NovelToon NovelToon

Asrama Berdarah

Bab 1 : HARI KE TUJUH

Vega Indriana, seorang gadis yatim piatu berusia 17 tahun tidak pernah menyangka bahwa kenakalannya di sekolah lama akan menjadi tiket yang mengantarkannya ke sebuah sekolah asrama putri, yang berlokasi cukup jauh dari kota asalnya. 

Vega dikeluarkan dari sekolah karena terlibat perkelahian dan melukai anak dari kepala sekolah. Tak tahan dengan kelakuan Vega yang dinilai sudah di luar batas, om dan tante yang selama ini menaungi Vega memutuskan untuk mengirim gadis belia itu ke sebuah sekolah asrama. 

Konon katanya, sekolah asrama tersebut adalah sekolah pembuangan, yang memang dikhususkan untuk anak-anak bermasalah seperti Vega. Entahlah. Vega tak tahu. Yang pasti ia merasakan sesuatu yang aneh sejak pertama kali memasuki sekolah asrama tersebut. 

Bukan hanya karena suasana yang mencekam, tetapi suara-suara aneh yang kerap memanggil di malam hari sebelum tidur. Vega bahkan dinilai aneh oleh beberapa siswi lain karena kerap melamun dan menyendiri. 

Dan hari ini adalah hari ke tujuh. 

"Bersihkan semuanya! Jangan kembali ke kelas kalau semuanya belum bersih. Mengerti kamu?" Suara Bu Santi menggema di antara ruangan-ruangan kosong. Sebuah toilet bekas yang terletak di belakang asrama. 

Pandangan Vega menyapu setiap sudut. Melihat dari bangunan yang sudah usang dan lapuk.  Vega dapat menebak bahwa toilet itu sudah lama tidak dipergunakan lagi. 

"Tapi Bu, ini kan toilet bekas. Untuk apa dibersihkan? Toh, tidak terpakai lagi," protes Vega. Memeluk gagang pel di dadanya.  

"Ini hukuman untuk kamu karena sudah masuk sembarangan ke ruang pribadi kepala sekolah. Siapapun dilarang masuk ke sana. Termasuk para guru." 

Vega tak lagi membela diri. Tadi, ia nekat masuk ke ruang pribadi kepala asrama setelah indera penciumannya menangkap bau kemenyan bercampur dengan bau amis. Tetapi baru saja mengendap masuk, ia sudah ketahuan. Alhasil, Vega harus menerima hukuman dari guru. 

"Baik, Bu," jawabnya pasrah. 

Kesunyian melanda setelah kepergian Bu Santi. Vega mulai membersihkan ruangan tersebut. Menyapu dan mengepel lantai. Awalnya tak ada yang aneh. Namun, saat akan membersihkan salah satu bilik toilet, terdengar suara des*ahan. 

Vega bergidik kala tiba-tiba pintu yang tertutup rapat itu terketuk dari dalam seolah mendesak untuk segera dibuka. Ada suara aliran air dari dalam sana. Akal sehat Vega menolak apa yang didengarya. 

Bukankah toilet ini sudah lama tak dipergunakan? Bukankah air sudah tak lagi mengalir di sana? 

"Jangan iseng, Ren ... Sisil! Ini tidak lucu!" ujar Vega. Masih dengan keyakinan bahwa ini hanyalah keisengan teman sekamarnya yang ingin menakuti. 

Tiadanya jawaban membuat Vega memberanikan diri untuk menyentuh gagang pintu tua itu. Apa lagi ketukan dari dalam terdengar semakin jelas. 

Sepasang matanya terpejam rapat. Mengumpulkan keberanian untuk mendorong gagang pintu hingga perlahan terbuka. 

Vega membelalakkan mata. Betapa tidak, dari kran air mengalir cairan merah yang semakin lama semakin deras. Meluap melewati ujung bak hingga mengalir ke lantai. Bau amis menyeruak yang seketika membuat perut bagai diguncang. 

