NovelToon NovelToon

Cinta Sang Pemuda Desa

Bab 1

Seorang gadis yang cantik, tubuhnya yang langsing dengan rambut terurai indah baru saja menuruni anak tangga pesawat yang baru saja mendarat.

Dia membuka kaca mata yang dikenakannya. Menatap langit lalu bersorak.

“Welcome, Ranah minang!” teriak Diska saat baru saja turun dari pesawat.

Hari ini Diska menginjakkan kakinya di tanah Minang, bagi orang Minang semua kawasan yang mencakup Sumatera Barat adalah Ranah Minang.

Diska seorang sarjana Fakultas Kedokteran di Universitas ternama di kota asalnya yaitu Bandung.

Saat ini Diska harus mengabdikan diri di salah satu daerah terpencil di propinsi Sumatera Barat.

Diska dan teman-temannya yang mengikuti program pengabdian dokter di daerah terpencil.

Mereka semua datang dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka tengah mengikuti program pengabdian daerah Terdepan Terpencil dan Tertinggal (3T), program ini sengaja diadakan oleh pemerintah yang bekerja sama dengan Universitas ternama di seluruh Indonesia.

Setiap Universitas akan mengirimkan dokter terbaik mereka untuk mengabdi di beberapa daerah terpencil yang terdapat di Indonesia. Diska mendapatkan tugas pengabdian di propinsi Sumatera Barat.

Mulai hari ini, Diska harus membiasakan diri beradaptasi dengan masyarakat Minang si pecinta makanan pedas.

“Kalian sudah siap?” tanya seorang mentor dari dinas kesehatan.

“Siap, Pak,” jawab para dokter muda.

“Baiklah kalau begitu, kita langsung lanjutkan bimbingan dan arahan di gedung serba guna,” ujar sang mentor.

“Baik, Pak!” seru para dokter muda serentak dengan penuh semangat.

Beberapa dokter muda yang siap mengabdi di daerah terpencil, kini tengah berada di Bandara Internasional Minangkabau (BIM).

Semua dokter muda kini telah berada di sebuah gedung yang terdapat di bandara begitu juga beberapa orang utusan desa yang akan menjemput para dokter muda.

“Baiklah, para dokter muda yang kami hormati. Hari ini kita telah sampai di daerah tempat kita akan mengabdikan diri, para utusan dari daerah-daerah terpencil di Sumatera Barat ini telah siap membawa kalian menuju desa mereka,” salah satu mentor memulai membuka acara.

Sang mentor memberikan arahan kepada para dokter muda mengenai peraturan yang harus mereka patuhi selama berada di daerah tempat mereka mengabdi.

Setelah acara usai, para utusan desa mencari dokter muda yang bertugas di daerah mereka masing-masing. Mentor telah membagi lokasi tugas pada setiap dokter muda, Rama sebagai utusan desanya menghampiri dokter muda cantik yang akan bertugas di desa Tanjung.

“Hai, kenalkan aku Rama,” sapa seorang pemuda yang datang menghampiri Diska sambil mengulurkan tangannya.

Diska menatap sinis pria tampan yang kini berada di hadapannya, di antara para utusan daerah pria ini adalah pria termuda yang datang menjemput dokter muda yang akan mengabdi di desanya masing-masing.

Wajah tampan sang pria sirna di mata Diska karena pakaian sederhana yang dikenakannya. Baju kaos nan lusuh dan celana jeans yang warnanya tampak memudar karena telah sering digunakan.

“Aku, utusan dari desa Tanjung tempat kamu bertugas nanti,” ujar pria yang bernama Rama.

Rama tersenyum ramah pada Diska.

Diska masih menatap sinis dan tidak suka pada si pemuda meskipun sang pemuda sudah melebarkan senyuman yang menawan miliknya.

“Aku Diska,” ujar Diska cuek tak menghiraukan uluran tangan Rama yang menggantung di udara.

Rama masih tersenyum manis, dia tak menyangka tugas yang diberikan kepala desa membuatnya berjumpa dengan seorang bidadari nan cantik. Walaupun sang bidadari tampak cuek pada dirinya.

“Yuk, berangkat!” ajak Rama.

Diska mengangguk pelan sambil mengambil barang-barang yang dibawanya.

