NovelToon NovelToon

Jodoh Pilihan Untuk Reva

01. Reva

Tujuh bulan yang lalu di pelabuhan laut Bengkulu, kala para militer berangkat untuk mengemban tugas menuju Papua. Seorang gadis berkerudung panjang dengan pakaian muslimah ikut menghantar kala saudara laki-laki akan pergi bertugas.

"Kakak berangkat, tolong jaga kakak iparmu." Rey memeluk gadis itu, adik satu-satunya yang begitu cantik dan meneduhkan siapa saja yang melihatnya, gadis itu selalu bersama kakak iparnya.

"Iya." Jawabnya tersenyum.

"Bolehkah aku juga memeluknya?" Pria tampan itu tersenyum dari balik tubuh yang memeluk adik kesayangan.

"Jika ingin ku hajar sebelum berangkat boleh saja." Rey tersenyum dengan tatapan tajamnya, walau hanya di balas senyum jahil oleh sahabatnya.

Pria itu mendekati gadis bertubuh kecil dengan jari-jari lentik dan wajah cantik itu. "Tunggu aku, aku akan kembali membawa cinta yang lebih besar untuk menjadikanmu ratu di dalam hati ini." Pria itu menunjuk bagian tengah dadanya, senyum manis dan tatapan penuh cinta tak lepas dari wajah itu.

"Aku akan setia menunggumu, menunggu hari kau mengucap ijab qobul dengan kakakku." Ucap gadis berkerudung itu dengan suara lembut dan begitu merdu.

"Itu pasti, ingat selalu bahwa aku mencintaimu." Ucapnya lalu kemudian berlalu dengan senyum tak henti terukir di wajahnya, berulang kali menoleh kearah gadis yang masih setia berdiri di tempat itu, sama seperti kakak iparnya yang menatap sendu atas kepergian suami tercinta.

Begitu ingatan indah selalu terbayang hingga hari ini, Calon suami Devkan Arza Pratama akan kembali. Revalia Az-Zahra, satu tahun yang lalu dia di lamar seorang militer sahabat dari kakaknya, pria yang sudah berusia 27 tahun itu begitu membuatnya yakin untuk menjalani hidup berumah tangga. Dengan hati gelisah dia memegang ponsel memandangi sebuah foto sudah tak sabar bertemu dengan pria berseragam hijau loreng kekasihnya.

"Assalamualaikum sayang." Panggilan yang membuatnya segera berbalik, pria yang di tunggu sudah berdiri di belakangnya.

"Wa'alaikum salam mas." Reva mendekat menatap laki laki yg sangat dia rindukan. Lama tidak melihatnya membuat seakan kembali pada pertemuan semula. Matanya yg teduh, hidungnya yg mancung, bibir yg tipis dengan rahang yg tegas, badan tegapnya, ingin rasanya ia memeluk erat.

"Ini untukmu!" Dev memberikan kado kecil berwarna biru. Matanya tak berkedip menatap gadis yang cantik di hadapannya.

"Apa ini mas?" Reva memeluk kado berwarna biru itu.

"Itu hanya hijab, kemarin aku membelinya karena ku ingat kau belum memiliki hijab yg berwarna Biru."

"Terima kasih mas." Ucap Reva dengan mata yg berbinar, kado dari orang yang spesial tentu saja sangat membahagiakan.

"Aku ingin kau memakainya nanti." Tatapan Dev berubah menjadi sendu seakan memikirkan sesuatu.

"Mas." panggilnya lembut sekali, ingin tahu apa yang dipikirkan tunangannya.

"Hari ini aku ingin mengajakmu keluar, apa kau tidak sibuk?" Ucapnya halus.

"Tidak mas, aku tidak sibuk, aku baru saja selesai rapat. Kita akan kemana?"

"Hanya jalan- jalan di dekat sini." Pria itu menoleh dengan tatapan rindu.

"Baiklah."

