NovelToon NovelToon

Cinta, setelah pernikahan

Tragedi awal pernikahan

***

Satu minggu telah berlalu, usai pernikahan... Kania pamit pada kedua orang tuanya untuk pergi ke kota bersama sang suami Yohanes Buana wijaya kusuma. Yohans sendiri adalah seorang pria mapan yang sukses, ia sangat sibuk dengan pekerjaannya, hingga usai pernikahan pun mereka belum pernah saling bersentuhan sedikitpun. Sebab entah kenapa Yohanes lebih memilih menggelitiki Keyboard di laptopnya. Ketimbang mengcek istrinya...

"Bu. Nia pamit... maaf jika Nia nggak sopan dan belum bisa berbakti sama ibu sama bapa..." Isak Kania penuh haru biru. Tak ayal sang ibu yang begitu menyanyangi anaknya itu lekas merangkul tubuh anaknya dengan kedua tangannya begitu erat.

Greep!

Peluk sang ibu "Nak. ibu sangat menyayangimu... Ibu tak bisa melepaskanmu tanpa memelukmu... ibu sangat berat melepaskan mu... anak perempua ku" isyak sang ibu sesegukan. Sedangkan sang ayah yang begitu sedih masih berdiri di samping istrinya dan menepuki pundak lelah sang istri yang begitu berjasa dalam membesarkan putri sulungnya itu.

"Sayang. Jangan bicara begitu, iklaskan Nia untuk Nak Hans yang kini jadi suaminya" Jelas ayah Kania dengan pipi merah pekat seakan menahan kesedihannya. Bahkan begitu berembun basah merekah suasana raut wajah pria kekar yang kini mulai menua dan penuh keriput halus itu.

"Hiks... Bu. Kania dan mas Hans pamit..." Imbuh Kania melepas perlahan lungkaran tangan ibunya yang memluknya erat.

Ibunya pun paham dan ia pun lekas melepas tubuh sang anak dan menahan haru pedihnya "Ya nak. Pergilah... Nak Hans. Ibu titip anak ibu ya... tolong jaga dia selagi ibu dan ayah tak ada di sampingnya" pinta sang ibu masih terisak-isak dalam sebuah haru.

Hans hanya mengangguk tanpa sepatah katapun. Hans tampak dingin dengan wajahnya yang selalu datar dalam menghadapi segala situasi yang ada di kediaman Kania.

"Baik-baiklah di sana nak. Ayah hanya berpesan... turutilah segala perintah suamimu. Apapun itu... agar rumah tangga kalian tetap rukun dan langgeng hingga ajal memisahkan kalian..." Pinta sang ayah. Kania sungguh berat hati meniggalkan sang ayah. Namun apa boleh buat, ia kini adalah milik suaminya. Jadi Kania hanya perlu mengikuti suaminya kemana pun ia pergi.

Hans hanya mengangguk. Hans pun mulai meraih tangan kedua mertuanya dan mulai menciumi punggung tangan mereka.

"Kami pamit" ucap Hans.

Kedua orang tua Kania mulai mempersilahkan mereka untuk melangkah ke arah mobil yang terparkir. Meski berat tapi mereka harus rela melepaskan anak perempuan mereka demi kebahagiannya.

Kania dan Hans masuk mobil...

Lalu tak lama berselang setelah itu. Mobil yang Hans naiki melaju cukup kencang untuk memburu waktu lebih awal sampai ke kota.

Hati Kania bergetar dan sungguh ragu pada pria di sampingnya Ada apa denganku... kenapa aku sedikit berharap pria ini mengeluarkan suaranya... Jangan-jangan suamiku bisu? Bathin Kania menggumam.

Sepanjang perjalanan, Kania hanya bisa duduk dengan tubuh kaku di sudut mobil tersebut. Sedangkan di sampingnya suaminya hanya diam dan tak bicara apapun bahkan sepatah katapun. Hans hanya sibuk pada Gadgetnya ia bahkan tak melirik kania sedetikpun.

