Ana tergesa-gesa mengayuh sepeda butut nya, berharap dirinya tidak terlambat sampai di sekolah. Dirinya tertidur setelah selesai membungkus nasi jualan nya, dan sialnya, dia bahkan tidak sadar saat alarmnya menjerit keras untuk membangun kan nya.
"Huffzz...!!" Ana membuang nafas kasar, bagaimana tidak, gerbang sekolah sudah di tutup, tidak ada harapan untuk nya bisa masuk ke dalam. Mengingat tinggal satu bulan lagi ujian kelulusan, kecemasan Ana berlipat ganda.
Tok tok tok
Ana berusaha untuk bisa masuk, dengan memamerkan wajah menyedihkan nya pada penjaga sekolah. Berharap pria paruh baya itu akan iba melihat wajah memelas nya.
"Neng Ana? kok, tumben telat hari ini?" tanya penjaga sekolah tersebut menatap Ana dengan tatapan heran. Penampilan Ana memang terlihat menyedihkan, rambut nya kusut karena tidak sempat di sisir, seragamnya pun tidak sempat di gosok. Belum lagi wajah lelah, dan keringat yang mengucur dari kepalanya, akibat kelelahan mengayuh sepedanya.
"Ya pak, tumben ya?" balas Ana dengan pertanyaan bodoh. Otaknya buntu, bayangan beasiswa nya akan di cabut di detik-detik mendekati kelulusan. Tentu saja membuat pikiran nya tidak baik-baik saja.
"Kenapa bisa telat neng?" ulang pak Jamal, mereka mengobrol melalui celah kecil di balik pagar tersebut. Sudah seperti orang yang tengah di besuk di sebuah ruang tahanan.
"Bisa buka tidak, pak?" bukannya menjawab, Ana malah melempar kan pertanyaan mengiba.
"Aduh! Gimana ya neng, di setiap sudut sekolah ini semuanya terpasang cctv. Bukannya tidak mau menolong, neng." Ujar pak Jamal tak enak hati. Pasalnya, Ana sering membawa kan nya kue yang dia simpan sampai jam kerjanya habis untuk di bawa pulang. Dan di berikan kepada anak istrinya. Pak Jamal menikah di usia yang cukup matang, hingga di usia nya yang sudah hampir setengah abad. Dirinya baru memiliki anak yang paling besar berusia 12 tahun. Dan dua lainnya yang masing-masing baru berusia 10 dan 7 tahun. Istrinya buruh cuci dan pembantu harian, hidup mereka cukup pas-pasan. Untuk itu lah dia sedikit khawatir jika memasukkan Ana ke dalam gerbang sekolah, selain gadis itu akan di hukum. Pekerjaan nya juga di pertaruhkan.
"Tidak boleh ya, pak?" Ana menyimpulkan sendiri melihat raut keraguan di wajah pria paruh baya tersebut.
"Maaf neng" lirih pak Jamal semakin tak enak hati. Pria itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, karena merasa bersalah pada Ana.
"Tidak apa-apa pak, mungkin hari ini saya memang secara tak sengaja di suruh istirahat saja di rumah." Kekeh Ana mencairkan suasana, dia tau pria paruh baya itu merasa bersalah padanya.
"Aku balik dulu pak. Oh ya, ini ada sedikit rejeki. Gerbangnya buka dikit pak, gak muat lewat celah kecil ini soalnya." Pak Jamal terlihat ragu-ragu, sudah tidak bisa menolong gadis ini, malah di berikan makanan pula. Sungguh dirinya sangat malu.
"Ayo pak! takut nanti malah ada lihat, kan jadi tidak enak." Ujar Ana menenangkan rasa malu pak Jamal untuk menerima pemberian nya. Akhirnya pria paruh baya itu membuka sedikit gerbang, dan Ana bergegas mengulur kan tanganya untuk menyerahkan plastik berisi kue tersebut.
"Makasih neng, bapak jadi tidak enak begini sama neng Ana." Ujarnya meringis malu.
"Tidak apa-apa pak, santai aja. Kalau begitu aku balik dulu pak ya, selamat bekerja, titip salam untuk bu Rahmah." Ujar Ana kembali mengayuh sepeda nya untuk kembali pulang. Bu Rahmah adalah istri pak Jamal, mereka sudah saling mengenal. Meski baru 2 kali bertemu, namun sifat baik hati Ana memudahkan nya di sukai oleh orang lain. Meski ada juga yang menatap nya penuh dengki dan benci.