Di taman yg bersebelahan dengan kantornya. Mereka memilih duduk di bawah pohon mangga menikmati suasana dimana tempat inilah yg mereka biasa jadikan tempat bertemu, bahkan sebelum Dev berangkat ke Papua sekitar Tujuh bulan yg lalu.

"Sayang."

"Iya." Reva menoleh melihat wajah pria disampingnya. Senyumnya selalu mengembang mencerminkan hati yang begitu bahagia.

"Aku merindukanmu." Ucapnya dengan seulas senyum tulus sang calon suami.

"Aku juga mas, bahkan aku tidak sabar menunggu mu kembali." Reva tersenyum lalu menundukkan pandangannya menutupi haru dan rindu menjadi satu.

"Sebenarnya, aku ingin membicarakan sesuatu. Dan sangat penting."

"Katakan saja mas." Ucapnya dengan lembut.

"Reva, apa kau percaya jodoh?" Tanya Dev kemudian.

"Tentu saja aku percaya, percaya bahwa tulang rusuk dan pemiliknya tak akan pernah tertukar." Reva sedikit heran dengan sikap kekasihnya. Apa yg sedang dipikirkannya, apakah kekasihnya ini sudah berubah pikiran lantaran bertemu dengan gadis lainya di tempat dia bertugas. Reva menggelengkan kepalanya, mencoba menepis semua pikiran buruk yg belum tentu benar.

Dev menunduk, seakan menahan sesuatu perasaan yang sulit di ucapkan, atau mungkin bingung memikirkan kata yang tepat untuk mengungkapkannya. "Apakah jika di dunia kita tak berjodoh, di akhirat nanti kita bisa bersama." Tanya nya lagi.

Reva mulai gelisah. "Ada apa, apa kau sudah memiliki gadis lain dan melupakan aku?" Tatapnya penuh tanya.

Dev membuang pandangannya ke sembarang arah, seakan ada gumpalan yg tak bisa di keluarkan menyesak di dada. Sesekali Dev menengadah ke langit, memandang dengan putus asa.

"Aku... Aku ingin membicarakan sesuatu padamu tentang pernikahan kita." Sambungnya lagi.

"Katakanlah mas." Reva mulai merasa ada yang salah semua pertanyaan menghampiri kepalanya, sungguh ia sudah tidak sabar mendengar apa yang akan dikatakan calon suaminya itu.

Dev menarik nafasnya sangat dalam. "Aku....aku... Aku tidak bisa menikahi mu."

Bagai tersambar petir di siang hari, Reva tak percaya, degup jantungnya seakan berhenti, mulutnya terbuka dengan mata yg berkaca- kaca. "Apa mas?" lirihnya, Reva masih berusaha mencerna ucapan laki- laki yg ada di hadapannya, matanya tak berkedip, menatap mencari kebenaran atas kata-kata yg diucapkannya. "Aku salah apa?" Suaranya pelan.

"Sayang, aku.. Aku tidak memiliki wanita selain dirimu, hanya kamu, hanya ada kamu yg aku cintai bahkan sepanjang hidupku. Atau hingga aku meninggalkan dunia ini pun hanya ada dirimu, satu nama mu, cintaku yang tak akan pernah ku berikan pada siapapun selain dirimu, hanya kamu sayang." Ucap Dev matanya mulai berembun, ia memegang kedua pundak Reva yang masih diam terpaku penuh tanya.

"Lalu kenapa?" Air mata nya tumpah sudah, mengalir membasahi pipi. Seakan ada batu yg menghimpit di dada, bahkan menarik nafas pun terasa begitu sulit.