Sebenarnya yang ada di tangannya itu apa? Apakah Handpone itu terlalu penting hingga ia tak bisa menoleh sedikit saja padaku? Sudah satu minggu ini... dia tidak pernah bertanya apa lagi menyapa. Oh tuhan... apakah pria di sampingku ini waras? Bathin Kania.

Sepanjang perjalanan yang begitu membosankan. Membuat Kania mencoba memulai sebuah pembicaraan. Ia berpura-pura menanyakan lokasi mereka berada saat ini.

"... Ummm... Mas... bolehkan saya bertanya?" Gumam Kania ragu, ia bahkan memainkan tangannya sendiri karna gugup ketika bertanya demikian.

"..." Nampaknya Hans tak menyimak hingga ia abai pada Kania. Kania sungguh malu hingga wajahnya merah padam.

Apa aku harus bertanya lagi? Bathin Kania.

"... Umm Mas Hans..." lenguh Kania ragu-ragu. Hans masih saja cuek. Saat kania mulai merasa sedih, Kania pun membuang wajahnya yang tadi menatap Hans dengan wajah malu-malu itu.

Masa bodoh deh. Dia emang nggak peka... Nyebelin. Bathin kania menggumam.

Nampaknya kelakuan Kania di saksikan oleh supir kepercayaan Hans hingga ia mulai menyahut dalam sebuah jawaban yang harusnya Hans sendiri yang menjelaskannya.

"Kita masih di daerah pedesaan nona muda... Nanti jika sudah dekat perkotaan saya akan mengabari anda" jelas supir kepercayaan Hans. Kania mulai menoleh ke arah supir tersebut.

"Benarkah... Hah... astaga... ternyata kota itu jauh toh..." gumam kania. Supir itu tersenyum...

"Tuan besar Kitt emang pintar mencari calon menantu. Ia bahkan mencari gadis kampung untuk tuan muda..." Kekeh Supir tersebut.

"Ahemmm..." geram Hans seraya masih menatap layar ponsel miliknya.

Kania sedikit mendengar sesuatu tapi tak begitu jelas "Maaf... apakah anda bicara dengan saya?" tanya Kania bingung.

"Ahhh tidak... saya hanya bilang istri tuan Yohanes sangat cantik..." Gumam Sang supir lagi.

"Aheeemmm!" Lagi-lagi Hans menggeram.

"Tuan apakah anda haus?" tanya Kania seraya mencari botol minum air mineral yang ia bawa dari rumahnya. Lantas Hans mulai menoleh ke arah istrinya itu dan lekas menekan ponselnya.

"Tuan ini... minumlah" imbuh Kania seraya menyerahkan botol yang telah di buka tutupnya dan siap di minum.

Tatapan Hans ber artikan amarah dan ketidak nyamanan. Hingga satu kalimat pun mulai terucap dari bibir Hans untuk Kania "Keluar! Dari mobilku!" Bentak Hans. Kania hanya bisa menatap dengan tatapan bingung.

"Apa?" Kania hanya bisa menatap dengan pertanyaan tersebut.

Apa tadi itu? Tanya kania dalam hati. Tangannya masih gemeteran dan lemas mulai melanda ketika ia mendengarkan kalimat tersebut.

Apakah tadi itu suara suamiku? Yang memintaku keluar dari mobilnya... Bathin Kania menggumam lagi.

"Richi! Hentikan mobil ini... turunkan dia sekarang juga! Aku sungguh muak dengan semua ini!" bentak Hans begitu penuh dengan emosi.

"Ta... tapi Mas? kenapa aku harus keluar... kita kan belum sampai kota" balas Kania panik.

"Bos. Kamu serius?" tanya Richi bingung.

"Kubilang Hentikan! ya hentikan!" teriak Hans marah besar.

Richi kaget dengan bentakan keras tuannya itu dan lekas menghentikan mobilnya.

