NovelToon NovelToon

MERTUAKU PETAKAKU

Bab 1. Kuyang

Sebagian cerita diadaptasi dari cerita-cerita rakyat, yang mana sering terjadi dikalangan masyarakat tempat author berasal, nama dan tempat kejadian sengaja tidak saya sebutkan. Tapi kalian pasti mengenal sosok urban yang bernama Kuyang dan Palasit berasal dari Kalimantan, yang terkenal dengan sebutan kota seribu air.

Selamat membaca!

Lara sangat bahagia bisa menikah dengan pemuda yang menjadi rebutan wanita-wanita sekecamatan tempatnya tinggal, ternyata Lara wanita yang paling beruntung bisa menjadi istrinya. Selain memiliki wajah tampan, suaminya juga keturunan dari keluarga berada dan terpandang.

Pernikahan Lara terjadi karena perjodohan, tapi ia sangat bahagia menerimanya, selain itu dirinya lebih bahagia karena Ibu mertuanya sendiri yang memilihnya sebagai menantu, menantu mana yang tak bahagia langsung diterima oleh mertua dalam keluarga besar mereka.

Ringkas cerita, perjanjian setelah menikah, Lara harus dibawa ke desa sebelah dimana suaminya tinggal, orang tuanya memang berat melepas putri semata wayang mereka untuk dibawa oleh keluarga sang suami. Tapi Lara menenangkan mereka dengan alasan dirinya sangat bahagia dengan pernikahan ini, dan ia bersedia untuk tinggal dirumah suaminya bersama orang tua dan saudaranya.

"Lara, sebenarnya mama tak tega melepas kepergianmu". Ucap Mama Hanum memelas.

"Mama tidak boleh begitu, lagi pula desa mereka masih satu kecamatan dengan desa kita, aku berjanji akan selalu menjenguk kalian". Ucapku menenangkan mamaku tersayang.

"Lara, mari kita pulang!". Bunda Najah ibu mertuaku mengajakku pulang bersamanya.

"Iya bunda, ayo!?". Dengan riang Lara membalasnya. "Ma, Ayah, Lara ikut bunda Najah ya?!"

Kedua orang tua Lara mengangguk, ayahnya masih bisa menerima kepergiannya, namun sang mama terlihat tidak mengikhlaskannya. Tapi Lara sudah bersuami, dan sudah kewajibannya untuk menjalankan tanggung jawab sebagai istri. Lara menghampiri mama Hanum, ia mencium keningnya sambil pamit, tangan beliau enggan melepas tangannya, kemudian bunda Najah menariknya pelan seraya membujuk mama Hanum agar tidak bersedih.

"Hanum, kau tak perlu cemas! Aku berjanji akan menjaga Putrimu, dan tak akan membiarkannya bersedih!". Bunda Najah turut membujuk mama.

Dengan berat mama Hanum merelakan Lara ikut dengan keluarga suaminya, mereka pun keluar rumah menuju Mobil sang mertua. Beberapa orang tetangga menyaksikan keberangkatan Lara sambil bisik-bisik pelan, ia tak menghiraukan apapun ucapan mereka, karena menurutnya Bunda Najah adalah wanita terhormat dan baik.

Mobil berjalan perlahan, Lara mendadah mama dan ayahnya yang berdiri di halaman rumah melepas kepergiannya. Mobil meluncur lama-lama melaju, suami Lara sudah pulang terlebih dulu sehari setelah pernikahan karena ada urusan penting dikota, hingga akhirnya ibu mertua Lara datang menjemputnya untuk pulang ke rumah mereka. Tak lama kemudian, mereka sudah tiba di rumah suami Lara. Saudara bungsu suami Lara datang membantu mereka menurunkan tas miliknya dan membawanya masuk kedalam rumah.

"Bunda, berikan tas kak Lara padaku!" Fadil mengambil tas dari tangan ibunya.

"Bawa masuk kedalam rumah, ya! Nanti Lara yang akan membawa kekamarnya!" ucap Bunda Najah.

"Baik, bunda!" dengan patuh Fadil menurut, Fadil menghilang kedalam rumah yang dari luar nampak suasana temaram tak disinari cahaya lampu.

" Lara, ayo masuk!" bunda Najah mengajakku masuk.

Lara mengangguk dengan senyuman kearahnya seraya mengikutinya masuk kedalam rumah, tiba-tiba saja bulu kuduk Lara berdiri, entah ada hawa mistis apa yang menghampirinya sejak awal dirinya melangkahkan kaki masuk kedalam rumah suaminya.

Bunda Najah memergoki Lara yang sedang kebingungan, ia tersenyum lembut kearah Lara seraya menarik tangannya dan mengajaknya masuk.

"Bunda, kenapa tidak menyalakan lampu?" Lara penasaran sehingga bertanya karena rumah mereka tidak diterangi sinar lampu sama sekali.

"Kami suka suasana temaram, karena lebih dingin daripada terkena sinar cahaya yang membuat ruangan menjadi panas, apalagi disaat musim panas seperti ini". Bunda Najah menjelaskan alasan mengapa rumah mereka gelap dan temaram.

Lara mencoba membenarkan penjelasan mertuanya, karena dengan suasana gelap, ruangan akan terasa sejuk dan dingin. Tapi jauh didalam hati kecilnya berbisik, ada sesuatu yang tak beres dirumah ini.

Sebelum menikah, Lara tak pernah kesini, hanya tahu dari orang-orang tentang rumah besar dan megah mereka, dan semua upacara pernikahan kami diadakan di desaku, karena bunda Najah tak ingin repot bolak balik dari desaku kedesanya meskipun tidak jauh. Lagi pula kondisi beliau sedang sakit-sakitan, kakinya mulai tak normal karena kolestrol yang dialaminya, sehingga membuatnya berjalan seperti orang (maaf) pincang. Meski begitu, keanggunan dan kecantikam beliau masih nampak.

Konon, beliau dikabarkan wanita yang sangat cantik dan awet muda di desanya, matanya tajam, senyum dan wajahnya berwibawa, kalau bicara banyak yang simpati, apapun keputusan yang dibuat beliau pasti disetujui warga termasuk petua kampung. Bayangkan, ibu mertua Lara mempunyai kedudukan penting di desanya. Lara turut bangga dengan semua itu.

"Lara, malam ini kau akan tidur sendiri, Fadli suamimu datang besok pagi, karena urusan tugas di kota baru selesai malam jam delapan nanti, setelahnya dia akan kembali".

"Baik bunda!" Ucap Lara berusaha tenang.

Dada Lara berdegup kencang, tak menduga malam pertama di rumah asing dan megah ini harus tidur sendiri, meski rumah suaminya, namun ia masih baru disini. Awal tantangan bagi Lara, terutama ia tak suka kegelapan.

"Karena kau masih baru disini, kau tak perlu memasak buat makan malam, bunda sudah meminta Fadil untuk membeli makanan diwarung, sekarang kau boleh beristirahat sambil menata baju-bajumu kedalam lemari, silakan!!" Bunda Najah menyuruhku kekamar.

"Baiklah bunda, aku akan menata baju-bajuku dulu!" Lara pamit masuk kekamar.

Bau apek, amis, dan tak sedap serta lembab menusuk hidung Lara, entah dari kamar siapa itu?! Tapi sejak ia masuk, bau tak sedap itu sudah mengganggu indra penciumannya. Brakkkkk....!!!