"Aku tidak bisa memiliki keturunan. Aku tidak akan bisa membahagiakan mu." Ucapnya lagi

"Bukankah ini sudah pernah kita bahas bulan lalu saat kau masih di Papua kita sudah bicarakan ini, meskipun lewat telepon tapi apakah kurang jelas, apa tidak cukup jelas untuk menyelesaikan ini semua. Kamu bilang, kita bisa mengadopsi dua anak laki-laki yg sudah ku anggap anak itu secara sah, kamu bilang kita bisa berusaha, kenapa sekarang kamu menyerah, punya anak atau tidak bukan kuasa manusia mas, meskipun dokter nyatakan kamu tidak punya anak, tapi jika Tuhan berkehendak semua bisa berubah…,Apa kamu sudah tidak percaya?" Reva mulai terbawa emosi, air matanya mengalir tiada henti melukiskan hati yg begitu pedih.

"......." Tak ada jawaban, hanya menatapnya sendu.

Reva menatap langit. Mencoba menahan air mata, tapi apalah daya, ketika hati terluka mata tak akan mampu berdusta.

"Aku sangat mencintai mu, tapi ini tidak sesederhana yang kamu pikirkan, jika aku memaksa menikah dengan mu."

"Mengapa harus terpaksa mas. Bukankah kau mencintaiku?" Ucapnya penuh emosi.

"Dengarkan aku dulu sayang, aku sangat mencintai mu, karena aku sangat mencintai mu aku tidak akan menikah dengan mu...aku terinfeksi penyakit berbahaya." Ucapnya lega.

"Penyakit, penyakit apa mas??" Reva menatap tak percaya, dia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum getir yang berurai air mata.

"Aku serius, aku memang sakit. Kau bisa tanyakan pada Rey, karena dia selalu bersamaku selama bertugas di Papua. aku rasa dia akan datang kemari setelah bertemu istrinya."

"Aku tidak percaya!" Reva menutup wajah dengan kedua tangannya.

"Aku terkena HIV!" Ucapnya pelan terdengar putus asa.

"Kamu bohong mas?" Ucapnya dengan linangan air mata.

"Aku berkata jujur. Aku harap kau menerima." Jawabnya pelan.

Reva menggeleng, "Kamu bohong mas, ini pasti alasanmu karena sudah memiliki gadis lainnya kan?" Reva terus menangis.

"Ini kenyataan Reva. Maafkan aku." Ucapnya lalu pergi tanpa menoleh wajah cantik di sampingnya.

Terkejut

Terluka,.

"Ini pasti tidak benar." Seakan tak percaya masih terpaku mencoba memahami semua yang terjadi. Reva menarik nafasnya mencoba kuat, pernikahan yang sudah di depan mata telah hancur dalam sekejap saja.

02. Kenyataan

"Assalamualaikum"

Tiba di rumah Reva menyapu air matanya, dia tidak ingin ibunya tau bahwa dia baru saja menangis.

"Waalaikumsalam, sayang masuklah kakak mu baru saja datang. Ibu Ani menggandeng Reva mengajak nya duduk bersama.

"Kak Rey." Ucapnya mencium tangan Rey lalu duduk di dekat kakaknya.

"Apa kabarmu, Kakak rindu padamu?" Tanya Rey menatap wajah adik satu-satunya. Rey sangat faham betul dengan kebiasaan adiknya, jika Reva menunduk saat di ajak bicara artinya adik kesayangan sedang tidak baik-baik saja.

"Baik kak, mana kak Alisa?" Reva melihat kesan kemari berharap kakak iparnya ikut serta.

"Dia sedang hamil tua, lagi pula malam nanti dia masuk kerja. kakak takut dia kelelahan jika melakukan perjalanan jauh."

"Ah iya benar juga, yang penting dia sehat selalu, aku sudah tidak sabar memiliki keponakan yang lucu. " ucapnya sedikit melupakan kesedihan.

"Kita makan siang bersama ya, kakak rindu makan bersamamu, Rebutan ceker ayam." Ucap Rey menggoda adiknya yg sangat suka makan ceker ayam.

Rey sempat heran dengan kesukaan adiknya itu, Rey ingat betul, waktu kecil sepulang sekolah ibu belum sempat memasak untuk makan siang dan hanya ada dua potong kaki ayam. Mereka berebut hingga tarik-tarikan, itu konyol sekali.

