Zelma, seorang gadis yang baru saja terbangun dari tempat tidurnya ini berlalu menuju Kamar Mandi yang tepat berada di dalam kamarnya. Membilas muka menggunakan air yang mengalir dari keran wastafelnya kemudian ia lanjut meraih sikat gigi dan mulai menggosok giginya, tak lupa menggunakan pasta gigi tentunya. Ia melihat pantulan dirinya yang nyawanya belum terkumpul penuh dengan tatapan kosong.
Selesai dengan urusannya, ia meraih handuk yang terletak di samping wastafelnya kemudian mengeringkan wajahnya. Ia kemudian berlalu menuju meja riasnya memakai Lipbalm dan Cushion kemudian mengambil ponselnya yang terletak disamping bantal.
Ada beberapa pesan dari aplikasi WhatsApp miliknya salah satunya dari sahabatnya Gisel.
..."Zelma, lo dimana? Sibuk gak sibuk Gue mau main kesitu."...
Zelma hanya bisa terkekeh kecil melihat pesan dari sahabatnya tersebut, sudah seminggu mereka tidak berjumpa dikarenakan Gisel sibuk berliburan dengan suaminya kala itu. Zelma kemudian membalas pesan Gisel denganVoice Note.
"Yaudah kesini aja, sekalian temenin gue jagain toko didepan."
Terkirim. Zelma kemudian beralih ke lemari untuk mengganti piyama yang ia kenakan sekarang dengan baju santainya. Ia memilih untuk tidak mandi hari ini sebab cuaca diluar sangat dingin dikarenakan hujan yang belum reda sejak semalam.
Zelma memiliki sebuah Toko Kue, namun itu adalah pemberian dari mendiang Mamanya. Ia meneruskan usaha tersebut dengan tujuh orang karyawannya. Tokonya buka setiap hari, dan tentunya sangat amat terkenal di komplek tempat ia tinggal. Toko ini sudah berdiri sedari ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama yang mana Toko ini sudah berusia sebelas tahun lamanya.
Usia Zelma kini Dua puluh empat tahun. Ia belum lama menyandang gelar sarjana Administrasi Publik. Untuk sekarang Zelma belum ada terpikir ingin menikah, baginya ia lebih suka menyibukkan diri dengan menjaga toko miliknya atau menghabiskan waktu dengan sahabatnya, Gisel.
Setelah mengirimkan Voice Note ke Gisel, ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar yang mana ia akan menuju ke toko kuenya yang terletak di pekarangan rumahnya. Seperti biasa, ia bertugas menjadi kasir di tokonya sementara karyawan yang lain memiliki tugas masing-masing. Ada yang membuat kue, ada yang bertugas sebagai pelayan, dan masih banyak lagi.
Terdengar suara pintu terbuka, Zelma beralih dari kesibukannya menatap ke sumber suara tersebut berasal. Ia pikir Gisel yang datang, ternyata seorang pelanggan, namun pelanggan yang datang kali ini merupakan pelanggan baru, sebab Zelma belum pernah melihat pria ini sebelumnya. Pria itu kemudian berjalan ke arahnya.
"Selamat Datang di Zelma Bakery, ada yang bisa dibantu?" Zelma selalu menyambut pelanggannya dengan ramah, tidak perduli itu pelanggan baru ataupun lama.
"Dengar-dengar Toko ini punya Kue Cokelat terbaiknya, ya?" Ucap pria itu sambil menatap Zelma. Zelma kemudian mengambil nota yang berada di meja kasir tak lupa dengan pulpennya.
"Iya benar, kami punya beberapa Menu andalan disini. Ada Grand Chocolate Truffle, Chocolate Salted Caramel Tart, dan Soft Brownies Coco. Jika ini untuk hidangan penutup makan malam keluarga atau untuk acara Ulang Tahun maka kami merekomendasikan Chocolate Salted Caramel Tart." Jelas Zelma panjang yang membuat pria tersebut tampak berpikir sejenak.
"Kalau begitu aku ingin Chocolate Salted Caramel Tartnya satu. Tapi akan aku kirim cek malam ini, boleh?"
"Mohon maaf sebelumnya, kami tidak melayani pembayaran seperti itu, apabila anda memiliki Kartu Kredit maupun Debit kami akan dengan senang hati menerima." Pria tersebut kemudian mengernyitkan alisnya, terlihat raut wajahnya tiba-tiba berubah.