"Aaaaaa.. si..si..siapa disana?!" Lara berteriak kaget ketika masuk kamar suaminya.

Meaaaw, ternyata seekor kucing coklat kehitaman dengan mata tajam keluar dari kolong ranjang, entah dari mana datangnya, yang pasti dia seperti terjatuh dari atas. Jantung Lara hampir copot dibuatnya, "Oops empus, kalau ingin membuatku kaget jangan begini, deh!" Ucap Lara sambil mengelus dada.

Tak sampai disitu, tiba-tiba Lara mendengar suara aneh entah dari mana, tapi telinganya jelas mendengarnya meski sayup-sayup. Suara itu seperti seseorang sedang menyantap makanan dengan lahap dengan berdecak-decak saking nikmatnya, alih-alih makanan lezat, Lara malah mencium bau amis darah segar.

Kalian pasti kaget, kamar pengantin baru biasanya berbau harum dengan aroma wewangian bunga atau perfume, tapi tidak dengan kamar pengantin Lara, ia seolah datang ketempat yang sudah lama tak berpenghuni. Tapi Lara tak terlalu mempermasalahkan hal itu.

"Mungkin suamiku sibuk dengan tugasnya yang sering keluar kota, sehingga tak sempat bersih-bersih kamarnya apalagi menghias kamar pengantin untuk malam pertama kami!" Gumam Lara dalam hati. "Dan aku memahami keadaan Bunda Najah yang mulai sakit-sakitan diusianya yang mulai senja, beliau janda. Ayah dari suamiku sudah lama menikah dengan wanita lain, dan menetap dikota lain dengan keluarga barunya!

Sedangkan Fadil, adik bungsu suamiku yang jarang dirumah karena sekolah dan suka kumpul-kumpul dengan pemuda seumurannya!" Lara bercerita dalam hati pada dirinya sendiri.

Kalian pasti sudah tahu bagaimana nantinya? Berarti Lara dan ibu mertuanya akan sering tinggal berduaan dirumah besar dan mewah tapi nampak angker itu.

Melihat keadaan rumah megah yang nampak usang ini, Lara berniat akan membuatnya menjadi indah meski ibu mertuanya tak suka cahaya lampu, setidaknya Lara berjanji akan membersihkan debu dan sarang laba-laba yang mulai bersarang di pojok demi pojok rumah. Yang Lata heran, orang sekaya mereka kenapa tidak membayar pesuruh buat membersihkan rumah sebesar itu.

"Ah sudahlah, aku tak mau ambil pusing dengan hal-hal sepele ini, aku berjanji akan memulai kehidupan yang indah dirumah baruku, rumah suamiku!" Lara bertekad dalam hati.

Malam pengantin Lara lalui sendiri, tak ada kejadian janggal, hanya saja tengah malam ia mendengar seperti ada orang yang keluar menuju genteng, dan suara yang sama kembali terdengar sebelum subuh. Tapi Lara berusaha tenang, paling-paling kucing yang keluar masuk rumah.

Dua bulan Lara dirumah suaminya, terkadang ia berkunjung kerumah orang tuanya, pernikahannya berjalan normal dan lancar layaknya rumah tangga lainnya. Lara beruntung meski tidak berpacaran, tapi suaminya orang yang sangat bertanggung jawab dan baik.

Dan saat memasuki bulan ketiga pernikahan, mereka dikejutkan dengan kabar gembira, Larat hamil.

"Sayang, jangan bekerja yang berat-berat, ya?! Kau sedang mengandung!" Fadli menasihati Lara dengan lembut.

"Tentu saja, tapi aku bisa jaga diri, jangan cemas!". Ucap Lara tersenyum.

"Nanti taruh bawang merah, cermin kecil dan jarum atau gunting di bawah bantalmu!" Fadli meminta Lara melakukan semua itu.

Lara terkejut, seketika jantungnya sesak, karena ia tahu adat tradisi di tempat mereka dengan adanya benda-benda seperti itu pasti untuk mengusir makhluk jahat manusia jadi-jadian, pemilik ilmu hitam buat pemikat dan pengasih, siapapun akan tunduk pada orang itu.

"Memangnya ada kuyang disini, sayang?" Lara bertanya penasaran, Fadli langsung menutup mulut Lara dengan jarinya sambil berbisik pelan.. .

"Hanya berjaga-jaga sayang! Aku tak ingin bayi kita diganggu oleh makhluk jahat itu" timpal Fadli.

"Tapi kau sudah membuat aku sangat takut." Lara meringis ketakutan.

"Didalam satu desa di kecamatan kita pasti ada orang yang memiliki ilmu itu kan?! Apalagi kau asing di desa ini, jadi tak salahnya aku khawatir". Fadli menjelaskan alasannya.

"Tapi benar juga, apa salahnya aku mengikuti anjuranmu!" Timpal Lara.

Kehamilan Lara sudah menginjak minggu kedua, Fadli sering keluar kota, dan Fadil pulang larut malam, kadang subuh baru kembali kerumah, sehingga Lara hanya berdua dirumah dengan bunda Najah. Keadaan rumah masih sama seperti awal kedatangannya, Bunda Najah melarang Lara bersih-bersih dengan alasan tak ingin memindah dan merubah tatanan barang dan furnitur dirumahnya. Meski Lara merasa engap, tapi ia tak berhak membangkangnya.

"Ya sudah, biarkan rumah megah ini dengan keadaan lumayan jorok dan lembab. Sedangkan kamarku, kubiasakan tiap hari membersihkannya, setidaknya aku tidur diruangan bersih dan asri." Ungkap Lara pada dirinya sendiri.

"Lara, hari ini tak ada penjual ikan yang lewat, maukah kau memasak untuk makan siang nanti? Nasi putih dengan lauk 'iwak wadi' (ikan yang diasinkan tapi tidak dijemur, melainkan direndam dalam wadah berisi air garam) yang ada dibelanga hijau?"

"Baik bunda, aku sangat menyukai iwak wadi tersebut, pasti aku akan makan banyak hari ini". Balas Lara dengan senang hati.

Orang didaerah tempat Lara tinggal pasti tahu apa itu 'iwak wadi', lauk yang sangat lezat ditaburi bawang merah goreng, enak dimakan dengan nasi putih hangat ditemani Mentimun atau Semangka.

Lara bergegas kedapur dan mulai menanak nasi, sedangkan bunda Najah berada didalam kamarnya, karena sakitnya mulai kambuh sehingga membuatnya kurang bisa beraktifitas.

Lara mulai memanaskan wajan untuk menggoreng 'iwak wadi' seraya mengambil 'iwak wadi' tersebut dari dalam belanga kaca berwarna hijau peninggalan jaman dulu. Tangan Lara mencoba mengais 'iwak wadi' yang bercampur air garam di dalam belanga, namun ia tak menemukan ikan satupun. Lara tak ingin berprasangka macam-macam, tapi nalurinya berkata lain.

"Disini tak ada ikan sama sekali!" Gumamnya dalam hati.

Lara kembali mengais isi belanga yang tak nampak apa-apa olehnya, karena ketebalan belanga dan warna hijau ditambah ruangan yang temaram. Untuk menghilangkan rasa penasarannya, Lara mengambil saringan, kemudian ia menangkap satu persatu isi yang ada didalam belanga tersebut.

