Setiap darah yang tumpah memiliki kehidupan dan nafas yang tertinggal di dalamnya.
Para penganut ilmu mistis melancarkan aksi dengan melakukan persembahan dan ritual dengan cara apapun meski nyawa mereka di ujung kematian. Mantra, sesajian, keringat dan darah yang di korbankan untuk mendapatkan kedudukan ilmu tertinggi.
Opung Tolu adalah anak ketiga dari dari tiga bersaudara yang masih hidup di keluarganya. Bapak dan ibunya sudah meninggal setelah dia berhasil menguasai ilmu dan kesaktian mandraguna. Begitu pula kedua saudara Tolu yang ikut meninggal setelah dia menggunakan ilmu hitam pada saat melakukan penguburan dirinya sendiri selama empat puluh hari. Tanpa dia sadari, orang-orang yang di dekatnya menjadi tumbal atas kekuatan yang dia miliki.
Kini, opung Tolu menjadi sosok yang paling di takuti dan di hormati oleh seluruh warga kampung. Dia di kenal sebagai dukun sakti yang bisa mengabulkan keinginan orang-orang yang mendatanginya. Kisah opung Tolu di usianya yang ke seratus tahun dan berbagai peperangan ilmu ghaib yang harus dia lakukan setiap hari membuat tubuhnya semakin melemah. Meskipun begitu, sosok arwah opung Tolu masih tetap hidup dan kekal di dunia dengan masuk ke tubuh cucu buyut pilihan yang dia kehendaki.
...----------------...
...🔥🔥🔥...
“Unang hosom roham tujolma nahsea, ala dang taboto aha na dikornanon lao mencapai hasonangon I” ucap ibunya Mariti kepada ketiga anak perempuannya.
Hidup mereka sangat sudah, rumah gubuk kecil itu di huni oleh lima orang yang harus membagi tempat dan meletakkan barang semaksimal mungkin. Penghasilan bapak Don yang bekerja sebagai petani itu tidak cukup untuk kelangsungan hidup mereka. Ibu Mariti bertubuh lemah, dia sakit-sakitan yang hanya mengandalkan sang suami sebagai tulang punggung keluarga, hanya saja dia sering memaksakan diri untuk membantu suaminya bekerja. Sikap ibu Mariti selalu memberi nasehat mengenai kehidupan untuk yang terbaik kepada anak-anaknya. Ibu Mariti selalu mengajarkan mengenai kajian islam, kandungan ayat yang ada di dalam kita suci Al qur’an serta segala ajaran tiang agama.
Setiap pagi, mereka melaksanakan ibadah sholat berjamaah di sebuah surau yang letaknya sangat jauh dari gubuk mereka. Dengan berbekal obor di tangan, mereka menuju surau dengan membawa mukenah dan sajadah yang di bentang lebar pembagian satu sajadah untuk dua orang.
Suara tadarus ketiga gadis itu sayup-sayup merdu bercampur sendu menggema di sepanjang daerah perkampungan. Ibadah lima waktu yang wajib di laksanakan walau sedang bekerja atau di dalam perjalanan sekalipun. Ibu Mariti selalu tanpa kenal lelah membimbing dan mengarahkan anak-anaknya. Berbeda dengan pak Don yang hanya sibuk bekerja banting tulang dan memikirkan usaha sampingan lain demi kelangsungan hidup keluarganya.
“Pak, bapak bangun!” ucap ibu Mariti.
“Sebentar lagi” jawab pak Don.
Suaranya lemah, dia sepertinya sedang mengalami demam tinggi. Tubuh menggigil kedinginan, nada bergetar dengan tatapan sayu melihat istrinya.
“Mariti, tolong bawakan aku segelas air hangat” ucap pak Don.
Bu Mariti memegang keningnya terasa sangat panas dan tubuhnya yang dingin. Dia tampak panik, uang mereka tidak akan bisa menebus obat jika harus di periksa ke puskesmas terdekat. Bu Mariti buru-buru mengambil air hangat untuk pak Don. Dia mengompres keningnya lalu menyelimuti dengan sangat rapat. Ketika bu Mariti akan beranjak dari pinggir kasur kayu itu, pak Don menghentikan langkahnya dengan memegang tangannya.