“Sini, aku bantuin.” Rama menawarkan diri untuk membawa barang-barang milik Diska.

Diska ragu sambil menatap sinis ke arah Rama, akhirnya dia membiarkan Rama membantunya membawa beberapa barang bawaannya setelah Rama membujuknya, mereka keluar dari kawasan bandara. Rama menunggu sebuah taksi untuk mengantarkannya menuju loket bis yang akan membawa mereka ke desa Tanjung. Tak berapa lama sebuah taksi menghampiri mereka.

“Mau ke mana, Bang?” tanya sang sopir taksi.

“Ke loket bis Bintang Pasaman,” jawab Rama.

“Mari saya antar!” tawar sang sopir taksi.

Rama mengangguk, sopir taksi keluar dari mobilnya, dia membantu Rama memasukkan barang bawaan Diska ke dalam bagasi mobilnya.

Rama dan Diska masuk ke dalam taksi, Rama memilih duduk di belakang sopir mengikuti Diska.

“Kamu ngapain duduk di sini?” tanya Diska sinis, dia merasa enggan duduk di samping Rama.

Rama tersenyum menerima tatapan tajam dari gadis kota itu.

“Trus, aku duduk di mana?” tanya Rama balik, ada rasa kesal dengan mode penolakan yang ditunjukkan oleh Diska.

Dia masih tetap memperlihatkan sopan santun dan keramahannya pada Diska.

“Tuh, di depan masih kosong,” jawab Diska cuek sambil menunjuk ke ban.

Mau tak mau Rama memilih untuk mengalah, dia berpindah ke bangku depan di samping sopir taksi. Setelah memastikan Rama dan Diska duduk dengan nyaman, si sopir taksi melajukan mobilnya menuju loket bis.

Para sopir taksi sudah sangat hafal dengan beberapa loket yang ada di daerah kota Padang, karena telah terbiasa mengantarkan para penumpang ke berbagai tujuan.

Setelah 30 menit, mobil taksi pun berhenti di sebuah loket bis, di depan loket tertulis PO. Bintang Pasaman.

“Sudah sampai, Bang,” ujar sang sopir taksi memberitahukan bahwa mereka sudah sampai di tempat tujuan.

“Oh iya.” Rama turun dari mobil yang diikuti oleh Diska.

Sopir taksi mengeluarkan barang-barang yang ada di mobilnya, lalu meletakkan barang-barang Diska tepat di bangku tunggu yang terdapat di loket tersebut.

“Makasih, Pak,” ucap Rama sambil menyodorkan selembar uang seratus ribu pembayar ongkos mereka.

Sopir taksi mengambil uang tersebut, lalu dia pun pergi meninggalkan Rama dan Diska.

Diska masih diam, sedari tadi dia tak mengeluarkan kata-kata sama sekali. Dia merasa malas harus berbicara dengan pria asing yang kini duduk di sampingnya tepat di depan loket.

Rama melirik jam di tangannya yang hampir menunjukkan pukul 1 siang, dia menoleh pada gadis cantik yang sedari tadi tak ingin mengeluarkan suara emasnya dan bersikap dingin padanya.

“Diska, sudah waktunya makan siang ... kita cari makanan dulu yuk!” ajak Rama pada Diska.

Cacing-cacing nakal di perut Rama sudah tak sabar lagi untuk diberi makan. Bukannya memberi jawaban, Diska menatap aneh pada Rama, yang dilihat justru tersenyum lucu.

“Kenapa kamu liatin aku seperti itu?” tanya Rama heran melihat ekspresi Diska.

“Kamu nggak takut ketinggalan bis?” tanya Diska khawatir ketinggalan bis.

“Hehe,” Rama terkekeh mendengar pertanyan Diska.

“Mobil ke desa adanya nanti jam 4 sore,” ujar Rama masih dengan kekehan di bibirnya.

“Apa? Jam empat sore? Trus apa yang akan kita lakukan disini?” tanya Diska terlihat kesal.

“Makanya kita makan dulu yuk! Sekalian shalat,” ajak Rama santai.

Diska tampak berfikir, dia masih enggan untuk menerima tawaran Rama.

