NovelToon NovelToon

Pembantu Cantik Dan Majikan Buruk Rupa

Pelarian

Sinar matahari telah tergantikan oleh bulan. Sinarnya sudah cukup menerangi gelapnya langit malam. Namun, tidak dapat menghapus kesedihan seorang gadis yang dikurung oleh ayahnya selama 2 hari di dalam kamarnya. Ia meratap, memandangi sang bulan, memanggil ibunya yang telah berpulang sambil terus berdo’a. Mengharapkan sebuah keajaiban yang dapat mengubah pikiran ayahnya, atau meloloskan diri dari marabahaya yang mengancam masa depannya.

Kebahagiaanya terenggut oleh ayahnya yang sangat disayanginya. Teganya sang ayah menggadaikannya sebagai jaminan atas utangnya kepada seorang renternir yang kelicikannya telah turun-temurun dari kedua orangtuanya. Si renternir itu memang umurnya tidak jauh lebih tua darinya, tetapi karena sifatnya yang jahat dan kejam yang sangat tidak disukainya.

Ayahnya tahu hal itu; bahkan pernah mengatakan, kalau beliau sama sekali tidak akan menyerahkannya pada lelaki seperti itu. Namun kini, dia menelan air liurnya sendiri, mengingkari janjinya.

Terkadang ia menyesal, telah menuruti keinginan ayahnya untuk kembali ke Indonesia. Ia luluh pada bujukan ayahnya yang katanya sangat merindukannya karena sudah hampir 3 tahun tidak bertemu sejak terakhir kepulangannya pada Natal saat itu.

Tapi pikirnya, tidak ada salahnya kembali ke tanah air untuk beberapa hari sebelum kembali bekerja di salah satu perusahaan bonafit yang ada di London. Hanya saja, keputusannya itu sangatlah salah. Ia malah dipaksa menyetujui perjodohan dengan si renternir yang bernama Pedro.

Ia mendesah. Hanya dapat pasrah menyesalinya. Seorang pria setengah baya, muncul di balik pintu kamarnya yang telah dibukanya. Matanya menatap sendu, sedih melihat anaknya yang sedang berdiri membelakanginya.

Entah karena tidak tahu dia datang, atau karena masih marah padanya, gadis itu masih saja tidak menoleh kepadanya. Setelah menutup pintu, perlahan ia berjalan menghampiri putrinya, berhenti dan berdiri dengan jarak yang cukup jauh, karena merasakan kemarahan yang masih dirasakan oleh anaknya itu.

“Papa tahu, kamu masih marah pada Papa. Tapi, kamu harus mengerti alasan Papa melakukan semua itu,” katanya, suaranya terdengar sedikit gemetar. “Maafkan Papa ... Papa tidak punya pilihan lain.”

Sebenarnya, gadis itu merasa sangat kasihan padanya. Tapi ia sangat kesal padanya yang dengan teganya menggadaikannya selayaknya barang pada renternir licik itu. Matanya dipejamkan, air matanya menitik membasahi pipinya, tangannya dikepalkan, lalu berbalik menghadapnya dengan tatapan nanar.

“Papa sudah tahu siapa dia dan keluarganya. Tapi kenapa Papa berutang padanya?”

“Tidak ada pilihan lain, Nak. utang papa sudah terlalu banyak, sedangkan perusahaan tidak mengalami kemajuan sama sekali,” jawab ayahnya penuh emosional. Kemudian menatapnya seperti meminta permohonan agar dimengerti. “Papa terpaksa melakukan ini.”

Gadis itu memalingkan wajahnya. Hatinya hancur. Air matanya tidak mampu ditahannya lagi, sehingga mengalir seperti aliran sungai jernih di pipinya.

“Tapi maafkan aku, Pa. Aku tetap tidak akan menerima perjodohan ini!” jawabnya tegas, lalu kembali berbalik sambil menangis yang sedemikian rupanya disembunyikan isakannya.

Ayahnya nampaknya sangat mengerti, tapi tidak dapat memberikan jawaban atas keinginan keras anaknya. Ia hanya dapat menerima kemarahan anaknya dengan pasrah dan sedih.

Kemudian, ia berbalik, keluar dari ruangan itu dengan langkah tertatih, setelah itu mengunci pintunya kembali dari luar. Suara pintu yang tertutup, terdengar semakin menyakitkan bagi gadis yang bernama Carra Sanchez.

Matanya tertutup, bersamaan dengan turunnya air mata yang semakin tidak dapat dibendung. Ia kembali termenung, menatap ke luar jendela, lalu menghapus air matanya. Tekadnya sudah bulat, jika perjodohan ini tidak dapat dibatalkan.

Ia akan pergi dari tempat ini, walaupun nampak mustahil karena penjagaan super ketat yang diberlakukan oleh ayahnya. Sepertinya, Tuhan terlalu menyayanginya, sehingga ia mengutus seorang pelayan yang sudah lama bekerja di sana, sebagai perantara untuk melaksanakan rencananya.