"Apa katamu? Aku sedang ada urusan sekarang, tidak akan sempat bagiku untuk membayarnya menggunakan Kartu Rekening." Ucap pria itu dengan tegas.
"Mohon maaf, jika memang begitu lebih baik anda mencari di Toko lain saja." Ujar Zelma yang tak kalah tegasnya.
"Baik jika itu maumu, Tokomu ini bukan apa-apanya bagiku!" Pria itu menatap tajam Zelma dengan penuh emosi yang terpantul dari matanya, ia kemudian berlalu dari hadapan Zelma dan keluar dari Toko tersebut. Zelma hanya bisa geleng-geleng kepala, sebelumnya tidak ada pelanggan yang mampir ke Tokonya dengan kelakuan seperti itu.
Tak berapa lama kemudian Gisel pun tiba. Saat ia memasuki Toko, didapatinya Zelma dengan wajah yang tak enak dipandang. Saat ia menghampiri sahabatnya tersebut ia langsung mendengar keluh kesah yang keluar dari mulut Zelma yang mana belum sempat ditanyakan olehnya.
"Lo tau gak, Sel? Gue pagi ini dibikin kesel sama pelanggan yang entah dari mana asalnya. Sok banget jadi Manusia." Ujar Zelma yang masih kesal akan hal tersebut.
"Bukannya lo udah biasa ngadepin pelanggan yang rupa-rupa sifatnya?" Gisel kemudian meraih kursi yang berada disamping Zelma dan duduk sejajar sahabatnya.
"Iya, tapi kali ini bikin gue bener-bener kesal banget." Ujar Zelma sembari berlalu mengambilkan Jelly Drink kesukaan Gisel di lemari pendingin khusus minuman.
"Emang dia ngapain sampe bikin lo kesel?" Gisel penasaran akan hal yang membuat Zelma sekesal itu.
"Dia awalnya mesen salah satu menu andalan disini, gue tawarin beberapa, nah tiba-tiba dia dia nyeletuk bakal bayar entar malem pake Cek. Sorry aja nih ya, bukannya gue nolak tapi lo tau sendiri 'kan gue gabakal biarin customer gue buat ngekasbon kek gitu." Zelma kemudian memberikan Jelly Drink tadi kepada Gisel, Gisel kemudian membuka botol minuman tersebut dan menenggaknya secara perlahan, Ia benar-benar menikmati.
"Yaelah lo kek gitu doang dipermasalahin, harusnya lo take aja kali, sekali-kali, gue yakin tuh orang pasti tajir melintir." Zelma mencubit perlahan lengan Gisel.
"Gak. Nanti customer gue yang lain juga bakal ikut-ikutan." Pungkas Zelma.
"Tapi kan—" Ucapan Gisel terpotong saat Zelma sedang melayani pelanggan.
"Selamat Datang di Zelma Bakery, ada yang bisa dibantu?" Ujar Zelma saat menyambut pelanggannya dengan ramah.
Gisel kembali menenggak Jelly Drinknya sembari melihat Zelma yang menawarkan beberapa Menu. Sepersekian detik kemudian Zelma kembali duduk dan melanjutkan ceritanya.
"Terus ya, Sel. Tuh orang gapernah gue liat sebelumnya, dan dia baru pertama kali mampir ke Toko." Jelas Zelma kepadanya.
"Lo ingat gak bentukannya tuh manusia kek gimana?" Selidik Gisel mencoba mencari tahu.
Zelma kemudian menjelaskan ciri-cirinya yang tersimpan di memori kepalanya. Berperawakan tinggi besar, memiliki dada yang bidang, tatapan mata yang tajam, memakai kaos berwarna putih polos dan rambut yang sedikit acak-acakan.
"Ganteng pasti." Celetuk Gisel sambil terkekeh ringan.
"Gak ada ganteng-gantengnya modelan kek gitu dimata gue." Zelma tampak kesal yang membuat senyum iblis milik Gisel terpatri di wajahnya.
"Lo jangan ngomong kek gitu, siapa tau aja nanti dia mampir lagi kesini." Ujar Gisel ditengah ia sedang menikmati Jelly Drink miliknya.
"Bakal gue blacklist sih..." Gumam Zelma sambil menukarkan kembalian untuk pelanggannya.
"Yakin lo? Mana tau pas dia mampir kesini udah bawa Kartu Rekening kek yang lo minta." Pungkas Gisel.
