Salam hangat buat semua. Aku lanjut karya berikutnya setelah menamatkan karya sebelumnya yang berjudul Terpaksa Kawin Muda. Jika kalian merasa sedikit membingungkan baca karya ini, maka aku sarankan baca karya sebelumnya. Karena ini adalah, seri cerita baru dari pemeran yang ada di karya sebelumnya. Selamat membaca semuanya ....
Visual untuk pemeran di cerita ini. Sekedar mengingatkan, visual hanya tokoh bantu untuk kita lebih enak menghalu ....
Iyakan teman-teman?
Lanjut ....
Nining Utami, gadis desa yang akan memerankan tokoh utama di karya ini. Nama panggilan awalnya Nining, tapi akan kita ganti jadi, Tami. Alasan gantinya ada di dalam cerita, oke. (Aku pinjam dia yang entah siapa namanya untuk aku jadikan visual Nining. Semoga kalian merasa cocok dan puas dengan visual ini.)
Selanjutnya.
Tora Suhendra. Pemuda tampan yang punya temperamental luar biasa. Sejak kematian sang adik, dia yang lemah lembut jadi pemarah juga tidak terkendali. Kejam dan tidak bersahabat. Yang ada dalam benaknya hanya balas dendam dan balas dendam.
(Sama. Aku ambil dia yang entah siapa nama. Anggap saja dia Tora yah. Karakter utama cowok dalam peran kita nanti.)
Ungkapan hati ....
Sebenarnya, bikin visual ini adalah tantangan berat buat aku. Soalnya, takut gak sesuai dengan yang kalian harapkan. Karena terkadang, yang aku pikirkan dengan yang kalian pikirkan itu tidak sama. Maklum, pikiran kita ini masing-masing soalnya. He ... he ... he ....
Oh ya, hanya itu aja mungkin ungkapan hati aku untuk kalian. Semoga kalian senang dengan visual yang aku berikan di cerita ini. Bikin visual ini emang agak gampang-gampang susah. Lagipula, sekarang gak bisa masukin pengumuman singkat di sini. Katanya hanya banyak. Harus nyampai lima ratus. Duh ... itu jumlah yang lumayan banyak buat aku. Tapi, karena ingin kalian bahagia menghalu maka aku buat kan juga visual buat kalian.
Terima kasih banyak juga buat kalian pembaca setia aku yang selalu ada di setiap karya yang aku buat. Tanpa dukungan kalian, karya aku pasti tidak akan ada artinya. Kalian adalah penyemangat buat aku selama menulis. Komentar kalian selalu bikin aku tertawa. Yah ... walau ada sebagain kadang menjatuhkan dan bikin hati sakit. Tapi, kebanyakan bikin semangat sih. Untuk itu, terima kasih. Meski kadang aku gak balas, tapi komentar kalian selalu aku baca.
Mungkin sampai sini aja kata-kata dari aku. Ah ... masih banyak sebenar nya yang ingin aku kata kan. Tapi, takut kepanjangan. Padahal, ini juga masih belum cukup untuk aku masuk kan bab. Ya ampun, rada kesal deh ah.
Ya udah deh. Bikin lagi aja. Semoga kalian gak ikutan kesal baca nya yah. Ampun dah, harus nulis kata-kata yang enggak-enggak apa lagi ya? Ikutan mikir dong.
Yang jelas, aku bahagia dengan kehadiran kalian di setiap karya aku. Karena tanpa kalian, aku pasti tidak bersemangat buat lanjut nulis. Soal nya, capek nulis tapi gak ada yang baca. Hu ... hu ... hu .... Kan jadi sedih.
Udah ya, semoga kalian senang dan selalu ada di setiap karya yang aku tulis. Ayo lanjut kan menghalu bareng-bareng. Biar hidup makin berwarna. Karena halu bikin bahagia. Ha ... ha ... ha ....
Harap maklum karena pengen nyukupin kata biar bisa di up sekarang. Jangan marah yah.
Bruk! Tubuh mungil itu melayang dengan cepat menabrak sanding ranjang. Saking kerasnya tabrakan tubuh dengan sanding ranjang, lutut perempuan malang itu lecet dan memar.