Mata Lara terbelalak, bukan 'iwak wadi' yang dia temukan, tapi benda-benda panjang seperti perut kambing, kepala Lara mulai pusing dan mual. Tapi Lara tak mau mengganggu ibu mertuanya, ia kembali mencari 'iwak wadi' tersebut ke dalam belanga lain, karena disitu ada tiga belanga yang sama berjejer rapi.

Belanga kedua isinya sama, semua nampak seperti isi perut kambing, panjang-panjang, berlilit-lilit dengan warna pucat pasi karena diawetkan dengan air garam. Lara masih diam, tak ingin menanyakannya pada bunda Najah.

Tak putus asa, Lara kembali mencari 'iwak wadi' kedalam belanga ketiga, nihil. Isinya sama semuanya, Lara mulai heran dan bertanya-tanya.

"Mengapa keluarga ini mengawetkan perut kambing?!" Celetuk Lara heran.

Karena penasaran, Lara mengambil wadah dan memasukkan sebagian perut kambing tersebut untuk diperlihatkan pada bunda Najah.

"Bunda, aku tak menemukan iwak wadi yang bunda maksud, isi ketiga belanga itu perut kambing semua!" Ucapku memberitahu bunda Najah.

Bunda Najah terbelalak, seraya merampas wadah yang berisi perut kambing tersebut dan melahapnya mentah-mentah sambil mendengus seperti orang kelaparan. "Hmmmm segarrr, lezatnya tembuni (ari-ari) ini" Ucap bunda Najah.

Lara terkejut tiada terkira, ternyata yang dipegang-pegangnya tadi adalah tembuni, bagian dari organ bayi yang baru lahir, pikirannya mulai berhalusinasi macam-macam.

"Kau lancang sekali! Mengapa kau memancing-mancingku dengan membawa tembuni-tembuni ini?!" Tanya Bunda Najah kasar pada Lara, baru kali ini beliau membentaknya.

Lara tak menjawab, karena pikirannya dipenuhi berjuta macam pertanyaan dan rasa, ketakutan dan terkejut.

"Ternyata ibu mertuaku adalah KUYANG, manusia jadi-jadian yang menganut ilmu hitam demi pengasihan, pemikat, kecantikan dan wibawa yang dimilikinya. Aku tak pernah menyangka semua itu!" Lara terheran-heran melihat mertuanya melahap ari-ari itu.

Lara syok dan bingung harus bagaimana, apalagi ia sedang hamil, akankah beliau menumbalkan calon cucunya juga?! Lara mulai tak karuan, karena ia tahu seorang kuyang akan meminum dar*h orang hamil, menstruasi dan memakan ari-ari bayi bahkan bisa menindih orang yang sensitive, hingga memakan organ dalam tub*h tempatnya bersarang tersebut. Membayangkannya saja Lara merasa ngeri, apalagi terjadi padanya, dan makhluk itu sekarang ada didepan matanya, Lara ingin menjerit keras.

Fadli datang dari tugasnya, ia menghampiri Lara dan ibunya karena mendengar sang ibu yang sedang memarahi Lara.

"Lihat, istrimu sangat lancang, dia membuka aibku disiang bolong". Ucap Bunda Najah ketus kearah Fadli.

Fadli terbelalak, dan perlahan memegangi rambutnya sambil mengacak-ngacaknya, mungkin bingung karena Lara mengetahui jati diri ibunya yang sebenarnya.

"Bundaaa!" Fadli berteriak histeris entah ingin mengucapkan kalimat apa, pastinya ia serba salah didepan Lara.

Lara yang masih terkejut menjadi lunglai, ternyata selama ini dirinya serumah dengan seorang 'kuyang', manusia penghisap dar*h, dan pemangsa org*n dalam tub*h wanita yang lagi hamil. Rasanya Lara ingin lari dari kenyataan saja, tapi hubungannya dengan keluarga ini makin erat karena sebentar lagi darah daging mereka akan lahir dari rahimnya.

Iya kalau memang terlahir, apakah neneknya mampu menahan napsunya untuk tidak mem*ngsa calon cucunya nanti? Lara sangat bersedih menerima kenyataan hidupnya yang rumit.

Bab 2. Kepergok Warga

Kejadian hari itu benar-benar membuat hidup Lara guncang, menantu mana yang tak sedih mengetahui ibu mertuanya seorang 'kuyang', manusia dengan ilmu hitam pemangsa temb*ni, peminum dar*h menstruasi dan dar*h wanita melahirkan, selain itu juga bisa memakan organ dalam tub*h wanita hamil atau menstruasi.

Lara merasa jijik, muak tapi bagaimanapun juga beliau adalah ibu mertuanya, calon nenek oleh bayi yang dikandungnya sekarang, Lara merasa ingin berteriak, lari dari kenyataan. Terkadang Lara ingin memutuskan untuk bercerai dengan Fadli, tapi nuraninya berbisik, "setiap ada masalah pasti ada jalan keluarnya". Akhirnya Lara terbiasa dengan malam-malam yang menyeramkan, suara-suara desisan lidah orang memakan temb*ni dengan lahap, bau amis dan anyir seisi rumah.

Lara sudah meminta Fadli untuk mencari cara agar ibunya melenyapkan ilmu hitam itu, namun Fadli menjelaskan bahwa tak mungkin terjadi, selain dengan menurunkan ilmu hitam itu pada anak atau menantu perempuannya. Sedangkan bunda Najah tidak memiliki anak perempuan, hanya memiliki dua anak laki-laki, Fadli dan Fadil.

"Bunda sudah berusaha menyingkirkannya, bunda pernah melarung ilmu hitam itu kelaut, tapi malamnya datang lagi, beliau juga mencoba menguburnya, lagi-lagi kembali. Ilmu hitam itu berupa seperti minyak kental yang tak terputus meski dicecer, tersimpan dalam botol kecil, yang dinamakan dengan minyak kuyang!" Fadli menjelaskan.

"Aku masih tak menyangka orang sebaik bunda melakukan hal itu, untuk apa?!" Lara penasaran.

"Bunda memang orang baik dan berwibawa, tapi beliau kalah dengan hawa nafsunya sendiri, dulu bunda dan ayah hidup bahagia sebelum datangnya orang ketiga yang menyebabkan bunda terjerumus kejalan yang salah ini".

"Kenapa sampai salah jalan?" Lara makin penasaran.

"Ayah mengabaikan bunda sejak berkenalan dengan wanita itu, hingga meminta izin pada bunda untuk menikahinya. Namun setelah menikah, Ayah makin jarang pulang kerumah, membuat bunda sakit hati dan khilaf." Fadli menunduk, raut wajahnya berubah sedih ingat kehancuran rumah tangga ayah dan ibunya.

"Seandainya dulu kau melarang bunda untuk pergi kedukun itu!" Lara menimpali sambil membelai belukuk tangan Fadli.

"Bunda putus asa saat itu, beliau naik gunung turun gunung, ke penjuru desa dan pelosok-pelosok, beliau sudah kemana-mana mencari pengasihan untuk membuat ayah kembali kerumah ini, namun nihil. Bahkan bunda tak tahu kalau bunda memiliki ilmu hitam sejenis kuyang ini, dan bunda sendiri tidak tahu dirinya seorang manusia jadi-jadian. Siang sebagai manusia, malam sebagai kuyang!" Jelas Fadli kecewa.