"Kalo kek gitu gabakal nolak gue, bakal gue layanin baik-baik, asli." Sahut Zelma seraya terkekeh pelan.
Saat sedang terhanyut dalam obrolan, mereka tidak sadar akan waktu yang cepat berlalu. Sudah pukul lima sore, Gisel kemudian berpamitan dengan Zelma dikarenakan suaminya sudah menjemput dan menunggunya diluar. Zelma kemudian mengantar sahabatnya tersebut ke luar, Gisel telah memasuki mobil dan melambai ke arah Zelma.
Zelma kemudian masuk ke dalam Tokonya dan melanjutkan pekerjaannya. Tokonya sendiri tutup pukul jam sembilan malam, itu berarti masih ada empat jam lagi baginya duduk dimeja kasir.
Semakin malam semakin padat, makin banyak pelanggan yang datang, untungnya ia memiliki karyawan yang cekatan dalam melayani pelanggan yang ingin makan ditempat.
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan, ia kemudian berjalan kearah pintu depan membalik tanda 'Buka' menjadi 'Tutup'. Ia juga membantu karyawannya untuk membersihkan Toko dan peralatan makan yang lumayan menumpuk di wastafel dapur.
Setelah selesai dengan kerjaannya, ia menyuruh para karyawannya untuk segera pulang tak lupa mengingatkan mereka untuk datang seperti jam biasanya, Zelma rutin mengingatkan karyawannya sehingga membuat mereka merasa diperhatikan oleh Zelma. Benar-benar figur Leader yang baik.
Mematikan lampu Tokonya, Zelma kemudian berjalan keluar lewat pintu belakang dan betapa kagetnya ia melihat pria yang ia temui pagi tadi berdiri tepat dihadapannya.
"Hey! kau ini mau apa sebenarnya?!" Zelma yang terkejut saat itu reflek memasang kuda-kuda untuk menjaga dirinya apabila pria tersebut mencoba macam-macam dengannya.
"Maaf mengagetkanmu malam-malam seperti ini, tapi aku sudah berkeliling sedari tadi siang mencari Chocolate Salted Caramel Tart namun stoknya kosong selain disini. Ngomong-ngomong aku ingin memesan empat buah jadi bisakah kau pergi kedalam sana membuatkanku?" Ucap pria itu dengan nada yang dingin.
Zelma kemudian menormalkan posturnya sembari berkacak pinggang dan menatap tajam pria tersebut.
"Kau sudah gila?! Ini sudah malam dan Tokoku sudah tutup, lagi pula aku tidak melayani cek!" Bentak Zelma, pria tersebut hanya terdiam.
"Ini, kau ambil saja kembaliannya." Pria itu menyodorkan uang senilai Satu juta tujuh ratus ke arah Zelma. Ia terbelalak melihat hal tersebut.
"Aku tidak mau tau, kau harus membuatnya sekarang." Zelma yang sudah meraih uang yang telah diberikan pria tersebut kemudian membuat sebuah penawaran.
"Jika kau berkenan, datanglah besok siang mengambil kuenya. Untuk sekarang aku tidak bisa membuatnya karena karyawanku sudah pulang dan aku sangat lelah. Jika kau tidak mau menunggu maka aku akan mengembalikan uangmu dan kau harus mencarinya ditempat lain lagi." Pria tersebut tampak berpikir keras oleh tawaran yang diberikan Zelma.
"Baik, jika kau terlambat membuatkanku besok maka kau berurusan denganku." Ujar pria itu dengan sedikit mengancam Zelma.
Ia meninggalkan Zelma yang masih mematung di pekarangan rumahnya dan masuk kedalam mobil kemudian melaju hingga tak terlihat lagi oleh Zelma.
Zelma kemudian mendengus kesal dan beralih menuju rumahnya. Ia benar-benar kesal dengan pria tersebut.
Ia telah selesai membersihkan badan dan tak lupa dengan Skincare Routinenya. Ia mengambil ponsel miliknya dan memberitahu Gisel lewat pesan WhatsApp bahwa pria tersebut menghampirinya malam ini saat Tokonya sudah tutup. Centang dua, Zelma tidak ingin menunggu balasan dari Gisel, ia kemudian meraih selimutnya dan menutup matanya. Badannya harus segera diistirahatkan sekarang agar besok ia cepat bangun dan menyelesaikan urusannya dengan pria tersebut.
