NovelToon NovelToon

Let'S Get Married

BAB 1. Welcome

“ Jia!!!” Panggilan yang begitu keras menyambut kedatangannya. Jia langsung bereaksi melambaikan tangannya begitu mendengar namanya dipanggil. “ Welcome to Bali, ” sambutnya memeluk Jia. Wanita yang memeluknya ini bernama Namira, sahabat Jia sejak bangku SMA. Saat memasuki awal kuliah, keluarga Namira pindah ke Bali, namun ia tetap berada di kota kelahirannya untuk meneruskan pendidikannya. Jadilah Namira harus bolak-balik Bali. Kebetulan saat ini mereka sedang liburan selama seminggu, makanya Jia mengambil kesempatan untuk ke sana.

“ Kamu sudah mempersiapkan apa yang aku minta sebelum ke sini' kan?” tanyanya meminta jawaban yang pasti dari Namira.

“ Kenapa? Kenapa kamu meminta permintaan aneh seperti itu? Apa keluargamu sekarang bangkrut?” Jia langsung membelalakkan matanya karena Namira yang asal bicara. “ Aku hanya bertanya. Kenapa kamu malah memandang tajam padaku.”

“ Keluargaku tidak bangkrut, Namira. Aku sedang kesusahan karena segala akses keuanganku sudah diblokir oleh nyonya Linda yang terhormat.”

“ Diblokir?" Namira menegaskan ucapan Jia. " Tante tidak mungkin melakukan hal itu kalau kamu tidak melakukan sesuatu yang salah. Aku benar' kan?”

“ Aku hanya…" Jia mengatur napasnya agar teratur. " Tidak bilang kalau akan ke sini. Jadi, mama marah dan melarangku pergi, tapi aku tidak mau. Aku sudah membeli tiket dan penginapan. Aku tidak mau rugi.”

“ Dasar kamu ini!” Namira tampak kesal. Sahabatnya ini benar-benar nekat dan tidak berpikir panjang. “ Aku sudah meminta pekerjaan kepada om Rahmat di hotelnya. Kebetulan orang yang selalu membersihkan kamarnya sedang cuti selama tiga hari. Dia itu tamu VVIP dan prioritas. Dia selalu menginap di hotel itu setiap ke Bali."

“ Benarkah.” Jia begitu semringah mendengar berita baik itu. “ Thank You.” Jia mengecup pipi Namira sangkin senangnya ia.

“ Tapi, kamu harus ingat, jadilah wanita normal. Aku tahu betul kamu ini seperti apa. Jangan berbuat yang aneh-aneh, ini mempertaruhkan nama hotel. Orang yang kamu layani ini adalah orang yang sangat penting. Dia tidak suka ada orang asing yang masuk ke dalam kamarnya. Makanya hanya ada satu orang dan orang itu pun di pilih langsung olehnya. Tapi, khusus untuk tiga hari ini, orang itu bisa menerima orang yang ditunjuk oleh om.”

“ Aku mengerti, tidak perlu khawatir.” Jia mencoba mendapatkan kepercayaan sang sahabat.

“ Kamu yang berkata seperti ini malah membuatku semakin waswas.”

“ Tenang saja. Serahkan pada ahlinya,” ujar Jia merangkul pundak sahabat kesayangannya ini.

“ Ok.” Jawaban yang sangat terpaksa keluar dari bibir Namira. “ Datanglah ke hotel besok pagi.” Jia mengangguk-angguk. “ Ini kartunya.” Namira menyerahkan sebuah kartu sebagai akses masuk ke dalam kamar hotel itu.

“ Thank’s sayangku.”

...****************...

Namira pun mengantarkan Jia ke vila tempatnya menginap. Melepaskan penat setelah perjalanan yang cukup melelahkan. Vila yang cukup mewah dengan kolam pribadi di dalamnya. Alasan itulah yang membuatnya rela bertengkar dengan ibunya. Kedatangannya kali ini terbilang sangat ekstrem, berbekal uang tunai seadanya, ia pun memutuskan untuk berlibur selama tiga hari.