Ia tak tahan lagi. Baru saja gadis itu akan beranjak keluar, langkahnya sudah terhenti setelah mendapati pemandangan mengerikan yang tersaji di depan matanya. 

Sosok gadis dengan pakaian seragam sekolah menyerupai dirinya menggantung di ambang pintu depan, dengan seutas tali yang melilit leher.

"Aaaa!" 

Mendadak segalanya terasa berputar bagi Vega. Disusul dengan keadaan sekeliling yang tampak gelap dalam pandangannya. 

   

****

Bab 2 : Mimpi Misterius

Kelopak mata Vega terbuka secara perlahan. Masih dalam keadaan setengah sadar, ia memposisikan tubuhnya duduk di lantai. Pandangannya berkeliling. Kini ia tengah berada di sebuah ruangan yang terasa asing. 

"Kenapa aku di sini? Tadi kan lagi membersihkan toilet." 

Gadis belia itu terdiam beberapa saat. Lalu menatap langit melalui jendela kaca. Malam itu bulan bersinar terang. Sangat indah. 

Tetapi suara rintihan yang berasal dari sebuah ruangan tertutup mengalihkan perhatiannya. Vega menajamkan pendengaran. Dari sana ia dapat mendengar suara seorang wanita yang sedang merintih kesakitan. 

"Suara siapa itu?" 

Perlahan kakinya melangkah mendekat. Benar saja, suara ringisan itu berpusat dari dalam sana. Agak ragu Vega memutar gagang pintu, hingga perlahan terbuka menyisakan celah bagi kedua matanya untuk mengintip. 

Bola matanya bergerak ke kiri dan kanan. Penglihatannya menangkap seorang wanita yang tengah terbaring di atas sebuah ranjang kecil. Meringis sambil memegang perutnya yang membesar. Seperti akan menjalani persalinan. Di sisinya ada seorang gadis yang masih menggunakan seragam sekolah asrama. Ia menggenggam tangan wanita muda yang tengah terbaring itu. Terlihat sedang berusaha menenangkan. 

Melihat dari wajah keduanya, Vega dapat menebak bahwa usia mereka tak jauh darinya.

"Bu ... tolong Icha tambah kesakitan!" teriaknya kepada seorang wanita berpakaian putih menyerupai seorang perawat, yang sedang mempersiapkan sesuatu.

"Iya, tunggu! Sepertinya sudah mau lahir."

Bola mata Vega membulat seketika kala wanita itu menoleh ke arahnya. Tubuhnya terjengkang ke depan hingga ambruk membentur lantai. Anehnya, orang-orang di dalam seperti tak menyadari keberadaannya. Vega bahkan berdiri tak jauh dari sosok wanita yang tengah mengerang kesakitan itu. 

Mereka seperti berada di dunia yang berbeda. 

Hingga beberapa saat berlalu, terdengar suara tangis bayi melengking. Vega menutup kedua telinga dengan telapak tangan. Betapa tangisan itu terasa menusuk ke telinga. 

"Icha, bayi kamu perempuan," ucap gadis belia berseragam asrama tadi. 

"Tolong aku, Din!" ucapnya memelas.

Vega masih mematung di tempatnya berdiri, ketika kehadiran sosok wanita dengan jubah hitam menciptakan suasana mencekam.

Ia merenggut bayi mungil dari tangan sang ibu. Kemudian membawanya keluar sambil tertawa.

Seketika tubuh lemah setelah persalinan itu luruh ke lantai, merayap sambil meminta anaknya. Namun, wanita dengan jubah hitam tersebut tiada peduli. 

"Jangan! Tolong kembalikan!" pintanya memelas.

Vega merasakan sesuatu yang basah mengalir di pipinya. Satu tangannya terangkat mengusap wajah. Tubuhnya pun terasa meremang, kala menatap sisa cairan berwarna merah yang menempel di jari.

Di susul dengan wanita yang sedang merayap ke lantai, yang sedang menyentuh kedua kakinya.

 "Jangan!" teriak Vega. Bangun terduduk di atas ranjang. 

