Bentuknya tidak tampak seperti binatang pada umumnya. Ukurannya yang dua kali lipat dari Alice membuat mereka benar-benar panik.

Bukan hewan liar biasa tapi babi hutan itu adalah hewan buas yang telah terkontaminasi miasma kegelapan dari suatu tempat.

Alice dan pelayan itu berlari bersama dengan tergesa-gesa. Tapi...ketika pohon-pohon semakin besar begitu pula dengan semak belukar yang makin lebat membuat keduanya terpisah beberapa meter. Babi hutan itu tidak pikir panjang, mana yang lebih menggugah menurutunya, itulah yang ia kejar. Ya. Seolah ada sesuatu yang membuatnya tertarik pada Alicia.

" Ti-tidak! Jangan mengejarku!" Teriaknya sambil berlari. Jarak Alice dan pelayannya pun semakin jauh.

"Nona...! " Pelayan wanita itu berhenti, menoleh kearah Alice lalu ia berteriak cemas. Ia bersyukur dirinya tak lagi dikejar oleh hewan buas tersebut tapi nona nya sendiri belum selamat.

Alice yang berlari tanpa arah. Tersandung dan terjatuh. Ia berguling dan jatuh ke tebing yang curam.

"Nona!!!" Pelayan itu berteriak histeris melihat Alice terjatuh ke dalam jurang bersama dengan hewan buas itu.

~

Seorang pria gagah dengan postur tubuh tegap sedang berdiri berhadapan dengan Ernard. Rambut coklat dan mata hijau itu begitu mempesona dengan tampilan wajah tampan dan tampak maskulin.

" Saya tidak berharap Yang Mulia untuk melakukan hal tersebut" Ucap Ernard sopan pada pria itu.

Pria itu tidak lain adalah Kevin Ries Solus, putra mahkota yang akan mewarisi kerajaan kelak nantinya.

" Begitu rupanya... Maaf kalau aku sedikit merepotkan anda. "

Setelah bertukar kata dan mengucapkan perpisahan. Kevin pun meninggalkan kediaman Strongfort dan segera menuju kereta kudanya.

" Bagaimana? Apakah ada yang mencurigakan? "

Seorang pria berjubah hitam tiba-tiba muncul dari jendela kereta kudanya.

"Tidak Tuan. Sepertinya bukan disini." Lapor pria berjubah itu. " Maaf saya tidak bisa masuk terlalu jauh. Keamanan mereka terlalu ketat. " Lanjutnya.

" Seperti yang diduga dari keluarga Strongfort. Kalau mereka memang tidak melakukannya... itu lebih baik. Aku sendiri tidak ingin melawan mereka. " Ucapnya sambil meletakkan salah satu tangannya dibawah dagunya.

Beberapa saat setelah Kevin meninggalkan kediaman Strongfort. Ronald dan pelayan wanita tersebut menghampiri Ernard dengan keadaan berantakan. Dengan tergesa-gesa dan nafas yang tersengal-sengal, mereka mendekati Ernard.

"Tuan! " Panggil Ronald.

Ernard yang baru saja melangkah masuk melewati pintu tiba-tiba terkejut melihat penampilan mereka berdua, terutama Ronald yang lengannya berlumuran darah dan keadaan tubuhnya yang harus ditopang oleh pelayan wanita tersebut.

" Ronald, Elli. " Ernard bergegas menghampiri mereka. "Apa yang terjadi pada kalian?" Tanyanya panik.

Ernard dengan seksama memperhatikan kondisi Ronald . Luka di tubuhnya cukup parah bagi orang seusianya. Lalu... Bagaimana dengan Elli. Hanya pakaiannya yang compang-camping dan beberapa luka goresan kecil.

Ernard kemudian tersadar. Dimana putrinya, Alicia? Ia juga tidak melihat kedua ksatria pengawal Alicia.

" Alice? Dimana Alice? Apa dia baik-baik saja?!" Wajahnya tampak sangat cemas.

Ronald yang kebingungan tidak tahu harus menjawab apa. Jujur, berdasarkan apa yang Elli katakan padanya. Alice memiliki kemungkinan besar untuk tidak selamat.

Ronald hanya bisa diam dan tertunduk. Sementara itu Elli menggigit bibir bawahnya mencoba memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan Ernard.

" Ma-maafkan kami Tuan. Nona Alicia... Dia..dia terjatuh ke dalam jurang "

~

Liana dan Ernard merasa sangat putus asa. Keduanya tidak tahu harus merespon apa lagi. Setelah mendengar cerita Ronald dan Elli. Liana sebagai ibunya menangis terisak karena kehilangan putrinya.