Kekesalan ibunya merupakan imbas dari minimnya dana yang ia miliki saat ini. Latar belakang masalah ini karena Jia yang diam-diam memesan tiket di saat ada pertemuan penting dengan keluarga sahabat orang tuanya. Pertengkaran pun tak bisa dielakkan di antara ibu dan anak itu. Jia yang keras kepala tetap ingin pergi dan sang ibu yang memberikan pelajaran dengan menyita segala akses keuangannya, sekalipun itu uang Jia sendiri. Tidak ada yang tidak bisa dilakukan oleh nyonya Linda.

Tapi, bukan Jia namanya kalau tidak punya jalan keluar. Selalu ada jalan pintas menuju Roma. Sebuah pepatah yang sedikit dipelesetkan olehnya. Apa pun itu asalkan halal, walaupun ia harus menjadi seorang pelayan, Jia rela saja.

“ Biarkan hari ini menikmati waktu sebagai ratu, lalu besok kembali ke kehidupan sebenarnya menjadi seorang babu. Hidup memang selucu itu.” Satu seruputan dari segelas kopi menemani sorenya ini. Dari vila tempatnya menginap terpampang luasnya pantai yang begitu indah. Apalagi di temani dengan langit sore yang berwarna merah menambah cantiknya ciptaan Tuhan.

Dering telepon terus berbunyi. Jia segera memeriksa siapa gerangan yang menghubunginya ini. Terpampang jelas dilayar ponselnya sebuah nama yang mau tak mau harus diterimanya juga.

“ Halo, Ma.”

“ Jia!!!!” Jia menjauhkan telepon itu dari telinganya karena teriakan ibunya yang sangat memekakkan telinga. “ Iya, Ma,” sahutnya.

“ Kamu ini benar-benar tidak mau mendengarkan mama lagi dan pergi begitu saja. Apa sekarang kamu sudah menjadi anak durhaka, ha!”

“ Ma, Jia bukan Malin Kundang yang durhaka sama Mama. Jia cuma liburan, Ma, liburan.”

“ Liburan-liburan.” Sang ibu benar-benar murka. “ Baiklah, kali ini mama biarkan kamu. Sekarang katakan, kapan kamu akan pulang, ha!”

“ Jia ada di Bali selama tiga hari. Memangnya kenapa, Ma?”

“ Tidak ada penambahan hari. Pulang setelah tiga hari. Kamu mengerti!”

“ Bukannya kita sedang bertengkar, Ma. Kenapa Mama malah seenaknya saja.”

“ Memangnya kalau sedang bertengkar, kita bukan keluarga lagi atau kamu mau langsung keluar dari Kartu Keluarga.”

“ Ma.”

“ Masih bisa memanggil mama.”

“ Apa papa tahu tentang ini.”

“ Papa sehati dengan mama. Kamu pikir papa akan membelamu, jangan bermimpi Jia.”

“ Wah…” Jia tidak percaya dengan ucapan ibunya barusan. “ Kalau begitu Jia keluar saja dari Kartu Keluarga.”

“ Kalau begitu lakukan, mama tunggu namamu terhapus dari sana.”

“ Ma.” Jia merengek.

“ Pulang dalam tiga hari!” Ibunya pun mematikan ponselnya. Jia tidak mengerti kenapa ibunya begitu keras padanya soal itu. Apa pertemuan itu sangat penting hingga ia harus mendapatkan hukuman langsung dari orang tuanya itu.

“ Arghhh!!!!” Jia mengacak-acak rambutnya. Ia memang sangat kesal karena sudah kalah berargumen dengan ibunya. Padahal ia sudah tahu tidak ada orang yang bisa mengalahkan ibunya itu. “ Ma!!!” teriaknya tak tahan lagi.

...****************...

Keesokan harinya, Jia harus bangun pagi-pagi sekali. Waktu masih menunjukkan pukul 5 pagi. Dengan mata yang masih mengantuk dan nyawa belum terkumpul, ia pun harus turun dari tempat tidurnya yang empuk itu. Kalau bukan karena membutuhkan uang, ia tidak akan melakukan hal ini.