Zelma membuka matanya secara perlahan, dilihatnya jam dinding menunjukkan pukul delapan Pagi. Ia hampir saja telat membuka Toko, ia yakin pasti karyawannya sudah menunggu diluar. Dengan langkah seribu, ia telah sampai tepat didepan Tokonya; tepat sesuai dugaannya bahwa para karyawannya telah lama menunggu.
Membuka Toko, kemudian ia menitipkan kunci Toko pada salah satu karyawannya yang ia percayakan. Sebelum ia berlalu untuk pergi mandi, pagi ini ia memberi briefing terlebih dahulu pada mereka.
"Karena kalian semua telah berada disini, hari ini kita akan membuat Chocolate Salted Caramel Tart sebanyak empat buah, ini merupakan pesanan seorang pelanggan yang menghubungiku semalam dan harus selesai siang ini." Zelma mendengus kesal dalam hati saat mengingat pria itu.
"Kak, tapi saya dan Lina tidak akan mampu membuatnya secepat itu..." Ucap salah satu karyawannya, Tasya.
"Jangan khawatir Tasya, saya akan membantu kamu dibagian dapur, untuk sementara kasir dipegang oleh Andre." Zelma beralih menatap karyawan lainnya, yang mana di-iyakan oleh sang empunya nama.
"Baik, untuk yang lainnya kalian tetap di posisi masing-masing namun tetap siap siaga saja jika sewaktu-waktu ada aba-aba dari saya untuk bertukar posisi, sekarang waktunya bekerja. Saya akan kembali lagi dalam waktu tiga puluh menit." Para karyawannya langsung bergegas dan berkutat dengan tanggung jawab mereka, Zelma berlalu keluar dari Tokonya. Setibanya ia di dalam rumahnya cepat-cepat ia membuat sarapan; Telur Ceplok dan dua keping Roti tawar. Ia sudah tidak sempat memasak Nasi lagi.
Selesai dengan sarapannya, pun ia bergegas untuk mandi dan mengganti pakaiannya. Tak butuh waktu lama bagi Zelma, ia sudah rapih dengan pakaian casual, tak lupa dengan make-up tipis yang membuatnya tetap terlihat natural.
Dilihatnya jam tangan yang terpasang di pergelangan tangannya, sudah menunjukkan setengah sembilan pagi. Ia kembali menuju Tokonya dan mendapati karyawannya tengah sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Cukup ramai untuk sepagi ini di Toko kuenya.
Ia kemudian menemui dua karyawannya di bagian dapur yang sedang mempersiapkan segala macam alat dan bahan untuk membuat kue pesanan pria semalam. Zelma kemudian meraih celemek yang tergantung di gantungan dapur dan mengambil mixer kemudian mencampurkan bahan yang sudah tersedia.
"Zelma, kau pasti bisa..." gumamnya. Ditengah aktivitasnya entah mengapa Zelma teringat akan pria itu, yang mana hampir saja membuat adonan yang dipegangnya tumpah. Ia menepis jauh-jauh pikirannya tentang pria tersebut dan kembali memfokuskan pikirannya.
Waktu terus berjalan, Zelma yang sedari tadi sibuk di dapur tidak sempat memperhatikan jam. Sekarang sudah pukul dua belas lewat sepuluh, tiba-tiba ia mendengar adu mulut karyawannya dengan beberapa orang yang berasal dari luar.
Zelma tidak tinggal diam, mendengar intonasi bicara mereka makin meninggi pun ia melepas celemek yang ia pakai dan mencuci tangannya terlebih dahulu.
"Ada apa ini ribut-ribut?!" Zelma melihat Andre yang ditahan oleh salah satu pria berbadan kekar dengan kepala plontos dan bertato. Karyawan lainnya dan beberapa pelanggan disuruh untuk merunduk di bawah. Sedangkan dua orang lainnya menghampiri Zelma.
"Selamat Siang Nona, Kami tidak berniat untuk ribut di tempatmu. Kami kesini diutus oleh atasan kami untuk mengambil pesanannya." Ujar pria yang berkacamata hitam dengan nada dingin.
"Benar, apakah pesanannya sudah selesai?" Sambung salah satu dari mereka sambil ia mengangkat pergelangan kemejanya ke arah siku.