Pelayan tua itu sangat menyayangi gadis itu seperti anaknya sendiri, setelah sang ibu meninggalkannya sejak kecil. Kasih sayang itu menimbulkan rasa iba begitu melihat penderitaannya.

Maka, malam itu, pelayan yang sering dipanggil “Bibi Ina”, datang ke kamarnya, membawa nampan berisi makanan sebagai alasan untuk menemui gadis itu. Begitu melihat kondisinya, Bibi Ina tidak dapat menyembunyikan wajah sedihnya. Nampan itu diletakkan di atas meja, kemudian menghampirinya.

“Apa Nona dalam keadaan baik?” tanyanya terdengar cemas.

“Tidak begitu baik, Bi,” jawab Carra sedih. “Papa tetap tidak mau membatalkan perjodohan itu.”

“Lalu, apa Nona terpaksa menerima Tuan Pedro?”

“Sampai kapanpun, aku tidak akan sudi!” kata Carra dengan berapi-api. “Kalau aku bisa, aku mencoba untuk kabur sebelum pertunangan itu terjadi.”

“Jadi, Nona sudah punya rencana?” tanya bibi Ina dengan senyum penuh harap.

“Iya. Asal Bibi mau membantuku.”

Tentu saja, demi kebahagiaan Nonanya, bibi Ina akan melakukan apa pun. Jikalau harus mendapat hukuman atau dipecat sekali pun, tidak jadi masalah. Sebisa mungkin, ia akan membantunya. Maka, pada malam ini, Carra langsung memberitahukan rencananya; dan rencana ini akan berlangsung tengah malam nanti, setelah semua orang sudah tertidur pulas.

Kunci pagar telah diberikan oleh bibi Ina, setelah kembali ke kamarnya–alih-alih ingin mengambil nampan makanan bekas Carra. Dan rencanapun segera dimulai. Carra telah mempersiapkan diri, tepat pada waktu tengah malam. Bermodalkan sprai ranjang sebagai tali untuk turun dari lantai atas lewat jendela kamarnya, kemudian mengendap-endap melalui semak-semak dan pohon, menuju pintu pagar yang sedang dijaga oleh seorang satpam.

Pelariannya hampir saja ketahuan, ketika seorang satpam sedang memeriksa keadaan sekitar rumah. Tubuhnya hampir saja terkena sorotan lampu senter, jika saja tidak cepat-cepat bersembunyi di baik semak.

Carra menghela napas lega. Saat keadaan mulai aman, dan satpam itu sudah tidak ada di sekitar tempat itu, ia keluar dari tempat persembunyiannya, kembali mengendap-endap menuju pintu pagar yang hampir dicapainya. Sebelumnya, ia memeriksa keadaan di sekitar tempat itu, melongok ke dalam pos satpam yang sedang tidak dijaga.

Namun, keberuntungannya hampir saja hilang, karena dikejutkan oleh seseorang yang menepuk pundaknya, ketika pintu pagar akan dibukanya dengan kunci yang diberikan oleh Bibi Ina.

Karena saking terkejutnya, kunci itu tidak sengaja dijatuhkannya. Ia mematung, tidak berani menoleh ke belakang sebab takut jika orang itu bukan Bibi Ina.

“Siapa kamu?” tanya satpam itu dengan suara tegas dan galak. Carra hanya diam. Mengigit bibir bawahnya, matanya terpejam karena ketakutan.

Karena tidak adanya respon, satpam itu kembali menanyakan hal sama. Yang paling mengejutkan, satpam itu menduga kalau orang yang sedang ditanyanya adalah anak majikannya. Ketakutan Carra semakin menjadi—satpam itu hampir saja membuatnya berbalik menghadapnya dengan agak memaksa.

Hal itu dapat dicegah, dengan datangnya bibi Ina untuk membantu Carra. Bibi Ina berseru menegur satpam itu dengan nada marah bercampur logat Jawa yang menjadi ciri khasnya. Tangan si satpam ditepisnya dari pundak Carra, memelototkan matanya seolah sedang menunjukkan kemarahannya.

“Kurang ajar! Beraninya kamu pegang-pegang ponakanku, ya?” omelnya sembari terus memukul satpam itu. “Aku tahu kamu genit, tapi jangan sama ponakanku!”

“Aduh, Bik. Siapa yang godain ponakanmu? Mana aku tahu kalau dia ponakanmu?” jawab satpam itu sembari mengelus tangannya yang terkena pukulan. “Habisnya, gelagatnya mencurigakan.”

“Oalah! Sampean pikir, ponakanku ini maling, ******* gitu?” Bibi Ina kembali memukul satpam itu, diam-diam memberikan isyarat pada Carra. “Sembarangan kamu, ya?!”

Carra mengerti. Tanpa menghilangkan kesempatan itu, kembali ia mengambil kuncinya, membuka pintu pagar dan langsung berlari meninggalkan rumah itu menuju halte bis yang cukup jauh jaraknya, sementara bibi Ina mengalihkan perhatian satpam itu.