Jia menghidupkan air hangat agar memenuhi bak mandi. Ritual paginya kali ini harus dilakukan di pagi nan dingin ini. Ia membasuh satu persatu bagian tubuhnya. Hangatnya air yang menyentuh kulit tubuhnya membuatnya ingin berlama-lama. Tapi, apa boleh buat, ia tidak boleh terlambat di hari pertamanya bekerja. Bisa-bisa ia langsung di pecat karena melakukan kesalahan.

Sebuah kemeja berwarna coklat dan celana panjang hitam menjadi seragamnya kali ini. Rambut panjang yang sebahu itu ia sanggul serapi mungkin. Riasan di wajahnya pun hanya bermodalkan bedak, lipstik berwarna nude dan sebuah kacamata dengan frame bulat. “ Perfect.” Jia memuji dirinya di kaca yang terpampang di depannya.

“ Oke, semangat Jia.”

Dengan semangat kemerdekaan, ia pun bergegas menuju hotel tempat ia bekerja. Tempat itu tidak begitu jauh dari vila tempat Jia menginap. Hanya perlu waktu setengah jam untuk sampai di sana. Sebuah hotel mewah dan tinggi menjulang ini akan menjadi saksi kehidupannya tiga hari ke depan.

Begitu Jia sampai di dalam, ia menemui resepsionis yang ada di sana. Jia mengatakan maksud kedatangannya ini dan ia pun langsung mengerti karena memang sudah diberitahu sebelumnya. Jia pun langsung dibawa seseorang yang memakai seragam sama dengannya untuk menemaninya ke tempat di mana ia akan bertugas.

Sampailah Jia di depan kamar. Orang yang mengantarkannya itu langsung berpamitan karena harus melakukan pekerjaannya yang lain. Jia pun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepadanya.

Kamar dengan nomor 156. Tidak tahu siapa pemilik kamar ini yang katanya orang yang sangat penting. Jia membayangkan kalau orang itu pastilah orang yang sangat berumur karena orang yang seperti itu pastilah orang yang sangat di hormati.

Memasuki kamar ini membuatnya sedikit tercengang. Kamar yang begitu besar dan mewah, entah berapa banyak uang yang dikeluarkannya untuk kemewahannya ini. Orang ini memang bukan orang yang biasa.

“ Tapi, dia ada dimana. Kenapa kamar ini kosong. Apa dia sedang keluar.” Jia berbicara sendiri karena mendapati kamar ini kosong melompong. “ Sudahlah. Mari mulai bekerja.” Jia mengambil lap yang ada di ember untuk membersihkan kaca dan meja. Sambil bersenandung ia melakukan pekerjaan itu. Jia mengira kalau ia hanya sendiri di tempat ini, tapi sebenarnya ia salah besar. Ia tak sadar kalau ada seseorang tengah menatapnya tajam.

“ Kamu siapa?”

BAB 2. Tamu VVIP

“ Kamu siapa?” Suara pria yang terdengar berat itu mengagetkannya. Jia pun berbalik dan betapa terkejutnya ia melihat seorang pria berdiri tegak menatapnya. Pria bertelanjang dada itu sukses membuat Jia menelan ludah karena penampakan yang terlihat tak biasa itu. Dada yang bidang dengan roti sobek yang menghiasi tubuhnya itu membuat Jia terpana. “ Apa sudah selesai memandangnya,” celetuk pria itu. Jia pun memalingkan wajahnya karena malu.

“ Saya pengganti dari pelayan di sini,” ujar Jia mengalihkan pembicaraan.

“ Oh, jadi kamu orangnya.”

“ I-iya.”

“ Lanjutkan saja pekerjaanmu.”

“ Ba-baik.”

Pria itu pun kembali masuk ke dalam kamarnya. Jia sangat lega karena terbebas dari pertanyaan yang mungkin tidak akan bisa di jawabnya.