Air mata Liana terus saja membasahi pipinya, Ernard sebagai suami bahkan butuh waktu cukup lama untuk menenangkannya.

Pada malam itu, kediaman Strongfort sangatlah sibuk. Lentera, lilin dan semua penerangan di kediaman Strongfort tetap menyala. Dengan sumber daya yang ia miliki. Ernard mengerahkan begitu banyak ksatria untuk mencari Alice di tempat terakhir ia menghilang.

Hari pertama pencarian berlangsung panjang dan melelahkan. Para prajurit bahkan hampir dibilang tidak memiliki waktu untuk istirahat.

Ernard dengan tegas memerintahkan mereka untuk mencarinya ke setiap sisi hutan tanpa memberikan perintah istirahat sama sekali.

Para ksatria sudah lama tidak melihatnya seperti ini. Wajahnya mungkin sedih tapi tekad itu begitu jelas di mata mereka. Terakhir kali mereka melihatnya hanya ketika dalam perang.

Lanjut hari kedua, pencarian mulai dipersempit ke beberapa wilayah. Terutama bagian-bagian dalam hutan.

Semetara itu Liana dengan mata yang sedikit bengkak masih terpuruk dalam kesedihannya.

" Mungkin... Kita harus merelakannya. " Ucap Ernard pelan.

Liana menatap suaminya dengan terbelalak namun berkaca-kaca. " Merelakannya? Aku bahkan belum melihat tubuhnya. Aku yakin Alice pasti masih hidup. " Tegasnya penuh harap.

Melihat kondisi istrinya. Ernard kemudian mendekap erat Liana. "Baiklah. Aku akan mencarinya lagi." Dalam kamar itu mereka serasa tenggelam menahan sedih.

Dan begitulah hari ketiga pencarian kembali berlangsung. Setelah para ksatria mendapatkan istirahat yang cukup. Kali ini pencarian dimulai dari siang hari dan akan berakhir hingga malam.

Beberapa dari mereka meneriakkan nama Alice, beberapa dari mereka menelusuri semak dan pepohonan, beberapa dari mereka menggunakan kemampuan pelacak namun....nihil.

Hari sudah larut, matahari yang tenggelam menandakan bulan sudah waktunya menyinari malam.

" Tunggu! Apa itu? " Ucap seorang ksatria saat ia melihat sobekan kain dan beberapa noda darah pada sekitaran sisi sungai.

Ksatria tersebut memanggil beberapa orang lainnya. Dengan menggunakan obor di tangan, mereka berjalan menyusuri sisi sungai. Mengikuti jejak yang mereka temukan. Mereka akhirnya tiba pada sebuah danau kecil.

Bercak darah yang sedikit kering dan tampak mulai memudar terlihat di tanah di dekat danau saat mereka meneranginya dengan obor. Mereka kaget dengan apa yang ditemukannya.

Keesokan harinya, di kediaman Duke Strongfort. Beberapa dokter baru saja keluar dari kamar Alice.

Melihat raut wajah Ernard dan Liana, Salah satu dokter mulai berkata. " Lukanya sangat parah. Sungguh beruntung nona masih hidup, tapi...mungkin peluangnya akan sangat kecil."

Liana terkejut dan menahan nafasnya sejenak. Apa...Alice akan pergi meninggalkannya?

Liana kembali berderai air mata. Ia menyembunyikan wajahnya dalam dekapan Ernard.

" Luka sobek pada beberapa bagian tubuh, kemungkinan akibat ranting atau benda tajam lainnya mungkin bisa sembuh tapi...pendarahan pada bagian kepala dan luka memar di sekitar jantung cukup sulit untuk bagi kami. " Jelas dokter itu. Ia terdiam sejenak lalu berpikir " Mungkin jika itu orang-orang dari kuil. Nona muda akan memiliki peluang hidup lebih tinggi. " Lanjutnya.

Kuil ya...?

Dalam hal ilmu medis para dokter memang ahlinya. Namun sangatlah sedikit dari mereka yang memiliki kemampuan penyembuh seperti orang-orang di kuil.

Sihir penyembuh sendiri terbilang cukup langkah untuk ditemukan. Sifatnya bukan hanya memulihkan, tergantung dari kemampuan orang tersebut, sihir mereka bahkan seperti memutar balik waktu dimana membuat sebuah luka seolah tidak pernah ada. Namun tidak banyak orang yang bisa membayar mereka, berhubung jumlah orang yang ahli dalam sihir pemulihan di kerajaan solus hanya sedikit.