Keadaan jalanan malam itu tidak terlalu lengang, banyak kendaraan yang melaju di sana. Hanya saja, tidak ada bis yang melintas. Takut para pesuruh ayahnya mengejar, ia memutuskan untuk menaiki taksi. Mujur, ia mendapatkan taksi, ketika para pria berbadan kekar yang sering berjaga di kamarnya berlari menghampirinya. Buru-buru ia menaiki taksi itu, lantas menyuruh supirnya untuk segera melajukan mobilnya secepat mungkin, sampai akhirnya tidak terkejar.

Kini ia dapat bernapas dengan lega sampai ke tujuannya, yaitu stasiun kereta. Ia berencana untuk pergi keluar kota untuk sementara waktu. Tapi ia masih bingung, kota apa yang cocok sebagai tempat persembunyiannya.

Ia memilih berbagai kota di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia berdiri cukup lama di dekat peta jalur kereta Jawa yang ada di dekat pembelian tiket. Seorang gadis tomboy yang tengah tiba gilirannya untuk membeli tiket, memberikan ide untuknya. Gadis tomboy itu membeli tiket kereta dengan tujuan ke Surabaya. Senyum cerahnya merekah. Seketika ia masuk ke dalam antrean, menunggu tiba gilirannya memesan tiket.

“Satu tiket ke Surabaya,” katanya bersemangat pada petugas tiket.

Petugas itu memproses tiketnya, lalu memberikannya setelah Carra membayarnya. Senang karena telah mendapatkan tiket, tanpa buang waktu lagi ia langsung bergegas mencari keretanya yang ada di jalur sebelah selatan. Beberapa menit lagi, keretanya akan berangkat, maka ia segera masuk ke dalam kereta, mencari tempat duduk. Namun, baru akan masuk ke dalam kereta, terdengar suara teriakan yang memanggil namanya. Ia menoleh.

Matanya mendelik saat mengetahui kedua bodyguard itu berhasil menyusulnya. Kepanikan melanda, tatkala salah satu bodyguard berhasil lolos dari hadangan petugas, lalu mengejarnya.

Ia segera berlari, berusaha menghindari kejaran si bodyguard pelari cepat. Mereka berlari di sekitar stasiun, memasuki kereta yang akan ditumpangi olehnya. Pengejaran itu membuat heboh seisi penumpang kereta. Tak banyak juga orang-orang yang ada di dalam kereta yang marah dan mengeluh pada mereka berdua yang tidak sengaja ditabraknya.

Napas Carra hampir habis. Laju larinya semakin melambat karena tak kuat lagi berlari. Namun, ia tidak mau pria kekar itu berhasil menangkapnya. Tanpa mempedulikan kakinya yang mulai sakit, sebisa mungkin ia terus berusaha. Lagi, Tuhan menolongnya lewat seorang gadis tomboy yang ditemuinya tadi. Kaki bodyguard itu disenggol oleh gadis tomboy itu hingga jatuh terjungkal. Menyadari hal itu, ia menoleh ke belakang, melihat pria itu terjatuh.

“Satu menit lagi, kereta akan berangkat,” kata gadis itu memperingatkannya.

Ia mengangguk, lalu kembali berlari sebab si bodyguard hampir terbangun. Ia berlari menyusuri gerbong, mengecoh bodyguard itu dengan berlari ke luar kereta. “Satu menit lagi”, begitulah kata gadis tomboy yang terlintas dalam otaknya. Pintu kereta hampir tertutup; dan ketika bodyguard itu lengah, ia langsung masuk ke dalam kereta.

Setelahnya, pintu kereta tertutup, tidak dapat memberikan kesempatan pada siapa pun untuk masuk, termasuk bodyguard tadi. Dan keretapun melaju.

Carra tersenyum menang, melihat bodyguard itu terpaku lalu bergumam kesal karena tidak dapat menangkapnya. Kemudian ia berjalan mencari tempat duduk. Ia berhenti di tempat gadis tomboy duduk, setelah melihatnya. Ia tersenyum, mengucapakan “terima kasih” padanya. Dengan gayanya yang cuek, gadis tomboy itu menjawabnya.

“Em..., boleh nggak aku duduk di sini?” tanya Carra ragu-ragu.

“Duduk aja.”

Dengan hati senang, ia duduk di sebelahnya. Tempat duduknya dekat dengan jendela, sehingga ia dapat melihat pemandangan. Ia sangat senang melihat pemandangan; dalam keheningan karena teman perjalanannya tidak mengajaknya bicara. Akhirnya, ia duluan yang

mengawali topik pembicaraan dengan memperkenalkan diri, karena sebenarnya ia ingin tahu juga nama gadis itu.

“Hai, namaku Carra,” katanya sembari mengulurkan tangan. “Boleh aku tahu siapa nama kamu?”

Gadis tomboy itu menoleh malas padanya. “Gea,”

Carra sedikit kecewa karena uluran tangannya tidak diterima. Ditariknya kembali uluran tangannya, kembali tersenyum setelah memahami sifat lawan bicaranya.