“ Argh! Jia!” Jia mengutuk dirinya sendiri. “ Bisa-bisanya malah terpesona. Dia pasti mikir kalau kamu ini wanita mesum. Dasar bodoh.” Jia memukul-mukul pelan dahinya. “ Tapi... tadinya aku pikir dia seorang yang sudah berumur, ternyata masih muda. Dia juga sangat tampan.” Jia terdiam sesaat. “ Ah! Sadarlah Jia!” Lagi-lagi ia teringat dengan momen seksi itu.

...****************...

Dari luar pintu, terdengar suara bel berbunyi. Sang pria menyuruh Jia untuk membukakan pintu karena di sana sudah ada pelayan yang membawa sarapannya.

“ Terima kasih,” ucap Jia begitu mengambil pesanannya itu. Ia pun membawa makanan yang berisi roti panggang, telur mata sapi setengah matang, daging asap dan sosis. Segelas kopi dan beberapa potong buah segar sebagai pelengkap. Jia menahan air ludahnya begitu melihat makanan itu.

“ Nama kamu siapa?” tanyanya sesaat ia duduk di atas sofa berwarna putih itu.

“ Saya, Ji-.” Jia terdiam sejenak. “ Jana.”

“ Jana?” Ia mengucapkan nama Jia sekali lagi untuk memastikan.

“ Iya, Tuan,” ucap Jia tanpa ragu. Ia harus berbohong tentang namanya karena tidak mungkin ia memberikan nama aslinya.

" Kamu masih sekolah atau sedang kuliah?"

" Saya hanya tamat SMA, Tuan."

" Oh begitu. Jadi kamu ini tulang punggung keluarga?"

" Bisa dikatakan begitu, Tuan."

Ia mengangguk-anggukkan kepalanya.

Setiap pertanyaan yang dilontarkannya selalu di jawab asal oleh Jia. Tak ada satu pun jawaban Jia yang benar adanya.

“ Jana, setelah saya selesai sarapan, saya akan keluar. Kamu, setelah membersihkan tempat ini, boleh kembali ke rumah.”

“ Baik, Tuan. Saya mengerti.”

“ Baguslah.”

Sekali lagi, Jia memandang Pria yang menjadi majikannya ini. Pria ini, entah bagaimana mendeskripsikannya. Memiliki tubuh atletis dengan tinggi kira-kira 182 cm. Wajahnya juga tampan. Usianya mungkin berkisar 29 tahun. Dia memang tipe ideal para wanita.

“ Keren,” celetuk Jia. Ia langsung menutup mulutnya begitu menyadari ucapannya itu.

“ Kamu bilang apa tadi?” Entah mengapa pria ini memiliki pendengaran yang sangat tajam. Jia langsung menggelengkan kepalanya. “ Maaf, Tuan. Tidak ada apa-apa.” Jia pun jadi salah tingkah.

“ Oh.” Pria ini melanjutkan sarapannya dan Jia kembali dengan kegiatannya.

“ Erlan.” Seorang pria tiba-tiba menerobos masuk. Jia agak terkejut, tapi dari reaksinya yang tenang saja sepertinya mereka memang sangat dekat. “ Sejak tadi aku menghubungimu, aku pikir kamu sudah pergi.”

“ Memangnya ada apa?”

“ Rapat kali ini sepertinya pak Broto dan sekutunya akan datang. Sepertinya mereka akan melancarkan aksinya untuk menghalangi proyek ini berhasil.”

“ Bukankah itu memang pekerjaan mereka. Kenapa kamu malah panik, Hans. Ini bukan pertama kalinya' kan.”

“ Aku tahu, tapi proyek ini sudah kita kerjakan selama dua tahun. Rasanya kalau mereka tiba-tiba merusak, aku tidak bisa terima.”

“ Tidak ada yang bisa merusak rencana ini. Mereka bisa berbuat apa pun, kenapa kita tidak!” Erlan menatap tajam Hans. Hanya sebuah tatapan saja Hans langsung mengerti apa yang di maksud olehnya.

