Di sebuah restoran yang cukup mewah, seorang pria saat ini tengah mengantarkan makanan ke meja pengunjung, dengan pakaian yang sama dengan pelayan lainnya.
Saat dia tengah sibuk dengan kegiatannya itu, tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, hingga menyebabkan dia berbalik badan dan menghadap ke arah seorang gadis yang tengah menatapnya dengan tatapan sendu, serta pipi yang basah oleh air mata.
"Tolong aku Om!" lirih gadis itu menghadirkan kerutan di kening pria berumur 32 tahun itu.
Belum sempat mulutnya terbuka, untuk bertanya apa maksud dari gadis yang sudah beberapa kali datang ke restoran itu, sepasang paruh baya mendatangi mereka dengan wajah marahnya.
"Oh jadi dia laki-laki kurang ajar yang sudah lari dari tanggung jawab itu!" bentak pria paruh baya menatap pria bernama lengkap, Arkana Giovan itu dengan tatapan penuh kemarahan.
Arkan menatap heran pada ketiga orang itu, dia hanya diam karena tidak mengerti apa yang dimaksud orang-orang itu.
Tiba-tiba saja terjadi keheningan di tempat itu, semua orang yang ada di sana tidak ada yang bersuara, bahkan mereka menghentikan sejenak kegiatan mereka, baik para pelayan yang tengah bekerja. Maupun para pengunjung yang tengah menyantap makanan mereka, semunya fokus pada apa yang terjadi itu.
"Sekarang kamu ikut denganku untuk menikah dengan anakku sekarang juga, jangan pernah berpikir untuk kabur dari tanggung jawab!"
Pria yang merupakan ayah dari gadis yang kini tengah menundukkan kepala itu menarik paksa tangan Arkan, tapi Arkan tetap diam di posisinya. Pria itu kemudian menarik tangannya dari tangan pria yang lebih tua darinya itu.
"Tunggu Pak, apa maksud dari ucapan Bapak itu. Lari dari tanggung jawab apa? Dan siapa kalian?" Arkan menatap satu per satu orang itu dengan tidak mengerti.
"Kurang ajar! Sudah ketahuan masih mau mengelak juga dengan pura-pura tidak tau apa pun!" berang ayah dari gadis itu, semakin menatapnya dengan tajam.
"Tapi saya benar-benar tidak mengerti maksud anda apa Pak." Arkan berusaha bersabar dengan apa yang terjadi itu.
"Br*ngsek! Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab, setelah kamu menghamili anak saya, kamu mau lepas tangan gitu aja, dasar laki-laki br*ngsek!" Maki pria paruh baya itu sambil menarik kerah baju Arkan dan melayangkan satu pukulan telak di wajah Arkan.
"Bapak, salah paham. Saya tidak mengenal anak Bapak, apalagi sampai menghamilinya," sanggah Arkan dengan tegas.
"Kurang ajar, setelah menghancurkan anakku kamu mau lari gitu aja, aku tidak mau tau hari ini juga kamu harus menikahi anakku, jika tidak aku akan melaporkan kamu pada polisi karena telah melecehkan anakku dan lari dari tanggung jawab!" teriak pria paruh baya itu lagi.
"Tapi—"
"Jangan mengelak lagi, jika kamu tidak mau tanggung jawab, maka akan menggugurkan anak yang ada di kandungan anakku itu!"
"Tidak Pa, jangan lakukan itu. Biarkan dia tetap ada dan biarkan aku merawatnya," ucap gadis itu akhirnya membuka suara dan memelas pada papanya.
"Om, aku mohon tanggung jawablah, aku ingin merawat anak ini," ucap gadis itu, beralih menatap Arkan yang kini menatap nyalang padanya.
Arkan kaget sekaligus tidak percaya, jika gadis yang beberapa hari ini sering datang ke restoran itu mengatakan hal itu.