“Ini perjalananku yang pertama ke Surabaya. Jadi, mau nggak kamu menunjukkan beberapa tempat di sekitar Surabaya.”

Sepertinya Gea tampak tidak senang. “Kamu pikir aku ini pemandu wisata?” jawabnya ketus.

Carra beringsut mundur. Mulutnya terkatup, tidak mau berbicara lagi dengannya. Rasa kantuknya telah datang, apalagi waktu menunjukkan pukul satu malam. Ia tertidur sambil tersenyum, karena sudah berhasil terhindar dari kejaran mereka. Memang dirasa belum 100% aman, tapi setidaknya mereka tidak bisa menemukannya dalam waktu yang cukup lama.

Rencananya, ia akan mencari tempat tinggal, sekaligus pekerjaan yang dapat mencukupi kebutuhannya selama pelariannya di kota itu.[]

Darrel, Si Pria Buruk Rupa

Tuan Sanchez, ayahnya Carra, kalang kabut mendengar kedua bodyguard-nya gagal membawa kembali putrinya. Tak henti-hentinya ia menyalahkan mereka, membuang kertas-kertas yang ada di meja dengan kesal.

Tidak hanya itu, ia menjadi semakin stres, begitu memikirkan reaksi Perdo jika mengetahui kaburnya Carra. Pria itu akan memakinya, atau mungkin melakukan hal yang lebih kejam lagi dari kemurkaannya.

Kini, ia tidak tahu harus melakukan apalagi, hanya terus melakukan pencarian dengan menugaskan dua bodyguard yang tidak dikenali oleh Carra. Pencarian akan dimulai, dengan menyelidiki tujuan kereta yang dinaiki oleh Carra.

Kedua bodyguard yang mengejarnya mengatakan nama kereta itu; dan segera Tuan Sanchez memerintahkan pesuruh lainnya untuk menyelidik soal kereta itu. Tak hanya itu, sebuah informasi ingin didapatkannya dari Bibi Ina, yang diduga membantu Carra kabur—menurut informasi dari satpam yang berjaga semalam.

Tanpa merasa sedikitpun takut, Bibi Ina menghadap Tuan Sanchez begitu namanya dipanggil. Sambil terus menunduk untuk menghormati majikannya, ia mendengarkan pertanyaan Tuan Sanchez yang langsung diajukannya.

“Demi kebahagiaan Nona Carra, kalau pun saya tahu, tetap tidak akan saya beritahu,” jawabnya yang terdengar suaranya bergetar.

“Jangan keras kepala! Tahu dari mana kamu soal kebahagiaan anak saya?” kata Tuan Sanchez murka.

“Dia menangis, makanannya juga tidak disentuh. Apa Tuan tidak merasakan kesedihannya?”

“Kamu tidak tahu apa-apa, Bi! Baiklah, jika kamu tidak mau memberitahu. Dengan terpaksa, kamu saya PECAT!” Tuan Sanchez menggebrak mejanya sampai bibi Ina terlonjak kaget.

Meskipun sedih, bibi Ina harus menerima keputusan ini, sebab sudah tahu kalau ini adalah resiko yang harus diterimanya. Tanpa mengatakan apa pun, perlahan ia berbalik, lalu berjalan meninggalkan ruangan Tuan Sanchez sambil menangis.

Ia melangkah ke kamarnya untuk membereskan semua barang-barangnya sebelum keluar dari rumah majikannya yang sudah mempekerjakannya sebelum Carra lahir. Namun, ia tidak menyesal telah membantu Carra kabur, yang malah membuatnya harus dipecat.

Tas besar lusuh telah diisi oleh beberapa helai pakaiannya. Diresleting tas itu, ditatapnya dengan mata yang telah dibasahi oleh air mata. Pikirannya dipenuhi oleh kenangan-kenangan yang terjadi selama bekerja di sini. Kebaikan-kebaikan yang diterima oleh keluarga ini, termasuk kenangan bersama dengan Carra, sepertinya sulit untuk dihapus.

Dan kini, ia harus keluar dari rumah ini. Semua itu karena demi kebahagiaan Carra yang disayanginya.

“Aku harap, Nona baik-baik saja di sana dan selalu di bawah perlindungan Tuhan. Bibi tidak akan berhenti mendo’akan keselamatan nona,” harapnya.

...****************...

Kereta berhenti di stasiun Pasarturi pada pagi harinya. Carra masih saja terlelap di dalam kereta. Kalau saja petugas kereta tidak membangunkannya, pelariannya akan sia-sia karena kereta akan membawanya kembali ke Jakarta. Carra segera bangun, mengambil ranselnya yang ada di atas, kemudian keluar dari dalam kereta. Berdiri di sana, menatap sekitar stasiun yang ramai sambil tersenyum.

Takjub, karena telah berada di kota ini. Matanya mengarah ke sebelah kanan, mencari pintu keluar stasiun ini. Berjalan-jalan, sambil mencari sosok Gea. Menurutnya, mungkin saja Gea bisa membantunya mencarikan tempat tinggal, atau kost-kostan. Tapi mencari seseorang di tempat ramai tidaklah mudah, apalagi di tempat yang asing baginya.