“ Baiklah. Aku mengerti,” ucapnya tersenyum tipis. “ Oh ya, wanita itu siapa?” Erlan menoleh begitu Hans menanyakan tentang Jia.

“ Dia pengganti pelayan yang membersihkan tempat ini.”

“ Oh. Terlihat dia masih muda.” Erlan mengangguk sebagai jawaban. “ Namanya?”

“ Kenapa kamu penasaran dengannya?”

“ Hanya bertanya, seperti tidak asing melihatnya.”

“ Bukannya kamu selalu bilang begitu setiap melihat seorang wanita.”

Hans mendengus. “ Kali ini aku serius.”

Erlan menolehkan wajahnya ke arah Jia. “ Mungkin hanya perasaanmu saja.”

Hans sekali lagi memandang Jia, memastikan apa ia pernah melihatnya atau tidak. “ Bisa jadi,” ujarnya.

“ Kita berangkat.” Erlan mengambil jas yang di letakkan di atas bahu sofa, lalu memakainya. “ Jana, jangan lupa membersihkan ini semua.”

“ Baik, Tuan,” sahut Jia. Erlan dan Hans pun pergi meninggalkan Jia.

Jia menghembus napas lega karena si empunya ruangan sudah pergi. Ia pun bebas untuk membersihkan tempat ini agar cepat selesai dan bisa menikmati liburannya.

...****************...

“ Aku sudah selesai. Kamu di mana?” tanya Jia menelepon Namira.

“ Aku sudah di jalan,” jawab Namira. “ Apa kamu tidak balik ke vila dulu untuk berganti pakaian?”

“ Aku sudah berganti pakaian.”

“ Kamu bawa pakaian?”

“ Tentu saja.”

“ Kalau begitu tunggu saja di tempat biasa,” usulnya dan Jia menyetujuinya. “ Oh ya, tadi tante menghubungiku. Dia menanyakanmu.”

“ Ha! Mama menghubungi kamu?”

“ Iya. Tante itu khawatir sama kamu karena sudah memblokir akses keuanganmu. Dia takut kalau kamu kesusahan di sini, makanya tante menyuruhku untuk menjagamu.”

“ Gengsi terus si mama. Buat anaknya susah, tapi ketar-ketir juga memikirkan anaknya.”

“ Namanya juga seorang ibu, Ji. Sekalipun dia mengucapkan hal yang menyakitkan, tapi hatinya pasti sakit dan tidak tega.”

“ Dasar nyonya Linda,” gerutu Jia. “ Kalau mama telepon lagi, katakan aku baik-baik saja dan akan menuruti permintaannya yang kemarin.”

“ Ok,” jawab Namira. “ Aku sudah mau sampai. Aku tutup dulu.”

“ Ok.”

Jia yang sudah dari tadi menunggu Namira, akhirnya bertemu juga. Jia pun masuk ke dalam mobil. “ Kita kemana?” tanya Namira.

“ Kemana saja,” jawab Jia. “ Pokoknya tempat yang bikin happy.”

“ Tempat yang bikin happy? Sepertinya tante berhasil membuatmu stres tingkat tinggi.”

“ Bukan hanya itu, hari pertama bekerja, aku malah membuat malu. “

“ Ha? Maksudnya?”

Jia membetulkan posisi duduknya. “ Namira, kamu tahu tidak, orang yang menjadi tamu penting di hotel om Rahmat?”

“ Memang kenapa?”

“ Dia sangat tampan.”

“ Kamu sempat melihatnya?” tanyanya, lalu Jia mengangguk. “ Aku bahkan tidak pernah melihatnya, Ji.”

“ Kamu tidak tahu?”

“ Iya, aku tidak tahu dan tidak kenal orangnya. Yang aku tahu kalau dia pemilik perusahaan yang cukup terkenal. Dia juga masih muda dan sangat terkenal di kalangan wanita. Itu sih yang aku dengar.”

“ Memang benar, dia itu masih muda,” sambung Jia, “ Di luar ekspektasi yang awalnya aku pikir dia itu sudah berumur. Malah aku melihat dia itu seperti aktor atau model.”