“Ya sudah, kalau nggak mau ikut. Aku pergi makan sendiri aja,” Rama melangkah meninggalkan Diska.

Diska menatapi Rama yang semakin menjauh darinya.

“Hei, tunggu!” teriak Diska mulai mengejar Rama.

Mereka melangkah ke sebuah rumah makan yang tak jauh dari loket bis.

“Kita mau makan disini?” tanya Diska memastikan, melihat kondisi rumah makan yang kebersihannya tak terjaga dan kotor, di etalasenya tertulis ‘serba 10.000’, seketika nafsu makan Diska mendadak hilang.

Dia hanya terpaku berdiri di depan rumah makan tersebut sambil memandang jijik ke sekeliling rumah makan. Rama mengernyitkan dahinya, dia bingung melihat sikap Diska.

“Kenapa? Apakah ada masalah?” tanya Rama sopan.

“Kamu serius ngajakin aku makan disini?” Diska menjawab pertanyaan Rama dengan sebuah pertanyaan juga.

Rama memperhatikan wajah cantik Diska yang menatap jijik ke arah tempat makan itu. Dia menyadari, bahwa Diska tak mau makan di rumah makan tersebut. Dia menghela nafasnya.

“Kamu mau makan di mana?” tanya Rama pada Diska.

Diska hanya mengangkat bahunya, yang pasti dia tak ingin makan di rumah makan serba 10.000, tempat yang di tunjuk Rama tadi.

Tak berapa jauh dari tempat mereka berada, Rama melihat sebuah papan rumah makan ‘Sederhana’, dia tersenyum.

“Ya udah, kita makan di sana yuk!” ajak Rama sambil menarik tangan Diska.

Diska tersentak saat tangan kekar itu menggenggam erat tangannya. Ingin rasanya Diska menarik tangannya namun eratnya genggaman Rama membuat Diska tak berkutik. Diska terus mengikuti langkah Rama hingga kini mereka berada di depan sebuah rumah makan Padang yang terjamin masakannya sangat lezat, karena Rama tahu betul kualitas rumah makan Sederhana ini.

“Disini, makanannya enak lho,” ujar Rama.

Rama telah berkali-kali makan di rumah makan sederhana saat berbagai acara desa yang di ikutinya, yang mengharuskannya dia pulang balik kota padang dan desa Tanjung.

“Emangnya kamu pernah makan di sini?” tanya Diska tak percaya.

Rama merupakan ketua pemuda yang ada di desa Tanjung, kepala desa selalu mempercayakan dirinya untuk menghadiri berbagai acara desa yang diadakan oleh pemerintah, bahkan kepala desa sangat senang Rama selalu aktif dengan kegiatan desa.

Oleh sebab itu Rama diutus kepala desa untuk menjemput dokter muda yang akan mengabdi di desanya.

Bersambung...

Bab 2

Tak menunggu lama, Rama langsung membawa Diska masuk ke dalam rumah makan ‘Sederhana’. Tanpa perlawanan kali ini Diska mengikuti Rama, mereka duduk di meja paling pojok. Rumah makan ini terlihat sangat bersih dan lebih berkelas dari pada rumah makan serba 10.000 yang tadi mereka kunjungi.

Tak berapa lama mereka duduk, dua orang pelayan membawakan beberapa lauk pauk serta dua porsi nasi di dalam dua piring dan menghidangnya di atas meja.

Setelah mereka selesai menghidang mereka meninggalkan pelanggannya menikmati makanan yang mereka sukai.

Begitulah pelayanan rumah makan padang yang menyebar dimana saja, Diska sudah mengetahui pelayanan ini semenjak dia kuliah.

“Yuk, silahkan dimakan!” Rama mempersilahkan Diska dengan sopan.

Sebenarnya, Rama merasa canggung mengajak Diska untuk mengobrol, karena dia terlihat sangat pendiam dan Rama juga dapat merasakan bahwa Diska tak menyukai dirinya.

Diska tak menggubris ucapan Rama, dia langsung mengambil makanan yang disukainya, lalu dia melahap makanan yang sudah ada di dalam piringnya.

Rama menatap lucu ke arah Diska yang tengah melahap makanannya tanpa memperdulikan pria tampan yang menatap kagum padanya.