“Mariti, sebentar” ucap pak Don begitu lirih.
“Ada apa pak?” tanya bu Mariti sambil mengerutkan dahi.
“Aku ingin berpesan pada mu. Jika aku yang pergi duluan, engkau harus menjaga anak kita terutama Tolu dan tetap engkau harus kuat apapun yang terjadi” ucap pak Don.
“Bapak, kita kan mengasuh anak kita sampai tua bersama.”
Mimpi pak Don
“Ayah, tolong aku. Panas!”
Di dalam alam bawah sadar, Tolu melambaikan tangan kea arah pak Don. Dia mengenakan baju yang sangat putih dan bersih dengan cahaya terang terpancar dari dalamnya. Tiba-tiba Tolu memutar tubuhnya berjalan menuju ke sisi kiri jalan yang di penuhi dengan lumpur dan sekumpulan sosok mengerikan yang mendekatinya. Pak menjerit memanggilnya tapi dia tetap berjalan hingga dari atas langit berjatuhan api menghujani tubuhnya. Pak Don melihat tubuh Tolu terbakar bagai bahan bara api yang menyala di sebuah tepat yang sangat mengerikan. Dia tidak bisa menolongnya karena semakin lama api membesar dan berkobar menghanguskan tubuh anaknya. Sejak saat itu, pak Don sangat mengkhawatirkan nasib anak gadisnya.
......................
Mariti berusaha menahan air matanya, seolah dia telah mengetahui firasat yang buruk Tolu yang di katakan suaminya. Dia paham betul akan keadaan mereka, hidup yang miskin dan makan yang sangat jarang dengan rutinitas banting tulang pasti membuat suaminya kini sudah banyak menyimpan penyakit. Begitu pula Mariti yang suhu badannya sering mengalami demam. Setelah melihat suaminya sakit, dia mengabaikan rasa sakitnya.
“Bapak, aku berharap kau selalu menemaniku” ucap bu Mariti lagi.
Semakin hari, kondisi pak Don sangat sekarat. Pagi ini Mereka semua berkumpul melihatnya dengan meneteskan air mata.
“Bu, ayo kita bawa ayah ke balai desa saja” ucap Mardan sambil mengguncang tangannya.
“Jangankan ke balai desa, ke puskemas saja kita tidak mempunyai uang sepeserpun. Terlebih lagi, ayah mu harus di naikkan ke angkutan karena dia sudah tidak bisa berjalan” ucap bu Mariti.
“Bapak! hiks” tangis Ani bergerak memeluknya.
Tolu yang enggan meneteskan air mata, dia hanya memendam dan menahan rasa kekesalan pada diri sendiri dengan berlari memasuki hutan. Dia sangat kecewa karena tidak bisa berbuat apapun kepada sang ayah. Tanpa sadar, karena jarak lari yang sangat jauh itu dia sampai di kaki bukit yang letaknya perbatasan antara pertengahan hutan dan perbukitan Di salah satu batu besar, dia melihat bayangan lelaki berbaju hitam menatapnya dengan sorot mata merah.
“Hei, apakah kau hantu? Bisakah kau membantu ku?” ucap Tolu.
Tekanan nada suara yang tidak gentar atau ketakutan. Dia menegakkan tubuh lalu berjalan mendekati batu besar tersebut.
“Kau pasti sedang kesulitan uang dan beban hidup yang berat. Pelajarilah ilmu ku maka kau akan mendapatkan segalanya. Hahahah” gema suara laki-laki itu memekik daun telinga.
“Bagaimana caranya katakan pada ku!” teriak Tolu.
Dia memutar pandangan, hanya dan sisa suara yang menghilang dengan daun yang menggulung berterbangan. Sudah berjam-jam Tolu berharap suara misterius agar menampakkan wujudnya itu kembali. Namun dia tidak bertemu hingga petang tiba. Perut Tolu yang keroncongan dan dahaga yang membuatnya memutuskan untuk kembali pulang.
...----------------...
“Ibu, aku lapar” ucap Mardan sambil mengusap perutnya.
“Sabar ya” jawab ibu Mariti.