“ Berarti tidak salah rumor yang kudengar itu.”

“ Tapi, aku jadi malu karena aku malah terbodoh menatap tubuhnya. Itu salah dia' kan. Kenapa harus bertelanjang dada, aku jadinya salah fokus.”

“ Itu sih alasanmu saja, padahal kamu menikmatinya juga.”

Jia menghela napas panjang. " Dia pasti pikir aku ini wanita mesum. Waktuku masih ada dua hari lagi. Aku harus bagaimana.”

“ Biasa juga kamu bodoh amat sama yang begitu, kenapa sekarang jadi mikir keras. Dia juga tidak tahu siapa kamu sebenarnya' kan.”

“ Memangnya dia tidak tanya siapa dan bagaimana orang yang akan membersihkan kamarnya karena kamu bilang dia tidak suka orang lain masuk ke dalam kamarnya' kan."

" Sepertinya tidak karena dia juga tidak minta berkas atau menanyakan apa pun. Dia sangat percaya dengan om Rahmat."

" Syukurlah, tapi-"

“ Sudahlah.” Namira memotong. “ Sekarang nikmati saja liburanmu. Bukankah itu memang tujuanmu datang ke sini.”

“ Benar juga. Entah kapan lagi aku bisa ke sini.”

“ Itu baru benar.”

“ Mari kita bersenang-senang,” teriak Jia memacu semangatnya.

BAB 3. Pertemuan Yang Tak Terduga

“ Rencanamu menyerahkan dokumen itu saat pertemuan penting kali ini benar-benar membuat pak Broto tidak berkutik,” puji Hans habis-habisan. Ia benar-benar salut dengan pemikiran sahabatnya ini.

“ Aku sudah bilang’ kan kalau proyek ini tidak akan lepas dari tangan kita. Walaupun dia senior, tapi bukan berarti dia bisa menggertak seenaknya.”

Erlan bukan tanpa alasan berada di Bali. Proyek prestise yang sudah di rencanakan lama itu malah membuat pesaingnya kepanasan. Siapa lagi kalau bukan pak Broto. Orang yang selama ini ingin menjatuhkannya. Ia adalah pesaing Erlan dalam dunia bisnis. Ia cukup di kenal banyak orang, namun naiknya Erlan membuatnya ketar-ketir.

Segala macam cara akan di lakukannya demi membuat reputasi Erlan rusak. Ada kalanya ia akan berhasil, namun bukan Erlan kalau ia tidak bisa memulihkannya kembali.

“ Kita harus rayakan kesuksesan ini,” ucap Hans yang di setujui Erlan. “ Kita ke tempat biasa, bagaimana?”

“ Ok,” angguknya.

Sebuah bar menjadi tujuan Erlan dan Hans. Bukan untuk bermabuk-mabukan, hanya sekedar berbincang dan bertemu dengan temannya yang merupakan pemilik bar tersebut.

“ Sudah lama kalian tidak ke sini. Terakhir kali sekitar enam bulan yang lalu,” ujar Jeremy, teman sekaligus pemilik bar. “ Apa proyek kalian berjalan lancar di sini?”

“ Ada sedikit masalah, tapi sudah bisa di selesaikan,” jawab Erlan lalu meneguk segelas air yang di berikan oleh Jeremy. “ Aku dengar kamu akan segera menikah. Apa itu benar?”

Jeremy tersenyum kecil. “ Padahal aku belum memberitahu kalian, tapi kamu malah tahu informasi itu lebih dahulu. Aku terlalu memandang rendah informan yang kamu punya, Lan.”

Erlan menyunggingkan senyuman. “ Calon istrimu yang memberitahuku. Bukankah informanku sudah jelas. Kamu yang malah diam, tidak mengabari apa-apa.”

“ Indah yang memberitahumu?” Erlan mengangguk. “ Erlan, aku berterima kasih padamu karena memberitahuku hal ini. Aku masih memikirkan apakah Indah benar mau menikah denganku apa tidak. Sekarang aku semakin percaya diri.”