Di sudut sekolah, seorang remaja tengah duduk di kursi kayu sambil memainkan ponselnya. Pria muda itu tengah menatap potret seorang gadis, yang membuat dirinya uring-uringan sejak pagi tadi.
"Wooiii!!" Rick terjengkit kaget hingga ponselnya terjatuh dengan menyedihkan. Rick menatap sahabatnya dengan tatapan membunuh. Membuat bulu kuduk Reno meremang ngeri.
"Sore bro, eh? sorry maksud nya!" ujar nya cengengesan sambil mengangkat dua jarinya tanda perdamaian.
"Kurang kerjaan, ngapain lo ke sini? Nyari makan? salah alamat! Pergi sana, ganggu aja!" Ketus Rick melampiaskan semua rasa kesalnya pada Reno.
"Wow woww! Lihatlah, sahabat kita yang satu ini, agak-agak nya anda tengah memikirkan problematika yang cukup rumit juga pelik seperti nya." Seloroh Berry menepuk pundak Rick. Namun tatapan tajam Rick membuat mulut bawelnya langsung kicep.
"Kenapa lo? muka kaya lupa di gosok gitu. Mati listrik apa gimana?" tanya Reno tak tau-tau dengan wajah datar Rick.
"Kalau kalian ke sini hanya untuk menambah beban pikiran gue, mending lo lo pada cabut sana!" Usir Rick semakin galak.
"Wah! seperti nya lo benar Berryana. Sahabat kita ini tengah di landa masalah hidup yang cukup serius." Timpal Reno sok tau, membuat Rick ingin sekali menenggelamkan kepala sahabatnya itu ke dalam pot bunga di depan nya.
Tidak ingin meladeni para sahabat jahanam nya, Rick mengalihkan topik pembicaraan mereka.
"Felix mana? tumben misahin diri dari kembar siamnya?" Tanya Rick melirik Berry yang mendengus mendengar ucapan nya.
"Biasa, lagi pedekate sama cewek baru lagi. Anak kelas 2 IPA_IA." Terang Reno santai. Teman mereka yang satu itu, terkenal dengan sifat playboy cap kadal bengkok nya. Selalu mencari buruan gadis-gadis polos di sekolah mereka, belum lagi dari sekolah tetangga.
"Ck! udah mau lulus tidak berubah juga." Decak Rick kesal.
"Biarlah Rick, masa-masa SMA adalah masanya untuk menentukan dan menemukan jati diri. Di usia kita ini, jangan terlalu serius, apalagi dalam menjalankan sebuah hubungan. Jiwa remaja kita masih labil, jadi nikmati saja selagi kita belum memiliki beban tanggung jawab yang besar." Nasihat Reno sok bijak. Rick berdecih mendengar nasihat yang menggelitik telinga nya.
Reno terbahak melihat reaksi sahabat nya tersebut, Rick yang paling anti di dekati oleh para gadis di sekolah mereka. Pria datar itu akan melempar para wanita itu pada sahabat-sahabatnya lalu melarikan diri.
Rick selalu mengaku belum tertarik untuk menjalin hubungan dengan gadis, mengingat jumlah adik-adik nya saja, otak Rick sudah panas dingin.
"Cobalah buat buka hati dan pikiran lo, menjalani hubungan di usia remaja bukan hal buruk. Selagi lo masih punya kontrol diri, semua akan aman terkendali. Kecuali kalau lo mau icip-icip dikit dan si wanita nya oke-oke aja. Itu bonus namanya, berkat tidak boleh di tolak, pamali." Lagi-lagi petuah sang sahabat membuat Rick ingin muntah darah. Sungguh menyesatkan. Sementara Reno dan Berry tertawa puas, melihat wajah sangar Rick yang menatap mereka berdua dengan tatapan jengkel.
"Sans bro!" Ujar Berry tertawa renyah.
Ketiga sahabat itu pergi dari sana menuju kantin, yang bisa Rick pastikan. Para gadis akan berebut hanya untuk mengelap kursi dan meja yang akan dia tempati. Belum lagi mereka akan berebut untuk mengambil kan makanan untuk nya. Memikirkan nya saja, sudah membuat asam lambung Rick naik hingga ke kepala.