Reva yang tidak terima langsung mendorong-dorong dan mencubit bahu kakaknya.

"Kenapa yang kakak ingat itu-itu lagi." Reva merengut lalu beranjak dari duduknya.

"Kau mau kemana?" Rey masih belum puas menggoda adiknya, sungguh kebersamaan diwaktu kecil itu tak akan pernah bisa di ulang kembali.

"Aku sholat sebentar kak" Jawabnya bejalan menuju kamarnya.

"Jangan lama-lama kakak sangat lapar." Teriak Rey agar di dengar adiknya.

"Iya." Jawab Reva dari dalam kamarnya.

Lima belas menit kemudian Reva keluar dari kamarnya ia langsung menuju meja makan, Benar saja Rey menunggunya dengan bersandar mungkin lima belas menit terlalu lama untuk orang yang tengah lapar. Melihat adiknya sudah ada Rey langsung menyantap makanannya.

"Apa sudah berdoa?" Tanya Reva menatapnya heran.

"Sudah dari tadi, kau sholatnya lama doamu kepanjangan."

Reva menatap kakaknya, kembali teringat dengan apa yang di katakan Dev tadi pagi." "Apa kakak tau semuanya, tapi kenapa kakak tidak membicarakannya langsung sejak kemarin-kemarin?" batinnya.

"Makan lah dulu, aku tidak akan merebut cekermu" Ledek Rey sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Reva hanya diam saja mengikuti Rey menyuapkan makanan ke mulutnya.

Jam 03:00 sore Rey duduk di teras belakang rumahnya bersama Reva. mereka bercerita banyak hal juga tentang pekerjaan, hingga tentang kakak ipar.

"Kakak ingin bertanya sesuatu padamu." Rey mulai Serius

Reva menoleh dan menatap kakaknya, lalu mengalihkan pandangannya ke langit yg jauh, membuang nafasnya berat.

"Apa Dev sudah katakan sesuatu?" Selidik Rey dengan sangat hati-hati.

"..... "

Rey menarik nafas dalam. Dia sudah tau jawabannnnya meski tak di jawab adik kesayangannya.

"Itu memang benar." Jelas Rey lagi.

Seketika tangis Reva pecah,

bahunya berguncang menahan kepedihan hati yg begitu dalam. Wajah cantiknya menunduk di tutupi kedua tangannya. Rey mendekati adik kesayangannya, merangkul bahu Reva, Rey menunduk sedih

"Kakak baru tahu disaat kami akan pulang dari Papua, semua melakukan tes Kesehatan, cek darah dan sebagainya. Dan hasilnya ....!"

"Seharusnya ini diketahui sejak awal, tidak setelah aku dan Dev akan menikah." Reva terlihat sangat kecewa.

"Dia juga terpukul, bahkan lebih hancur dari kita semua. Dia sedang tidak baik-baik saja."

"Apa aku harus menyerah?" Ucapnya lirih.

"Pelan-pelan saja. Tuhan akan menunjukan jalannya." Ucap Rey meyakinkan adiknya.

***

Reva termenung sendirian di depan rumahnya. Harusnya ini adalah pertemuan yang menyenangkan, seperti rencana awal mereka akan mempersiapkan pernikahan yang sudah lama di impikan. Harusnya hari ini mereka akan membeli keperluan inti pernikahan. Reva teringat satu tahun yang lalu ketika Dev melamarnya.

"Reva ,. maukah kau menjadi istri ku. ??? " Ucapnya dengan sangat romantis.

Tentu saja dengan senang hati Reva akan menerimanya, sungguh dia ingin menikah muda, memiliki anak-anak yang lucu, mengarungi susah senang bersama. Saat itu Reva menangis penuh haru, wanita mana yang tak meleleh jika di lamar secara hormat tidak dengan menyentuh dan melakukan hal yang salah terlebih dahulu. Laki-laki terhormat akan memperlakukan wanita dengan baik dan menghormatinya.