Saat makanan Diska tinggal sedikit lagi, Diska menyadari tatapan dari Rama.

“Ngapain kamu liatin aku?” tanya Diska ketus.

Rama menggeleng sambil tersenyum, “Kamu lucu ya,” ujar Rama berhasil membuat Diska menghentikan kegiatan makannya.

Dia memutar bola matanya, jengah.

“Maksud kamu?” Diska menautkan kedua alisnya bingung tak terima di katakan lucu.

“Hehe, kamu itu lucu makannya. Tadi kayak orang gak yang berselera sama sekali. Ternyata kamu kelaparan juga ya ... hahaha.” Rama tertawa lepas.

Diska menghentikan makannya, bukan karena dia marah pada Rama, tapi dia benar-benar sudah kenyang.

“Kok udahan, sih?” tanya Rama heran.

“Udah kenyang!” ketus Diska.

Rama kembali tersenyum, lalu dia pun melanjutkan aksi makannya. Sekarang gantian Diska yang menatap Rama makan, Rama memakan makanannya dengan sopan dan estetika yang tepat.

Terlihat dia menikmati makanan yang ada di hadapannya.

Diam-diam Diska mulai kagum dengan Rama yang berpenampilan seadanya tapi dia memilki etika di setiap tindakannya.

“Kenapa liatin aku? Nanti naksir lho!” Rama menggoda Diska dengan penuh percaya diri.

“Ish, siapa juga yang mau sama kamu?” cicit Diska pelan, yang masih jelas didengar oleh Rama.

Hanya senyuman yang terukir di wajah tampan Rama. Dia kembali fokus dengan makanan yang ada di dalam piringnya. Tak berapa lama, Rama membasuh tangannya, lalu menenggak segelas air putih.

“Kak, billnya!” seru Rama sambil mengangkat tangannya memanggil seorang pelayan.

Pelayan itu bergegas ke kasir untuk mengambil bill tagihan makan Rama dan Diska, lalu menghampiri mereka.

“Ini, Bang,” ujar si pelayan menyodorkan selembar kertas.

Rama melirik tagihannya lalu dia mengeluarkan uang dari dompetnya, Rama memberikan selembar uang seratus ribu pada si pelayan.

“Tunggu sebentar ya, Bang. Saya ambil kembaliannya dulu,” Ujar pelayan pada Rama yang di jawab anggukkan ramah dari pria tampan yang berpenampilan sederhana itu.

“Habis ini kamu mau ke mana?” tanya Rama pada Diska karena saat ini jam masih menunjukkan pukul setengah dua, itu artinya mereka masih punya waktu sekitar 2 jam lagi.

Diska hanya mengangkat bahunya tidak tahu mau kemana, karena dia sendiri tidak tahu tentang kota Padang. Rama berfikir sejenak, dia sendiri juga gak tahu mau ke mana, tapi seingatnya dia pernah ke pantai Pasir Jambak yang dekat dari posisi mereka saat ini.

“Ya udah, gimana kalau kita pergi shalat dulu, setelah itu main ke ke pantai?” Rama memberi tawaran.

“Terserah,” sahut Diska yang sebenarnya dia setuju dengan ajakan Rama.

Mereka pun keluar dari rumah makan, lalu Rama membawa Diska ke sebuah mesjid yang tidak jauh dari tempat mereka berada.

Usai shalat dzuhur mereka kembali melangkahkan kaki menelusuri jalan gang yang tidak jauh dari rumah makan tersebut.

Rama ingat pernah diajak temannya ke pantai Pasir Jambak dengan berjalan kaki.

“Masih jauh ya?” tanya Diska karena dia sudah merasa lelah berjalan.

“Nggak kok,” jawab Rama santai.

Tak berapa lama mereka pun sampai di sebuah pantai yang sepi, pantai yang tak terjamah oleh keramaian masyarakat.

Pantai yang berpasir putih nan indah ini terlihat tidak terawat, karena pemerintah kota Padang tidak begitu tertarik untuk menjadikan lokasi pantai ini sebagai tempat wisata.

“Wow! Indah banget!” seru Diska kagum melihat keindahan pemandangan alam yang di ciptakan sang penguasa.

“Pantai ini sangat indah tapi sayangnya tak terawat,” ujar Rama memberikan pendapat.