Namun perut nya lapar, harusnya dia sarapan bersama gadis pujaan nya. Namun entah kemana gadis itu membawa lari sarapan pagi nya. Batang hidungnya pun tidak nampak di mana-mana sejak pagi. Sungguh Rick kesal bukan main jika mengingat nya. Jika tidak lapar, dirinya ogah untuk menuju area, dimana para gadis bertebaran seperti barang obrolan.
Semenjak dimana dirinya mengantar Ana pulang, Rick begitu penasaran dengan kehidupan gadis itu. Sehingga diam-diam dia mengawasi kegiatan Ana sehari-hari setelah pulang sekolah. Rupanya gadis itu hanya berkutat antara pasar, warung untuk mengambil uang jualan nya. Juga mengeram di rumah nya untuk menyiapkan semua bahan yang dia perlu kan untuk jualan.
Rick merasa iba, entah lah. Dia pun tak memahami arti getaran hatinya. Yang jelas dia selalu ingin dekat dan melihat gadis itu setiap hari nya. Meskipun setiap hari pula, Rick bersikap ketus pada Ana. Namun itu lah sikap aslinya, Rick tidak bisa bermanis-manis meski dirinya tidaklah sedang marah. Kadang untuk memuji seseorang saja, Rick bisa berbicara dengan nada tak biasa. Jelas orang akan salah paham pada nya.
Motor besar Rick terparkir gagah di pelataran rumah mungil Ana, pria itu mengetuk pintu rumah Ana sedikit tidak sabar.
Klek
Ana terkejut bukan main, melihat siapa yang mengetuk pintu rumah nya.
"Rick? kenapa kau ke sini? Ada apa?" Ana memberondong Rick Dengan pertanyaan kaget nya. Rick menyoyor kening gadis menyebalkan di hadapan nya. Sudah berani membuat hari dan hati nya kacau balau, malah di cecar pertanyaan tanpa menyuruh tamunya untuk masuk terlebih dahulu.
"Begini caramu menerima tamu?" Ketus Rick menggeser tubuh mungil Ana dan bergegas masuk. Di rumah itu tidak ada sofa, ruang tamunya pun sangat kecil. Hanya berukuran 2x3 meter. Dan ruang keluarga berukuran sedikit lebih besar, 3x4 meter. Cukup besar untuk ukuran Ana, karena dia seorang diri.
Ana mengelus kening nya "Kenapa suka sekali memaksa" gerutu Ana membuka lebar pintu rumah nya. Dia tidak ingin di kira memasukan pria ke rumah nya dengan maksud lain.
"Aku mendengar mu, Nana!" Tegur Rick yang rupanya masih berdiri di antara pintu penghubung ruang keluarga.
Ana meringis menatap Rick yang terlihat sangat kesal padanya. Pasti gara-gara dirinya tidak turun untuk membawakan sarapan pria itu pikirnya. Selama dua bulan ini, Rick selalu meminta Ana membawakan nya sarapan pagi juga makan siang. Namun hari ini akibat dirinya terlambat, maka bisa di pastikan, pria itu harus ke kantin meski tidak suka keramaian dan menjadi pusat perhatian.
"Aku lapar! siapkan aku makan siang, aku tidak suka menunggu!" lagi-lagi Rick memerintah dengan nada tak enak di dengar. Ana melipat bibir nya kesal, pekerjaan nya masih banyak dan pria ini seenaknya memerintah nya.
"Ya, ya. Makan di dapur saja, ada mejanya. Kau pasti tidak terbiasa makan meleseh di lantai." Ujar Ana melewati tubuh Rick menuju dapur. Rick menatap tubuh mungil, yang sudah memporak porandakan pagi hingga siangnya hari ini.
Sebelum menyusul Ana, Rick berbalik untuk menutup pintu. Masa bodoh jika ada yang menggerebek mereka. Saat memasuki area dapur, Rick melihat begitu banyak barang yang berserakan di lantai. Seperti nya gadis itu habis belanja dari pasar. Rick menghela nafas panjang, mengingat Ana pasti menggunakan sepeda butut nya. Batin Rick mencelos perih. Membawa barang sebanyak itu pasti butuh perjuangan. Sepeda Ana type sepeda jadul, sepeda jengki. Bisa di bayangkan bagaimana caranya gadis itu mengayuh nya dengan susah payah. Dengan palang besi di tengah nya, pasti sangat menyusahkan.