" Baiklah. Kurasa aku akan meminta kuil untuk mengirimkan satu ada dua priest mereka "

Setelah mengantar kepergian para dokter. Liana yang sejak tadi menahan tangisnya berlari ke dalam kamar Alice.

Ia melihat putrinya terbaring di ranjang dengan keadaan tubuh penuh luka.

Perban putih hampir bisa menutupi sekujur tubuhnya.

Liana menarik sebuah kursi dan duduk di sampingnya. Ia meraih tangan Alice perlahan dan membelainya.

" Sayang... Bangunlah... Jangan tinggalkan ibu. " Harapnya penuh kecemasan.

Meski Alice terbilang susah di atur dan keras kepala namun Liana tetaplah menyayanginya.

Bab I Chapter 3

Setelah kedatangan dua priest dari kuil, kondisi Alice mulai lebih baik. Luka-luka pada tubuhnya sudah tidak terlihat lagi begitupun perban di kepalanya sudah terlepas.

Meski begitu, dengan sihir penyembuhan mereka pun yang dilakukan selama dua hari tak membuat Alice membuka matanya.

Suasana di kediaman Strongfort tetap berjalan seperti biasanya.

" Bagaimana keadaan nona Alicia? "

Tanya Hilda kepala pelayan wanita saat melihat seorang gadis pelayan keluar dari kamar Alice

" Maaf nyoya Hilda sepertinya kondisi nona masih belum membaik. Dia...masih belum menunjukkan tanda kapan akan bangun. "

Setelah mendengar jawaban gadis pelayan tersebut, Hilda menghela nafasnya. " Kalau begitu, setelah mengurus nona Alicia, datanglah ke dapur. "

" Baik nyonya. "

Gadis muda dengan wajah cerah dan ceria itu bernama Mary. Dia adalah pelayan baru yang ditunjuk sebagai pelayan pribadi Alice. Meski terbilang muda tapi kecakapannya dalam bekerja sangatlah bagus.

Melihat kondisi nona nya mary turut prihatin. Mary awalnya di terima sebagai pelayan biasa yang bertugas mengurus kebersihan terutama bagian dapur. Selagi ia bekerja, Rumor tentang Alice telah banyak ia dengar.

Ketika para pegawai di kediaman itu beristirahat, mereka kerap kali membicarakan berbagai macam topik dan yang lebih panas adalah tentang Alicia. Nona muda yang akan Mary layani kedepannya.

" Nona, saya harap nona segera bangun. Tuan dan Nyonya sangat sedih melihat nona seperti ini. " Gumamnya menatap dalam wajah Alice.

Setelah membersihkan tubuh Alice dengan kain dan sebaskom air. Mary segera menuju dapur sesuai dengan arahan Hilda.

~

" Dimana...ini?"

" Gelap. Apakah...Tempat apa ini? "

"Haaah... Apakah aku sudah mati?"

Gadis yang bergumam itu tak lain adalah Alicia Lein Strongfort sendiri.

Dalam gelapnya ruangan yang entah dimana. Alice begitu tenang mengetahui kenyataan yang ia hadapi. Bukankah ia takut dengan kematian?

" Kau jauh lebih tenang dari yang ku kira nona muda"

Sebuah suara tiba-tiba menggema di dalam ruangan tersebut.

" Siapa disana? Siapa itu? "

" Tenanglah, tak perlu panik "

Suara itu terdengar begitu lembut nan indah di telinga Alice, tapi siapa? Alice sendiri tak mengetahuinya.

" Kalau begitu tunjukkan dirimu. "

Hentakan langkah kaki perlahan mengisi sunyi ruangan tersebut.

Seorang wanita berambut hitam panjang hingga pinggulnya muncul dari balik gelapnya ruangan tersebut. Kulitnya yang putih mulus dan lembut seperti susu tampak seolah bersinar dalam kegelapan. Wanita itu sedikit lebih pendek dari Alice . Wajahnya tampak muda namun aura yang ia keluarkan tidak terasa seperti itu. Rambut panjang hitamnya yang tergerai lurus ke bawah memberikan kesan elegan padanya.

Sejenak Alice seperti terhipnotis dengan sosok dihadapannya. Baru kali ini ia melihat wanita seperti dirinya.

Ia tidak tampak berasal dari negeri ini?

" Hai "

Wanita itu menyapa lembut Alice sambil melambaikan tangannya.