Diska melirik ke arah Rama, di dalam benaknya, Rama merupakan seseorang yang memiliki banyak pengalaman hidup.

Diska hanya diam, dia terus melangkah menuju sebuah rebahan pohon kelapa yang tumbang. Diska mulai mengeluarkan ponselnya. Dia mengabadikan semua pemandangan yang dirasakannya perlu.

“Butuh bantuan buat selfie?” tanya Rama menawarkan diri, karena dilihatnya Diska belum memotret dirinya sendiri.

Diska hanya diam dengan lirikan yang tak dapat diartikan, sedari tadi hanya Rama yang banyak berbicara. Diska akan menjawab pertanyaan Rama apabila dirasa perlu.

Merasa dicuekkin oleh wanita yang baru saja di kenalnya, Rama memutuskan untuk duduk di rebahan pohon kelapa tadi. Dia menunggu keseruan Diska yang sibuk dengan ponselnya.

Drrrttt...drrrttt...drrrttt...

Ponsel Rama berdering, Rama mengambil sebuah ponsel butut dari saku celananya, ponsel keluaran no**a tipe 1100.

Walau ponselnya tergolong jadul tapi buat Rama ponselnya ini sangatlah berarti.

“Halo!” ucap Rama saat panggilannya sudah tersambung.

“Kamu udah di mana, Rama?” tanya pak kepala desa.

“Masih di kota Padang pak, kami lagi menunggu bis yang berangkat jam 4 sore nanti,” jawab Rama.

“ Ya sudah, nanti kalau kamu udah sampai di desa Silaping, lebih baik kamu menginap di sana. Saya khawatir kamu bawa sepeda motor di malam hari, soalnya di sini baru hujan dan dapat dipastikan bahwa jalanan sangat licin.” Pak kepala desa memberitahukan kondisi jalan menuju desa mereka saat ini.

“Baik pak, biar aku nanti nginap di rumah kakak aja,” ujar Rama menanggapi ucapan pak kepala desa.

“Hati-hati ya!” pesan pak kepala desa.

Rama mengangguk paham, walau sudah bisa dipastikan sang kepala desa tak dapat melihat anggukan Rama.

Rama mematikan ponselnya, lalu dia memasukkan benda pipih itu kembali ke saku celananya.

Rama masih memperhatikan Diska yang masih asik mengabadikan keindahan ciptaan Sang Maha Indah.

“Sudah fotonya?” tanya Rama memulai pembicaraan saat Diska duduk tepat di samping pria tampan itu.

“Udah!” jawab Diska singkat.

Tampaknya Diska tak berniat banyak bicara dengan Rama, mungkin Diska masih menganggap Rama sebagai orang asing yang wajib diwaspadai.

Rama menghela nafasnya pelan, dia mencoba memahami gadis yang super cuek itu.

“Ya sudah, yuk kita balik ke loket! Udah jam tengah empat,” ujar Rama sambil melihat jam tangannya.

Diska hanya mengangguk, Rama langsung berdiri dan melangkah menelusuri jalan perumahan warga sedangkan Diska terus mengikuti langkah Rama dari belakang dengan menggerutu di hatinya. Pasalnya, mereka sudah terlalu jauh berjalan kaki, saat ini Diska benar-benar merasakan pegal di kakinya.

Diska memutuskan untuk berhenti di sebuah batu besar yang terdapat di pinggir jalan, Diska tak lagi memperdulikan Rama yang terus berjalan meninggalkan dirinya.

Setelah Rama sampai di loket bis, Rama baru menyadari Diska tak berada di belakangnya.

“Diska!”panggil Rama panik, dia takut Diska nyasar di kota yang baru saja di kunjunginya.

Bersambung...

Bab 3

Rama berlari kembali menyusuri jalan yang dilewatinya tadi, dia berharap dapat menemukan Diska.

Rasa khawatir kini menyelinap di hatinya. Rama merutuki dirinya sendiri yang telah ceroboh menjaga Diska.

Sikap yang ditunjukkan Diska padanya membuat Rama memilih untuk tidak banyak bicara dengan gadis itu.

Namun sikapnya itu menjadi boomerang untuk dirinya sendiri, wanita itu merupakan tanggung jawabnya hingga mereka sampai di desa.

