Anak remaja itu menatap lama wajah ibunya. Manik matanya yang bening juga polos terlihat sangat teduh. Ya anak itu bernama Sani. Persis nama seorang laki-laki yang pernah tidur dengan ibunya.
Gadis itu kini sudah menginjak tujuh belas tahun. Dia tumbuh menjadi gadis cantik seperti ibunya. Bahkan lebih cantik.
Sani asik memainkan handphone di kursi tunggu.
Dua wanita seumuran sedang duduk selonjoran sambil menghias kuku kakinya dengan cat kutek.
"Wah kalau anakmu cantik begini pasti harganya akan ditaksir mahal." Celetuk seorang wanita disebelah ibunya. Ibunya lagi-lagi terdiam tak menanggapi wanita disebelahnya. Padahal beberapa kali Ira bicara seperti itu tapi ibunya Sani tetap tak menyahut.
"Sani bawakan ibu baju di kamar!"
"Lah kamu mau kemana?" Ira mendongak melihat sahabatnya itu berdiri meninggalkannya.
"Cari angin!" Ibunya Sani melengos, dengan aura dingin.
"Hei... ikut!" Ira bangkit dari selonjorannya. Dua sahabat ini seperti sejoli kemana saja Mei pergi pasti Ira pun pergi. Kecuali kamar mandi.
"Kamu jangan kemana-mana, tunggu disini!" Titah Mei pada Sani.
"He'em" Sani mengangguk. Dia tak berani membantah ibunya yang sangat dicintainya. Ya dia teramat menyayangi ibunya. Dia tak punya apa-apa lagi selain ibunya di dunia ini. Bahkan dia gak tahu siapa saja saudaranya atau yang namanya silsilah.
"Kamu mau kemana Mei?"
"Aku harus menemui mamah Banyu."
"Kamu mau menukar Sani?"Ira mengangkat alisnya, matanya sedikit membesar.
"Jangan banyak bicara!" Mei melotot. Lalu dia bergegas mempercepat langkahnya. Ira dengan kaki pendeknya mengikuti langkah Mei dari belakang dengan kerepotan.
Suara riuh dangdutan terdengar dari jarak 200 meter. Suara itu memang tiap hari selalu non stop. Tapi tak ada satupun masyarakat sekitar yang protes. Bagaimana tidak pemasukan dari mamah Banyu bukan hanya untuk rt, rw setempat tapi bahkan sampai kalangan pejabat pun sepertinya banyak saweran. Makanya tempat ini aman dan subur.
"Mana mamah Banyu?" Mei melirik pada beberapa laki-laki cepak dengan tampang seram.
"Dia lagi ada tamu penting gak bisa diganggu!"
"Bilang sama mamah aku datang!"
Beberapa laki-laki itu saling memandang.
"Kenapa kalian?" Mei membentak. Suaranya bahkan memecah riuhnya lagu yang sedang berdendang.
"Hai.. Hai... ada apa ini? Oh.. rupanya anak emas datang ya... Ha ha..!" Mulutnya terbuka lebar, tertawa sinis dengan penuh iri dengki menyeringai. Bibir tebal dengan pulasan merah menyala selalu saja membuat para hidung belang menyukainya.
"Hei.. jangan belagu ya! Kamu sudah tidak ada tempat lagi disini! Mengerti!" Bahunya didorong keras. Dan tubuh Mei sedikit mundur karena dorongan Wuri, wanita yang selalu iri dengan Mei.
"Kalau kalian tak membolehkan aku masuk, aku akan berteriak dari sini!" Ancam Mei dengan menatap satu-persatu wajah laki-laki bercepak.
Salah satu laki-laki itu menggerakkan kepalanya. Kode untuk bawahannya. Dan salah satu diantaranya mereka bergegas pergi ke lantai dua. Dia tahu sekali mamah banyu sangat suka sekali pada Mei. Selain dia cantik, dia salah satu satu sumber keuangannya.
"Hei... kalian masih saja menuruti si gembel ini! Dia bukan lagi anak emas disini! Kenapa kalian masih menuruti kata-katanya?" Suaranya meninggi. sampai-sampai orang yang ada di tempat itu melirik ke arahnya. Kini dia sedang menjadi tontonan.