Hah~ Suara seperti lantunan melodi yang merdu..

Alice segera menggelengkan kepalanya membuat ia tersadar dari lamunannya.

" Siapa kau? "

" Aku...Itu sedikit rumit untuk dijelaskan. Singkatnya, aku adalah dirimu dan kau adalah diriku. "

Hah?!

Hampir saja Alice menjatuhkan mulutnya mendengar jawaban wanita itu.

'Apakah dia sedikit kurang waras'

"Lihat. Sudah kubilang kau takkan mengerti. Lebih baik kalau kau melihatnya sendiri."

Wanita tersebut berjalan lebih dekat menghampiri Alice. Ia mengangkat tangannya dan mengarahkan jari telunjuknya tepat ke dahi Alice.

" Aghh! "

Serpihan ingatan perlahan membanjiri kepalanya.

" Apa...ini? " Gumamnya heran sambil memegang kepalanya.

Tiba-tiba saja ia merasakan kalau ia telah melalui banyak hal. Bukan hanya sekedar ingatan tapi benar-benar merasakan seolah tubuhnya dan jiwanya tahu kalau dia pernah mengalami hal itu.

Pemandang gunung-gunung yang indah. Kuda perang dan orang-orang saling bertarung. Pemandangan alam yang indah bercampur dengan ingatan pertumpahan darah. Istana dengan ukiran naga, ratusan hingga ribuan prajurit. Alice melihat hal-hal asing tersebut seolah ia berdiri di depan mereka.

Tubuhnya gemetaran, apa yang terjadi?

" You Nian, Aku...mencintaimu.. "

Ia melihat laki-laki tampan berambut hitam panjang.

Siapa...dia?

Laki-laki itu mendekapnya dalam pelukannya. Perasaan hangat mengalir ke dalam hatinya. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang.

Namun...Rasa sakit tiada tara menggantikan perasaan hangat tersebut.

Emosinya terguncang. Melihat seorang wanita lain tiba-tiba berdiri berdampingan dengan pria itu sementara ia terkapar berlumuran darah di lantai.

" Lin... Zhou, Kau... " Suaranya, ya itu adalah suaranya ketika memanggil nama pria itu. Ia kesal, marah, dendam. Perasaan pahit dan sakit memenuhi dadanya.

" Maaf You Nian. Tapi dia adalah milikku. Sejak awal kami hanya mempermainkan mu. " Ucap wanita yang berdiri di samping pria itu dengan seringai di wajahnya.

Alice berlutut gemetaran tak sanggup menahan emosinya. Ia memegang erat kedua sisi kepalanya.

" Aku... Aku tahu, aku tahu siapa mereka. "

" Ya. Kita tahu itu. Murid dan pria yang telah ku selamatkan hidupnya dan satu-satunya orang yang membuatku mengenal namanya cinta. "

" Cinta? "

" Tapi itu hanyalah kepalsuan belaka "

Setelah ingatan itu berlalu. Sebuah ingatan lainnya pun tergambar dibenaknya. Gedung-gedung tinggi hingga ke langit. Rumah-rumah yang berwarna warni. Kereta besi yang berjalan tanpa ada kuda dan burung raksasa di langit.

Ini...?

" Ya... Ini juga adalah masa laluku juga. Seo Min Ah itulah namaku." Wanita itu bergerak meraih tangan Alice dan membantunya berdiri.

"Aku adalah seorang dokter. Hidup yatim piatu dan meninggal karena kecelakaan. Ku kira hidupku saat itu begitu baik namun entah kenapa takdir membuatku terlempar ke dunia yang berbeda." Wanita itu terdiam dan menghela nafasnya. " Tapi untuk kali kedua, aku tetap hidup yatim piatu. Tanpa orang tua, saudara atau bibi dan paman. Aku hidup sebagai gelandangan miskin bersama seorang kakek angkat yang begitu peduli padaku. "

Alice menatap kasihan wanita itu. Ia tahu, ia baru saja merasakan nya.

" Sepertinya takdir mempermainkan ku hingga akhir hayatku. Aku berjuang mengandalkan pengetahuanku di kehidupan sebelumnya. Merangkak dari bawah hingga akhirnya aku berdiri di atas. Darah dan keringat ku korbankan. Aku melalui hinaan dan pertarungan yang tiada hentinya. Bahkan ketika aku hidup hingga sekitar 500 tahun lamanya. Aku masih tetap terjebak dalam takdir pertarungan yang sia-sia. "

Dalam ruangan Gelap itu wanita itu menatap Alice dan kemudian tersenyum lembut.