Tolu dan Ani hanya diam menunggu ibu mereka mengupas jagung untuk di rebus di dalam tungku api yang sudah mereka persiapkan.
“Sabar lah sedikit, tidak kah abang melihat ibu masih memasak?” ucap Ani.
Hari ini setelah melakukan puasa mutih yang di ajarkan oleh sang ibu dengan meminum segelas air putih dari waktu pertengahan malam sampai pertengahan siang. Mereka sudah menahan rasa lapar itu lebih dari tiga hari. Di sisi lain Karena mereka kehabisan bahan pangan sehingga menunggu pemetikan tanaman jagung yang baru bisa mereka panen di keesokan harinya. Mereka melaksanakan puasa mutih pada hari rabu dan kamis, dengan niat kebaikan pada diri mereka yang telah di ajarkan oleh ibunya.
...----------------...
NOTE:
➩Unang hosom roham tujolma nahasea, ala dang taboto aha na dikorbanhon lao mencapai hasonangon i."
(Jangan engkau iri dengan orang yang berhasil karena kita tidak tau apa yang telah dikorbankannya untuk mencapai kebahagiaan itu).
➩Puasa mutih adalah puasa di mana seseorang tidak diperbolehkan mengonsumsi makanan selain yang berwarna putih. Tujuan dari puasa ini pun juga beragam. Ada yang bertujuan untuk mendapatkan jodoh, rezeki, hingga ilmu yang bersifat gaib.
Perkampungan itu tampak sepi, hanya terdengar suara ayam jantan berkokok dan semilir angin yang sepoi-sepoi. Bu Mariti memperhatikan gelagat ketika anaknya, hanya Tolu yang Nampak sangat bermuka masam. Dia berpindah posisi duduk menghadap membelakangi mereka, tangannya terlihat sibuk memegang ranting pohon.
“Adik, apa yang sedang kau lakukan?” tanya Mardan berdiri mendekatinya.
“Jangan ganggu aku!” ketus Tolu melengos pergi.
Tingkah aneh Tolu yang semakin hari semakin mencurigakan. Tidak ada yang mengetahui bahwa dia diam-diam pergi ke kaki gunung untuk mempelajari ilmu dari seorang pria tua yang memilik janggut putih sampai melewati lehernya.
“Butet, kau masih terlalu muda untuk mendapatkan ilmu ini. Kembali lah ketika usia mu menginjak umur tujuh belas tahun. Tapi ingat jika kau memilih jalan ini maka engkau akan kesepian dan menjalani hidup seperti tidak menghirup udara” ucap sosok pria tua sambil mengusap janggutnya.
Sembilan tahun kemudian
Hari demi hari di lalui dengan kepayahan oleh keluarga itu. Kemiskinan dan kesulitan menghimpit beban kehidupan. Terkadang mereka tidak menelan sekepal nasi pun dalam beberapa hari, hanya air putih sebagai penyambung rasa dahaga dan perut yang kosong. Di usia Tolu yang menginjak enam belas tahun, muncullah sosok pria yang bernama Togar dari pulau seberang yang melakukan nomaden bersama ayahnya. Tolu bertemu dengan anak laki-laki itu ketika dia sedang menimba air di sumur.
“Sini biar aku bantu”ucap Togar.
Dia memperhatikan lekukan garis wajah cantik dan ketegasan Tolu yang natural membuat dia begitu penasaran dengan gadis kampung tersebut.
“Apa yang kau tengok ha? Mau aku pukul?” ucap Tolu dengan garang.
Dia mengangkat sebuah ember besar dengan satu tangan. Matanya melotot seolah biji bola mata itu hampir terlepas.
“Sabar, aku tidak berniat buruk atau menyakiti mu. Mari kita berteman” ucap Togar bernada lembut.
Hari demi hari kedekatan mereka tampak semakin akrab. Togar yang selalu menyempatkan waktu untuk membantu Tolu mengangkat dan menimba air. Dia juga membantu mencari kayu bakar di hutan dan memancing ikan segar di sungai.
“Togar!” panggil Tolu.
Togar tidak memperdulikan status Tolu. Meskipun orang tuanya sudah memperingatkannya untuk tidak mendekati gadis tersebut. Dia tetap tidak memperdulikan dan dengan setia menjalani hari membantunya masuk ke dalam hutan.