"Diam kamu! Lihat para pengunjung sedang menggunjing. Kamu tak mau dihukum mamah?" Ira menyela Wuri.
Wuri segera terdiam. Dia melotot ke arah Ira. Lalu melengos dengan membawa kekesalan. Dia sadar kalau ada keluhan dari pengunjung, pasti mamah tidak bakal berdiam.
"Naik!" Seseorang dari lantai dua menyuruh Mei naik.
"Tunggu disini!" Mei melarang Ira mengikutinya.
"Mei.. aku ikut!" Dia memelas. Baru selangkah dia maju beberapa laki-laki bercepak langsung menghadang dengan wajah garang dan datar.
Ira mundur lalu melangkahkan kaki ke area parkiran. Dia mencari-cari kursi untuk bisa sekedar mengistirahatkan pantatnya juga kakinya yang sudah terasa pegal karena sepatu tinggi yang dia pakaii.
Karena lampu di sekitaran parkir agak remang dia tak bisa melihat dengan jelas apa yang telah terinjak sepatunya.
"Awww... " Suara itu dengan otomatis keluar dari mulutnya. Dia meringis kesakitan. Ternyata sepatu jangkungnya menginjak aspal berlubang. Kakinya kehilangan keseimbangan, keseleo.
Dia menunduk lalu membuka sepatunya sambil memijat-mijat pergelangan kaki yang mungkin sudah bergeser dari tempatnya.
Terlihat sorot lampu mobil menyilaukan mata Ira begitu matanya menatap sejajar ke arah kendaraan yang sedang lurus mendekatinya. Dia menyipitkan mata mengurangi silau lampu yang menyorot dari arah Mobil di depannya. Mobil itu kian mendekat dan akhirnya berhenti di depan Ira.
"Maaf nona bisakah anda minggir! Seseorang muncul dari balik kaca menyuruhnya bergerak agar tak menghalangi tempat kendaraan untuk di parkir.
"Eh iy ya... " Ira berdiri lalu berjalan jinjit sambil menenteng sepatu sebelah. Lalu duduk di tembokan belakang parkiran.
"Duh kayanya kaki gue sakit beneran nih...! Ringis Ira masih fokus menatap pergelangan kakinya yang terasa tak nyaman.
Seseorang yang tadi menyuruhnya minggir, keluar dari mobil mewahnya. Lalu membukakan pintu belakang. Seseorang muncul dengan pakaian necis. Dia berjalan keluar dengan angkuh dan dingin.
Ira yang tadinya sedang fokus melihat pergelangan kakinya, mendadak matanya terbelalak melihat laki-laki tampan dengan stelan jas seperti bintang iklan. Dia berjalan masuk diikuti dua orang laki-laki di belakangnya.
"Siapa dia... mungkinkah tamu penting?" Ira menatap punggung laki-laki itu sampai masuk ke dalam.
"Oh silahkan masuk!" Mamah Banyu dengan tersenyum penuh arti mempersilahkan tamunya.
Laki-laki itu tak sedikit pun tersenyum. Berbeda dengan para lelaki hidung belang yang biasanya mengunjungi mamah Banyu.
Dia mengamati sekeliling ruangan. Menatap aneh.
Murahan.
"Anda mau minuman apa?" Mamah Banyu dengan senyuman nakalnya menawarkan minuman untuk tamu spesialnya.
"Maaf nyonya, tuan tidak sembarangan minum!" Laki-laki yang berdiri di belakangnya menjawab tegas.
"Oh ya.. ya! Maaf tuan muda Rey, selera Anda memang sama dengan ayah anda." Mamah Banyu hanya mengangguk malu. Tamu yang satu ini memang kelasnya berbeda. Bahkan untuk satu minuman saja dia mampu merogoh uang ratusan juta.
Hah mana mungkin aku menyediakan minuman seharga rumah disini, Aku bisa bangkrut kalau pembelinya kacangan.
"Baik nyonya, tuan muda hanya ingin memastikan bahwa pesanannya akan ada?" Laki-laki yang dibelakang Rey kembali berbicara.
"Oh iya, ini fotonya. Anda bisa melihat barangnya jika ada yang cocok." Rey mengamati foto-foto yang disodorkan mamah Banyu. Netranya langsung tertuju pada salah satu foto yang dianggapnya menarik.