Seulas senyum itu memudar seketika, bayangan kekasih hati yang mengatakan tak akan menikahinya itu sungguh memecah impian hingga pupus tak akan tumbuh lagi.

Belum lagi isu pernikahan mereka yang sudah disusun sejak lama, sanak dan saudara, rekan dan tetangga. Begitu tega takdir kehidupan ini mempermainkan rasa. Jika boleh meminta lebih baik tak usah mengenalnya saja.

Apalah daya, berandai-andai pun tak di bolehkan dalam agama,..

"Sayang.. !!"

Terdengar suara ibu manggilnya.

"Iya ibu." Reva menoleh menatap wajah ibunya.

"Jangan terlalu banyak melamun, tidak baik untuk mu." Ibu duduk di samping anak gadisnya.

"Kau harus sabar menghadapi ini, kau sedang di uji." Ibu mengelus pundaknya.

"Maafkan aku ibu, ibu pasti akan malu karena aku gagal menikah, mereka akan bertanya, alasan apa yang akan ibu katakan? Mereka pasti menggunjing ibu." Ungkapnya tulus dan penuh kesedihan.

Sebenarnya itu memang iya, tapi apalah daya jika Tuhan belum memberi jodoh untuk Reva ibu tak dapat berbuat apa-apa. Sebagai orang tua tentu ibu ingin anaknya segera menikah dan hidup bahagia.

"Sudahlah, apapun yang mereka katakan kau tidak perlu pikirkan, mau gagal atau tidak, seburuk apapun kata orang kau tetaplah anak ibu. Jangan dengarkan mereka, mereka hanya tau luarnya saja. Yang terpenting bagi ibu kau harus kuat dan jangan mudah putus asa, !!"

Reva merenungkan ucapan ibu.

"Sejujurnya aku masih tidak percaya, ini seperti mimpi yang datang tiba-tiba tanpa asal usul dan memberi kode terlebih dahulu. Aku juga masih mencintainya ibu!!"

"Setiap yang hilang nanti akan ada yang datang, kau hanya perlu bersabar, ibu tau ini tidak mudah bahkan ini adalah masa sulit untukmu. Tapi kau harus ingat, Rencana Tuhanlah yang terbaik, yakini saja itu." Jelas ibu.

"Entahlah Bu, sungguh aku tidak tega meninggalkannya, aku ingin sekali menemani hari-hari sulitnya." Reva mengusap air matanya.

"Ibu mengerti sayang."

Reva menunduk menahan tangis. Cinta ibarat sebuah busur panah, datang tiba-tiba, tapi perginya meninggalkan luka.

***

Menyesal, kata yang selalu datang belakangan.

"Reva, maafkan aku!" Pria itu mengusap wajahnya. Mengingat saat dulu masa muda begitu bahagia berbanding terbalik dengan saat ini seperti dunia ini akan segera berakhir. Terbayang wajah gadis yang teramat dicintainya, harusnya hari ini adalah awal yang bahagia.

03. Malam

Malam itu Rey sengaja menginap di rumah ibu, selain rindu dengan ibu Rey khawatir dengan Reva.

"Ibu, Kak Rey, aku ke kamar dulu. Besok aku ada kunjungan kerja lapangan, jadi harus siapkan berkas untuk tukang dan pekerja. Aku takut Ayu kerepotan sendirian membuat Rencana Anggarannya." Reva beranjak ke kamar meninggalkan Ibu dan Rey yang sedang menonton tv.

Membuat ibu dan Rey saling pandang, ingin membicarakan sesuatu tapi takut mengganggu suasana hatinya, mungkin sebaiknya dibiarkan saja dulu, bagaimanapun juga orang yang patah hati butuh waktu untuk sendiri.

"Baiklah, tapi jangan terlalu larut bekerja. Ingat kau itu wanita, kerja terlalu keras juga tidak baik untukmu "

"Memangnya kenapa tak boleh terlalu keras ??" Reva bertanya dengan wajah yang serius.