“ Apa maksudmu?” tanya Hans cepat. “ Kalian mau menikah, tapi kenapa kamu malah ragu dengan calon istrimu.”

“ Itu karena mantannya Indah. Ia semakin hari mendekatinya. Aku yang tidak percaya diri ini, takut menyakitinya karena aku tahu Indah dengan mantannya itu sudah lama berhubungan. Aku pikir demi kebahagiaan Indah- .”

“ Kamu ingin meninggalkannya,” potong Erlan. Jeremy terdiam. “ Apa yang kamu putuskan belum tentu yang terbaik buat Indah. Asal kamu tahu, Indah dengan semangat menceritakan rencana pernikahan kalian. Aku mengenal kalian berdua. Indah tulus bersama denganmu dan kamu mencintai Indah' kan.”

“ Aku beruntung karena kedatangan kalian. Jika saja aku memutuskan pemikiranku ini, aku pasti akan menyesal seumur hidup,” ujar Jeremy lirih.

“ Jer.” Hans menepuk pundaknya. “ Indah sudah memutuskan menikah denganmu dan kamu jangan lagi ragu padanya.”

Jeremy mengangguk. “ Aku mengerti.”

Jeremy yang sudah memantapkan hatinya, segera menghubungi kekasih hatinya itu. Ia pun meninggalkan Erlan dan Hans. Kedua orang itu pun mengerti posisi Jeremy dan memakluminya.

“ Erlan, apa kamu tidak mau menemui wanita yang ada di ujung sana,” tanya Hans menunjuk seorang wanita yang sedang menikmati minumannya.

“ Aku tidak tertarik,” jawabnya lugas. “ Kalau kamu tertarik. Silakan saja.”

“ Aku jadi bingung. Kamu ini masih lurus apa sudah bengkok.”

Erlan berdecak. “ Kamu mau jadi pasanganku.”

“ Berarti kamu masih lurus.” Hans kembali menikmati minumannya. “ Aku mengenalmu sejak kecil. Saat kedua orang tuaku meninggal karena kecelakaan, ayah dan ibumu membawaku ke rumahmu. Aku menjadi saksi setiap pertumbuhanmu. Tidak pernah sedikit pun aku melihatmu bersama dengan seorang wanita, maksudku, kamu tidak pernah tertarik dengan wanita yang selalu mendekatimu. Apa tidak ada satu wanita pun yang bisa membuatmu tertarik?”

“ Memang kenapa?”

“ Biar aku bisa mencarikan seorang wanita yang sesuai dengan keinginanmu.”

Erlan terkekeh. Hans kebingungan. “ Mama dan sekarang kamu, Hans. Kalian sama saja dengan pertanyaan yang sama. Aku akan menikah dengan seorang wanita bukan pria. Ada seorang wanita yang membuatku tertarik. Apa kamu puas dengan jawabanku?”

Hans menyandarkan bahunya di punggung kursi. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya dan memberikan jempol tanda kepuasannya atas jawaban Erlan, sedangkan Erlan menggelengkan kepalanya karena tingkah Hans.

...****************...

Jia dan Namira tiba di tempat yang sama dengan Erlan dan Hans. Namira sebelumnya pernah datang ke tempat ini bersama dengan teman-temannya. Ia memesankan dua gelas minuman koktail non alkohol untuknya dan juga Jia.

“ Tempat ini lumayan juga,” puji Jia.

“ Iyalah. Tempat ini lumayan terkenal di sini,” ujarnya. “ Ji, coba lihat di sana.” Jia menoleh ke arah yang di tunjuk Namira.

“ Ada apa?” Jia malah celingak celinguk karena tidak mengerti dengan maksud Namira.

“ Itu, pria yang ada di sana. Pria yang pakai jas hitam.”

“ Ha! Pria?” Jia menelisik pria yang di maksud. Begitu mengenali pria yang Namira tunjuk. Jia langsung menutupi wajahnya dengan tangannya.

“ Kenapa, Ji?”