...----------------...
“Togar! Kau mau pergi menemui gadis itu? Ayah akan menjodohkan mu dengan wanita yang lebih baik. Keluarganya sangat miskin. Apakah kau tidak lihat, atap rumah gubuk itu kan terbang jika ada angin kencang yang meniupnya” ucap pak Bram.
“Tidak ayah, aku berniat akan melamarnya” jawab Togar bersemangat.
“Kau adalah anak saudagar kaya di kampung ini. Aku tidak akan merestuinya!” bentak pak Bram lalu memukul meja.
Togar enggan memperdulikan perkataan ayahnya. Dia berlari mencari Tolu menuju rumahnya.
“Tolu! Tolu!” panggilnya di depan pintu.
“Mau apa kau kesini?” tanya Mardan sambil bertolak pinggang.
“Abang, dimana Tolu?” ucap Togar melingak-linguk melihat ke dalam rumah.
“Jangan kau ganggu adikku, pergilah!” bentak Mardan sangat garang.
“Ada apa ini, kenapa ribut sekali” kata ibu Mariti. Wajahnya terlihat kelelahan, dia membawa cangkul di pundak. Setelah melihat Togar, wanita itu langsung menurunkan cangkul dan membuka topi capitnya.
“Assalamualaikum, maaf saya menggangu. Ijinkan saya bertemu dengan Tolu” ucap Togar dengan sopan.
“Walaikumsalam, nak Togar ayo masuk.”
Martini mempersilahkannya duduk di tikar yang sudah dia sediakan. Setelah dia menyimpan peralatannya dan mengantarkan segelas air, sambil mengerutkan dahi dia berpikir ulang mengapa anak saudagar terkaya di kampungnya mau menginjakkan kaki di rumah gubuknya hanya untuk mencari Tolu anak gadisnya.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” gumam Mariti.
“Nak Togar, Tolu masih berada di dalam hutan. Kemungkinan sebentar lagi dia akan kembali” ucap Mariti.
“Hari mulai petang, ijinkan aku untuk menjemputnya bu” ucap Togar gelisah.
Tanpa menunggu persetujuan dari Mariti, dia berlari meninggalkan kendaraannya menuju hutan.
“Ceroboh sekali. Bagaimana jika ada hewan liar atau engkau tersesat di hutan?” ucap Togar berhenti berlari. Nafasnya terengah-engah sedangkan Tolu Nampak terbiasa saja menatapnya di tengah hutan.
“Aku tidak apa-apa” jawab Tolu.
Togar menarik tangannya, wanita yang semula bersikap dingin dan kejam itu perlahan berubah menjadi sangat penurut setelah Togar berhasil menaklukkan hatinya. Sesampainya di depan rumah Tolu, dari dalam rumah, Mardan dan Ani mengintip dari balik pintu. Mereka menyaksikan Togar sedang menggenggam tangan Tolu sambil mengatakan sesuatu.
“Geser sedikit, aku tidak bisa mendengarnya!” ucap Ani.
“Sstthh, jangan berisik. Abang masih memantau mereka” ucap Mardan.
“Hei, hei kalian melihat apa?” tanya bu Mariti.
Setelah mendengar perkataan Togar, semalaman Tolu gelisah tidak bisa tidur. Di atas tempat tidur yang berukuran kecil itu, Ani dan Tolu hanya cukup untuk merebahkan tubuh.
“Uhuk, uhuk” suara batuk pak Don sangat keras terdengar.
“Tolu ayo kita lihat bapak” ajak Ani.
Di dalam kamar sudah ada ibu dan Mardan yang menangis, tampaknya sakit keras yang di alami oleh pak Don terulang kedua kalinya. Hal yang berbeda kini terlihat jelas melihat pak Don berkali-kali mengeluarkan batuk darah. Mariti yang panik meminta mereka mengambilkan segelas air hangat dan selimut yang lebih tebal.
“Bapak, bapak yang kuat pak” ucap Mariti sambil menangis.