Ciiiitt...

Mereka sedikit terpental karna rem yang begitu tiba-tiba sekali.

Jduuukkk! Nasib sial bagi Kania, ia sungguh terjedok ke depan kursi kemudi. Sebab ia sama sekali tak paham cara memakai seam bell.

"Aduh!" Pekik Kania sedikit terjungkal.

"Nona kamu tak apa-apa?" Tanya Ricchi panik.

"Tidak tuan. Hanya jidak saya sedikit sakit mungkin benjol" Balas Kania menyentuh jidaknya yang terasa gilu.

"Maafkan aku. Aku tadi kaget hingga tak teliti" Pinta Ricchi terlihat cemas pada keadaan Kania. Sedangkan Hans hanya duduk tenang dengan tangan di gulung di dadanya. Ia bahkan tak menghawatirkan kania seperti Kania menghkawatirkan Hans saat ini.

"Tak apa apa... tapi ini di mana?" Tanya kania.

"Ini msih jauh dari kota dan mungkin ini perbatasan... tapi nona maafkan saya karna tak bisa mengantar anda sampai ke tempat tujuan..." Pinta Richi.

"Selama ini aku tak pernah keluar rumah. Dan bahkan aku ini adalah si buta arah... bagai mana bisa aku sampai ke kota sendirian?" Jelas Kania ke bingungan.

Richi mulaai menatap bosnya "Bos... gimana ini? istrimu sama sekali tak tahu jalan ke rumahmu?" tanya Richi menatap Hans dengan tatapan memelas.

"Beri dia uang dan lekas turunkan..." jelas Hans.

"Tapi..." richi bingung.

"Jika dia bisa sampai ke kediamanku dengan caranya sendiri... maka aku akan menghadiahinya sebuah mobil..." Jelas Hans.

"Gluk" Richi menelan salivanya sendiri.

"Tapi aku tak butuh mobil Mas. Tolong jangan buat aku bingung begini?" Kania memohon.

"Richi turunkan wanita itu..." Pinta Hans begitu dinginnnya.

Akhirnya...

Kania di turunkan dengan paksa oleh Richi. Sebuah peta denah lokasi kediaman Hans dan sepeser uang tunai di bekalkan pada gadis malang itu.

Apakah Kania akan kembali ke orang tuanya? Atau kania akan tetap mengikuti permintaan Hans yang begitu merendahkan martabat kania.

Aku tak tahu... apa salahku hingga ia menyuruhku pergi dari sampingnya dengan cara yang begini tidak sopannya.gumam bathin Kania.

Bersambung...

Di lema yang melanda

***

Bruuuummmm!

Laju mobil yang Richi kendarai melesat cepat bah Kilat membawa Hans si pria dingin yang kejam.

Sementara Kania hanya bisa memantung di pinggir aspal yang mulai terasa membakar diamnya. Saat ini Kania sungguh bimbang, sebab ia sungguh tak tahu apa yang harus ia lakukan untuk sekarang.

Jika kamu dapat sampai ke Rumahku dengan kakimu sendiri. Maka... rencanaku untuk mengabaikan mu akan segera ku lupakan. Tapi, jika kamu tak sanggup pulang ke kediamanku dalam waktu dua puluh empat jam... maka, bersiaplah... menerima surat cerai dariku. Jelas Hans sebelum Kania di turunkan secara paksa dari mobil tersebut.

Kania masih berdiri mematung tanpa arah dan tujuan. Jika ia memutar langkahnya ke belakang. Maka ia akan mendapatkan pertanyaan yang bertubi dari orang tuanya dan menjadi buah bibir juga cemoohan para tetangga yang terkenal fanatic itu. Mungkin akibatnya kedua orang tua Kania akan sakit karna mereka akan mendapatkan perlakuan tak menyenangkan dari para tetangga mereka ... Tapi, jika ia melangkah maju ke depan. Ia sungguh ragu, apakah suaminya akan menerimanya secara sungguh-sungguh ataukah ia akan terus di lecehkan seperti hari ini.