"Kau habis belanja? Kenapa tidak turun ke sekolah tadi?" tanya Rick menatap Ana yang sedang meracik makanan dalam piring untuk nya. Rick melirik dandang kecil itu, sisanya mungkin hanya tinggal setengah centong nasi. Lalu kembali melirik ke arah piring nya. Lagi-lagi hatinya mencelos, Ana menaruh banyak nasi juga lauk, yang dia yakin Pasti sisa jualannya tadi pagi. Yang sengaja gadis itu simpan, untuk makan siang atau bahkan makan malamnya nanti.
"Aku terlambat bangun" ujar Ana jujur.
Rick memicing kan kedua matanya "kenapa?"
"Pesanan kue ku banyak, ada hajatan khitanan. Aku tidur larut malam, subuhnya harus bangun lagi untuk membuat nasi kuning, abis bungkus, aku malah Kembali tertidur sampai jam 7 pagi." Jelas Ana sedetail mungkin, gadis itu meringis sendiri mendengar kalimat yang dia ucapkan.
"Ini, makanlah. Setelah itu kau pulang. Aku tidak ingin ada warga yang salah paham padamu juga padaku. Aku tidak mau mendapatkan masalah" tegas Ana tanpa menoleh ke arah Rick, setelah menaruh piring di atas meja juga segelas besar berisi air putih. Ana Kembali duduk di lantai, untuk memisahkan bahan-bahan yang dia butuhkan.
Rick menatap Ana dari samping dengan tatapan tak terbaca "Kau sudah makan?" tanya Rick datar.
"Sudah. Makanlah cepat." Titah Ana masih acuh. Tangannya Sangat terampil dalam memilih bahan -bahan tersebut.
Rick mendengus mendengar Ana lagi-lagi mengusir nya secara halus. Pria itu meraih piring nya lalu duduk persis di hadapan Ana.
"Ayo makan sama-sama, aku sudah terbiasa makan bersama mu selama dua bulan ini. Akan aneh kalau aku makan seorang diri" kilah Rick beralasan, padahal dia sudah kenyang. Karena tadi makan di kantin cukup banyak, tujuan nya membuat para gadis di sana ilfil padanya. Namun bukannya ilfil, gadis-gadis itu malah meniru porsi kuli nya. Sungguh Rick menyesal bukan main, alhasil, dirinya merasa mual tak karuan.
"Aku kenyang, Rick. Makan saja. Nasiku masih banyak jika aku lapar, aku bisa makan sendiri" tolak Ana halus. Banyak dari mana? itu adalah nasi untuk makan malamnya nanti. Dan sekarang harus dia relakan untuk di berikan untuk pria galak ini.
"Ck! makan saja. Ayo buka mulut mu?" titah Rick tak mau di bantah, dia tau Ana pasti belum makan siang. Entah-entah gadis itu juga sudah sarapan atau belum. Rick jadi berpikir, mungkin saja Ana tidak turun karena tidak bisa membawa kan nya sarapan juga makan siang.
Rick jadi merasa bersalah.
"Aaa.. buka lagi.."Rick terus menyuapi Ana tanpa sadar nasinya sudah hampir habis.
"Katanya masih kenyang" cibir Rick membuat Ana tersedak. Hidungnya perih akibat tersalib sambel goreng. Rick mengarah kan gelas ke mulut Ana sambil mengomel. Dengan telaten mengelap mulut Ana menggunakan sapu tangan nya.
"Kenapa bisa tersedak? aku tidak akan meminta nya! Dasar ceroboh" Ana ingin menangis mendengar ocehan pria itu, tidak tau kah dia Jika Ana tersedak akibat mendengar ucapan nya tadi.
"Habiskan, tinggal satu suap lagi." Titah Rick semena-mena. Kalau tidak sayang makanan terbuang-buang, Ana ingin menyudahi makannya. Sejak tadi tidak satu sendok pun Rick memasukkan ke dalam mulutnya sendiri. Apa pria itu jijik bergantian sendok dengan nya? Dan sejak tadi pula Rick tidak mengijinkan Ana untuk makan sendiri. Ana merasa seperti orang yang tengah sakit parah.