Dia memberikan pada lelaki yang berdiri di belakangnya dan melemparkan sisanya.
Sani, gadis cantik dengan bola mata indah duduk menunggu di dalam rumah. Sesekali dia menatap televisi dan kembali membuka laman di handphone nya. Yang dilihatnya bukan situs belanja atau pun situs yang banyak digandrungi anak muda pada keumumannya.
Sani sejak kecil memang bukan tipikel anak manja. Bahkan cenderung mandiri dan pintar. Tak heran sejak bangku awal Sani selalu meraih rangking teratas dan tak pernah sekali pun prestasinya digeser.
Tak sedikit teman-teman juga guru-gurunya yang kagum atas kepintaran Sani yang di atas rata-rata. Tapi dibalik itu semua Sani merasa minder. Tak sedikit pula teman-teman nya menyindir bahkan mencemooh status dirinya yang lahir tanpa ayah. Itu semua sudah jadi rahasia umum.
Untungnya dari sekian banyak teman-temannya yang melirik Sani dengan sebelah mata, ada juga teman Sani yang mau menjadi sahabatnya. Dia Ijal, laki-laki teman kecilnya sewaktu mengaji yang kini satu sekolah di Sekolah menengah atas yang selalu setia menemaninya.
Ijal bukan hanya sekadar teman, tapi sudah menjadi sahabat Sani sejak SD. Entahlah apa itu taqdir atau unsur kesengajaan. Dari SD sampai Sma selalu satu sekolah.
Di sela-sela membaca artikel, terdengar suara notifikasi.
Sani membuka notifikasi, ternyata ijal mengirimkan pesan wa.
"San.. kamu lagi ngapain?"
"Lagi baca wa kamu."
"Gue tau kan gue ngirim wa, bukan ngirim duit. Maksud gue tuh, elu sebelum baca wa gue lu lagi ngapain?"
"Mau dijawab semuanya?"
"Ih elu rese banget, ditanya gitu doang jawabanya gaje."
"Lu juga sama nanya gaje."
"Lah ditanya ko ngajak perang, ya udah lu sebelum baca wa gue paling terakhir lu lagi ngapain?" Sepertinya ijal sudah biasa menanggapi sikap Sani yang cool dan kadang jutek abis.
"Baca artikel."
"Artikel apa?"
"Banyak."
"Iya apa aja?"
"Lu mau nyensus apa mau ujian?"
"Ya elah, nanya aja. Biar gue dapet input."
"Males ngetik."
"Ya udah gue telepon aja!"
"Males ngangkat!"
"Ente... "
Hening tak ada lagi berkirim pesan. Sani kembali membaca artikel dengan serius. Tak peduli dengan percakapan yang terhenti dari sahabatnya.
Lima belas menit kemudian.
"Assalamu'alaikum."
Sani mengerutkan keningnya. Dengan cepat dia lari ke kamarnya membawa kerudung yang biasa dipakai di rumahnya. Suara itu sudah tak asing didengarnya.
"Waalaikumsalam."
Sani membuka pintu, matanya menatap malas.
"Ngapain kamu ke sini malam-malam?" Sani menekuk wajahnya dengan bibir manyun, jutek.
"Gue mau pinjem catatan buat besok. Di kelas gue ada ulangan, jutek... " Ijal tanpa canggung menyebut 'jutek'
"Catatan apa?"
"Matematika."
Sani dengan wajah juteknya masuk ke dalam kamar mencari buku catatan lalu kembali menghampiri Ijal.
"Nih!" Sani menyodorkan buku catatannya pada Ijal.
"He he gue pinjem dulu yah! Besok di sekolah gue kembaliin." Ijal nyengir kuda melihat keinginannya sudah didapat.
"Hhhm." Sani langsung menutup pintu tanpa basa basi lagi.
Ijal yang sudah tahu karakter Sani seperti itu hanya bisa melongo. Menatap pintu yang baru saja ditutup dengan tatapan penuh harap, pintu akan terbuka lagi.
*Hhmm Sani.. elu emang gak peka jadi cewek. Gue bukan hanya pinjem buku, tapi emang gue kangen liat elu.. dasar cewek jutek yang gak peka.