Tanggung jawab katanya, apa yang mesti dipertanggungjawabkan, jika mereka saja tidak saling mengenal, gadis itu benar-benar tidak tahu malu, meminta orang yang tidak tahu apa-apa untuk bertanggung jawab atas kehamilannya.
"Aku tidak mau tanggung jawab kar—"
"Br*ngksek, masih tidak mau tanggung jawab juga! Apa kalian lihat laki-laki kurang ajar ini, dia lari dari tanggung jawabnya setelah menghamili anakku, apa kalian akan diam saja, jika apa yang terjadi pada anakku terjadi pada anak atau orang terdekat kalian!"
Pria paruh baya itu semakin menghajar Arkan tanpa ampun, sementara orang-orang di sana hanya diam, karena mereka beranggapan jika Arkan bersalah.
"Pa, hentikan! Kalau papa terus memukulinya, siapa yang akan bertanggung jawab nantinya, sebaiknya kita segera bawa dia untuk segera bertanggung jawab," ujar wanita yang merupakan istrinya melerai pria itu untuk berhenti memukuli Arkan yang tidak bisa mengelak dan membela dirinya.
"Ayo sekarang kamu ikut kami!"
"Maaf Pak, anda tidak bisa membawa dia begitu saja, saya bisa laporkan anda ke polisi karena telah menuduh orang sembarangan." Seorang pria yang lebih muda dari Arkan, menahan langkah Ferdi yang sudah menarik Arkan untuk keluar dari sana.
"Laporkan saja, aku tidak takut! Pokoknya dia harus bertanggung jawab!" Ferdi kembali menarik lengan Arkan.
...----------------...
Setelah keributan yang terjadi beberapa jam yang lalu, kini di sinilah mereka berada. Di sebuah kantor urusan agama, mereka baru saja melangsungkan ijab qabul yang dilakukan dengan dadakan itu.
"Untuk surat nikah dan berkas-berkas lainnya, kalian bisa datang lagi ke sini seminggu lagi untuk mengambilnya," ucap seorang pegawai kantor urusan agama itu sambil membereskan berkas-berkas milik pasangan yang beberapa menit lalu telah sah menjadi pasangan suami-istri.
Pernikahan itu dilakukan hari itu juga, hanya ada dua orang saksi, wali dari pihak perempuan dan penghulu yang menikahkan mereka, meskipun pada awalnya pihak kantor urusan agama heran, saat Ferdi meminta agar melakukan pernikahan hari ini juga, tapi akhirnya mereka setuju.
Meskipun mereka tidak langsung menerima surat nikah, karena harus diproses lagi, untuk mendapatkan surat nikah, mengingat waktu yang sangat singkat itu.
Tidak ada cincin pernikahan atau apa pun yang menjadi tanda, jika mereka sudah menikah. Hanya uang seratus ribu rupiah yang menjadi mas kawin Arkan untuk wanita bernama, Nayna Camelia itu.
Arkan menatap kosong ke sembarang arah, dia tidak percaya apa yang baru saja terjadi itu. Hanya dengan waktu beberapa jam, kini dia sudah menyandang status sebagai suami.
Suami dari perempuan yang bahkan tidak dia kenal, dia hanya sering melihat perempuan itu hampir tiap hari datang ke restoran itu, untuk makan siang dan berdiam diri di sana selama beberapa jam.
"Baiklah, ayo kita pulang," ajak Ferdi yang mulai berdiri dari duduknya.
Disusul oleh sang istri, pria yang menjadi ayah kadung Nayna itu, kemudian menatap Arkan dan Nayna yang masih bergeming di tempatnya, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
"Kenapa kalian diam, apa kalian akan menginap di sini!" Suara tegas dari Ferdi itu, membuat perhatian Nayna dan Arkan teralihkan.
Mereka pun langsung tersadar, saling menatap beberapa saat, kemudian Nayna menundukkan wajahnya dan mulai berdiri dari kursi yang menjadi tempat duduknya.