“Aku akan berusaha sekuat mungkin. Entah mengapa perasaan ku tidak menentu dengan anak gadis terakhir kita. Aku tidak ingin terjadi hal buruk padanya. Kita tidak boleh memberi restu Togar kepada Tolu, pak Bram pasti tidak menyetujui kedekatan mereka. Kalian semua harus menyayangi ibu kalian” pesan pak Don.
"Bapak jangan memikirkan hal itu, yang penting bapak harus sembuh. Hiks, hiks" lirih suara Mariti sambil menangis.
Tolu tidak kuat menyaksikan detik-detik terakhir bapaknya. Dia menangis menuju hutan tanpa memperdulikan kehadiran Togar datang.
“Tolu tunggu, mau kemana?” tanya Togar.
Lari Tolu begitu kencang, di hari yang mendung itu terdengar suara tangisan yang sangat kuat dari dalam rumahnya. Togar bimbang untuk memutuskan mengejar Tolu atau melihat keadaan di dalam rumahnya. Tapi, didalam pikirannya kini adalah meyakinkan hati orang tua Tolu terlebih dahulu agar bisa menerimanya dengan baik.
“Tolu, tunggulah. Setelah bertemu dengan keluarga mu, aku akan segera menyusul mu seperti biasa ke dalam hutan” gumam Togar.
Tapi, tampaknya penjemputan Togar kali itu akan sangat berbeda. Tolu memutuskan untuk menuju kaki gunung hendak menemui sosok pria tua. Hari ini tepat usianya yang ke tujuh belas tahun, dia ingin menagih janji kepada penghuni yang akan mengabulkan permintaannya.
“Hahah, kau sepertinya sudah berputus asa!” gema suara mengerikan di sekitar wilayah kaki gunung.
Bebatuan besar itu terbelah menjadi dua membentuk suatu gua raksasa yang sangat gelap. Dari dalam sana, terdengar suara mengerikan lagi yang memandu dia agar masuk ke dalam.
“Masuk, aku akan mengabulkan apapun permintaan mu” ucap suara misterius itu.
Tolu mengingat lagi tentang keluarga yang sangat miskin dan menderita, hari ini dia benar-benar membutuhkan uang untuk membawa ayahnya untuk berobat. Tanpa ragu, Tolu melangkah memasuki gua, dia mengabaikan rasa takut atau suara-suara mengerikan lain. Ketika dia berada tepat di tengah gua, tiba-tiba di bagian sudut gua terdapat nyala api yang membara. Dari api itu muncul asap putih yang menggumpal berubah menjadi sosok pria tua berjanggut putih dengan akar panjang yang menjuntai di bagian tangan kanannya.
“Aku adalah penghuni wilayah kaki gunung Candangan, raja dan penguasa seluruh siluman dan jin tanah ini. Aku akan memberikan dua permintaan, tapi dengan dua syarat pula yang harus kau patuhi seumur hidupmu” ucap pria ghaib itu.
“Ya, aku akan mematuhi persyaratan itu” jawab Tolu.
“Pertama, kau harus siap kehilangan orang yang kau sayangi dan kedua kau harus menerima kekekalan hidup sekalipun jasad mu tiada dan yang ketiga, kau harus mengorbankan darah mu sendiri jika ingin mencapai ilmu kesempurnaan. Apakah kau siap? Jika tidak kembalilah” ucap penghuni tersebut.
Tolu merasa serba salah di posisinya sekarang. Dia berpikir sejenak akan segala akibat yang akan dia tanggung setelah memilih jalan hitam ini. Jika dia tidak segera mendapatkan uang, dia pasti akan kehilangan ayah begitu pula kondisi ibunya yang setiap hari semakin melemah. Para saudara kandungnya juga tampak tidak tegak saat berdiri lagi, tubuh mereka bergetar akibat menahan rasa lapar yang di derita selama berhari-hari.
Tolu mengikuti jejak sosok pria tua itu memasuki gua raksasa dari balik salah satu rongga bebatuan yang berada di kaki bukit. Di dalam sana terdapat rawa akar-akar hitam raksasa yang menggantung, berbagai macam hewan buas dan terdapat sebuah mata air yang mengalir sangat jernih. Tolu di minta untuk duduk di atas bebatuan tinggi yang di kelilingi oleh ular berbisa dan lintah yang hampir merambat mengenainya.