“ Itu...”

“ Itu kenapa?”

“ Pria yang kamu tunjuk itu, tamu VVIP di hotel om kamu.”

“ Ha? Serius?” Jia hanya mengangguk. “ Wah... Jia, pantas saja kamu cuci mata, ternyata orangnya begitu.”

“ Ssst...” Jia menyuruh Namira untuk mengecilkan suaranya. “ Dia tidak akan mengenaliku' kan?”

“ Sepertinya tidak. Makanya, kamu biasa saja, kalau kamu terus menutupi wajahmu, malah mengundang kecurigaan.”

“ Benar juga.”

“ Ya iyalah.”

Jia beranjak dari tempat duduknya hendak pergi. “ Mau kemana?” tanya Namira heran. Jia yang sibuk mengubek tasnya belum sempat menjawab pertanyaannya itu.

“ Mau ke toilet,” jawabnya sambil memakai kacamata hitam yang susah payah di dapatnya. “ Jangan kemana-mana.”

“ Ok,” jawabnya. Namira geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya itu.

Di dalam toilet Jia sibuk mendandani dirinya agar tidak di kenali oleh Erlan. Ia tidak mau ketahuan olehnya. “ Sudah ok.” Jia mencoba meyakini dirinya kalau penyamarannya sudah baik. “ Semangat Jia.” Ia pun perlahan keluar dari toilet. Awalnya masih aman saja, namun Jia sontak kaget begitu melihat Erlan tengah berdiri menyandar di tembok tak jauh dari toilet.

Jia berusaha tenang sambil melewati Erlan.

“ Apa aku seperti orang tak di kenali,” celetuk Erlan. Tak di sangka Jia malah menghentikan langkahnya. “ Ternyata aku benar. Melihatmu tiba-tiba ada di tempat ini membuatku penasaran apa aku salah orang atau tidak. Walaupun kamu menutupi wajahmu atau memakai kacamata hitam, tapi melihat reaksimu saat ini, rasanya aku benar 100 persen."

Jia menghela napas, lalu berbalik. Tak perlu lagi menyangkal, dia sudah ketahuan. “ Memangnya seorang pelayan tidak boleh ada di tempat seperti ini?

" Tidak ada yang melarang."

" Lalu apa salahnya?"

" Karena aku tidak suka orang yang berbohong." Erlan menatap tajam Jia " Apa benar kamu ini hanya tamat SMA? Tulang punggung keluarga atau jangan-jangan soal nama saja kamu juga berbohong."

Jia terdiam.

" Aku baru tahu kalau pihak yang aku percaya akan berbuat seperti ini."

" Apa yang akan kamu lakukan?” Jia agak ketar ketir dengan perkataan Erlan.

“ Tergantung.”

“ Maksudnya?”

“ Tergantung bagaimana dengan sikapmu.”

“ Aku bekerja dengan baik. Aku juga mengikuti semua yang kamu perintahkan. Lagi pula aku tidak melakukan kesalahan.”

“ Tidak melakukan kesalahan? Sepertinya pihak hotel memang membantumu, bukan begitu?”

“ Jangan membawa nama hotel.” Jia agak kesal. “ Aku yang salah, tapi tolong jangan ganggu hotel itu. Aku akan melakukan apa pun.”

“ Apa pun?” Jia mengangguk tanpa ragu. “ Berarti dengan kata lain kamu mengakui kebohonganmu. Semua yang kamu katakan bohong, benar' kan."

" Aku tidak berniat berbohong."

" Baiklah, siapa namamu? Jana...”

“ Anggap saja begitu.”

“ Kamu tak ingin menyebut nama aslimu?” Jia hanya diam tak menggubris pertanyaan Erlan. “ Baiklah. Soal nama hanya perkara kecil. Besok, jangan terlambat kalau tidak-.”

“ Ok,” sahut Jia memotong.

Erlan tersenyum sinis. “ Ini hanya permulaan,” ucapnya sambil lalu. Jia masih berdiri mematung melihat kepergian Erlan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!