"Ayo pergi dari sini," ajak Ferdi lagi yang mulai melangkah pergi dari sana.
Melihat kedua orang-tuanya sudah pergi, Nayna pun mengikuti mereka, berjalan di belakang mereka. Namun, saat akan ikut menaiki mobil papanya, suara Ferdi menahan gerakannya itu.
"Kamu tinggalah dengan suami kamu, mulai sekarang tanggung jawab akan dirimu, sudah menjadi tanggung jawab pria yang menjadi suamimu itu. Ma, berikan tasya pada dia, setelah itu kita langsung pulang!"
"Baik Pa," sahut Winda ibu dari Nayna.
Winda mengambil tas yang cukup besar, dari bagasi mobil dan menyerahkannya pada anak satu-satunya itu.
"Maafkan aku Ma!"
Winda tidak menyahutinya, terlihat jelas jika wanita yang melahirkannya itu masih dilingkupi oleh kekecewaan atas apa yang terjadi padanya.
Nayna mengambil alih tas yang ada di tangan Winda itu, tak lama kemudian Winda mulai melangkah memasuki mobil menyusul suaminya.
Nayna menatap sendu mobil yang kini sudah mulai berjalan semakin menjauh darinya, dia menunduk menyembunyikan tangisannya, meratapi kesalahan dan nasib yang kini telah menghancurkan semua mimpi indahnya itu.
"Ayo pergi." Hanya kata singkat nan datar itu yang Nayna dengar dari mulut pria yang sudah menjadi suaminya itu.
Nayna mengikuti langkah Arkan, pergi dari halaman kantor urusan agama itu, mereka berjalan ke arah jalan raya, selama diperjalanan itu hanya ada keheningan yang terjadi.
Wanita itu tidak berani bertanya ke mana tujuan mereka, dia hanya pasrah saat Arkan menyuruhnya untuk ikut masuk ke dalam angkot yang cukup banyak penumpangnya itu.
...*********...
Kini mereka telah turun dari kendaraan umum yang mengantarkan mereka, Arkan berjalan memasuki sebuah komplek perumahan yang sederhana. Sedangkan Nayna hanya mengikuti Arkan dengan pasrah.
Tak lama kemudian, Arkan berhenti tepat di depan sebuah rumah sederhana tanpa gerbang dan memiliki halaman yang tidak terlalu luas. Pria itu mengambil kunci dari saku celananya dan membuka kunci rumah itu.
"Masuk."
Nayna hanya mengangguk dan menatap sekilas wajah datar pria yang sudah cukup matang itu, dia berjalan memasuki rumah yang hanya memiliki satu ruang tengah yang bisa digunakan untuk ruang keluarga sekaligus ruang tamu.
"Kamar kamu di sana," tunjuknya pada sebuah pintu jati berwarna coklat, tanpa melihat ke arah Nayna.
Setelah mengatakan hal itu, dia kembali melangkah menuju ke pintu yang ada di samping, pintu yang tadi ditunjukkannya pada Nayna.
"Om aku minta maaf," ucap Nayna yang akirnya memberanikan diri membuka suaranya.
Arkan menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Nayna yang kini masih menundukkan kepala, terlihat jemarinya, meremas tali tas besar tempat pakainya itu, menunjukkan jika wanita itu kini tengah gugup.
"Maaf karena tiba-tiba saja menyeret Om seperti ini," ucap Nayna lagi.
"Kenapa kamu melakukan hal itu?" tanya Arkan menatap Nayna dengan dingin.
"Aku takut sama Papaku, ketika dia marah. Dia akan melakukan apa pun tanpa berpikir panjang, jadi saat dia meminta aku untuk menggugurkan kandunganku, aku sangat takut," terang Nayna yang masih tidak berani menatap Arkan.
"Kenapa harus aku yang kamu tarik, kenapa tidak orang lain!" geram Arkan.