"Hah bagaimana beliau bisa tidak tahu?" tanya Lara penasaran.

"Entah minyak kuyang itu didapat dari dukun mana yang didatangi bunda dipedalaman gunung sana, tapi salah satu dukun itulah yang memberi minyak kuyang tersebut pada bunda. Bunda pernah bilang dengan mengoleskan minyak itu dikedua belah alis, maka ayah akan terpesona kembali pada bunda!" Fadli hafal betul dengan kebiasaan sang ibu.

"Apakah ayah terpikat kembali setelah bunda jadi kuyang?" tanya Lara makin penasaran.

"Ya, pasti! Ayah sempat kembali kerumah berbulan-bulan. Bunda bahagia kala itu, karena ayah lupa dengan istri mudanya. Tapi setelahnya terjadi tragedi besar yang membuat ayah tak mau pulang selamanya, bahkan tak mau untuk bertemu bunda walau sekedar menanyakan kabar!" Fadli kembali bersedih. Lara mendekatinya sambil merebahkan kepalanya dibahu lelaki tampan itu, sejenak ia melupakan suaminya anak dari seorang kuyang.

"Apa yang membuat ayah sangat begitu membenci bunda?" Tanya Lara dengan kalimat lembut agar Fadli tidak bersedih mengungkit masa lalunya.

"Malam itu bunda bertualang seperti malam-malam biasa, beliau saat itu tak tahu siapa dirinya sebenarnya, setiap menjelang malam bunda mengoleskan minyak kuyang dikedua belah alisnya, saat itu juga bunda terbang mencari mangsa, wujud beliau hanya berupa kepala dan seluruh isi perutnya yang terurai, badan sampai leher beliau ditinggalkan dibelakang pintu... " Fadli terhenti, tak sanggup menceritakannya pada Lara, takut membuat Lara jijik dan takut.

"Tidak apa-apa, ceritakan saja! Agar aku tahu bagaimana kalau misalnya nanti aku memergoki bunda yang sedang melakukan aktifitasnya, aku cuma tahu dan mendengar bunda pergi malam-malam, pulang sebelum sholat subuh, itupun seperti benda berat jatuh dari atas atap, tak lebih dari itu." Lara meyakinkan Fadli bahwa dirinya tidak takut.

"Menurut kata orang kampung, waktu itu bunda menyambangi rumah orang yang sedang melahirkan diujung desa sana, beliau udah sering melakukan hal begitu, dan orang kampung juga sudah curiga pada bunda. Tapi bunda tak tahu dirinya dipantau orang sekampung, nah malam itu beliau mencuri temb*ni orang melahirkan tersebut, tapi beliau dikerjain oleh warga. Temb*ni itu dikubur dibelakang rumah dibawah pohon besar, tapi bunda belum sampai kesitu, ditengah jalan dikerjain warga. Warga sengaja mengikat serutan kayu bekas orang membuat peti mati, konon serutan buat peti mati itu bisa berwujud seperti temb*ni bayi, serutan peti mati tersebut diikat dan diseret dengan sepeda. Penglihatan Bunda sudah berubah, serutan itu dikira temb*ni. Akhirnya bunda loncat-loncat mengejar temb*ni, yang sebenarnya serutan kayu peti mati. Warga memyeret tembuni dan membawa sepeda menuju pabrik penggiling padi, disana ada tumpukan dedak, menurut mereka dedak adalah kelemahan kuyang, dan kuyang tak bisa beraksi ditempat penuh dedak itu, warga berhasil ngerjain bunda. Bunda yang cuma berwujud kepala dan perut terurai berteriak-teriak karena diancam warga akan digundul dan ditelanjangi. Akhirnya bunda menyebut siapa namanya dan memberitahu warga dimana tempat tinggal bunda". Fadli menjelaskan panjang lebar peristiwa mengerikan itu pada Lara.

"Tidak pernah mendengar cerita begitu meski aku tak pernah meninggalkan kampung!" Tukas Lara heran.

"Ada kesepakatan diantara kami dan warga saat itu!" Timpal Fadli.

"Kesepakatan apa?" Lara kembali bertanya.

"Tetua kampung membijaksanai hal itu setelah tahu alasan bunda jadi kuyang karena putus asa ditinggal ayah beristri lagi. Malam itu juga tetua kampung dan warga beramai-ramai mengantarkan bunda pulang kerumah, mereka membangunkan kami semua. Aku ikut ayah keluar menemui warga, Fadil saat itu masih berumur 5 tahun, dan aku sudah kelas enam sekolah dasar. Masih kurang mengerti tentang hal seperti itu, tapi sudah tahu arti hantu dan kuyang, seketika aku terkejut melihat kepala yang tergeletak lemah dibawa warga diatas kain jarik, kepala bersama isi perut yang terurai sangat mengerikan bagi anak seusiaku kala itu. Ayah nyuruhku balik kedalam kamar, aku pura-pura menurut, padahal aku penasaran, kemudian mengumpet dibalik pintu menyimak pembicaraan warga dan ayah." Fadli mengingat masa kecilnya yang suram.

"Pantas saja kau tak bisa menasihati bunda saat itu, soalnya kau masih bocah". Akhirnya Lara mengerti mengapa suaminya tidak bisa melarang ibunya mengambil jalan yang sesat.

"Karena ayah salah satu warga yang disegani dan terhormat serta baik, lagi pula karena kekayaan ayah yang melimpah yang sebagian hasilnya buat kesejahteraan warga kampung, maka dari itu tetua kampung berjanji tidak akan mengungkit perihal tentang bunda. Selain itu, tetua kampung mengingatkan warga untuk cukup tahu saja dan dilarang keras mengghibah bunda. Kalau tidak, yang melanggar dihukum untuk meninggalkan kampung." Jelas Fadli pada Lara.

"Wah, begitu segannya warga pada kalian?!" Ucap Lara takjub namun penuh dengan penyesalan.

"Memang, keluargaku sangat disegani. Tapi gara-gara ulah bunda akhirnya semua jadi begini!" Sesal Fadli.

"Tak boleh menyalahkan bunda sepenuhnya, kau bilang semua terjadi juga gara-gara ayah?!"

"Iya, seandainya bunda bersabar, tapi sayangnya bunda ingin cara instan yang akhirnya tersesat begini". Fadli masih menyesali tindakan ibunya meski bukan salah sepenuhnya.

"Aku sangat prihatin, sayang!" Lara mengelus rambut Fadli dengan lembut, mencoba merubah suasana agar tidak terlalu tegang.

"Kau tahu apa yang terjadi malam itu pada ayah dan bunda?" Fadli menatap kosong, Lara masih membelai rambutnya penuh kasih sayang. "Ayah menyatukan kepala bunda dengan badannya yang berdiri dibelakang pintu dapur! Seketika bunda menggelepar dan oleng setelah kepala dan badan beliau menyatu. Bunda tidak menyadari apa yang dilakukan bunda malam itu, begitu juga dengan perjanjian antara ayah dan warga kampung! Tapi ayah marah-marah pada bunda, mencemooh bunda sebagai wanita memalukan keluarga dan banyak lagi kata-kata menyakitkan yang bikin bunda syok saat itu." Fadli menjelaskan secara detail.