Eh emang ada gitu cewek jutek, peka? hehe*
Ijal tersenyum simpul sendirian. Menertawakan lawakannya sendirian.
Walau hanya bertemu sesaat, hati Ijal begitu senang. Ya mau bagaimana lagi kenyataannya cewek yang dia sukai memang begitu adanya. Tapi sebenarnya Sani adalah cewek yang baik, tidak neko-neko.
Ijal berjalan menjauh, kembali ke rumahnya setelah tujuannya terpenuhi. 'Modus pinjam catatan padahal pinjam rindu.'
Tak lama kemudian pintu rumah Sani digedor. Sani yang masih duduk menunggu di kursi langsung berdiri dan membuka pintu.
"Mbak Ira kenapa bu?" Matanya heran menatap Ira dipapah ibunya.
"Keseleo San." Ira menjawab.
Sani langsung membantu Ira memapahnya ke kursi.
"Sakit mba?" Ira duduk jongkok melihat kaki Ira yang sedang dipegang.
"Hhmm, lumayan." Ira meringis menahan sakit sambil sesekali mengusap bagian kaki yang terasa tidak nyaman. Padahal dengan diusap-usap pun rasa sakitnya tidak bakal menghilang.
Ya, sebenarnya sentuhan hanya memberi tahu pada otak kita, bahwa kita sedang berkomunikasi dengan bahasa tubuh lainnya. Dia sedang mengatakan 'tak apa-apa kamu kuat' semoga kamu yang sakit bisa tahan ya!
"Sani bawakan es ya mbak, buat mengompres yang sakit!" Seketika Sani berjalan ke dapur membuka kulkas dan mengambil beberapa es balok dalam ukuran kecil dan membungkusnya dengan handuk kecil. Dia kembali mendekati Ira dan mengompres bagian kaki yang sakit.
"Ma kasih anak cantik!" Ira mengelus kepala Sani dengan tatapan haru.
Kenapa kamu lahir disini nak! Padahal jika kamu lahir di luar sana nasibmu akan lebih baik.Tidak seperti kita-kita ibumu.
Ira yang melihat ketulusan Sani merawatnya, merasa hatinya terharu. Tanpa dirasa matanya mulai berkaca-kaca.
'Mbak sakit banget ya?" Dari ujung kelopak mata Sani, dia melihat Ira sedih. Dia mengira mungkin mba Ira sedang menahan sakit akibat keseleo.
"Eh iy iya." Ira menjawab tergagap.
Sani.. aku sedih bukan karena sakit keseleo. Tapi aku sakit hati sama nasib kamu sayang.
Sani tersenyum sambil terus mengompres bagian kaki Ira yang terlihat bengkak.
"Wah mbak bengkak." Sani mencemaskan bagian yang terlihat bengkak dan membiru. Mungkin ada bagian urat yang terjepit sehingga menimbulkan warna kebiru-biruan.
"Kenapa parah?" Ibunya Sani keluar dari kamarnya setelah berganti pakaian rumahan dan menghapus riasan yang tadi digunakannya.
"Iya, kayanya butuh diurut." Ira menjawab dengan sesekali melihat pada kakinya.
"Mbak mau diantar sekarang ke tukang urut?" Sani menanyakan apakah Ira mau pergi ke tukang urut, karena merasa khawatir kalau ditunda-tunda bengkaknya bisa lebih parah.
"Baiknya bagaiman ya?" Ira bingung. Kalau ke tukang urut, dia mesti dipapah. Ira tidak enak hati harus merepotkan.
"Kalau mau, bisa minta tolong Ijal mbak. Bawa motor."
Mendengar kata laki-laki, Mei langsung melotot. Dan Ira menangkap bahasa Isyarat bahwa Mei tidak suka anaknya dekat sama laki-laki.
"Eh.. biar besok saja San. Biar nanti mas Bejo saja yang antar mbak Ira ke tukang urut." Ira segera mengurungkan niatnya untuk segera pergi ke tukang urut, melihat Mei tidak menyetujui ide anaknya.
"Ya sudah. Sani antarkan ke kamar mbak" Sani memapah Ira dengan merangkul tangannya di atas pundaknya.
Suara handphone Mei berbunyi.