Kania sungguh mati kutu saat ini. Apa boleh buat, selama ini ia hidup di lingkungan perkampungan dan sama sekali tak tahu arah alias buta arah. Apa lagi saat ini ia harus menempuh jalan yang cukup panjang menuju kota.

Apa yang harus aku lakukan? Bathin Kania menatap lesu jalan di hadapnnya yang terbentang begitu luas dan seakan terjal.

Sebuah kertas di genggamnya... dan bertuliskan alamat lengkap, Kertas tersebut diberikan oleh Richi sebelum Richi memaksa Kania turun. Kania hanya bisa menatap pedih ke arah kertas itu hingga saat ini... Kertas tersebut mulai menjadi tumpuan hidupnya.

Baiklah... demi kehormatan orang tuaku! Aku akan melangkah kedepan...Bisik Kania mengepalkan tangannya Mantap. Kini Ia sudah bertekad untuk tak kembali ke belakang dan menemui ibunya. Ia sungguh takut jika orang tuanya akan sedih hingga sakit jika mengetahui bahwa anak yang ia harapkan bahagia itu akan jauh dari perkiraan mereka.

Maafkan aku ayah ibu... Rupanya anakmu ini tak seberuntung yang kalian bayangkan. Bathin Kania meratap sedih.

Langkah pelan mulai menghentak aspal panas pagi menjelang siang itu. Suasana gerah dan penat mulai merambat naik ke kepala Kania. Kania sedikit pusing hingga langkahnya sempoyongan. Mungkin juga karna perutnya lapar...

Kenapa tak ada satu kendaraan pun yang lewat sini. Apakah aku akan sampai pada waktu yang telah di tentukan? Aku sungguh tak mengira... bagai mana bisa sepatah kata yang keluar dari mulut suamiku akan sebegini menyakitkannya. Padahal, aku hanya ingin mendengar sebuah sapaan manis darinya. Lantas saja sedari awal pernikahan kami... ia tak ingin bercerita hingga saling bertegur sapa. Lantas ini yang ada di benaknya? Bathin Kania menggumam seraya terus melangkah pelan dan lemas.

Kania terus melangkah beberapa puluh kilo meter lagi hingga ia bisa dengan mudah menuju pusat kota.

***

Di tempat lain...

"Tuan Hans jahat banget sih anda..." Gumam Richi di sela-sela kemudinya.

"Cih. Jangan menasihatiku..." balas Hans marah. Hans tampak tak begitu cemas pada Kania. Ia bahkan terlihat tenang dan tanpa beban. Raut wajah ringan nya sungguh membuat richi miris.

"Kita kan teman sejak SMU. Aku tak pernah menyangka jika sahabatku ini akan sejahat itu pada istrinya sendiri" Jelas Richi terus menggumam dan sengaja membuat Hans terhasut hingga merasa bersalah pada dirinya sendiri.

"Berisik... Putar arah, aku ingin menemui Marsha" Imbuh Hans lantang. Jelas Richi kaget. Hingga tak menginjak Rem begitu saja tanpa memperhatikan arah.

CIIIITTTT!!!

Mobil berhenti mendadak hingga Hans terlempar kedepan kursi yang di duduki Richi. Tapi untung Hans tak terjedok sebab Seam belt yang ia kenakan cukup kuat menahan daya grafitasi.

"Richi! Kau gila!!" Teriak Hans menekan suaranya begitu lantang.

"Apa? Apakah tadi itu aku tak salah dengar?" tanya Richi kaget.

Sementara kebingungan melanda Richi atas di ucapnya nama Marsha. Beberapa mobil di belakang Mobil yang Richi kendarai mulai menekan klakson mereka hingga terdengar begitu bising dan menyakitkan di telinga.

TINNN! TIIIINNN!