"Kenapa bisa begitu? Bukannya bunda melakukannya dengan sadar?" Lara menatap Fadli heran dan bertanya-tanya.

"Tidak, bunda bersumpah tak tahu apa yang dilakukannya! Bahkan waktu ayah membentaknya malam itu bunda terheran-heran, karena mengira ayah marah tanpa sebab. Soalnya malam itu juga ayah pergi sampai sekarang tanpa menjelaskan apa alasannya pada bunda!" Fadli benar-benar terpukul.

"Bagaimana bunda tahu dirinya seorang kuyang?" Lara tak ingin suaminya bersedih atau tersinggung, dia rebahan diasuhan Fadli.

"Aku ingin menjelaskan pada bunda tentang siapa dirinya sebenarnya, tapi takut tidak didengar olehnya, karena saat itu aku masih bocah. Salah-salah aku dimarahi oleh bunda! Tapi ada Bi Saleha, teman dekat bunda datang kerumah siang setelah kejadian! Bi Saleha mengobrol banyak dengan bunda tentang kejadian tadi malam, aku dan Fadil main robot-robotan diruangan yang sama, Fadil belum mengerti, tapi aku juga pura-pura tidak mengerti, padahal penasaran ingin tahu reaksi bunda saat tahu dirinya adalah kuyang!" Fadil bercerita sambil menatap Lara yang berbaring dipangkuannya.

...*****...

"Jeng, ada apa dengan akalmu? Sudah hilang? Kenapa kau mau jadi kuyang?" Ucap Bi Saleha kecewa pada bunda.

"Jangan sembarangan! Apa maksud perkataanmu, Leha? tanya bunda Najah.

"Tadi malam kau lupa diarak warga sehabis mencuri temb*ni bayinya si Inah?" Bi Leha menjelaskan sambil terheran-heran melihat bunda yang tak tahu menahu.

"Astaga, kamu makin aneh, Leha?! Apa sebenarnya maksud dari perkataanmu itu? Coba tatap mataku dalam-dalam, apakah kamu melihat dimataku aku ini seorang kuyang?" ucap Bunda Najah makin tak mengerti.

"Aduuuh, jadi begini... tadi malam kau dikerjain warga saat mencuri tembuni bayinya Inah. Kau adalah seorang kuyang, Najah!!! Kau itu kuyang!! Warga sudah lama curiga padamu, karena kau sering mencuri tembuni bayi warga yang melahirkan!" Bi Saleha menangis tersedu-sedu menceritakan kejadian tadi malam.

Bunda Najah mengingat-ngingat, namun tak bisa. Tapi dia seperti membenarkan ucapan Bi Saleha bahwa dirinya adalah seorang kuyang, karena beliau sadar sudah puluhan mungkin ratusan dukun sudah didatangi buat mencari ilmu pengasihan.

"Aku tak sadar, Leha! Sumpah aku baru tahu, kenapa kau tidak menceritakan kecurigaan warga dari dulu?" tanya bunda Najah kecewa.

"Bukan begitu, aku takut kau tersinggung kalau aku menuduhmu tanpa alasan, soalnya belum ada bukti yang nyata untuk menuduhmu sebagai kuyang. Tapi warga sering memergoki sosok kuyang tiap malam menjelang subuh hinggap diatas atap rumahmu dan menghilang!" Lagi-lagi bi Saleha menangis menjelaskan apa yang ia ketahui.

"Seseram itukah diriku, Leha?!" tanya Bunda Najah bergetar, sambil memegangi kedua tangan Bi Saleha.

Kedua sahabat itu saling menangis berpelukan, akhirnya bunda Najah mengetahui siapa dirinya dari keterangan Bi Saleha. Mulai saat itu bunda jarang keluar rumah atau ikut acara-acara yang diadakan warga didesa. Bunda Najah lebih sering dirumah, namun tak bisa dipungkiri, tiap malam berpetualang mencari mangsa. Tapi masih beruntung warga tidak mempermasalahkan kekurangan Bunda Najah. Meski begitu bunda Najah sering ingin menyingkirkan ilmu hitam yang dimilikinya, namun berakhir gagal. Karena sepengingat bunda Najah, dukun yang memberi minyak kuyang padanya telah meninggal. Sedangkan untuk melenyapkan minyak kuyang itu harus pada dukun pertama yang memberikannya, atau dengan cara menurunkan ilmu hitam tersebut pada anak atau menantu perempuan. Sangat mengerikan!!!

...*****...

Tahun berganti tahun, tak terasa kejadian malam itu sudah berlalu lebih dari delapan belas tahun. Putra sulung Bunda Najah tak kunjung dapat pedamping hidupnya, mungkin warga desa enggan berjodoh dengan pria anak dari seorang kuyang. Hingga tak disangka, pria tampan bernama Fadli itu menikah dengan wanita cantik yang sekarang mengandung bayinya, Lara.

Cerita Fadli meluluhkan hati Lara, awalnya ia bertekad minta cerai, tapi akhirnya tak tega. Karena Lara tahu Fadli tidak bersalah, bahkan bunda Najah pun tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas kejadian yang tak diinginkan ini. Tapi ada sedikit kegelisahan dilubuk hati Lara yang dalam, sebenarnya ia tak menginginkan hal ini terjadi. Lara berusaha melupakan masalah keluarga dalam rumah tangganya.

Fadli membelai rambut Lara sesekali meraba leher dan pipinya dengan penuh cinta, hingga membangkitkan gairah asmara di hati Lara. Perlahan Fadli melepaskan baju tipis yang membalut tubuh istrinya, sembari mengusap perut Lara penuh kasih dan mengecupnya.

"Jangan nakal pada mama, nak ya!?" Pesan Fadli pada calon bayinya, tangan Fadli mulai menjelajahi tubuh mungil istrinya. Lara pun membalas belaian kasih suaminya, keduanya larut dalam bahtera cinta, suasana makin memanas yang membuat mereka lupa dengan masalah hidup mereka yang rumit.

Gubraaakkkkk, benda berat jatuh dari atas atap, pasti itu bunda Najah yang pulang dari pengembaraan beliau mencari mangsa empuk. Tapi kejadian itu sudah tak asing lagi bagi Lara, apalagi Fadli, karena sudah terbiasa. Sepasang suami istri itu sedang mengarungi bahtera cinta dilaut asmara, mereka tak peduli apa yang terjadi.

Sementara itu, bunda Najah sedang sibuk menyantap tembuni segar masih berdarah yang baru saja beliau dapatkan ditempat orang melahirkan.

"Hmmm sedap sekali, dengan tembuni ini aku bisa hidup sehat selama dua tiga minggu!" bunda Najah menjilati dar*h segar tembuni yang tersisa dijari-jarinya.

Begitulah aktifitas seorang kuyang, yang kadang dilakukannya tiap malam. Menurut Lara, bunda Najah ini ibarat kuyang senior, ilmu beliau sudah sangat tinggi, bisa membuat mangsa atau musuhnya kesurupan. Berbahaya, tapi selama ini tidak pernah mengganggu Lara dan kehamilannya, mungkin karena Lara adalah menantunya.

Namun jangan senang dulu, pemirsa! Lara akan menerima berbagai cobaan dan tantangan yang sulit untuk dijalani dan diterima akal sehat. Mengerikan dan menakutkan!!!