Berbeda di London. Sudah 6 tahun ia di sana, dan sudah banyak jalan yang ditempuh dan dihapalnya. Sayangnya, ia tidak bisa memilih tempat itu karena posisinya pasti mudah dilacak oleh ayahnya. Dan uang yang dimilikinya juga tidaklah begitu banyak, apalagi setelah ayahnya jarang mengirimkannya uang. Kabur di sekitar wilayah Indonesia adalah langkah yang sesuai dengan uang yang dimilikinya.

Matanya melihat-lihat ke segala arah di luar stasiun. Memutarkan tubuhnya, hingga tanpa sengaja menabrak seseorang. Suara ‘aduhan’ orang itu terdengar familiar. Saat itu juga, ia menemukan sosok Gea yang nampak kesal menatapnya. Ia menyengir sungkan karena merasa bersalah telah menabraknya. Karena Gea langsung pergi tanpa mengatakan apa pun, ia mengikuti dan menyusulnya.

“Hei, aku boleh ikut denganmu, 'kan?” tanya Carra sesopan mungkin.

“Nggak,” jawab Gea tanpa menoleh padanya dan terus berjalan.

“Ayolah..., kita kan sama-sama cewek. Masa kamu tega biarin aku sendirian di tempat asing?” bujuk Carra memelas.

“Memangnya, siapa yang suruh kamu ke sini?”

“Ya....” Carra tercenung sejenak sebelum menceritakan kejadian yang sebenarnya.

Tapi Gea menyelanya duluan sebelum Carra kembali melanjutkan. “Kamu itu buronan? Atau ...” Ia melihat penampilan Carra dari atas ke bawah. “Kabur dari rumah?”

Carra mendelik, terkejut mendengar dugaan Gea yang hampir mendekati. Ia terdiam lama menatapnya tanpa menyembunyikan ekspresi keterkejutannya. Kemudian ia berpikir cukup lama untuk menjawab Gea yang kembali berjalan menuju halte bis.

Carra terkekeh. “Bisa dibilang, kabur dari jeratan orang-orang jahat,”

Entah tidak mendengar atau memang sengaja mengacuhkannya, Gea tidak menjawab dan masuk ke dalam bis yang datang bertepatan dengan cerita Carra. Namun, lagi-lagi Carra mengikutinya masuk ke dalam bis. Sempat merasa kesal, tapi dibiarkannya saja, bahkan sampai Carra duduk di sampingnya lagi.

Malas mendengar ocehan Carra yang mungkin akan kembali dilanjutkannya, ia memasang headset pada kedua telinganya, memutar musik cukup keras, memandang ke arah jalan kota Surabaya yang cukup ramai.

Mengerti dengan sikap Gea, Carra juga memutuskan untuk diam. Mungkin ia hanya akan mengikutinya sampai ke rumahnya, lalu mencari kontrakan, yang syukur-syukur, bisa langsung ditempatinya. Karena merasa tidak enak pada Gea, ia memilih pindah tempat duduk di sampingnya, duduk di dekat jendela bis agar dapat melihat pemandangan.

Ia tersenyum, lalu merasa sedih, sebab meninggalkan ayahnya seperti ini. Ia khawatir, ayahnya pasti akan mendapat masalah begitu Pedro tahu mengenai kepergiannya. Ayahnya bisa disalahkan atas kejadian ini, dan mungkin saja, pria itu memperlakukannya dengan kasar. Ia menutup matanya, meringis membayangkan hal itu. Ia termenung sedih, sampai air matanya keluar. Lalu menatap hiruk-pikuk kota yang sama sekali tidak dapat mengalihkan kesedihannya.

Gea menoleh padanya, menatapnya cukup lama tanpa diketahui olehnya.

...****************...

Seorang pelayan berdiri di depan sebuah kamar yang tertutup sambil memegang sebuah nampan berisi makanan. Sudah cukup lama dia berdiri di sana, dengan keragu-raguan, atau mungkin lebih terlihat seperti ketakutan.

Wajah dan tangannya berkeringat, tangannya bergetar. Kadang, kakinya hendak melangkah pergi dari tempat itu, namun ragu lagi-lagi menghadangnya.

Hari ke 7 dia bekerja rumah mewah ini. Dan seperti biasanya, pagi ini pelayan itu mengantarkan makanan untuk Sang majikan. Pada hari pertama, ia melakukannya seperti biasa, hanya saja pada hari kedua dan seterusnya, dia merasa enggan untuk melakukannya.

Jika tidak mengingat dia sedang membutuhkan uang, apalagi gajinya sangat besar, maka ia terpaksa melakukannya. Kali ini, ia berpikir dan berdiri di sana lebih lama dari kemarin. Takut tuannya semakin marah, maka perlahan ia masuk ke dalam kamar yang sinarnya temaram, bahkan hampir gelap. Berseru pelan meminta izin, menyusuri kamar sambil berusaha melihat ke segala arah yang cukup sulit untuk dilihat karena kurangnya cahaya.