"Aku tidak tau, semua itu terjadi begitu saja. Entah kenapa saat papa ngomong akan menggugurkan kandunganku aku langsung turun dari mobil dan ternyata aku berhenti di restoran itu dan melihat Om."
"Aku tau kamu pasti sudah mengatur ini sebelumnya bukan? Kamu sengaja menyeret aku, agar anak kamu tidak lahir tanpa seorang ayah. Kamu pikir dengan seperti itu, aku akan mau mengakui anak itu sebagai anakku?"
Mendengar ucap sarkas dan menohok yang terlontar dari mulut Arkan itu, membuat Nayna semakin menunduk, sakit, sesak, dan ngilu. Itulah gambaran untuk hatinya saat ini.
Namun, dia sadar ini memang kesalahannya, salahnya yang menyeret Arkan untuk masuk ke hidup rumitnya itu, wajar saja jika Arkan memiliki pemikiran buruk akan dirinya.
"Om tenang saja, aku akan segera mengajukan gugatan cerai saat usia kandunganku sudah besar, jadi papaku tidak akan bisa memaksa aku untuk menggugurkannya nanti."
Nayna mengucapkan hal itu dengan penuh keyakinan, dia juga tidak ingin menyeret Arkan ke dalam masalahnya itu, akan tetapi, dia tidak memiliki pilihan lain, selain mencari perlindungan untuknya dan calon anaknya yang tidak berdosa saat ini.
"Apa kamu benar-benar, ingin mempertahankan anak itu. Meskipun ayah dari anak itu tidak mau bertanggung jawab?" sinis Arkan yang hanya dijawab anggukan kepala oleh Nayna.
"Berbuatnya aja mau, tapi giliran udah kejadian seperti ini, tidak mau bertanggung jawab dan malah menyeret orang yang tidak tau apa-apa untuk bertanggung jawab."
"Kamu juga, seharusnya sebagai wanita dapat menjaga harga diri dan kehormatan sebagai seorang wanita, bukan asal menyerahkan kehormatan pada laki-laki yang baru berstatus pacaran, kalau sudah seperti ini, bukan cuma kamu yang rugi, tapi orang lain juga ikut terseret!" gerutu Arkan yang kesal dengan keadaan itu.
Dia memilih pergi dari sana menuju ke kamarnya, daripada nanti malah semakin banyak lagi, ucapan kasar yang keluar sebagai ungkapan kekesalan yang ada di hatinya atas apa yang terjadi itu.
"Ya, aku salah, seharusnya aku tidak percaya padanya begitu saja!" lirih Nayna termenung.
23 Maret 20××
Terlihat sepasang anak muda yang tengah bersenda gurau di sepeda motor yang dikemudikan oleh si pria, terdengar obrolan hangat antara dua sejoli yang sudah hampir satu tahun menjalin hubungan itu.
"Kayaknya bakal hujan deh Raf," ucap si wanita yang tidak lain adalah Nayna pada pacarnya.
"Iya, Nih."
Baru saja pacarnya itu selesai bicara, rintik-rintik hujan mulai turun membasahi bumi, merasakan hawa dingin akibat hujan itu, Nayna semakin mempererat belitan tangannya di perut laki-laki yang merupakan pacarnya itu.
"Mau diterusin aja atau kita berhenti dulu di kosan aku. Kayaknya hujannya bakal gede," ucap pacar Nayna yang biasa disapa Raffa itu tanpa menghentikan laju motornya.
Nayna menimbang beberapa saat, dia melihat langit semakin gelap dan rintik hujan kian banyak, rasanya tidak memungkinkan untuk mereka, jika mereka terus melanjutkan perjalanan.
"Kita ke kosan kamu aja deh, kayaknya hujannya bakal deras banget," ucap Nayna dengan sedikit berteriak karena suara angin dan hujan, telah meredam suaranya.
"Baiklah."