Bab 3. Palasik

Bunda Najah bisa bertahan hidup normal beberapa minggu, jika beliau mengkonsumsi tembuni dan menghisap dar*h menstruasi atau dar*h nifas wanita melahirkan. Jijik emang, tapi begitulah kehidupan seorang kuyang.

"Mirip vampire atau drakula, tapi menurutku kuyang ini vampire versi lokal." Gumam Lara merenungi nasib ibu mertuanya.

Kehamilan Lara sudah menuju lima bulan, tidak ada tanda-tanda gangguan dari sang mertua meski beliau membutuhkannya. Tapi disisi lain, bunda Najah berjuang keras menahan diri untuk tidak mengganggu keturunannya, itu adalah hal yang tersulit bagi beliau, karena aroma wangi tubuh Lara yang mengandung calon cucunya semerbak menusuk indra penciumannya. Demi menghindari calon cucunya, beliau sengaja tiap malam mencari mangsa didesa lain.

"Aku tak tahan mencium bau harum disebelah kamarku ini, ingin sekali mencicipinya sekarang juga. Aku harus mendapatkannya, dengan cara bagaimanapun!" Ucap Bunda Najah yang terkadang lupa bahwa dia sedang mengincar calon cucunya, darah dagingnya sendiri.

...*****...

Didesa tempat tinggal suami Lara sekarang tidak ada orang mengandung, bunda Najah agak kesulitan mencari mangsa, hingga beliau terpaksa berkelana kedesa tetangga yang terkadang berbahaya untuk didatangi, tapi demi kelangsungan hidupnya, dia rela melayap kemana-mana.

"Aduuuh, kakiku sakit sekali! Lara, coba ambil minyak urut, nak!" bunda Najah memanggil Lara.

Hari mulai senja, suasana sudah gelap, terlebih rumah bunda Najah, hanya diterangi bohlam dengan cahaya temaram, bisa kalian bayangkan seperti villa-villa besar difilm-film horror.

Lara berjalan menuju kamar bunda Najah ditangannya membawa sebotol minyak urut, ia bergegas menghampiri ibu mertuanya. Meski kadang ragu dan takut berhadapan dengan manusia setengah siluman itu, namun disisi lain beliau adalah mertuanya, ibu dari suaminya, dan calon nenek dari calon bayinya nanti.

"Bunda, sini aku pijit kakinya!" Lara menawarkan diri.

"Ayo masuk, kakiku sakit sekali, kaku dan nyeri!" Ucap bunda Najah merintih.

Lara mendekat sambil memijit lutut sang mertua, ia tahu sudah beberapa minggu mertuanya tidak mengkonsumsi makanan khasnya, karena didesa mereka tidak ada mangsa empuk yang bisa disantap seperti biasa. Kondisi bunda Najah melemah, sesekali terdengar desisan dari mulut beliau, pertanda menahan napsu dari mangsa empuk didepannya sendiri, bunda Najah hanya bisa menelan air liurnya.

"Sudah, sudah pergi sana, jangan kemari kalau tidak aku perintah!" Bunda Najah mengusir Lara seraya menarik kakinya dari pijatan sang menantu, beliau bersikeras menyingkirkan napsunya untuk memangsa Lara dan jabang bayinya.

"P..p..permisi bunda!" Lara tergagap, ia segera pergi dari kamar Bunda Najah, hatinya diliputi antara tak tega dan takut.

Bunda Najah merintih kehausan dan kelaparan, ia berteriak dan menangis meraung-raung. Lara sendirian dikamar, Fadli bertugas diluar kota, sedangkan Fadil adik iparnya keluar sejak sore bersama pemuda-pemuda sebayanya. Lara tak bisa membayangkan malam ini seorang diri bersama mertua yang setengah siluman itu, yang bisa saja sewaktu-waktu berubah ganas dan memangsanya.

"Sepertinya malam ini aku harus pergi! Tapi dengan siapa? Tidak ada yang bisa mengantarku pulang kerumah orang tuaku!" Lara meringis ketakutan.

Maklum dua puluh lima tahun silam masih belum ada ponsel dan jasa gojek, apalagi Lara tinggal didesa jauh dari keramaian kota. Akhirnya Lara membohongi dirinya, berpura-pura tidak terjadi apa-apa, ia memberanikan diri sambil membaca-baca ayat Al-Qur'an yang dia bisa, selain itu ia juga menyimpan benda-benda yang ditakuti kuyang seperti buku yasin kecil, bawang merah tunggal, cermin, jarum, benang hitam, daun jeruk, jeriangau dan tali ijuk yang terbuat dari pohon enau (konon bisa sebagai sarana pagar ghaib), Lara menaruh semua benda-benda itu dibawah bantalnya. Meski agak konyol bahkan mengarah keperbuatan syirik, tapi kebiasaan itu sudah dilakukan masyarakat sekitar demi menangkal makhluk-makhluk jahat khususnya kuyang, apalagi sang kuyang berada satu atap. Entah suatu kebetulan, benda-benda tersebut mampu membuat kuyang tidak berdaya.

Malam mulai larut, waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh, Lara mencoba memejamkan matanya. Duarrrr, baru seperempat jam Lara terlena, tiba-tiba terdengar ledakan hebat seolah menyeruak keluar dari atas atap.

"Sepertinya Bunda pergi mencari mangsa!" Gumam Lara lirih.

Bau busuk dan amis tercium seiring perginya bunda Najah, pikiran Lara tidak karuan, perasaannya tidak tenang meski bunda Najah tidak ada dirumah, kantuknya telah pergi, ia mulai berjaga-jaga, malamnya diliputi kegelisahan.

Tapi sampai subuh tidak terdengar tanda-tanda bunda Najah sudah pulang, padahal Lara tidak tidur sepanjang malam, ia khawatir dengan sang mertua, meski ia tahu kehebatan beliau, tapi kali ini ia mencemaskannya.

Kegelisahan Lara berlanjut, karena hari sudah mulai terang dan sang mertua belum juga pulang, Fadil baru saja kembali dari bergadang, dan bergegas pergi sekolah.

"Sarapan dulu, Dil?!" tanya Lara.

"Terima kasih kak, aku sarapan dikantin saja!" jawab Fadil mengantuk.

"Cuci muka dulu, Dil. Kamu masih mengantuk!" Lara menyuruh Fadil mencuci muka karena wajah adik iparnya nampak kusam dan mengantuk.

"Aku sangat mengantuk, kak! Oh iya, Bunda mana? Kak Fadli keluar kota?" Tanya Fadil bertubi-tubi sambil menguap.

"Fadli belum pulang dari tugas, besok pasti kembali, sementara Bunda tidak pulang-pulang dari tadi malam, Dil!" Jawab Lara.

"Hah, kenapa Bunda tidak pulang, kak?" Fadil terkejut, matanya terbelalak hampir lepas.

"Aku tidak mendengar Bunda sama sekali! Sebaiknya, mari kita coba memeriksa kamar bunda, yuk?!" Ajak Lara menuju kamar bunda Najah.

Fadil mengikuti Lara berjalan menuju kamar Bunda Najah, Lara membuka pintu, Fadil mengintip kedalam kamar sang ibu. Sepi, tak ada kehidupan, hanya bau amis yang menyengat tercium dari kamar lembab dan gelap itu.