"Agghh .... " Perempuan malang itu merintih kesakitan. Namun, bukannya kasihan, pemuda yang mendorongnya malah tersenyum menyeringai bak serigala yang bahagia karena melihat tikus kecil ketakutan.
Tidak ingin peduli dengan apa yang perempuan itu rasakan, pemuda garang itu langsung mendorong tubuh mungil ke atas ranjang. Kemudian, dia menindih tubuh itu sambil menahan kedua tangan perempuan malang tersebut.
Perempuan malang itu terlihat mengeluarkan air mata. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan diri. Yang bisa dia lakukan hanyalah pasrah. Membiarkan dirinya diperlakukan sesuka hati oleh pemuda galak yang sekarang sedang menindihnya.
"Kenapa menangis istriku *******? Apa kamu tidak punya siasat untuk membuat aku kalah lagi sekarang?"
"Uh ... kamu terlihat begitu pasrah. Cih! Najis sekali aku melihat wajah pasrah mu itu." Pemuda itu langsung mendorong tubuh mungil tersebut sehingga jatuh ke bawah.
Tubuh itu terjatuh bersama air mata yang mengalir deras. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya sebuah rintihan kecil yang tidak terdengar oleh orang lain.
Gadis malang yang bernama Nining Utami itu begitu pasrah menerima perlakuan kasar dari pemuda yang bergelar suami beberapa jam yang lalu. Pernikahan yang tidak mereka inginkan itu terjadi karena Nining yang telah menjebak pemuda yang bernama Tora di malam pertunangan mereka.
Tora yang tak lain adalah musuh dari orang yang Nining cintai, melamar Nining hanya untuk menjadikan Nining sebagai alat balas dendam. Tapi sayangnya, karena rasa cinta yang ada dalam hati perempuan malang itu, dia malah rela menggunakan dirinya sebagai pengikat agar musuh sang pujaan hati tidak bisa merusak kebahagiaan orang yang dia cintai lagi.
Terdengar bodoh dan konyol memang, karena hanya demi cinta, dia malah rela mengorbankan diri sendiri. Membiarkan sisa hidupnya berada dalam kehancuran hanya karena ingin melihat orang yang dia cintai bahagia. Bahagianya itu malah bersama perempuan lain.
Itu bukan hanya terdengar konyol dan bodoh. Malahan, terdengar gila dan tidak punya pikiran. Membiarkan diri sendiri menderita, hanya gara-gara ingin melihat pujaan hati bahagia bersama orang lain. Benar-benar gila.
"Tidak perlu menangis perempuan sialan! Karena air matamu itu tidak akan mengubah keadaan. Aku tidak akan kasihan padamu, tapi malah akan merasa kesal dan semakin jijik melihat kamu."
Pemuda itu turun dari ranjang. Lalu berjalan mendekat ke arah Nining yang masih diam dengan pose jatuhnya. Lalu, tangan itu ringan menjambak rambut panjang hitam bergelombang milik Nining. Memaksa tubuh mungil itu bagun dari jatuhnya. Lalu kemudian, tangan itu berpindah mencengkram leher Nining sambil memberikan tatapan tajam menusuk hati.
"Dengar ya, tidak perlu berpikir berlebihan sekarang. Kamu tidak perlu menangis atau memperlihatkan wajah polos buruk mu itu padaku. Karena sampai kapanpun, aku tidak akan pernah mau menyentuh tubuh ******* mu yang menjijikan ini. Kau tidak pantas jadi istriku. Tapi ... pantasnya jadi pembantu."
"Karena kau benar-benar ingin menjadi penghalang dengan menjebak aku, maka aku pastikan, kamu tidak akan pernah bisa bahagia selamanya. Kamu akan merasakan kehidupan yang menyedihkan bersamaku. Sampai nyawamu lepas dari raga ******* mu itu. Paham!"
Tora lalu mendorong tubuh Nining sampai tersungkur kembali. Kemudian, dia beranjak meninggalkan kamar tersebut.
Hening. Tidak ada satu suara pun yang Nining dengar setelah kepergian Tora dari kamar itu. Kamar dari rumah dengan dua lantai yang terletak di pinggiran kota, itu memang tidak ada penghuni selain seorang perempuan paruh baya.