"Kamu sudah bangun?" Sapaan itu membuat Vega tersadar. Napasnya memburu, keringat membasahi seluruh tubuh. Jantungnya berdegub sangat cepat seolah baru saja melakukan aktivitas berat. 

 Ia baru tersadar sepenuhnya. 

"Yang tadi cuma mimpi, ya?" 

Vega menatap Rena dan Sisil, dua teman sekamarnya yang juga menatap dirinya penuh tanya. Ia hembuskan napas panjang. 

"Kenapa aku di sini?" tanyanya. 

"Tadi kamu pingsan di toilet belakang. Untung ada Mbak Andin yang lihat kamu," jawab Rena. "Memang kenapa sih kamu bisa pingsan?" 

Ingatan berputar dalam benak Vega. Ia masih dapat mengingat dengan jelas kejadian mengerikan tadi di toilet bekas di belakang asrama. 

"Aku lihat sesuatu yang aneh di toilet. Ada anak yang gantung diri," bisiknya, membuat Rena bergidik. 

"Jangan sembarangan, Vega! Kamu jangan bikin kita takut," sambar Rena. 

"Aku nggak bercanda. Memang tadi aku lihat ada orang gantung diri di toilet." 

"Tidak usah pedulikan apapun yang kamu lihat selama berada di asrama ini," potong Sisil. Membuat Vega dan Rena menatapnya. 

"Memang kenapa, Sil? Kamu tahu sesuatu tentang sekolah ini?" 

Sisil, seorang gadis pendiam dan irit bicara itu mendekat dan duduk di sisi Vega. 

"Kejadiannya tahun lalu. Aku baru di asrama ini. Hari itu aku disuruh Bu Santi mengembalikan buku ke perpustakaan. Aku tidak sengaja melihat ibu kepala asrama jalan sendirian." 

"Ke mana?" tanya Vega penasaran. 

"Paviliun." 

Spontan bola mata Vega dan Rena membelalak. Paviliun adalah tempat terlarang di asrama putri tersebut. Bahkan telah diperingatkan sejak hari pertama Vega menginjakkan kaki ke asrama. 

"Kamu serius, Sil?" 

Sisil mengangguk. "Aku melihat Bu Arum membakar dupa. Dia menusuk ayam cemani dengan keris. Setelah itu aku langsung pergi karena takut ketahuan sama Bu Arum. Aku tidak pernah cerita ke siapa-siapa karena ingat pesan Mbak Andin." 

"Memang apa pesan Mbak Andin?" 

"Kalau mau selamat di asrama ini harus jadi orang yang buta, tuli dan bisu. Apapun yang kamu lihat dan dengar, harus kamu abaikan." 

*****

Halo teman-teman. Ini adalah karya tema horor untuk meramaikan event lomba menulis horor.

Mohon dukungan dengan like dan komentar ya.

Semoga terhibur. 🤗🤗🤗

Bab 3 : Buta, Tuli dan Bisu!

Sisil meraih tangan Vega dan menatap garis telapak tangannya. Kemudian beranjak menuju nakas dan membuka laci. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam sana.

Sisil adalah seorang anak indigo. Dengan mata batin, ia dapat melihat makhluk tak kasat mata dan memiliki kemampuan meramal dengan kartu tarot. 

"Coba ambil tiga kartu," pintanya, seraya menyodorkan beberapa lembar kartu.

Vega menarik tiga lembar dari puluhan kartu yang ditunjukkan Sisil kepadanya. Sisil lalu membalikkan kartu yang dipilih Vega. Raut wajahnya mendadak berubah serius dan menjadi pucat dalam hitungan detik. 

"Kenapa, Sil?" tanya Rena, kala mendapati ketegangan di wajah gadis itu.

 

"Iblis, kematian, dan rembulan," jawabnya singkat.

Vega dan Rena saling tatap setelah mendengar tiga kata menakutkan yang diucapkan Sisil. 

"Artinya apa?" 

"Coba pilih tiga kartu lagi!"

Masih dengan pertanyaan yang memenuhi benaknya, Vega menarik tiga kartu lagi. Sisil terlihat cukup menegang setelah membuka tiga kartu yang dipilih Vega.