Raffa mulai menjalankan motornya ke arah kosannya, kosannya memang tidak terlalu jauh dari posisi mereka saat itu, dibanding dengan rumah Nayna yang masih lumayan jauh.
Hanya membutuhkan waktu beberapa menit, akhirnya mereka pun sampai di depan kosan Raffa, hujan pun kian deras, mereka berdua segera berlari menuju ke kosan berlantai dua dan terdiri dari sepuluh kamar.
Kamr Raffa terletak di lantai satu, kamar kedua dari ujung sebelah kanan bangunan itu.
"Kita nunggunya di dalam aja yuk," ajak Raffa pada Nayna yang tengah sibuk dengan rambutnya yang sedikit basah.
Nayna menatap Raffa dengan ragu, tapi badannya sudah menggigil, ditambah hujan disertai angin, hingga membuat cipratan air sampai ke teras yang tidak terlalu luas itu, bahkan kini sepatu mereka sudah mulai basah.
"Di sini dingin, kamu juga pasti pegal, karena tidak ada kursi," ucap Raffa, sesuai dengan keadaan di sana.
"Baiklah," sahut Nayna setelah beberapa saat menimbang, tubuhnya kini sudah bergetar karena dingin.
Raffa mengambil kunci dari dalam tasnya, pria yang beda dua tahun dari Nayna itu, mendorong pintu hingga pintu terbuka sepenuhnya.
Suasana di sana sangat sepi, selain karena hujan, di jam seperti itu juga, kebanyakan para penghuni kosan lainnya tengah sibuk dengan kegiatan mereka, ada yang sekolah ada juga yang kerja.
"Ayo."
Nayna mengangguk dan masuk, ini pertama kalinya dia memasuki kosan Raffa itu, karena biasanya jika dia datang ke situ, dia hanya akan menunggu di luar.
"Duduklah, aku buatkan teh dulu ya, biar bisa hangetin badan kamu. Sepatunya kamu lepas dulu aja, kalau tidak nyaman," ucap Raffa sambil terus berjalan menuju ke dapur.
Nayna mengikuti apa yang Raffa katakan dengan duduk di sofa yang hanya ada satu di depan tv, dia juga melepaskan sepatunya yang basah, bagian belakang dan lengan seragamnya juga kini telah basah, hingga saat ada hembusan angin, rasa dingin langsung dia rasakan.
"Ini minum dulu, biar gak terlalu dingin."
Raffa datang dari dapur dan menyerahkan secangkir teh yang masih mengepul pada Nayna.
"Makasih," ucap Nayna mengambil cangkir itu dan tersenyum pada Raffa.
"Bentar, aku ambil jaket dulu ya, agar kamu gak terlalu kedinginan." Raffa menyimpan cangkir di yang ada di samping sofa itu.
"Gak perlu, aku udah gini aja," ucap Nayna menahan Raffa.
"Nanti kamu malah masuk angin." Tidak mengindahkan penolakan dari pacarnya itu, Raffa melangkah meninggalkan Nayna.
Tak lama kemudian, dia sudah kembali dengan jaket yang semula dipakainya telah terlepas dari tubuhnya dan hanya dibalut oleh kaos yang sangat pas ditubuhnya itu.
"Ini pakailah." Raffa langsung memasangkan jaketnya itu pada Nayna.
"Makasih," ucap Nayna.
Raffa mengangguk, dia kemudian duduk di samping Nayna karena di sana hanya ada satu sofa yang cukup untuk dua orang.
"Sofanya basah tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa." Raffa menggelengkan kepalanya dan merapikan rambut Nayna yang sedikit basah dan berantakan.
Tak lama kemudian, tangannya terulur ke arah meja kecil di sampingnya, dia mengambil remot tv dan menyalakan tv, hingga suasana di sana tidak terlalu sepi, seperti sebelumnya yang hanya ada suara hujan di luar saja.