Rama terus menelusuri jalan gang perumahan warga, hingga akhirnya Rama melihat Diska sedang duduk di sebuah batu besar di pinggir jalan sambil memijat-mijat kakinya yang terasa sangat pegal.

“Hei, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Rama kesal dengan nada sedikit meninggi.

Diska tersentak, dia menatap tajam ke arah Rama. Tak berapa lama dia mengalihkan tatapannya, dia kembali fokus memijat kakinya.

Diska tak mengacuhkan Rama yang kini sedang kesal pada dirinya.

“Hei, kamu dengar aku, enggak?” bentak Rama mulai kesal dengan sikap Diska.

Diska masih saja diam, dia juga merasa kesal pada Rama yang tak peduli padanya.

“Hei, apakah kau tak bisa memberitahuku untuk berhenti sejenak?” bentak Rama kesal dengan tingkah Diska.

Diska kaget, dia menatap tajam ke arah Rama tak terima dirinya dibentak.

“Kau tahu, perbuatanmu benar-benar ceroboh!” sahut Rama dengan nada yang mulai merendah.

“Seandainya kamu nyasar di kota ini bagaimana? Hah?” Rama terus mengeluarkan kata-kata kekesalannya pada Diska yang telah membuat dirinya panik dan khawatir.

Saat ini, keselamatan Diska adalah tanggung jawabnya hingga mereka sampai di desa. Dia tak ingin terjadi apa-apa pada Diska.

Diska hanya diam, dia tak lagi menatap tajam ke arah Rama, karena saat ini Diska menyadari kesalahannya tidak memberitahu Rama saat dia ingin beristirahat sejenak.

Melihat reaksi Diska yang hanya diam terpaku, Rama pun memilih duduk di samping Diska. Dia mulai merasa bersalah telah membentak Diska.

Hal itu dilakukannya hanya karena dia benar-benar mengkhawatirkan keadaan Diska.

“Maaf,” lirih Rama.

Diska masih saja diam, dia sendiri bingung harus bagaimana, dalam situasi seperti ini seharusnya dialah yang meminta maaf, namun egonya menolak untuk melakukan itu.

Rama menghela napasnya panjang. Dia menarik kaki Diska lalu membantu Diska memijat kakinya yang masih terasa pegal.

Diska masih saja diam menerima perlakuan Rama.

“Apa kamu masih kuat untuk berjalan?” tanya Rama memastikan kaki Diska baik-baik saja.

Kali ini Diska menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dari pertanyaan Rama.

“Yuk, kita harus cepat sampai loket karena sebentar lagi bis akan berangkat,” ujar Rama.

Rama berdiri lalu menoleh pada Diska yang kini berusaha untuk berdiri dari duduknya. Dia membantu Diska untuk berdiri.

Setelah itu mereka berjalan beriringan menuju loket bis.

Di depan loket bus, terlihat sebuah bus telah terparkir di sana.

Bus telah berisikan beberapa penumpang yang duduk di bangku sesuai karcis yang mereka pesan.

Rama memberikan barang-barang Diska pada kernet bus untuk di letakkan di atap bus.

Diska hanya bisa terpaku saat melihat bus itu, sebuah bus lama yang berpenampilan lusuh.

Diska merasa jijik melihat bus yang berada di hadapannya saat ini. Namun, dia tak bisa berbuat apa-apa, mau tak mau dia terpaksa menaiki bus yang kini telah berada di hadapannya.

“Yuk, kita naik!” ajak Rama pada Diska setelah dia memastikan barang-barang Diska telah naik ke atas bus.

Rama terlebih dulu masuk ke dalam bus, dia terpaksa berhenti saat berada di pintu bus karena melihat Diska masih saja diam di tempatnya.

“Kamu mau ikut gak?” tanya Rama dengan nada yang mulai meninggi. Kesabarannya benar-benar di uji saat berjumpa dengan dokter muda yang berasal dari kota.

Diska tersentak, dia pun mulai melangkah mengikuti Rama, Rama telah memilih bangku yang berada di belakang sopir, agar Diska merasa nyaman saat perjalanan.