"Iya halo." Mei berdiri lalu berjalan ke arah dapur menghindari pembicaraannya di dengar orang lain.
"Siapkan nomor rekeningnya. Sekarang uang yang kau minta akan ditransfer."
Nama lengkapnya Sani Meilani putri. Nama yang tertera di sebuah buku rekening satu bank ternama yang baru saja dia buat satu bulan yang lalu. Wanita itu tengah menatap lamat-lamat nama putrinya yang diketik rapih oleh sebuah komputer. Dalam hatinya dia sedang berbicara, antara menyesal dia lahir menjadi seorang perempuan atau entah dia harus gembira karena uang 2 milyar akan segera masuk ke rekening ini.
Nama ini diambil dari nama kedua orangtuanya yang tak resmi menjadi pasangan, lebih tepatnya dia lahir dari sebuah hubungan sesaat karena transaksi.
Sejak awal memang Sani tidak diharapkan hadir menjadi seorang perempuan bahkan kalau bisa meminta dia tak lahir ke dunia.
Entahlah karena dorongan hati yang merasa iba, Mei terpaksa melahirkan Sani dan mengurusnya sampai usia 17 tahun.
Kalaulah dia lahir menjadi laki-laki mungkin akan beda ceritanya. Dia tidak akan susah-susah mengusahakan agar mendapatkan harga terbaik untuk masa depannya. Ya dia baru saja bertransaksi menjual Sani dengan harga 2 milyar agar kelak dia bisa diperistri oleh seorang yang kaya raya.
Dia menutup rapat rekening itu bersamaan dia pun harus menutup rasa ketegaannya seorang ibu. Ini alasannya kenapa dia menjadi ibu yang sangat dingin bahkan tak punya perasaan pada Sani. Agar suatu saat ketika dia berpisah dengan anaknya, hatinya tidak terlampau sakit. Hal yang sama pula yang telah dilakukan oleh ibunya Mei pada dirinya.
'Mana handphone mu?" Mei dengan wajah dingin meminta handphone Sani untuk diserahkan.
Sani dengan penuh kepasrahan menyerahkan handphone miliknya pada Mei. "Nih bu!" Dia berkata dengan suara lirih. Tak sedikitpun ada niat untuk melawan dalam hatinya apalagi memberontak menanyakan alasannya.
Itulah yang dilakukan gadis cantik bermata indah yang nyaris sempurna seperti mata diamond. Selama ini dia tak berani melawan ataupun membantah apa yang diperintahkan ibunya pada Sani. Dia memilih seperti budak yang patuh pada majikannya ketimbang menjadi anak manja.
Ada rasa takut yang lebih yang telah mengakar dalam dirinya, ya jika ibunya marah atau meninggalkannya. Karena menurut pikirannya, dialah satu-satunya harta yang dimilikinya di dunia ini. Apapun yang dilakukan Mei, Sani lebih memilih jadi anak penurut.
Bisa dikatakan selama ini perlakuan Mei dibilang dingin. Tapi tak menyurutkan Sani untuk tetap menyayangi dan mencintainya. Sejak kecil dia sudah terbiasa mandiri. Dia sigap mengurus dirinya juga ibunya mulai dari membersihkan rumah kontrakannya, mencuci baju dan menyiapkan kebutuhan ibunya selama ini.
Kalau mau dikatakan lelah, ya pastinya lelah. Tapi yang penting buat Sani asal ibu senang Sani pun bahagia.
Berbeda dengan anak-anak seumuran dirinya yang banyak menghabiskan waktu dengan nongkrong sana nongkrong sini, main sana main sini. Sani malah lebih banyak menyibukkan dirinya membantu Mei mengurus salon kecil-kecilan nya selepas sekolah dibantu Ira.
Seperti malam ini. Sani memilih mengistirahatkan tubuhnya untuk bisa bangun lebih pagi seperti biasanya. Tanpa banyak mengeluh ataupun menyesal lahir dari seorang wanita mantan kupu-kupu.
Tidurnya begitu lelap tanpa banyak beban. Setelah aktivitasnya menyelesaikan pekerjaan rumah dan mengerjakan tugas sekolah Sani memilih untuk tidur di awal waktu.