"Bisa kah menunggu sebentar lagi? Kami harus mendinginkan pesanannya dahulu sebelum dipacking apabila—"
"Kami tidak butuh alasanmu, serahkan saja pesanannya." Ketus pria berkacamata hitam itu sambil menodongkan pistol ke wajah Zelma.
Zelma sontak terkejut, keringat dingin membanjiri kedua telapak tangannya dan kedua telapak kakinya dibawah sana, ia kemudian mundur beberapa langkah kemudian kembali ke dapur memberi aba-aba pada dua karyawannya.
"Tapi kak ini belum sele—"
"Tidak ada waktu, orang-orang diluar tersebut benar-benar gila, mereka baru saja menodongkan pistol ke wajahku. Jangan sampai mereka bertindak lebih jauh."
Dua karyawannya yang mendengar akan hal itu buru-buru mempacking tiga buah Chocolate Salted Caramel Tart tersebut. Mendengar hal tersebut, mereka terlihat panik dan pucat seketika. Setelah selesai, pun Zelma mengantarnya kedepan. Posisi orang-orang tersebut masih di tempat yang sama.
Saat Zelma memberikan pesanan tersebut ke pria berkacamata hitam itu, mereka kemudian melepaskan Andre dan juga pelanggan lainnya. Andre meringis perlahan akibat cengkraman kuat yang diberikan kepadanya.
"Atasanku memberikan ini untukmu." Pria berkacamata hitam tersebut memberikan sepucuk surat untuk Zelma, kemudian mereka pergi berlalu dari Tokonya tanpa berpamitan.
Semua pelanggan Zelma lari terbirit-birit keluar karena ketakutan akan hal yang mereka alami tadi. Zelma yang melihat akan hal itu hanya bisa menahan kesedihannya.
"Orang-orang itu benar-benar sinting..." gumamnya kesal dalam hati sambil menahan air matanya.
Matanya beralih melihat surat yang tadi diberikan kepadanya, ia membuka surat itu dan membacanya.
......Ini peringatan untukmu, jangan sampai anak buahku bertindak lebih jauh lagi.......
Zelma tampak bingung, ia merasa dirinya seperti diteror oleh pria itu. Pistol yang tadi diarahkan padanya masih membekas diingatannya dan memberi trauma. Ia sudah tidak bisa membendung air matanya lagi, ia biarkan semua mengalir keluar dari kedua bola matanya.
"Memang orang gila, jika aku bertemu dirinya lagi ku pastikan dia menyesal dengan apa yang sudah dia lakukan kepadaku dan orang-orang yang terlibat di tokoku..." Zelma hanya bisa menggumam lagi, ia bahkan tak bisa mengontak pria itu. Cepat-cepat ia mengusap air mata menggunakan punggung tangannya.
Zelma yang tidak ingin terlalu berlarut dengan pikiran dan kesedihannya, kemudian kembali menyibukkan diri dan menyuruh dua orang karyawannya yang lain termasuk Andre untuk membersihkan beberapa meja yang mana pelanggannya sudah pergi.
Ia meraih beberapa kain khusus lap meja dan ikut membantu Andre membersihkan kekacauan yang terjadi di Tokonya. Merasa dipermalukan, itulah yang ia rasakan sekarang.
"Ndre, kamu gak apa-apa 'kan?" Ujarnya sembari melihat Andre yang dengan pelan-pelan membersihkan meja.
"Gak apa-apa kok Kak Zel, cuma nyeri aja tadi dicengkram kuat sama mereka." Andre masih sempat tersenyum tipis kearah Zelma dan melanjutkan kembali aktivitasnya.
"Aku minta maaf..." Zelma kembari terisak.
"Bukan salah Kak Zel kok, lagi pula kita juga gak tau 'kan mereka itu siapa." Ujar Andre mencoba menguatkan Zelma.
"Takut banget aku, Ndre." Zelma tidak mampu melanjutkan aktivitasnya, ia terduduk di kursi yang sudah ia bersihkan.
Andre tidak sanggup melihat Zelma seperti itu, baginya Zelma sudah banyak membantunya dan ia bahkan menganggap Zelma sudah seperti kakaknya sendiri.
"Kak Zel, tunggu sini bentar ya." Andre berlalu kearah dapur, didapatinya Tasya dan Lina yang sama shocknya seperti Zelma.
"Kalian berdua kalau udah mendingan jangan lupa dilanjut kerjaannya ya. Gue mau buatin Kak Zel Coklat Panas dulu."