Kamarnya kosong, tidak ada Tuannya di manapun. Entah mungkin sedang berada di kamar mandi. Tapi, itu cukup melegakan bagi pelayan itu, sehingga tidak perlu bertemu dengannya. Sayangnya, kelegaannya itu tidak berlangsung lama.

Kursi yang ada di belakang meja kerja majikannya berputar, bertepatan dengan diletakkannya nampan makanan di meja. Tampaklah seorang pria berpakaian hitam, wajahnya tidak terlihat jelas, tapi mampu membuat pelayan itu bergidik ngeri melihatnya.

Matanya yang tajam berkilat, menatap sangar pada si pelayan yang sudah merasa ketakutan. Kemudian dia melihat ke arah nampan makanan yang ada di atas meja. Suaranya yang berat dan serak, serasa merinding ketika mendengarnya.

“Apa ini? Lagi-lagi kamu membawa benda ini?” Tunjuknya pada sebuah botol obat berwarna putih. Benda itu diambilnya, berdiri menatap si pelayan yang tidak sanggup melihatnya. “Sudah saya bilang, saya tidak mau memakan obat-obatan apa pun!” Obat itu dilemparkannya ke arah samping pelayan itu, membentur dinding, hingga isinya berantakan.

Pelayan itu terkejut dan bergidik. Lalu kepalanya ditundukkan, terdengar isakan kecil darinya. “Maaf, Tuan....”

“Apa itu yang hanya bisa kamu katakan? Dasar pelayan tidak berguna!”

Lagi, setiap pagi. Nampan itu dibalikan hingga seluruh isinya tumpah, piring dan gelas pecah, berserakan di lantai. Semua itu terdengar sampai luar kamar. Si pelayan hanya bisa menangis ketakutan melihat kelakuan Tuannya yang pemarah.

Selama pelayan itu bekerja, selalu seperti itu kejadiannya setiap mengantarkan makanan pada pagi, siang dan malam. Hanya karena menolak minum obat, dialah yang menjadi sasaran kemarahannya. Kini dirasanya, sudah cukup baginya bekerja di sini. Tidak peduli dengan gaji besar yang akan didapatkannya, ia tidak mau lagi mendapat tekanan psikis dari majikannya.

“Bereskan ini! Dan suruh bibi Lani membawakan aku makanan!” perintah majikannya. “Cepat!”

Pelayan itu mengangguk, lalu mengambil nampan yang sebelumnya membereskan piring dan gelas yang pecah. Sambil terisak, dia pergi meninggalkan ruangan itu. Ketika di luar, ia berpapasan dengan seorang pria tampan dengan senyuman menawan, dan gayanya yang modis. Ia berdiri di hadapan pria itu sambil menunduk dan berkata:

“Tuan, saya sudah tidak sanggup bekerja di sini. Saya ingin berhenti dari pekerjaan ini.”

Sepertinya pria itu sudah mengerti. Ia menghela napas, lalu menjawab, “Baiklah. Gaji kamu nanti akan diberikan oleh Bibi Lani.”

Pelayan itu mengangguk. “Kalau begitu, saya permisi, Tuan.”

Pria itu mengizinkannya, dan pelayan itu langsung pergi dari hadapannya. Ia menatap kepergian si pelayan, menggelengkan kepala, mengherankan sikap sahabatnya yang memperlakukan seluruh pelayan yang bekerja di sini dengan buruk, kecuali Bibi Lani.

Kemudian ia masuk ke dalam kamar sahabatnya, meletakkan seluruh dokumen yang.dibawanya di atas meja kerja. Menyadari kedatangannya, sahabatnya itu hanya mengalihkan pandangannya sejenak, lalu melihat kembali pada dokumen yang sejak tadi dibacanya. Dokumen itu ditandatanganinya, kemudian membaca dokumen yang dibawa oleh pria tadi.

“Hanya ini?” tanyanya. “Bagaimana kerjasama dengan perusahaan Jepang itu?”

“Mereka menyetujuinya,” jawab pria tadi, yang bernama Brian.

“Kudengar, pemiliknya seorang janda muda yang cantik.”

Brian terkekeh, menggoda sahabatnya. “Oh, jadi seleramu sudah berubah?”

“Aku tidak membicarakan tentang aku, tapi kamu.”

“Aku?” tunjuk Brian pada diri sendiri. “Oh, maaf. Dia memang cantik, tapi aku lebih tertarik pada wanita yang masih perawan.”

“Oh, ya? Sejak kapan? Bukannya kamu sering bermain dengan wanita-wanita yang sudah tidak suci?”

“Sudah hampir 5 tahun,” tukas Brian tersinggung, “aku menyibukkan diri dengan pekerjaanku.”

Sahabatnya itu terdiam menatapnya sejenak. “Terima kasih, kamu telah melakukannya.”