Kata mama Tora, itu adalah rumah yang Tora beli dengan uangnya sendiri. Pertama datang ke rumah ini, dia tidak mengerti mengapa Tora malah membawanya rumah mewah ini. Tapi sekarang, dia sudah mengerti apa alasannya. Alasan yang tak lain hanya untuk melepaskan amarah pada dirinya. Menyiksa dia dengan berbagai kata-kata kasar karena sudah berani menjebak dan menjadi penghalang besar.
Nining menutup matanya rapat-rapat. Berusaha menikmati setiap luka yang dia dapatkan. Luka hati, maupun luka tubuh, semuanya terasa begitu sakit.
Andai saja dia bukan gadis desa yang tidak punya banyak pengetahuan. Mungkin sekarang, dia sudah bahagia bersama orang yang dia cintai. Mampu memperjuangkan cinta pada orang yang dia cintai. Bukan seperti sekarang. Malah mengorbankan diri demi kebahagiaan orang yang dia cintai.
'Tuhan ... aku tahu semua yang terjadi sudah tertulis di lembaran takdir. Aku tidak ingin berburuk sangka pada kekuasaan-Mu. Semoga jalan yang kamu beri padaku sekarang, akan membawa aku pada kehidupan termanis yang sudah Engkau siapkan untukmu di kemudian hati.'
Nining berucap sambil memeluk dadanya. Terasa sedikit kehangatan dalam kesedihan. Dia berusaha memejamkan mata untuk menenangkan diri dari kelelahan lahir dan batin.
Prak! Bunyi pintu dibuka secara paksa membuat Nining yang baru saja memasuki alam bawah sadar terkaget luar biasa. Tapi sayangnya, mata berat itu susah untuk dia buka. Karena dia benar-benar lelah selama beberapa hari ini tidak cukup tidur juga tidak cukup makan.
Buk-buk. Tora menendang kaki Nining dengan kesal.
"Pemalas! Bagun kamu. Aku bawa kamu ke sini bukan untuk tidur-tiduran. Tapi, untuk melayani semua kebutuhanku. Cepat bagun! Bikinkan aku makanan. Aku lapar."
Nining membuka matanya dengan malas.
"Bisakah aku istirahat sebentar saja lagi? Aku sangat lelah." Nining berucap dengan suara lemah.
"Apa? Istirahat? Kamu pikir kamu siapa, Nining? Oh tidak. Aku tidak suka dengan nama itu. Aku tidak suka nama kampungan yang kamu miliki. Mulai dari malam ini, tidak ada yang boleh memanggil kamu Nining. Karena sekarang, aku ubah nama kamu jadi Tami."
"Apa hak mu mengganti namaku? Jika kamu tidak suka. Maka kamu saja yang berubah. Kenapa semua orang?" tanya Nining sambil menatap tajam Tora.
Kata-kata yang Nining ucapkan barusan membuat Tora merasa kesal. Dengan penuh emosi, dia kembali mencengkram leher Nining sampai perempuan malang itu sulit bernapas.
"Jangan banyak membantah, *******. Jika kamu tanya apa hak ku mengubah nama kamu, tentu saja aku punya. Karena kamu itu adalah budak ku. Seorang budak tidak punya kewajiban membantah apa yang majikan katakan. Paham!"
"Aku bukan budak mu, Tora! Kau tidak punya hak untuk mengatur hidupku. Aku bisa datang ke kantor polisi dan melaporkan apa yang kamu lakukan padaku sekarang juga."
"Oh, benarkah? Kamu punya nyali besar ternyata. Kamu ingin melaporkan aku ke kantor polisi? Dengan tuduhan apa? Kekerasan dalam rumah tangga? Atau ... ada tuduhan yang lain lagi yang sedang kamu pikirkan?"
"Ayo *******! Silahkan lakukan. Tapi ... jika kamu mampu melakukannya." Tora berucap sambil tersenyum menyeringai pada Nining yang ada di hadapannya.
"Ayo *******! Silahkan lakukan. Tapi ... jika kamu mampu melakukannya." Tora berucap sambil tersenyum menyeringai pada Nining yang ada di hadapannya.
"Ingat satu hal, perempuan jal*ng. Aku Tora, bukan laki-laki lemah yang kamu cintai itu. Aku tidak akan tinggal diam jika kamu memulai menabuh genderang perang denganku. Jika kamu mulai bertingkah, maka aku duluan yang akan menghentikan tingkah yang kamu buat."