Beberapa saat mereka tidak ada yang bicara, Nayna yang masih menggenggam teh yang sudah mulai mendingin itu, serius melihat tayangan di yang ada di tv.
"Dua minggu lagi tepat satu tahun kita pacaran ya." Raffa menatap Nayna dan dibalas anggukan oleh Nayna.
"Serasa baru kemarin, aku memberanikan diri hubungi kamu, setelah setahun hanya bisa memperhatikan dari jauh," sambung Raffa bernostalgia.
"Kenapa kamu baru menghubungi aku setelah keluar?" tanya Nayna yang juga menatap Raffa.
"Seperti yang aku bilang, pada awalnya aku gak berani dan baru mencoba memberanikan diri saat aku udah keluar dari sekolah itu," kekeh Raffa.
Akhirnya mereka kembali bersenda gurau, hingga kemudian mereka saling menatap satu sama lain dengan dalam, akhirnya entah siapa yang memulai, perlahan jarak mereka semakin menipis.
Terjadilah saling memangut, di antara mereka, Raffa mengambil cangkir teh yang berada di tangan Nayna, tanpa menghentikan aksinya itu dan menyimpan cangkir itu ke meja yang ada di belakangnya.
Raffa mengambil kedua tangan Nayna dan melingkarkan tangan itu di lehernya, dia menekan tengkuk Nayna, memperdalam permainan mereka.
Hujan yang cukup deras itu, menjadi saksi kedua sejoli melakukan hal yang tidak seharusnya mereka lakukan, saat nafsu mengurung jiwa mereka, tidak ada yang berusaha mengakhiri kegiatan itu, mereka malah semakin terhanyut dengan kegiatan yang tidak seharusnya mereka lakukan.
...******...
Terdengar tangisan lirih dari wajah yang terbenam dalam lipatan kaki itu, tangis penyesalan atas kesalahan yang telah dilakukan oleh dirinya sendiri.
Mengingat kejadian dimana dirinya melakukan hubungan yang tidak seharusnya dia lakukan dengan pacarnya itu, kejadian yang kini menghancurkan hidupnya dan menanggung harus akibatnya sendiri.
"Kamu di mana Raf, kenapa kamu tega ninggalin aku gitu aja!" lirihnya dengan suara serak.
Dua minggu yang lalu, dia merasakan kebahagiaan karena dia dapat lulus dengan nilai yang memuaskan, dia senang karena dia telah merencanakan untuk daftar ke kampus yang sangat dia impikan.
Namun sayang, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, saat dirinya sadar, jika dia belum mendapatkan siklus bulanan. Setelah mengumpulkan keberanian, dia pun akhirnya mencoba, mengecek keadaannya dengan harapan, apa yang menjadi ketakutan itu tidaklah nyata.
Setelah melihat hasilnya, tubuhnya langung lemas tak bertenaga, mimpi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi itu kini, harus dia kubur dalam-dalam.
Saat tahu jika dirinya ternyata hamil, buah dari kesalahan itu telah tumbuh dalam dirinya, takut, cemas dan frustasi. Itulah yang saat itu Nayna rasakan.
Dia berusaha mencari pria yang menjadi pacarnya itu, tapi nihil, laki-laki itu menghilang begitu saja, lenyap bak ditelan bumi. Di kosan, di kampus, laki-laki itu tidak ada di mana pun.
"Kamu jahat Raf!"
"Tapi, itu juga bukan sepenuhnya salah kamu, aku juga salah!"
Kini hanya penyesalan yang menjadi teman gadis yang baru saja berusia 18 tahun itu, menanggung kesedihan, sekaligus kekecewaan orang-orang tersayangnya, atas apa terjadi itu.
Nafsu sesaat, telah mendorongnya dari hidup yang teramat indah, ke jurang kesengsaraan, bukan hanya dirinya, tapi orang-orang di sekitarnya yang juga ikut terseret karena kesalahan fatal itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!