“Wahai gadis yang pemberani, apakah kau siap untuk mendapatkan semua yang engkau ingin kan?” tanya sosok tersebut berubah menjadi wujud bertubuh panjang, mata merah melotot, sekujur tubuh penuh bulu dan terlihat lidah yang menjulur panjang dengan gigi taring yang panjang pula.
“Ya, aku siap. Penuhi semua keinginan ku!” seru Tolu.
Tekanan nada yang tidak goyah bersama pendirian dalam mengambil keputusan yang tidak dia pikirkan segala sebab dan akibat. Dia hanya ingin mendapatkan uang demi memberantas kelaparan yang melanda keluarganya dan kematian yang setiap hari mengincar mereka karena terserang penyakit akibat kelelahan bekerja dengan rasa lapar dan dahaga. Tolu memejamkan mata dan mulai memfokuskan pikirannya untuk tetap tenang.
“Buka lah telapak tangan kiri mu!” perintah sosok ghaib mengerang menggelegar di seisi gua.
Ketika dia membuka telapak tangan kiri. Dia merasakan rasa panas seolah akan melempuhkannya. Semakin lama rasa panas itu tidak terkendali, namun Tolu menahannya hingga dia bermandikan keringat dan kesakitan. Tanda hitam di telapak tangannya sudah membentuk semua bulatan lebar yang memenuhi garis tangan.
“Hahahah” tawa sang sosok ghaib.
“Apa yang harus kini aku lakukan sekarang?” tanya Tolu karena tidak nyaman merasakan ular-ular mulai melata di sekujur tubuhnya.
Begitu pun Lintah yang sudah mulai mengisap ujung kakinya. ”Arghh!” jerit Tolu kesakitan.
Salah satu ular itu telah menggigitnya, bisa mulai menyebar di pembuluh nadi. Tolu merasakan sakit yang sangat mendalam hingga tubuhnya tidak bisa di gerakkan.
“Kau harus melewati semua hewan itu jika ingin mencapai rintangan awal. Jika kau tidak bisa menahannya, maka kau akan mati dan gentayangan di gua ini” ucap sosok tersebut.
Tolu masih berjuang untuk tetap hidup di dalam gua sementara Togar menyusulnya menyusuri seluruh isi hutan hanya untuk mengabarkan kabar kematian bapak Don. Hari ini seharusnya hari kebahagiaan mereka. Togar yang sudah mempersiapkan sinamot dan sebuah cincin emas untuknya kini harus dia sembunyikan.
“Maafkan aku bu, aku terlambat memanggil bidan di balai desa” Kata Togar.
“Bantuan mu mengurus jenazah almarhum pak Don saja sudah cukup terimakasih ibu ucapakan" jawab ibu Martini sambil berderai air mata.
“Aku sudah berkali-kali mencari Tolu di hutan tapi aku tidak menemukannya. Beberapa pekerja ku sudah aku perintahkan untuk mencarinya. Kalau begitu aku harus mengurus para pelayat yang hadir dan segala yang kita butuh kan bu” kata Togar melangkah meninggalkan mereka.
“Bapak! Bapak!” tangis mereka tiada henti.
Sepasang bola mata itu tidak mau tertutup sekalipun sudah terbungkus kain kafan.
Meskipun seorang ustadz sudah membacakan ayat dan mengumandangkan adzan di telinganya.
“Bu Mariti, sepertinya almarhum sedang menunggu seseorang. Apakah semua anggota keluarga sudah kumpul disini?” tanya ustadz Gersan.
“Anak gadis ku yang bungsu masih di hutan ustadz, mungkin sebentar lagi dia kembali.”
“Kalau begitu kita harus menunggunya sebentar saja, karena jenazah tidak boleh berlama-lama di kuburkan.”
..."Segeralah mengurus jenazah. Karena jika jenazah itu adalah orang shalih, berarti kalian telah mempercepat kebaikan untuknya. Dan jika jenazah tersebut selain orang shalih, berarti kalian telah meletakkan kejelekan di pundak kalian." (HR Bukhari no 1315 dan Muslim no 944)....
NOTE🌿
Sinamot: Biaya yang di berikan oleh pria laki-laki kepada pihak perempuan yang hendak menikah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!