" Hingga pada akhirnya aku merasakan pengkhianatan dari orang yang kucintai. Namun...sungguh untuk kehidupan ini aku bersyukur. Memiliki keluarga, Ayah, ibu dan orang-orang yang benar-benar peduli padaku. "

Wanita itu meletakkan tangannya di salah satu pundak Alice.

" Jadi... Hargailah mereka. Jalani lah hidup lebih baik. Karena kedamaian yang ku dambakan akhirnya telah tiba. "

Setelah mengucapkan kalimat itu. Wanita itu perlahan memudar dan menghilang menjadi setitik cahaya kecil.

Cahaya kecil itu melayang tepat di wajah Alice lalu bergerak menembus ke dalam dadanya.

" Jadi...seperti itu ya. Kau...maksudku Aku telah melalui tiga perputaran roda kehidupan. Karena kecelakaan ini membuatku mengingatnya... Kurasa selama ini aku benar-benar menyia-nyiakan hidupku." Alice menunduk ia hanya bisa menghela nafas panjangnya.

Ayah... Ibu... Semuanya...

~

Mary dengan sebaskom air dan beberapa lembar kain berjalan menuju kamar Alice. Sesampainya disana mary berhenti sejenak kemudian menarik nafas panjang, menandakan ia sudah siap untuk bekerja.

" Permisi " Ucapnya setelah ia mengetuk pintu.

Sekali lagi ia harus berhadapan dengan tubuh nona nya yang tak sadarkan diri. Hari ini adalah hari ke delapan Namun...berdasarkan apa yang ia dengar dari priest sebelumnya, Mary hanya bisa berharap untuk Alice segera bangun.

Tepat setelah ia masuk. Dalam ruangan kamar yang gelap tanpa ada suara dan hanya tubuh Alice yang terbaring tak sadarkan diri, begitulah pikirnya. Tapi ia terkejut melihat Alice duduk menyandar di tempat tidurnya.

Mary hampir saja menjatuhkan baskom airnya.

"No-"

Alice meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya mengisyaratkan untuk diam. Mary baru sadar kalau ternyata di sisi tempat tidur, Liana sedang tertidur sambil bersandar pada ranjang Alice.

Alice beranjak dari kasurnya perlahan agar tidak membangunkan ibunya.

Ia berjalan menuju Mary

" Tolong siapkan kami sarapan. Jangan lupa beberapa buah segar untuk ibuku. " Pintanya lembut pada Mary.

Mary terdiam, ia mengangguk dan meletakkan baskom dan kain yang ia bawa pada sebuah meja lalu keluar.

' Eh?!'

Kepalanya seolah kehilangan seutas kabel. Apa yang terjadi?

" Apakah aku sedang bermimpi? " Gumamnya lalu ia mencubit pipinya   " Sakit. Ini... Bukan mimpi, tapi...tadi itu apa? "

Mary mengingat-ingat kembali apa yang baru saja terjadi dan yang ia lihat.

'Bidadari? Apa itu seorang Bidadari? '

Senyum menawan Alice dan suaranya yang lembut membuat Mary terhipnotis begitu saja.

Tidak mungkin bagi Alice untuk mengucapkan kata tolong saat menyuruh pelayannya apalagi tersenyum dengan penuh kelembutan. Menurut yang ia dengar-dengar selama ini bukankah kalau Alice itu adalah gadis egois yang kejam dan angkuh...Tidak mungkin! Lalu.. siapa dia?

Mary penasaran ingin masuk kembali dan memastikan apa yang baru saja ia saksikan, tapi...ia berpikir dua kali untuk itu. Lebih baik baginya untuk segera mengantarkan sarapan berhubung nona nya sudah bangun.

Sementara itu di dalam kamar, Alice diam-diam memperhatikan ibunya dari samping.

Wajahnya tampak muda, tidak mencerminkan wajah seorang ibu dengan dua putri remaja. malahan lebih cocok jika dipanggil kakak. Tapi kantung mata dan warna wajah itu sedikit pucat karena mengkhawatirkan dirinya.

Semenjak Alice tak sadarkan diri. Liana mulai tidak memperhatikan makan dan tidurnya. Hatinya yang berat membuatnya kesulitan untuk menelan makanan dan tidur nyenyak.

" Ibu... Sungguh aku telah menghabiskan banyak waktu dengan sia-sia " Alice menatap sedih ibunya.

Alice mengambil baskom air yang dibawa Mary lalu ia mulai membersihkan wajahnya. Melihat bayangan dirinya dari air itu dia benar-benar bahagia.