Brian tertengun sejenak, lalu tersenyum renyah. “Jadi gimana? Apa kita perlu mencari pelayan lagi?” Dialihkan topik pembicaraan yang sebenarnya sejak tadi ingin dibahasnya.

“Bukannya kita punya pelayan?”

Brian mendengus. “Gara-gara kamu pelayan itu pergi," debatnya geram.

“Bukannya itu bagus? Kita tidak butuh pelayan yang kerjanya tidak becus.”

Sebenarnya Brian cukup kesal mendengarnya, tetapi sebisa mungkin ditahannya. Dihelanya napas perlahan, kemudian ia menjawab, “Dalam bulan ini, kita sudah 5 kali ganti pelayan. Aku lelah melihat mereka keluar dari kamarmu sambil terisak. Belum lagi harus menyuruh orang menempelkan iklan lowongan kerja yang tadinya sudah dicopot.”

Sahabatnya itu menoleh padanya, menatapnya tak acuh. “Tapi aku tidak.”

“Ngeselin!” gumam Brian kesal, memalingkan wajahnya ke arah lain. “Terserah padamu sajalah! Dokumen itu segera kamu tandatangani, ada banyak pekerjaan lain yang harus aku lakukan.”

Kekesalan Brian, malah ditertawakan oleh sahabatnya itu secara diam-diam, sambil menandatangani dokumen terakhir yang dibawa oleh Brian.[]

Sampai Juga

Bis yang membawa Carra dan Gea berhenti di sebuah jalan dekat perkampungan yang cukup ramai. Beberapa meter dari halte bis, mereka memasuki perkampungan itu. Clara mengikuti Gea, yang entah sadar atau tidak, telah dibuntuti olehnya. Gea baru berhenti dan berbalik menghadapnya saat mereka tengah berada di sebuah gang.

Tasnya diletakkan di aspal, melipat kedua tangannya di dada, lalu berbalik. Carra terkesiap, spontan beringsut mundur, apalagi ketika Gea menatapnya dengan pandangan tidak suka.

“Berhentilah membuntutiku!" seru Gea marah.

Mata Carra membulat menatap Gea. Dengan polosnya ia menjawab, “Hanya kamu saja yang aku kenal. Tapi jika begitu maumu, aku akan berjalan ke arah yang lain. Terima kasih sudah menunjukkan jalannya.”

Gea menghela napas agak kencang sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Baiklah. Ikut aku!” Ia mengangkat kembali barang-barangnya, kemudian berjalan di depan Carra.

Gea membawanya ke sebuah tempat yang banyak sekali pintu. Di sanalah tempat tinggal Gea selama ini, bersama gadis-gadis lainnya yang menyewa tempat ini. Mereka masuk ke dalam tempat itu. Gea langsung disambut oleh seorang gadis berpakaian cukup seksi dan cantik.

Setelah menyapanya, gadis itu melirik ke arah Carra yang sedang melihat-lihat di sekitar tempat itu dan menanyainya. Pertanyaan gadis itu tidak di jawab, malah Gea menanyakan keberadaan ibu pemilik kos yang biasanya meminta uang sewa bulan ini.

Wanita yang ditanyakannya sedang menuruni tangga sehabis menagih uang sewa penghuni lantai atas. Ia tersenyum senang melihat kedatangan Gea, dan langsung menghampirinya.

“Pas sekali kamu datang, Ge. Hampir saja aku menyewakan kamarmu pada orang lain,” katanya bermaksud mengajaknya bercanda

“Ibu bercandanya kelewatan banget! Kan sudah saya bilang kalau saya bakal balik lagi ke sini.” Gea menjawabnya dengan nada serius.

Pemilik kos-kosan yang biasa dipanggil “Bu Yuni” ini berhenti tertawa. Pandangannya dialihkan pada Carra yang baru disadarinya, sedang berdiri di belakang Gea. Kemudian ia kembali menatap ke arah Gea dan bertanya:

“Siapa gadis ayu ini, Ge? Teman kamu?”

Tapi Gea tidak menjawabnya. “Ada kamar kosong buat dia, Bu?” Mendengar pertanyaan itu, dengan sigap dan semangat, Bu Yuni mengiyakan. Diajaknya Carra ke kamar yang kosong yang ada, sementara itu Gea langsung masuk ke dalam kamarnya. Kamar yang ditunjukkan, berada di lantai atas.

Bu Yuni menjelaskan, bahwa kamar itu bekas seorang gadis yang baru saja melangsungkan pernikahannya. Carra mendengarkan perkataan wanita itu dengan penuh perhatian. Logat Jawa Bu Yuni yang sangat medok tidak menjadi masalah baginya, sebab ia sudah menpelajari

bahasa itu dari bibi Ina; dan ia menjawabnya dengan Bahasa Indonesia.

Namun, pelarian yang cukup melelahkan ini, membuatnya harus menghentikan ocehan Bu Yuni. Ia langsung menanyakan harga sewa, dan segera membayarnya tanpa bernegosiasi.