"Nanti cepat tua, membuat wajahmu keriput, kalau sudah keriput tak ada lagi yang mau jadi suami mu." Ledeknya.

"Kakak mengada-ada " Reva menggeleng tidak percaya, melangkah naik ke atas menuju kamarnya.

Satu jam Reva bergulat dengan kertas-kertas di mejanya, Reva menutup Laptop dan menarik otot tangannya. Sedikit lelah tapi dia menyukainya, semenjak 3 tahun yang lalu, saat itu Reva masih kuliah semester Lima dia membuka Perusahaan kecil dan memulai dengan keberaniannya menangani beberapa proyek bangunan kecil-kecilan cukup berhasil. Baginya 15 hingga 10% keuntungan sudah lebih dari cukup, tak perlu banyak yg penting kualitas bagus adalah yg utama.

Reva membuka pintu balkon di kamarnya,

menatap langit dimalam hari biasa dia lakukan untuk melepas penat kesehariannya.

Bulan tak seterang biasanya, terlihat bulan hanya separuh dan bersembunyi di awan gelap.

"Seperti hatiku. Separuhnya terasa gelap kehilangan cahaya." Batinnya sambil memejamkan mata

Reva menatap sekeliling rumah tampak kendaraan berlalu lalang dengan masing-masing keperluan mereka. Bahkan di malam hari mereka masih sibuk mencari dan mencari.

Tanpa sengaja Reva melihat sepeda motor yg tak asing baginya, Reva menatapnya lagi memastikan yang di lihatnya tidaklah salah. Benar saja dia adalah calon suami yang tadi siang mengatakan tak akan menikahinya.

"Mas ..... " lirihnya.

Tampak di bawah sana laki-laki yg sedang duduk di atas motor sedang memandanginya. Biasanya dia akan datang bertamu dengan sopan, terlebih lagi jika ada Rey di sana.

"Ingin sekali rasanya memanggil namamu, sebagai mana mimpi menikah denganmu adalah hal yang selalu aku pikirkan". Reva menutup mulutnya.

"Sejak kapan kamu ada di sana mas " lirihnya lagi dengan menahan air mata.

Dibawah merasakan gundah yang sama. Menatapnya dari jauh membuat hati semakin terluka, tak ayal selama ini selalu memikirkannya berharap hidup bersama itu akan menjadi nyata. Dev bahagia melihat wanita pujaan berdiri di balkon rumahnya. ingin rasanya dia masuk, datang bertamu seperti biasa, mengutarakan rasa yang luar biasa, melepas rindu meski hanya menatap dan mendengar suaranya. Tapi dengan keadaan ini dia merasa tak pantas untuk melakukannya.

"Aku mencintaimu Reva. Reva ku tersayang." ucapnya sedih.

Duhai engkau, sang Belahan Jiwa Namamu terukir dalam pusara

Di setiap langkah, ku selalu berdoa Semoga kita bersama

Duhai engkau, tambatan hatiku

Labuhkanlah cintamu di hidupku Ku ingin kau tahu, betapa merindu

Hiduplah engkau denganku

Dengarkanlah Di sepanjang malam aku berdoa

Bersujud dan lalu aku meminta Semoga kita bersama

Dengarkanlah, Di sepanjang malam aku berdoa. Cintaku untukmu selalu terjaga

Dan aku pasti setia..

Dev melajukan kendaraan roda duanya, tak tahan akan kesedihan yg tak aja jalan keluarnya begitu sakit ketika mencintai tanpa memiliki, melihat nya dari jauh itu hanya menambah luka sendiri.

Air mata jatuh melihat Dev telah meninggalkan rumahnya, menatap hingga tak terlihat lagi hilang dari pandangannya.