"Mei kamu lagi ngapain?" Ira mendekati Mei yang sedang sibuk memilih baju. Tetapi yang ditanya seperti tak mendengar pertanyaan wanita yang disebelahnya. Dia cuek dan tetap fokus dengan pekerjaannya tanpa melirik sedikitpun pada Ira.
Ira hanya menghela nafas panjang. Dia tak pernah tersinggung dengan sikap Mei yang dingin bahkan cenderung kasar. Wajah itu sudah seperti kuah bakso asam pedas yang biasa disantapnya setiap dirinya merasa lapar. Ya seperti bakso mas Amin kesukaannya.
Ira merasa bersyukur bisa berteman dengan Mei. Karena dialah juga yang bisa melepaskan jeratan mamah Banyu atas kontrak hidupnya sebagai kupu-kupu. Bahkan sekarang dia bisa menghirup udara kebebasan dari lelaki hidung belang. Dia sangat suka tinggal bersama Mei, dan dengan sukarela membantunya di salon kecilnya itu walau tanpa bayaran sekalipun. Dia akan menerimanya dengan bahagia.
Setelah menyiapkan satu gaun yang pantas, Mei menggantungnya di atas dinding yang tertancap paku.
"Wah baju siapa Mei? Buat Sani ya? Ko aku baru lihat Mei. Kapan kau membelinya?" Dengan mata membulat dan mulut terbuka dia takjub dengan gaun yang baru saja digantung Mei. Pandangannya tak mau lepas dari baju itu. Dia mengusap gaun itu dari atas sampai bawah dengan penuh ketakjuban.
"Ini pasti mahal ya Mei? Beli dimana? Aku juga mau kalau nanti punya uang." Terbersit dalam hatinya untuk memiliki baju seindah dan semahal gaun yang baru saja dirabanya. Tapi buat Ira itu sekedar khayalannya saja. Darimana dia akan memperoleh uang yang bisa diperkirakan puluhan juta rupiah. Dia tahu sedikit mengenai fashion dari hasil searching mbah google saja. Sebenarnya minat dan bakat yang Ira miliki memang mengarah pada desainer. Makanya dia betah berlama-lama melihat tayangan atau postingan seputar fashion.
Ira mengatur nafasnya kembali Untuk mengembalikan dunia khayalannya ke dunia kenyataannya. Untuk sekedar makan bakso saja dia masih menumpang belas kasihan Mei selama ini. Kalau pun dia mempunyai uang itupun hanya cukup untuk membeli baju dengan harga pasar dan bedak dengan merk dagang yang lumrah dipakai perempuan lainnya.
"Eh ko sudah tidur?" Ira kembali menatap Mei yang sudah terbaring di kasur yang biasa ditempatinya berdua dengannya.
"Berisik!" Mei hanya mendengus dengan satu kata. Ira pun mengerti dan mengatup kedua bibirnya agar tidak berbicara lagi. Dia mengikuti Mei membaringkan tubuhnya di samping pahlawan wanitanya. Dia pun terlelap di dunia mimpi dengan berharap ada pangeran berkuda membawa sekantong berlian untuk ditukar dengan satu gaun yang baru saja dilihatnya.
Pagi buta Sani sudah terbiasa terbangun. Dia membiasakan diri sholat tahajud seperti yang diajarkannya ketika masih mengaji di ustad Komar. Waktu kecil dia rajin mengaji. Selain tidak dilarang dia pun banyak waktu sendirian di rumah karena Mei sibuk bekerja di mamah Banyu. Sesudah menunaikan tahajud dia pun segera bergegas ke dapur menanak nasi di magicom dan menyiapkan sarapan pagi seperti biasanya sambil menunggu adzan subuh. Setelah adzan subuh dia pun bergegas shalat dan mandi.
"Tak usah pake seragam!" Suara itu mengejutkannya. Lantas Sani pun menanggalkan seragam sekolahnya.
"Pakai ini!" Mei mengulurkan tangannya dan memberikan gaun itu.
Sani menatap gaun hitam tanpa lengan dengan panjang selutut model umbrella. Hiasan batu-batu cantik di dadanya terlihat indah. Sani merasakan sesuatu akan terjadi dengan dirinya. Dia melirik sebentar menatap wajah ibunya. Dia merasa pagi ini adalah perpisahan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!