"Kak Zelma kenapa?" Tanya Tasya.
"Dia ketakutan banget, gue coba nenangin dia dulu."
"Gue bantu." Ujar Lina.
Mereka bertiga lumayan dekat dengan Zelma, mereka juga sering dipercayakan untuk menjaga Toko jika ia merasa tidak enak badan untuk masuk kerja.
Sembari Andre mencari bubuk coklat di Kabinet Atas, Lina memanaskan air dan Tasya kembali dengan rutinitasnya yaitu membuat adonan kue.
"Ndre, air lagi gue panasin ya." Ujar Lina dan kemudian beralih membantu Tasya membuat adonan Kue.
"Thanks, Lin."
Dua puluh menit kemudian Coklat Panas untuk Zelma telah selesai dibuat Andre, kemudian ia berlalu dari dapur dan membawakannya pada Zelma. Didapatinya gadis itu menatap nanar kearah luar jendela dengan mata yang sembap. Sukurnya siang itu belum ada pelanggan yang datang.
"Kak Zel, ini Coklatnya." Andre menaruh Coklat Panas tersebut dihadapan Zelma.
"Makasih banyak ya, Ndre." Suara Zelma terdengar lirih saat mengucapkan Terimakasihnya kepada Andre.
"My Pleasure Kak, aku lanjut dulu ya kak. Kak Zel istirahat aja dulu disini, ya." Andre berpamitan dan berlalu dari hadapan Zelma untuk membersihkan beberapa sudut lagi.
Zelma menyesap Coklat Panasnya, ia merenungi kembali kejadian yang ia alami tadi. Untuk pertama kali baginya ia dihadapi dengan hal segila itu. Cukup lama ia duduk terpaku di kursi tersebut, begitu perasaannya mulai membaik ia kembali mencoba memfokuskan pikirannya dan kembali melanjutkan aktivitasnya.
Seorang pria terlihat tengah duduk di balkon kamarnya sambil menyesap segelas Wine yang ada di tangan kanannya tak lupa ditemani dengan angin sepoi-sepoi yang sedari tadi berhembus kearahnya.
Pria itu bernama Marc Lawrence, seorang Mafia terkenal yang paling disegani di kota Heavent Hills dan di beberapa penjuru negara. Ia terkenal dengan kebengisannya yang apabila berurusan dengannya akan membuat hidup sengsara hingga meregang nyawa.
Semenjak ayahnya meninggal, ia menjadi pemegang kuasa tertinggi di perusahaan ayahnya yaitu Royal Core Petroleum. Perusahaan tersebut merupakan perusahaan minyak terbesar yang ada di negaranya.
Ia tinggal di Mansion bersama Ibunya dan anak perempuannya yang bernama Aurellia Genoveva Lawrence. Marc merupakan seorang Duda, Istrinya meninggal saat melahirkan Aurellia. Semenjak itu ia tidak ingin membuka hatinya ke siapapun dan memilih membesarkan anaknya sendiri bersama Ibunya.
Suara ketukan pintu kamarnya memecah keheningan yang dia nikmati sedari tadi, ia berlalu kearah pintu dan membukanya. Dua anak buahnya yang sedari tadi berdiri memberikan pesanan yang ia suruh ambil, Zelma's Bakery terpatri di packingan kue tersebut. Ia mengecek kembali pesanannya, tak ada yang kurang.
"Sekarang kalian pastikan dekorasi di kolam renang sudah sesuai, aku tidak ingin memberikan kesan pesta terburuk untuk putriku."
"Baik, Tuan."
"Dan ini kutitipkan lagi ke kalian, jika bertemu Mommy jangan lupa minta tolong kepadanya untuk menyimpannya di lemari pendingin dan jangan sampai putriku mengetahuinya."
"Baik, Tuan." Kedua anak buahnya berlalu dari hadapannya, ia kembali masuk ke kamar dan meraih kaos hitam polosnya yang ada diatas tempat tidur. Ia yang sedari tadi shirtless, kini dibalut oleh kaosnya dan berjalan keluar kamar untuk mencari putrinya.
"Aurellia?" Teriaknya saat menuruni tangga dari lantai tiga.
"Iya, Daddy?" Sahut gadis kecil yang tak lama lagi akan menginjak usia empat belas tahun. Ia tengah sibuk dengan ponselnya, sepertinya ia tengah mengundang teman-temannya untuk menghadiri pesta ulang tahun miliknya.