Dev melaju pelan tak tau arah, yang ada dalam pikirannya adalah Reva dan Reva seorang, seharusnya cuti satu Minggu ini adalah hari-hari bahagia mereka, Minggu depan mereka akan menikah, menjalani hidup bersama, membangun mimpi yang diciptakan berdua, mewujudkan harapan berdua hingga menua bersama. Hingga satu jam Dev berkeliling tak tau arah, akhirnya dia pulang, ke ujung dunia pun bayangan Reva tak akan hilang.

***

"Hey kau dari mana..?? " seseorang menyapanya

Dev turun dan berbalik melihat siapa yang menyapa, ternyata sahabatnya, teman sedari kecil yang bekerja sebagai satpam di sebuah perusahaan yang kebetulan baru pulang.

"Hanya jalan-jalan, apa kabarmu?" mereka berjabat tangan.

"Aku baik. katanya kau akan menikah, apa kau tak mau mengundangku, siapa tau aku juga bertemu jodoh di pernikahan mu nanti." Canda Aldo Sahabatnya

Dev hanya tersenyum menanggapi ocehan yang biasa di dengarnya. Aldo memang suka mengobrol berbeda dengan Dev yang lebih pendiam.

"Aku memang bukan tentara sepertimu, tapi aku tidak kalah tampan darimu. Jadi jangan ragu untuk menjodohkan aku dengan gadis-gadis yang cantik." Candanya sambil tertawa.

"Sudah berapa lama kau kembali bukankah 7 bulan lalu kau masih bekerja di luar." Dev menoleh duduk di dekat sahabatnya.

"Lima bulan lalu. Aku bosan kerja di luar, aku ingin pulang dan mencari calon istri." Ucapnya lagi membahas ingin mencari jodoh.

Dev hanya tertawa kecil. Geleng-geleng dengan candaan sahabatnya.

Hening

Aldo menatap heran, apa ada masalah tanyanya di dalam hati. Kenapa wajahnya kusut sekali.

"Ada apa, apa kau sedang ada masalah dengan calon istri mu, semua bisa di selesaikan baik-baik, jangan di bawa lemas begitu." Aldo menepuk pundak Dev.

Ponsel Dev berbunyi, Dev membuka ponselnya dan ternyata Reva yang mengirim pesan.

"Jangan menjauh dari ku mas, ini begitu berat."

Dev menutup ponsel dan mengusap kasar wajahnya. "Memang ini berat sayang, ini menyakiti kita berdua. Tapi aku tak mampu dan tak tau harus bagai mana." Batinnya.

"Dev." Aldo membuyarkan lamunan sahabatnya.

Dev menoleh. "Aku tidak jadi menikah. Aku bahkan tidak akan menikah, sampai aku meninggalkan dunia ini." Dev lalu menatap langit.

Aldo yg mendengar itu begitu terkejut tak mampu berucap apa-apa. Mereka memang dekat, sedari kecil selalu bersama berbagi suka duka itu sudah biasa.

"Aku sangat mencintainya, dia wanita yang baik, dia begitu sempurna, dia wanita sholeha. Tidak pernah terpikirkan oleh ku untuk menyakiti apalagi meninggalkannya

tapi cintaku ini tak menemukan jalan nya, aku tidak bisa menikahinya, bahkan aku melukai hatinya." Ucapnya Sedih

Aldo menarik nafas. Meskipun belum pernah jatuh cinta, tapi jika soal patah hati tentu setiap orang mengetahuinya.

"Mengapa bisa begitu, apa masalahnya?"

Dev melihat wajah sahabat disebelahnya. "Aku terkena HIV." Ucapnya kemudian.

Aldo terbelalak tak percaya. "Sejak kapan?" Tanyanya lagi

"Aku rasa sejak lama, tapi aku tidak mempedulikan gejalanya, hingga kemarin saat aku akan pulang, semua melakukan berbagai macam tes kesehatan bersama Dokter yg ikut serta dan hasilnya Positif." mata Dev mulai basah.

Menyesali semuanya ......

bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!