"Bunda, mari sarapan!!" Ucap Lara seraya mengajak mertuanya sarapan.

Tak ada sahutan, Lara kembali menutup pintu, Fadil bengong. Karena tak biasanya sang ibu tidak pulang setelah semalaman mencari mangsa, Fadil mulai berpikiran yang tidak-tidak.

"Kak, sepertinya aku harus mencari bunda, tapi tidak tahu Nunda dimana?!" Fadil kebingungan bergegas pergi sambil menarik tasnya.

"Dil, Dil, Dil.. memang kau tahu kemana mencari Bunda?" tanya Lara penasaran.

"Tidak tahu, kak! Tapi mencoba bertanya pada orang sesama aliran Bunda, mungkin saja tahu kemana arah bunda pergi!" Jawab Fadil seadanya.

"Apa? Berarti kau tahu ada kuyang selain bunda ada didesa ini juga?!" tanya Lara terkejut dan takut.

"Banyak, kak. Yang kutahu ada empat sampai lima orang, dari awal sampai ujung desa. Dan gadis pun juga ada!" jelas Fadil makin membuat Lara terkejut.

"Dil, kau jangan bercanda! Gadis menganut ilmu itu untuk apa, Dil?!" Tanya Lara tak percaya.

"Biasa, kak! Buat memikat om-om pejabat, yah begitulah otak mereka sangat sempit, ingin enak dengan jalan instan!" celutuk Fadil menyayangkan.

"Hey, tapi aku heran kenapa kau bisa tahu hal seperti itu?" tanya Lara penasaran.

"Aku tahu, Bunda yang memberitahu! Lagi pula tatapan mata mereka itu berbeda, kak!" jelas Fadil. "Sudah ah, aku mau sekolah dulu." Fadil bergegas pergi.

"Tunggu, Dil! Kamu sudah membuatku takut dan penasaran, apa maksudmu dengan tatapan mereka yang berbeda?!" Lara menahan adik iparnya pergi.

"Kalau dia menatap wanita-wanita yang sedang haid atau mengandung, tatapan mereka tajam sekali, tapi ketika kita balik metatapnya, dia menunduk. Coba kakak tatap bunda, pasti bunda menunduk! Sudah deh, aku berangkat dulu!" Fadil buru-buru pergi menunggang motor Honda Supra warna hitam miliknya.

Lara ternganga dengan penjelasan Fadil yang sudah mengebut dengan motornya, ia dapat pengetahuan baru tentang makhluk jejadian seperti ibu mertuanya. Bulu kuduknya berdiri, saat tahu ternyata masih ada kuyang didesa ini selain mertuanya.

"Benar-benar menakutkan!" ucap Lara bergidik.

Lara keluar rumah menuju halaman untuk menyapu, seorang wanita turun dari sepeda menghampirinya dan memarkir sepedanya pada bangku bambu yang ada di bawah pohon tepat didepan halaman rumah Bunda Najah.

"Kak, perkenalkan! Aku Santi, teman Fadil waktu sekolah dasar, boleh duduk disini?!" Tanya wanita itu basa-basi pada Lara.

"Oh temannya Fadil?! Silakan duduk, dek!" Ucap Lara mempersilakan wanita yang mengaku teman Fadil.

Wanita yang bernama Santi itu duduk seraya memandangi Lara dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lara tidak menatapnya langsung, tapi dia melihat wanita itu menatapnya dari ekor matanya, wanita itu memandanginya dengan seksama. Lara mulai tak enak dipandangi dengan sedetail itu.

"Mau minum apa, dek? Teh, Kopi atau air putih?" Tawar Lara basa-basi.

"Tidak usah repot-repot, kak! Aku cuma ingin mampir disini!" Ucap Santi tersenyum, tanpa menoleh kearah Lara.

"Baiklah, aku menyapu halaman, ya!?" Lara kembali beraktifitas.

"Bunda Najah dimana, kak?" Tanya Santi.

"A..e..a..anu dek, Bunda pergi kerumah temannya!" jawab Lara sekenanya.

"Kapan pulang, kak? Soalnya ada yang ingin aku bicarakan dengan beliau!" Tukas Santi masih tidak menoleh Lara.

"Tidak tahu kapan, tapi kau bisa bilang padaku tentang hal apa yang ingin kau sampaikan, nanti aku sampaikan pada Bunda!" Tawar Lara.

"Tidak usah, kak. Nanti aku sendiri yang bicara pada beliau! Kalau begitu aku pamit dulu, ya!? Sampaikan pada Bunda Najah bahwa aku datang kemari!" Santi berpesan seraya pamit pada Lara.

Wanita muda itu pergi mengayuh sepedanya, Lara baru sadar dengan ucapan Fadil tentang tatapan mata seseorang.

"Wah iya, aku baru sadar! Jangan-jangan Santi seperguruan dengan bunda, Santi tidak menatapku saat beradu pandang, tapi matanya memandang tajam sekali kalau tidak saling tatap!" Ucap Lara dalam hati, bulu kuduknya berdiri.

Sepeninggal wanita itu, perut Lara terasa mual seolah diaduk-aduk, kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang, hingga Lara tak sadarkan diri.

...*****...

Suasana gelap, hanya ada cahaya remang-remang menyinari ruangan dimana Lara berbaring, ia menatap sekitar, diruangan itu terlihat beberapa orang tetangga duduk menemaninya, mereka sedang berbincang-bincang.

"Kau sudah sadar, nak?" tanya Bi Inah membantu Lara duduk bersandar. "Tadi kamu pingsan dihalaman saat menyapu! Kami khawatir sekali, dari pagi sampai sekarang kau baru sadar, mertua dan suamimu tidak ada ya?" Tanya beliau seraya menatap sekeliling ruangan.

"Terima kasih Bi Inah sudah menolong Lara!" Ucap Lara lemah.

"Kau masih lemah, ayo makan bubur hangat ini, baru saja bibik membuatnya untukmu!" Bi Inah menyodorkan mangkuk berisi bubur ayam hangat, Lara memakannya sesendok demi sesendok.

"Bi Inah, tolong campurkan daun jeriangau kedalam minyak urut, urut perut Lara pelan-pelan biar tidak diganggu kuyang!" Ucap salah satu tetangga.

Lara terkejut dengan ucapan tetangganya, Bi Inah menaruh jeriangau tersebut pada minyak urut. Aroma khas jeriangau tercium semerbak, konon kuyang takut dengan aroma tumbuhan rumput ini.

"Sini aku urut perutmu pelan-pelan, nak!" Tawar Bi Inah. "Kau dirasuki palasik, nak. Tadi kau kejang-kejang, matamu melotot sambil mencakar-cakar rambut, untung ada Pak Haji Usman yang mengusir kuyang itu!"

"Siapa palasik yang merasuki aku, Bi Inah?" Lara ketakutan, ia khawatir dengan bayi yang dikandungnya diganggu kuyang itu.

"Kata Pak Haji, kuyang palasik itu wanita masih muda, sedang mengincar bayimu, hati-hati kalau kemana-mana kau harus membawa bawang merah tunggal, taruh didalam saku bajumu, dan ikat benang hitam di ibu jari kakimu, agar kuyang tidak berani masuk lewat kukumu!" Ucap Bi Inah menasihati sambil melilit benang hitam diibu jari kaki Lara.