"Ingat baik-baik! Keselamatan ayah dan ibumu ada di tangan kamu. Jika sedikit saja kamu bertingkah, maka akan banyak bahaya yang akan menghampiri orang tuamu yang ada di kampung saat ini."
Mendengar ucapan yang penuh dengan ancaman itu, Nining tidak punya rasa keberanian lagi. Meski hatinya sangat marah, tapi dia merasa tidak mampu untuk melakukan apapun.
"Biadab kamu, Tora! Jangan sesekali kamu berani menyentuh ayah dan ibuku. Jika tidak ...."
"Jika tidak apa, ha? Ingin ancam aku? Coba saja jika punya nyali. Keselamatan orang tua kamu, ada di tanganmu. Ingat itu baik-baik."
Nining tidak bicara lagi. Seketika, diam bak patung bernyawa akibat ancaman itu. Karena sejujurnya, dia tahu bagaimana sifat Tora yang sesungguhnya. Tora Suhendra, pemuda tampan yang tidak pernah main-main dengan apa yang dia ucapkan. Ancaman yang dia berikan seakan tidak ada toleransi sedikitpun lagi. Sekali dia ucapkan, maka akan mustahil untuk di rumah.
"Cepat bangun! Aku ingin kamu buat makanan untuk aku."
Nining tidak punya pilihan lagi. Dia terpaksa memaksakan diri untuk bangun. Walau sebenarnya, sekujur tubuh itu terasa begitu sakit, sangat sulit untuk dia gerakkan.
"Auh .... " Nining merintih kesakitan ketika dia baru saja ingin menginjakkan kaki untuk bangun.
Memar dan lecet akibat benturan keras itu terasa begitu nyilu. Sampai-sampai, dia kembali terduduk karena terlalu sakit.
"Jangan bersandiwara lagi. Sandiwara mu tidak akan berlaku di mataku. Aku tidak akan tertipu," ucap Tora dengan nada jengkel.
"He ... untuk apa aku bersandiwara? Aku tahu kamu tidak punya hati? Jadi .... "
"Diam! Jangan pernah menjawab apa yang aku katakan. Aku sangat benci perempuan yang suka membantah."
"Aku bukan patung yang tidak bisa bicara, Tora. Aku punya hati juga punya lisan. Aku tidak bisa diam saja jika .... "
Tora langsung mencengkram dagu Nining dengan keras. "Sekali lagi aku katakan, jangan bantah apa yang aku ucapkan. Jika kamu tidak ingin lisanmu itu aku potong agar kamu tidak bisa bicara lagi. Asal kamu tahu, kamu itu sebenarnya memang patung di mataku. Boneka tidak berguna yang berani menjerat aku. Jangan bantah aku jika kamu tidak ingin kehilangan semua orang yang kamu sayang. Paham?"
Nining diam. Dia tidak berani lagi berucap. Mungkin, pilihan terbaik di sini memang diam. Jadi patung bernyawa yang tidak bicara.
"Kamu paham tidak, ha?"
"Iya. Aku paham." Nining berucap kecil.
"Bagus. Sekarang, pergi masak karena aku sangat lapar. Ingat! Masak yang enak. Jika tidak, kamu tidak boleh makan sampai lusa."
Nining bangun dengan susah payah. Sekuat tenaga dia paksa kaki itu agar mampu berdiri. Lalu, dia seret kaki itu agar bisa berjalan menuju dapur.
Sambil berjalan, Nining menjatuhkan air matanya. Dia ingin merapi apa yang sedang menimpa dirinya saat ini. Tapi, dia sadar, merapi semua ini tidak akan mengubah keadaan.
"Di mana dapurnya? Ah ... akan sangat menyakitkan jika aku paksakan terus berjalan."
Nining memilih untuk langsung duduk di atas anak tangga terakhir yang dia lalui.
Namun, baru beberapa detik dia duduk di atas tangga tersebut, sebuah sentuhan mengangetkan dirinya. Sontak, tubuh mungil yang lemah itu langsung terperanjat dengan memasang ekspresi takut.