"Daddy mau keluar, kau mau ikut?"
"Aku dirumah saja bareng grandma dan yang lain, aku boleh titip sesuatu?"
"Apa itu?" Ia kemudian duduk disamping Aurellia.
"Aku ingin cemilan keripik kentang yang banyak, aku lapar..." ujarnya sambil memegang perutnya, Marc hanya tersenyum mendengar hal itu.
"Baiklah kalau begitu. By the way, cemilan yang Daddy belikan kemarin sudah habis?"
"Kemarin teman-temanku mampir kesini, mustahil tau aku pelit cemilan buat mereka."
"Yasudah, Daddy akan pergi sekarang, jika grandma tanya kemana bilang saja Daddy ada urusan. Daddy mungkin pulangnya agak lama, kau tidak apa menunggu?" Aurellia mengiyakan ucapan Daddynya dengan anggukan kepala. Marc mengelus poni anak perempuan kesayangannya kemudian berlalu pergi dari hadapannya.
Ia mengambil kunci mobil yang sedari tadi berada di kantong celananya dan berjalan menuju garasi.
Mengeluarkan mobil dari garasi, kemudian ia berlalu dari pelataran Mansionnya. Ia memacu kecepatan sedang menuju Supermarket terdekat.
Ditengah perjalanannya menuju Supermarket, ia tiba-tiba teringat oleh pemilik Toko Kue tersebut, ia penasaran akan identitas wanita itu. Cepat-cepat ia alihkan pikirannya dari hal yang menurutnya tidak penting.
Tibanya Marc, ia kemudian bergegas masuk ke dalam dan berlenggang menuju rak cemilan yang berada tidak jauh dari pintu masuk. Diraihnya keripik kentang favorit Aurellia dan beberapa cemilan lainnya.
Ia berlalu menuju tempat minuman ringan, ia mengambil beberapa minuman berenergi dan Yogurt rasa Stroberi untuk Aurellia, ia tahu persis putrinya tersebut sangat doyan dengan olahan susu.
"Total semuanya Delapan Ratus Enam Puluh Lima Ribu, Pak." Sembari membungkuskan belanjaannya kasir tersebut nampak menunggu Marc untuk membayarnya.
"Aku ingin menggunakan kartu kredit." Marc kemudian memberikan Black Card khusus Kredit. Kasir tersebut nampak terkejut dan menyerahkan mesin Kartu Rekening itu kepada Marc untuk memasukkan kata sandinya.
Pembayaran berhasil, ia meraih barang belanjaannya dan mengambil kartunya. Ia berjalan menuju pintu keluar dan menghampiri mobilnya.
Tak butuh waktu berapa lama baginya, kini ia telah sampai di pekarangan Mansion. Ia memanggil beberapa anak buahnya yang tengah duduk di taman depan.
"Aku titip ini ke kalian, berikan kepada Aurellia. Aku masih ada urusan." Setelah memberikan belanjaannya kepada anak buahnya, ia memutar mobilnya dan menancap gasnya menuju suatu tempat.
Ia telah sampai di tempat tujuannya yang merupakan Basecamp para mafia di kota Heavent Hills. Ia menyapa beberapa anggota lainnya, ia juga mencari seseorang disini.
"Marc my bro!" Tak jauh dari tempatnya berdiri tepat orang yang dicarinya meneriaki namanya dari arah meja bar. Hawkins, teman lama Marc sekaligus kolega perusahaannya.
"Lo darimana aja? Gue udah lama gak liat lo main di Basecamp sini." Ujar Marc yang kemudian menjatuhkan bokongnya tepat diatas kursi disamping Hawkins.
"Gue sibuk ngurus beberapa hal, mana bulan depan adik gue mau nikah. Lo apa kabar?"
"Congrats bro semoga lancar buat nikahan adik lo, gue juga belakangan ini sibuk urus perusahaan gue. Hari ini anak gue Ulang Tahun dan gue mau minta tolong sama lo."
"First of All, Thank you buat ucapannya. Bentar, Aurell Ulang Tahun? Cepat banget waktu berlalu, titip ucapan selamat gue ke dia, Anyway lo mau minta tolong apa?" Hawkins kemudian menyalakan rokok kretek, ia mendongak keatas sambil menghembuskan asapnya.