Selesai makan Rick menuju tempat cuci piring, yang hanya menggunakan baskom kecil bunga-bunga di lantai, yang di bentuk persegi lebih tinggi agar air nya dapat mengalir ke luar.
"Biar aku saja. Kau tidak akan mengerti cara mencuci nya dengan wadah yang seperti ini." Ana mengambil piring dari tangan Rick, pria itu terkejut. Sebab dari tadi, dia sibuk menatap tempat cuci piring yang unik tersebut.
"Eh? ya sudah." Rick bergeser dan duduk di kursi kayu di meja makan, menatap intens apa yang Ana lakukan. Gadis itu begitu cekatan.
"Kalau tau dia tidak akan makan karena jijik bekas ku, aku tidak akan menaruh nasi sebanyak itu tadi. Kan lumayan untuk ku makan malam" Gumam Ana melirik miris dandang kecilnya, yang hanya muat satu setengah muk beras untuk di masak.
Rick ikut melirik arah tatapan Ana, Ana bahkan tidak tau jika Rick terus memperhatikan nya seja tadi. Dan tentu saja gumaman nya terdengar jelas oleh telinga tajam Rick. Pria itu tak habis pikir, Ana masih mengiranya jijik, padahal mereka sudah sering bergantian sendok saat makan di sekolah.
"Apa lagi yang akan kau lakukan setelah ini?" Ana kaget melihat Rick yang sudah berdiri di samping nya.
"Ku kira kau sudah keluar" ujar Ana menutupi kegugupannya, entah-entah Pria itu mendengar ucapan nya tadi.
Rick tidak menghiraukan perkataan Ana, "apa lagi yang akan kau lakukan setelah ini?" ulangnya.
"Mau membuat bumbu nasi kuning. Agar nanti subuh tinggal memasak nya saja." Jawab Ana mulai mengupas bawang "juga merebus telur" lanjut nya lagi tanpa menoleh.
Rick Kembali menarik nafas dalam-dalam, padahal dia ingin mengajak gadis itu keluar.
"Mana telur nya? biar aku yang rebus" Ana menoleh cepat, ingin memastikan jika telinga nya tidak salah mendengar.
Rick mencebik melihat reaksi berlebihan Ana "hanya merebus telur aku juga bisa." Ujar Rick tidak terima dengan tatapan meremehkan yang di tunjukkan Ana pada nya.
"Tidak perlu, aku menggunakan tungku kayu. Kau bisa membakar rumah ku nanti." Terang Ana menolak tegas.
Rick melempar pandangan nya ke arah kompor, dimana letak tungku yang di maksud oleh Ana tadi. Ana yang paham arti tatapan bingung Rick, segera menunjuk pintu mengarah ke belakang.
"Itu, di sana." Tunjuk Ana.
Rick segera memeriksanya, benar saja. Sebuah tungku terbuat dari susunan bata merah yang di buat bundar, dengan kolong di bawahnya. Sekarang Rick paham, kenapa dia sering mencium aroma asap dari rambut lembab Ana di sekolah, saat tanpa sengaja gadis itu menoleh membelakangi nya. Rupanya tungku ini yang menjadi penyebab nya. Hingga aroma sampo pun kalah olehnya.
Ana gelisah, melihat Rick yang masih betah di rumah nya. Bukannya apa-apa, ruang gerak Ana jadi terbatas kalau pria itu tidak kunjung pulang.
Rick sesekali menoleh ke arah Ana, dia tau, jika Ana sedang jengkel padanya. Selesai drama merebus telur tadi, Rick berbaring manja di ruang keluarga dengan beralaskan ambal kecil.
"Kerjakan saja pekerjaan mu, jangan melirik ku terus. Aku tampan, aku tau. Tidak usah terlalu nampak kalau kau mengagumi ku." Ujar Rick penuh percaya diri.
"Dasar pria angkuh" gumam Ana dari dapur, namun masih terdengar oleh Rick. Pria itu sengaja tidak menanggapi nya, dan sibuk memotret kegiatan yang Ana lakukan.
Ruang keluarga dan dapur hanya di pisah oleh lemari televisi, jadi posisi Rick berbaring tepat menghadap ke arah dapur dimana Ana berada.