" Setelah sekian lama... Akhirnya aku memilikinya. Sebuah keluarga. " Alice tersenyum dan mulai merapikan sedikit kamarnya.

Alicia Lein Strongfort yang biasanya mungkin tak akan melakukan ini, kini telah berubah. Namun, sembari menunggu Mary ia berpikir untuk merentangkan sedikit tubuhnya yang kaku karena tidur cukup lama. Bahkan kakinya sedikit sulit bergerak. Entah sudah berapa lama aku tertidur?

Liana yang menyandarkan kepalanya pada sisi tempat tidur mulai terbangun. Merasakan sejuknya udara pagi dari jendela, Liana membuka matanya perlahan.

Ketika melihat Alice tidak ada di kasurnya. Liana panik.

" Alice? Alice?! "

" Ibu, tenanglah. Aku disini " Ucap Alice setelah menghampiri ibunya.

Liana berbalik dan meletakkan kedua tangannya di wajah Alice "Alice? Kau kah itu sayang? Kau... Sudah bangun. "

Mata Liana mulai berkaca-kaca " Iya ibu. Aku...kembali " Sahut Alice.

Liana dengan segera memeluk erat putrinya itu. Ia benar-benar bahagia. Ia memeluknya sangat erat seolah ia takut putrinya akan pergi meninggalkannya lagi.

Melihat Liana yang berderai air mata bahagia. Alice pun turut senang "Jadi... Seperti ini pelukan seorang ibu. Hangat. " Batinnya. Lalu ia menyandarkan kepalanya pada lengan Liana.

Bukan hanya ingatan. Seo Min ah, Lan You nian dan sekarang Alicia Lein Strongfort. Semua perasaan itu menjadi satu. Rasa rindu dan harapan untuk mendapatkan sebuah keluarga yang sesungguhnya akhirnya terpenuhi.

' Aku baru sadar. Kalau selama ini aku benar-benar telah menyia-nyiakan mereka. '

" Ibu... sudah makan? " Tanya Alice yang masih dalam pelukan ibunya.

Setelah menenangkan dirinya. Liana baru tersadar kalau tingkah putrinya ini berbeda dari biasanya. Ekspresi dan nada bicaranya tidaklah sama terlebih saat ia bertanya tentang dirinya yang sudah makan atau belum. Tapi lebih daripada itu. Liana bahagia karena Alice sudah sadar.

"Kalau belum, kita makan dulu. Ibu temani aku sarapan disini. Aku sudah meminta Mary untuk mengantarkan kita sarapan. "

" Iya sayang, kita makan bersama ya." Balas Liana.

Dengan sebuah troli, Mary menuju kamar Alice setelah ia mendapat kan makanan dari dapur.

Mary turut bahagia. Ia berjalan penuh ceria.

Ketika ia sampai " Permisi nona. " Ucapnya setelah mengetuk pintu.

" Masuklah " Sahut Alice.

Mary terkejut dengan ruangan itu. 'Apa memang tadi seperti ini ya?' Ia heran. Padahal ia belum merapikan kamar Alice tapi gorden sudah terbuka dan meja-meja terlihat sedikit bersih.

' Jangan bilang nona...'

" Oh, kau boleh meletakkannya disana mary. " Ucap Alice menunjuk salah satu meja.

" Baik nona. "

Setelah meletakkan hidangan tersebut. Alice dengan menggenggam tangan ibunya berjalan mengambil tempat duduk mereka.

Melihat mereka telah duduk mary mulai menyiapkan peralatan mereka.

" Mary, tidak perlu. Biar aku saja. Kau boleh ke dapur untuk sarapan atau melakukan hal lainnya. " Ucap Alice dengan ramah.

" Ta-tapi nona... "

Tanpa menunggu jawaban, Alice sudah memegang teko dan mulai menuang teh ke dalam gelas. Ia kemudian menyajikan teh itu di meja.

Mary dan Liana yang melihatnya, hanya bisa diam terheran-heran.

"Ka-kalau begitu saya permisi. Nona boleh memanggil saya jika butuh sesuatu. " Pamit Mary.

"Um, Terima kasih mary."

Ucapan itu membuat langkahnya terhenti sesaat sebelum ia menarik pintu.

Mary tersenyum bahagia. Dia benar-benar yakin kalau apa yang ia saksikan tadi pagi bukanlah mimpi atau halusinasi. Alice, nona nya sepertinya tidaklah seperti yang ia dengar.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!