Karena kamar itu kosong, dan Carra tidak memiliki peralatan tidur, Bu Yuni memberikan sebuah tikar, bantal dan selimut untuknya. Carra menerimanya dengan senang hati, dan ia langsung tertidur setelah menggelar tikarnya. Tapi, matanya belum terpejam.

Matanya menatap langit-langit kamar yang lampunya tidak begitu terang. Pikirannya mengarah pada ayahnya yang mungkin saja sedang mendapatkan kesulitan. Dan firasatnya memang benar. Sebentar lagi, ayahnya akan mendapatkan sebuah masalah yang sangat besar.

Pelayannya mengabarkan, bahwa Pedro telah kembali dari luar negri, dan akan segera ke rumahnya untuk menemui Carra. Sontak saja, ia langsung panik, tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk menghadapi pria kejam itu.

Pria kejam yang bernama Pedro telah berada di luar. Mobilnya memasuki pekarangan rumah keluarga Sanchez dan berhenti di depan pintu masuk rumah. Ia keluar sambil tersenyum. Di sampingnya terdapat dua bodyguard; yang satu berbadan kurus, satunya lagi berbadan cukup kekar—hanya saja terlihat bodoh. Mereka memasuki rumah yang pintunya telah dibuka oleh pelayan yang wajahnya terlihat memucat. Tuan Sanchez, keluar dari kamar, dan langsung menyambutnya.

“Apa kabar, Tuan Sanchez? Saya harap Anda dan putrimu dalam keadaan baik,” katanya dengan sombong ia menoleh ke belakang; pengawalnya yang bertubuh kekar membawa hadiah yang akan diberikan untuk Carra. “Mana Carra, Tuan Sanchez? Aku ingin bertemu dengannya.”

Ayahnya Carra panik dan bingung. Tangannya yang berkeringat, diremasnya. Mulutnya seolah terkunci dengan rapat, sehingga tidak mampu menjelaskannya pada Pedro yang sejak tadi menunggu jawabannya. Bahkan ketika pertanyaan Pedro kembali diulang, ia masih tidak dapat menjawabnya.

Kemarahan Pedro mulai tersulut. Menyadari ada suatu kesalahan yang sudah terjadi. Dan ini pasti berkaitan dengan Carra. Maka, tanpa meminta izin dari pemilik rumah, Pedro langsung berjalan ke atas, ke kamar Carra.

Ternyata kamar itu tidak dijaga oleh siapa pun, padahal ia sudah menyuruh Tuan Sanchez untuk menjaga ketat kamar Carra. Ia memandang lelaki tua itu dengan sangar. Kemudian melanjutkan kembali langkahnya sampai di depan kamar Carra, dan langsung membuka pintunya.

Kosong, tidak ada siapa pun. Wanita yang sangat diinginkannya tidak ada di kamar ini. Dialihkan pandangannya ke arah Tuan Sanchez yang telah mati ketakutan melihat sepasang mata kejam miliknya. Kerah baju Tuan Sancez digenggamnya, lalu mendorong tubuh rentanya hingga ke dinding dengan cukup kencang. Tidak terlihat rasa kasihan pun darinya, meskipun pria tua itu telah mengeluh kesakitan dan meminta maaf padanya.

“Dasar lelaki tua lemah dan bodoh! Menjaganya saja tidak bisa!” bentaknya.

“Maafkan saya, Tuan Pedro. Saya sudah memaksimalkan penjagaan super ketat. Hanya saja ...,” jawab Tuan Sanchez yang kemudian terputus karena Pedro menyelanya dengan suara yang sangat kencang.

“Hanya saja apa?!”

“Carra ... bisa meloloskan diri dan kabur keluar kota, Tuan....”

Pedro melepaskan Tuan Sanchez. Kemarahannya semakin membuatnya beringas, hingga barang yang ada di kamar itu diberantakan olehnya, seperti telah terjadi angin topan yang sangat parah. Tidak ada yang mampu meredakan emosinya, kecuali dirinya sendiri. Ia akan benar-benar tenang, jika telah puas meluapkan kemarahannya.

Walaupun sudah merasa cukup meluapkan kemarahannya itu, ia tetap merasa geram. Kemudian, dipanggilnya kedua pengawalnya itu. “Kalian! Cepat cari tahu di mana keberadaan Carra!” perintahnya, “temukan, dan bawa dia ke sini!”

“Baik, Bos!” jawab kedua pengawal itu kompak, lalu pergi bersama dengan Pedro yang terlebih dahulu keluar kamar.

Saat Pedro keluar kamar itu, matanya menatap tajam dan marah pada Tuan Sanchez. Pria paruh baya itu sontak bergidik, matanya mendelik, merasa sangat ketakutan melebihi rasa ngeri melihat hantu.

Meskipun pria itu telah melewatinya, perasaan itu dan kecemasan masih tetap ada hingga menjelang malam. Yang ia khawatirkan adalah Carra. Pria kejam itu bisa melakukan hal yang buruk, jika Carra mencoba melawannya. Kini, ia tidak lagi menginginkan anaknya itu ditemukan oleh Pedro.[]

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!