Ana tengah memasak bumbu, aroma khas bumbu merah menyeruak ke seluruh penjuru rumah. Rick sudah terbiasa mencium aroma tersebut, saat mereka makan bersama di sekolah. Rick sangat menyukainya, bahkan ibu nya pun tidak pernah memasak jenis masakan itu seenak buatan Ana. Bukannya sang ibu tidak pandai memasak, namun mereka lebih sering makan masakan bibi art. Ibunya terkadang membantu sesekali saat tidak sedang bekerja. Selebihnya, waktu sang ibu, habis di kuasai oleh ayah mereka yang sedikit over dosis kadar cinta nya.
...****************...
"Rick belum pulang? udah senja loh padahal. Ini gara-gara didi nih, biarin Rick beli apartemen segala." Omel Joi menyalahkan sang suami. Joi tipikal ibu nya, yang selalu ingin anak-anak nya berkumpul bersama. Jika salah satunya terlambat pulang, maka Joi akan uring-uringan memarahi sang suami.
"Ck! Rick sudah besar. Biarkan saja, sebentar lagi anak itu lulus SMA tapi tidak pernah didi lihat dia dekat dengan perempuan. Entah anakmu itu normal apa tidak." Sanggah Jovan membela diri.
Joi mendelik tak suka mendengar kalimat nyeleneh sang suami. "Anak mimi normal ya, enak aja. Gagah begitu kok, pasti banyak cewek genit yang naksir. Putra ku itu hanya belum ingin berpacaran saja, apalagi masih SMA. Dia tidak ingin seperti ibu nya, masih SMA sudah punya anak" Jovan hampir tersedak majalah yang dia baca, ucapan sang istri sungguh menohok hatinya.
"Bisa tidak, bagian yang itu jangan di bahas lagi." Ujar Jovan sengit. Joi terkikik geli melihat reaksi suaminya, Jovan selalu sebal jika membahas masa awal perjalanan cinta mereka.
"Coba didi telpon gih, sekali-kali kalau anak telat pulang itu ya di hubungi. Gengsi tidak bikin kita kenyang, tidak bikin makin muda juga. Ayuk gih, telpon." Titah Joi di selipi kata-kata mutiara yang bikin hati Jovan cenat cenut. Dengan wajah berlipat Jovan menghubungi nomor sang anak, selama ini, tugas menghubungi anak-anaknya jika pulang terlambat ada tugas sang istri. Jovan selain memiliki penyakit cemburu akut, pria itu juga mengidap penyakakit yang tak kalah memprihatinkan, yaitu gengsi stadium akhir.
"Halo?" sahut Rick di seberang dengan suara malas.
"Ck! pulang! jangan kelayapan mulu, nanti tau-tau pulang bawa istri." Kesal Jovan mendumel tak jelas. Joi melotot mendengar kalimat asal suami nya.
"Memang boleh, di?" Jovan melotot sempurna mendengar pertanyaan sang anak.
"Awas aja ya, kalau kau berani macam-macam! Didi akan menggantung mu di pohon toge di kebun eyang(Reegan/Sarah)." Suara tegas Jovan tidak sedikit pun membuat Rick gentar.
"Tadi bilang boleh bawa istri pulang, didi tidak konsisten. Malam ini aku tidur di apartemen, mau belajar, kurang sebulan mau ujian. Kalau di rumah aku bukannya belajar, malah sibuk jadi wasit anak-anak didi yang banyak itu." Oceh Rick lancar tanpa perasaan.
"Dasar anak durhaka!" seru Jovan kesal, inilah kenapa dia paling tidak suka menghubungi anaknya yang satu ini. Selalu membuat urat syaraf nya kejepit di kerongkongan.
Joi yang paham situasi mulai tak kondusif, segera mengambil alih ponsel suaminya.
"Hai, sayang ini mimi jadi jangan mengeluarkan kata-kata mutiara mu dulu." Ujar Joi tanpa jeda, Rick mematung kemudian mengubah intonasi suara nya jadi lebih lembut.