"Terima kasih banyak, Bi Inah. Aku tak tahu harus bagaimana jika tak ada bibi menolongku." Ucap Lara sedih bercampur takut.

"Sudahlah nak, habiskan makananmu, biar aku disini untuk menjagamu sampai suamimu datang!" Bi Inah berjanji akan menemani Lara.

"Pak Haji Usman sudah pulang, Bi? Aku tak tahu beliau ada disini!" tukas Lara.

"Sudah pulang dari tadi, dijemput orang buru-buru, katanya ada yang terkena palasik juga didesa sebelah!" ucap Bi Inah menjelaskan.

Lara tak habis pikir, kenapa makhluk-makhluk jahat itu berkeliaran memangsa korban-korbannya, setiap desa mengalami hal sama secara bersamaan.

Tetangga lain mulai berpamitan pulang melihat keadaan Lara mulai membaik, sementara Bi Inah tetap berada dirumah menjaga Lara.

"Lara sangat berterima kasih pada kalian semua yang sudah menolongku!" Ucap Lara pada tetangga-tetangganya.

Tetangga mengangguk seraya pulang kerumah mereka masing-masing, Lara tak sabar menunggu malam berganti siang, karena ingin bertemu dengan suaminya.

"Begini nih, dia mempalasik orang, sekarang giliran menantu sendiri di palasik orang!" Celutuk Bi Inah yang masih saudara sepupu dari Bunda Najah, mertua Lara.

"Apa maksud, Bi Inah?" Tanya Lara tak mengerti.

"Tidak, cuma kesal pada ibu mertuamu. Dia biasanya mempalasik orang, tidak berpikir suatu saat kejadian sama terjadi pada saudara atau kerabatnya. Buktinya sekarang kau terkena palasik!" Jelas Bi Inah.

Lara baru faham dengan maksud pembicaraan Bi Inah, ia membenarkan ucapan sepupu mertuanya, karma benar-benar berlaku. Tubuh Lara bergetar ketakutan, ia merasa terancam dan tidak tenang berada didesa itu.

"Aku sangat mengantuk, Bi! Boleh aku tidur?!" pinta Lara sudah tidak tahan ingin tidur karena kelelahan seharian terkena palasik (kesurupan akibat diganggu kuyang).

"Tidak apa-apa, tidur saja nak! Kau tak usah takut, aku akan menjagamu sampai suamimu datang!". Ucap Bi Inah menenangkan Lara.

Malam mencekam itu dilalui Lara bersama Bi Inah, meski dalam benaknya ada rasa khawatir memikirkan mertuanya yang tak kunjung pulang.

...*****...

Fadli memarkir mobilnya dihalaman rumah, dengan santai ia masuk tanpa curiga dengan apa yang telah terjadi pada keluarganya.

"Akhirnya kau datang juga, Fadli!" Seru Bi Inah.

"Bi Inah, apa yang terjadi?!" Fadli bergegas menghampiri Lara yang masih terbaring lemah dipembaringan diruang tengah.

"Istrimu terkena Palasik!" Ucap Bi Inah singkat.

"Apa? Siapa Palasik yang mengganggu Lara, Bi?!" Tanya Fadli terkejut.

"Orang hilir, masih pemula tapi berani bertindak!" Jelas Bi Inah memberitahu.

"Astaga, Sant...!!" Fadli terhenti bicara karena langsung dicegah Bi Inah.

"Sudahlah Fadli, ibumu juga sering mengganggu orang! Kau jaga istrimu, atau antar dia kerumah orang tuanya selama dia mengandung! Disini bahaya, didalam rumah ada pemangsa, diluar rumah ada pemangsa-pemangsa lain berkeliaran!" Ucap Bi Inah khawatir, "Baiklah, aku pulang dulu, ya! Kalau ingin apa-apa, bilang saja!" Bi Inah berpamitan seraya bangkit berdiri.

"Mari kuantar kedepan, Bi!" Ucap Fadli mengantar Bibinya pulang.

Fadli ingin marah, tetapi benar apa ucapan Bi Inah, ibunya juga sering mengganggu warga, dan kini dia menerima karma atas perbuatan ibunya. Bi Inah kesal pada Bunda Najah, tapi juga khawatir karena sudah dua hari dua malam menghilang. Fadli gundah gulana, selain khawatir dengan keadaan Lara, Fadli juga bingung dengan keberadaan ibunya yang tak tahu entah dimana. Ia mencoba melupakan kekalutannya sejenak, ia mengahampiri istrinya yang sudah menanti kedatangannya.

"Sayang, kau tidak apa-apa?! Kau ingin makan apa hari ini? Pasti kau masih kelelahan karena kejadian kemaren?!" Fadli merangkul istrinya dengan hati-hati dan penuh cinta.

"Aku tak ingin apa-apa asal kau sudah pulang, itu sudah lebih dari segala-galanya!" Balas Lara seraya membenamkan kepalanya pada dada bidang suaminya, ia merasa lega dalam pelukan suaminya tercinta.

"Aku pesan makanan saja, ya! Kau harus makan agar tenagamu pulih kembali, ingin Gado-Gado atau Soto?" Ucap Fadli seraya membelai rambut Lara yang harum dan wangi membangkitkan gairahnya. Tapi ia tahan, karena ia harus memberikan kesehatan jasmani untuk istri dan calon bayinya.

Fadli beranjak keluar mencari anak-anak yang bersedia pergi kewarung untuk belanja makanan. Dan tak lama ia kembali pada Lara sambil membawa Gado-Gado dan Soto plus beberapa tusuk sate, keduanya makan siang bersama. Fadli melarang Lara bekerja, ia memintanya istirahat untuk beberapa hari.

"Kita pindah kekamar, yuk?! Tidak enak kalau Fadil tiba-tiba datang!" Ajak Fadli seraya menggendong Lara masuk kekamar.

Lara mengangguk mesra sambil mengalungkan lengannya dileher Fadli, sesekali Fadli mencumbu istrinya dalam perjalanan menuju kamar.

"Aku ingin lama-lama dijalan!" Ucap Lara menggoda.

"Tidak usah dijalan, dimanapun dan kapanpun setiap ada kesempatan pasti bisa!" Balas Fadli sambil mengecup dahi dan wajah Lara.

Fadli menutup pintu kamar dengan badannya, seraya berjalan menuju ranjang dan membaringkan Lara dengan penuh kasih sayang. Lara menahan lengannya, ia menarik Fadli mendekat kearahnya hingga badannya yang mungil tak nampak.

"Kau sudah benar-benar sembuh?!" Fadli meragukan kesehatan Lara yang nampak berapi-api ingin bertempur dengannya.

"Selama kau ada bersamaku, aku pasti sembuh!" Bisik Lara mesra membuat Fadli tidak bisa menahan napsunya ingin segera membawanya melayang keawan.

Fadli membuka kancing baju Lara satu persatu dan melepas baju tipis itu seraya melemparnya, ia juga mulai melepaskan bajunya, Fadli mendekatkan wajahnya kewajah Lara, napas mereka bertemu, Lara tersengal-sengal membuat Fadli makin agresif.

Keduanya benar-benar terbang keawan, sejenak mereka melupakan peristiwa rumah tangga yang sangat rumit itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!