"Thank you juga buat ucapannya. Gue mau minta anak buah lo buat ikut gue bulan depan. Gue punya urusan yang gak bisa cuma melibatkan anak buah gue." Raut wajah Marc tampak serius, Hawkins yang mendengar hal itu juga kemudian memperbaiki posisi duduknya.
"Jangan bilang orang-orang dari pihak Hellfire bikin perkara lagi?" Marc mengangguk.
Hellfire juga merupakan komplotan sepuh Mafia yang memang sedari dulu sering bermasalah dengan Zephyr yang mana adalah komplotan Marc termasuk Hawkins.
"Mereka minta gue datang sendirian tanpa siapa-siapa, demi mencegah hal yang gak gue inginkan, gue harap anak buah lo bisa stay di beberapa titik nantinya." Hawkins menghela nafas sambil kembali menghisap rokoknya.
"Bisa-bisanya dihari ulang tahun Aurell lo ada perkara..."
"Sebelum ulang tahun Aurellia mereka udah berurusan sama gue, dan ini udah ketiga kalinya."
Hawkins kemudian mencondongkan badannya kearah Marc sembari berbisik.
"Oke gue bantu lo, tapi dengan satu syarat kalo lo harus janji bawa anak buah gue pulang hidup-hidup, jangan sampe lo permaluin diri lo sendiri ataupun gue, you copy that?" Marc mengangguk.
"Gue jamin anak buah lo pulang hidup-hidup. Anyway, kontak lo masih yang lama 'kan?"
Hawkins meraih sesuatu dari kantong Leather Jacket miliknya dan memberikan itu kepada Marc.
"Ini, jangan lo kasih kartu nama ini ke siapa-siapa, karena kontak gue yang lama udah gue nonaktifin."
"Thank you, gue senang berbisnis bareng lo. Lo kalau ada waktu malam ini jangan lupa mampir ke Mansion, bawa keponakan lo yang seumuran Aurellia atau Jason."
"Tanpa lo suruh juga gue bakal mampir tapi gue bawa keponakan gue aja, kalau Jason sibuk, tuh anak lagi liburan ke Banda Neira bareng teman-temannya. Anak-anak jaman sekarang cepat banget gedenya." Senyum tipis terpatri di bibir Marc.
"Yaudah gue lanjut dulu mau bantu prepare pesta Aurellia, see you there dude." Mereka berdua kemudian melakukan fist bump, Marc berlalu meninggalkan Hawkins yang masih duduk ditempatnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, semua dekorasi dan persiapan sudah sangat amat matang. Marc telah bersiap dengan setelan casualnya; Kaos Polo berwarna krem dipadu dengan Blazer dan celana Ankle hitam beserta sepatu pantofel yang juga berwarna hitam.
Yang berulang tahun sudah tiba dan berjalan ke arah panggung yang sudah didekor semanis dan seindah mungkin, para tamu yang telah hadir bertepuk tangan dengan meriah.
Acara berjalan dengan lancar, kini Aurellia telah genap berusia berusia empat belas tahun. Banyak sekali hadiah yang diberikan kepadanya yang mana itu tersusun rapi di meja khusus untuk menaruh hadiah.
Semuanya sibuk dengan urusannya masing-masing sambil menikmati acara. Marc sedari tadi bercengkarama dengan Hawkins, mereka masih membahas soal 'Bisnis' tadi siang.
Malam semakin larut, acara telah usai dan para tamu telah pulang. Aurellia sudah masuk kedalam Mansion untuk tidur, ia benar-benar kelelahan. Sedangkan Marc masih memperhatikan para pelayan dan anak buahnya membereskan dekorasi.
Dinginnya udara malam menusuk kulit Marc, namun seketika terbesit di kepalanya untuk mengunjungi Toko Roti milik Zelma besok pagi, ia juga tiba-tiba ingin mencoba beberapa olahan kue lainnya.
"Olahan kuenya sangat enak... sial, kenapa aku jadi ketagihan." Gumam Marc sambil mendecak kesal.
Semua sudah beres, Marc kemudian masuk kedalam Mansion menuju kamarnya, hari ini tidak terlalu melelahkan baginya namun cukup untuk menguras setengah energinya. Setibanya di kamar, ia langsung membanting pintu dan menjatuhkan badannya ke tempat tidurnya, matanya terasa berat dan tak berapa lama kemudian ia memejamkannya dan memasuki dunia mimpi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!