Jika dia mengambil bangku bagian tengah, sudah bisa dipastikan mereka akan berdesakkan dengan penumpang lainnya yang naik di tengah jalan.

“Duduklah!” titah Rama sopan menunjukkan bangku mereka, Rama menyuruh Diska duduk di samping kaca.

Diska pun menuruti ucapan Rama, karena tak ada alasan baginya untuk menolak.

Setelah Diska duduk di tempatnya, Rama duduk tepat di samping Diska. Bus mulai berjalan setelah kernet bus memastikan semua penumpang sudah naik.

Bus ini adalah satu-satunya angkutan yang mengantarkan penumpang ke desa Silaping dari kota Padang.

Bus berangkat di pagi hari ke kota Padang dan kembali jam 4 sore ke desa, diperkirakan mereka akan sampai di desa pada jam 10 malam jika tak ada kendala di perjalanan.

Di sepanjang perjalanan, Diska dan Rama tak banyak bersuara.

Rama memilih untuk memejamkan matanya untuk menghilangkan rasa kesalnya pada gadis yang kini berada di sampingnya.

Sedangkan Diska memilih untuk memperhatikan pemandangan di sepanjang jalan hingga matanya mulai berat dan dia pun tertidur.

Tanpa di sadarinya, Diska merebahkan kepalanya di pundak kekar milik Rama, Rama menyadari hal itu. Dia tersenyum, dia membiarkan sang gadis meminjam pundaknya sebagai bantalan untuk tidur.

Bus berhenti setelah menempuh setengah perjalanan untuk beristirahat sejenak dan makan malam.

Para penumpang turun dari bus, Rama menoleh ke arah Diska yang masih terpejam di pundaknya.

Rama kasihan untuk membangunkannya tapi jika mereka tidak ikut turun maka mereka akan menahan perut kosong hingga sampai di tempat tujuan.

“Hei, bangun!” seru Rama berusaha membangunkan Diska.

Diska mengerjapkan matanya, dia mengangkat kepalanya dari pundak Rama.

Wajahnya seketika memerah malu saat menyadari dia telah tertidur di pundak Rama. Dia menatap ke sekelilingnya, dia mendapati di dalam bus sudah tak ada penumpang.

“Kita udah sampai, ya?” tanya Diska canggung karena rasa malunya.

“Belum, bus berhenti untuk istirahat dan makan malam. Yuk, kita turun!” ajak Rama pada Diska.

Rama berdiri dari duduknya, dia menunggu Diska untuk berdiri lalu mereka pun keluar dari bus.

Diska melihat ke sekelilingnya, banyak penumpang yang menyebar di depan sebuah rumah makan. Terlihat ada beberapa yang duduk di teras pondok-pondok yang tersedia di sekitar rumah makan sambil memakan bekal yang mereka bawa.

“Kamu mau makan apa?” tanya Rama pada Diska sambil menunjuk ke beberapa warung yang berjualan di pekarangan rumah makan.

Di sana terlihat warung yang menjual sate dan nasi soto. Diska hanya menatap sekelilingnya.

Dia benar-benar tak berselera melihat kondisi rumah makan yang menurut Diska jauh dari kata higienis.

Rama menyadari ekspresi Diska.

"Jika kita tidak makan malam di sini, kita akan kelaparan hingga sampai di tujuan,” ujar Rama memberikan saran kepada Diska agar tak banyak berulah.

Diska masih saja diam, dia belum merespon ucapan Rama.

“Baiklah, jika kamu tak ingin makan. Aku akan makan sendiri dan jangan mengeluh jika kau merasa lapar nanti.” Rama mencoba mengancam Diska, dia melangkah masuk ke dalam rumah makan.

Melihat Rama semakin menjauh darinya, Diska pun berlari kecil mengejar langkah Rama.

“Tunggu!” seru Diska membuat Rama menghentikan langkahnya.

Rama tersenyum, dia berhenti tepat di pintu masuk rumah makan menunggu Diska, mereka pun mencari tempat duduk yang menurut Diska paling bersih dari tempat lainya.

Rama lebih memilih makan nasi dari pada makan sate atau yang lainnya karena sudah terbiasa mengisi perutnya dengan nasi dari pada makanan lainnya.

Tiba-tiba...

“Oek ... oek ...,”

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!