"Halo mi, aku malam ini akan menginap di apartemen. Besok aku akan ke rumah besar untuk menukar motor ku, aku berencana akan tinggal di apartemen selama menunggu ujian kelulusan, jadi aku butuh mobil. Di apartemen, aku bisa belajar tanpa harus melakukan pekerjaan sampingan." Joi paham maksud pekerjaan sampingan yang putranya katakan. Meski tak rela Joi harus mulai terbiasa, anak-anak nya berhak menentukan arah hidup mereka sendiri. Joi hanya perlu memantau nya saja.
"Baiklah sayang, perhati kan makan mu, jangan terlalu sering makan junk food, kau bisa bodoh kalau otakmu terlalu banyak menyerap minyak curah." Nasihat Joi sedikit keluar jalur, namun Rick selalu bisa memaklumi sikap Ibu nya. Siapa yang tidak eror jika punya suami seperti sang ayah.
"Baik mi, di jamin anakmu ini akan menjaga kesehatan dan pola makan yang baik dan benar. Jangan mengkhawatirkan apapun, aku yang justru mencemaskan keadaan mimi. Pasti akan stress berat menghadapi bayi tua itu sendirian, di tambah mengurus anak-anak itik yang suka saling mematuk dan bertindak liar." Ujar Rick sepanjang satu paragraf penuh tanpa memberi celah pada Joi untuk menyela.
"Kau ini, mereka adik-adik mu, suka tidak suka, kau harus menerima dan mengakui nya. Dan pria tua ini adalah suami tercinta ku, jangan terlalu sering membully nya. Mimi akan sangat marah padamu." Jovan hampir saja melontarkan kalimat penyerangan balik, namum mendengar pembelaan sang istri, hatinya langsung melunak seperti pisang kelewat masak.
"Baiklah baiklah, love you mimi sayang. Titip salam untuk adik-adik yang banyak itu, juga untuk pria tua yang katanya suami tercinta mimi. Bye..!" Rick memutuskan panggilan nya tanpa menunggu balasan dari sang ibu, bisa dia pasti kan. Saat ini ayahnya sedang mengeram kesal padanya.
Rick Kembali menatap ke arah pintu toilet yang juga berfungsi sebagai kamar mandi. Ana yang sudah selesai memasak bumbu-bumbuan nya, langsung bergegas mandi. Sebenarnya Rick juga merasa tak nyaman dengan tubuh nya, terasa lengket karena dirinya terus berkeringat. Sebenarnya rumah Ana tidak terlalu panas dan pengap, hanya saja Rick yang ngotot merebus telur, hingga membuat nya terpapar asap juga hawa panas dari api tungku tersebut. Alhasil, kini dirinya tengah memakai baju kaos Ana juga celana training gadis itu.
Krrieettt
Suara pintu terbuka, terlihat Ana keluar dari sana dengan pakaian lengkap. Baju setelan bermotif batik, sebenarnya itu baju mendiang ibu nya. Ana hampir tidak pernah membeli baju baru sejak 2 tahun lalu. Baju yang dia pakai kebanyakan baju-baju sang ibu, Ana tidak pernah malu meski modelnya sudah sangat kuno dan keibuan. Asalkan asap di dapurnya masih bisa mengepul, itu sudah cukup baginya.
"Kau masih belum mau pulang?" tanya Ana jengah.
"Aku mau mandi dulu, gerah. Aku tidak nyaman" ujar Rick terlihat memelas. Ana mendumel dongkol.
"Siapa suruh sok-sokan mau rebus telur, sudah tau pakai tungku kayu, masih ngotot. Salah sendiri!" Omel gadis itu memasuki kamarnya. Lalu keluar dengan sepasang baju ganti yang bersih.
Rick hanya diam mendengarkan omelan ala ibu-ibu yang di lontarkan oleh Ana pada nya.
"Nih, mandilah setelah itu kau harus pulang. Aku mau keluar, ada keperluan." Ketus Ana tak bersahabat. Rick menyambut pakaian tersebut berikut handuk nya tanpa menyahut apa pun.. Seperti nya handuk itu jarang di pakai, dari segi warna yang masih sangat cerah, juga jika di bandingkan dengan yang di pakai Ana di kepala nya. Terlihat sangat jelas.
Rick bergegas masuk ke toilet, dia sudah tidak tahan dengan aroma tubuhnya sendiri. Aroma asap di tambah dengan aroma bumbu yang serasa menempel di setiap inci tubuhnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!