"Bi--bibi. Bibi ... Siah." Nining berucap dengan nada yang masih terdengar ketakutan.
"Nona ... istri Den Tora. Kenapa malah duduk di sini? Apa yang nona lakukan di sini sendirian? Mana den Tora nya?"
"Aku .... "
Belum sempat Nining menjawab. Suara Tora menggelegar dari lantai atas memanggil nama bi Siah. Bi Siah adalah perempuan paruh baya yang selama ini merawat rumah Tora.
"Bibi! Sini sebentar!"
"Den. Iya, baiklah."
Bi Siah berjalan cepat menaiki anak tangga untuk segera bertemu Tora. Bibi itu juga seperti sedikit ketakutan saat berhadapan dengan Tora.
"Ada ... ada apa Den Tora?"
"Aku hanya ingin mengingatkan bibi beberapa hal, supaya ke depannya, bibi tidak salah dalam bertingkah."
"Baik, Den Tora. Bibi akan dengar dan ingatkan baik-baik apa yang aden katakan pada bibi."
"Bibi lihat dia," ucap Tora sambil mengarahkan telunjuknya ke bawah, tempat di mana Nining berada.
"Iya, Den. Bibi lihat. Dia ... bukannya dia istri Den Tora sekarang?"
"Iya, dia memang istriku. Istri di luar saja, tidak di dalam rumah ini. Karena saat di dalam rumah ini, dia adalah asisten pribadi yang akan mengurus semua kebutuhan aku. Ingat! Semuanya."
"Apa ... apa maksud Den Tora? Bibi tidak mengerti Den. Maaf, bisakah Den Tora menjelaskan lebih rinci pada bibi."
"Bi Siah, dengar baik-baik. Dia bukan istriku di sini. Di rumah ini, dia akan jadi pembantu yang akan mengurus semua kebutuhanku. Bibi juga tidak perlu repot-repot mengerjakan semua pekerjaan yang selama ini bibi kerjakan. Karena mulai dari malam ini, semua pekerjaan, dia yang akan mengerjakan."
"Apa? Bagaimana ... bagaimana bisa begitu, Den Tora."
"Apa yang ingin bibi katakan? Kenapa tidak bisa begitu? Di sini, yang mengatur semuanya adalah aku. Semuanya bisa asal aku inginkan. Apa bibi mengerti?"
"Iy--iya, Den. Bibi mengerti. Hanya saja ... jika semua pekerjaan dia yang kerjakan, lalu bibi? Apakah bibi akan dipecat?"
"Tidak. Kenapa aku harus memecat bibi? Bukan bibi sudah bekerja belasan tahun dengan aku, dengan keluargaku? Bibi tenang saja, bibi tidak akan aku pecat."
"Lalu? Apa yang akan bibi lakukan di sini? Bibi sudah tidak punya pekerjaan. Karena semua pekerjaan bibi, sudah ada yang mengerjakan."
"Bibi tenang saja. Bibi punya tugas baru kok sekarang."
"Tugas baru? Apa tugas bibi sekarang, Den Tora?"
"Awasi dia dengan baik. Beri pelajaran jika dia tidak melakukan tugasnya dengan baik. Jika dia berani melawan, atau berani membantah apa yang bibi katakan, pukul saja dia sesuka hati bibi."
"Den .... "
Tora mengangkat tangannya untuk menahan ucapan bi Siah.
"Jangan bantah apa yang aku katakan, Bi. Bibi kenal aku sangat lama, bukan? Aku paling tidak suka di bantah. Lakukan saja apa yang aku katakan dengan baik."
"Oh ya, satu lagi. Jangan panggil dia nona atau panggilan yang bagus lainnya. Panggil dia dengan nama saja. Namanya Tami. Jika dia membantah, lapor padaku. Jika bibi tidak mau memberi pelajaran, maka biar aku yang melakukannya."
"Ba--baik, Den Tora. Bibi akan dengarkan apa yang Den Tora katakan."
"Baguslah. Sekarang, bibi bisa istirahat. Kembalilah ke kamar bibi."
"Oh ya, jika bibi tidak keberatan, antar kan dulu dia ke kamar pembantu yang ada di sebelah bibi. Aku lelah soalnya. Aku juga mau istirahat sekarang."
"Baik, Den Tora."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!