"Bagaimana hasilnya?" tanya Rena penasaran.

Sisil terdiam selama beberapa saat. Sorot matanya tajam menikam Vega, yang membuat gadis itu merinding.

"Kamu ada di antara ketiganya. Iblis dari masa lalu ada di belakang kamu, dan kematian selalu mengintai. Sementara rembulan adalah sinar penyelamat." 

Kerutan di kening Vega terlihat semakin dalam. "Aku masih belum paham." 

"Artinya, kamu punya ikatan yang sangat kuat dengan sekolah asrama ini di masa lalu. Ikatan itu bernama iblis dan kematian." 

"Jangan bercanda, Sil. Aku baru satu minggu di sekolah ini. Sebelumnya aku tidak pernah mendengar apapun dari tentang sekolah ini," ujar Vega.

"Kamu harus hati-hati, Vega."

Pembicaraan serius itu harus terhenti oleh pintu yang tiba-tiba terbuka. Disusul dengan kemunculan seorang wanita kira-kira 34 tahun dari balik pintu.

Baik Vega, Sisil dan Rena terlonjak. Kemudian menghela napas lega setelahnya.

"Mbak Andin ...." Sisil mendorong kartu-kartu miliknya ke bawah bantal sebelum Mbak Andin melihat. Bermain kartu adalah larangan di asrama.

Mbak Andin lalu menyerahkan sebotol air mineral kepada Vega sambil tersenyum ramah.

"Apa ini, Mbak?" tanya Vega.

"Itu air yang dibuat Mang Syarif. Katanya setiap minum tiga kali teguk."

Vega mengangguk mengerti. Mang syarif adalah penjaga sekolah. Ia juga kerap mengatasi jika ada seorang siswi yang mengalami kesurupan. Menurut kabar, ia telah lama mengabdi di sekolah asrama tersebut.

"Makasih, Mbak." 

"Sama-sama. Lain kali hati-hati, ya. Jangan banyak melamun." 

"Iya, Mbak." 

Wanita itu memulas senyum tipis sebelum akhirnya beranjak keluar. Mereka menunggu beberapa saat hingga wanita itu tak lagi terlihat dalam pandangannya.

"Aku harus bagaimana, Sil?" tanya Vega kemudian.

"Maaf, untuk itu aku tidak bisa bantu."

"Ada satu orang yang bisa bantu kamu," ujar Rena tiba-tiba. "Setahu aku Mbak Andin itu siswa lama di sekolah ini. Dia pasti tahu sejarah sekolah ini."

Vega tersentak. Alisnya saling bertaut membentuk busur panah. "Kamu yakin?"

"Iya. Aku pernah dengar Mbak Andin bilang sendiri."

Tanpa pikir panjang, Vega bangkit. Secepat kilat berlari menyusul wanita itu sampai ke kamarnya yang terletak di lantai satu. 

Ia bahkan mengabaikan kepala yang masih terasa berdenyut akibat pingsan tadi.

"Ada apa, Vega? Kamu butuh sesuatu?" tanyanya, kala menatap Vega masih berdiri di  ambang pintu. 

Tanpa ragu Vega melangkah masuk. Sorot matanya penuh tanya. 

"Saya dengar Mbak Andin siswi lama di sekolah ini, ya? Mbak Andin pasti tahu sesuatu, kan?" 

Wanita yang tampak selalu ramah dan lembut itu hanya tersenyum seraya  mengusap bahu Vega. Ia menuntun gadis itu untuk duduk di kursi dan menuangkan segelas air putih. Napas Vega masih tersengal karena berlari. 

"Vega ... saya tidak punya hak untuk menceritakan apapun kepada siswi tentang sejarah sekolah ini. Tapi saya hanya bisa berpesan satu hal. Apapun yang kamu lihat dan kamu dengar di sekolah ini ... abaikan!" Ia membelai pucuk kepala gadis belia itu. "Jadilah bisu, tuli dan buta kalau mau selamat." 

**** 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!