"Dasar bodoh! Lekas lajukan kendaraan ini!" bentak Hans marah lagi.

"Ba-baik bos. Maaf ini mutlak salahku..." Richi lantas segera melajukan kedaraannya ke pinggir. Hingga beberapa pengendara lain melaju menyalip kendaraan Richi.

"Bagus jika kau sadar..." Dengus kesal Hans. Ia kembali menggulung tangannya di perut dan memejamkan matanya. Sementara sepanjang perjalanan Ricchi justru khawatir pada keadaan Kania.

Bagai mana nasib wanita itu? Aduh bos... kenapa kau jadi serakah begini. Bathin Richi.

Dalam pejaman mata Hans... Mulai terekam kenangan di saat Hans menolak keras permintaan terakhir sang ibu... yang bersikeras menjodohkannya dengan Kania.

Flasback...

Pagi itu, Hans sedang di masion Marsha... Masion mewah yang di beli Hans untuk wanita yang paling ia cintai. Meski terbilang mahal... bagi Hans harga segitu tak ada masalah baginya.

"Menikahlah denganku..." Pinta Hans pada Marsha. Marsha sendiri adalah seorang model papan atas yang baru saja naik daun setelah dua tahun berkarya di panggung hiburan. Mereka berpacaran sedari SMU kelas satu. Hans menemani karir Marsha sedari nol besar hingga seperti sekarang.

Satu ucapan serius itu sungguh membuat Marsha bimbang. Padahal jika di lihat dari ketulusan Hans. Kata-kata itu akan terdengar manis dan romantis. Tapi wajah Marsha malah terlihat cemas dan pucat.

"Bagai mana? Apakah kita bisa meneruskan kisah ini hingga jenjang pernikahan?" Tanya Hans memperjelas lamarannya. Marsha masih diam tak bicara. Wajah panik Marsha makin jelas terlihat hingga membuat Hans sedikit terpukul.

"Sayang..." Hans lekas menarik jemari indah yang begitu lentik berhiaskan gemerlap manik-manik di setiap kuku colorful Marsha lembut. Marsha tetap diam dan tak berani menatap dua bola mata Hans yang saat itu menatap nya begitu sayu.

"Sayang... apakah kamu mencintaiku?" tanya Hans sekali lagi. Marsha sungguh gemetaran, giginya sampai bergerigi karna gemetara. Jantung marsha mendidih dan wajahnya memerah. Nampaknya Marsha amat bingung, ia tak bisa memutuskan pernyataan Hans saat ini.

"Sayang... jawab aku..." Pinta Hans. Hans merayu Marsha dengan menciumi punggung tangan Marsha yang Glowing.

"A-aku... aku tidak bisa menjawabnya..." sekarang..." Satu ungkapan itu sungguh membuat alis Hans naik dan matanya melotot tak karuan.

"Apa maksudnya?" tanya Hans dengan jantung yang mulai mendidih. Hans nampak malu dengan jawaban yang tak ingin ia dengar itu.

"Aku... aku baru saja di kenal dunia. Jika aku menikah... Maka Karir ku akan segera redup! Aku tak ingin semua itu terjadi. Jadi, tolong beri aku waktu..." Pinta Marsha memperjelas keadaan. Hans cukup marah dengan penjelasan itu, tapi ia adalah seorang pria bucin. Jadi ia putuskan untuk menahan emosinya dan memilih menunggu waktu yang tepat agar Marsha bisa mengambil sebuah keputusan yang ia harapkan.

"Haaah..." Helan napas berat Hans. Hans lekas meraih tubuh wanita di hadapannya dan mulai merangkup nya dalam pelukan hangatnya.

"Baiklah... aku akan menunggu hingga waktu itu tiba. Aku akan setia menunggumu untuk mau menikah denganku kelak..." jelas Hans mencium kening kekasihnya itu. Tentu saja Marsha gelepek-gelepek di pelukan Hans dengan kata-kata seromantis itu.

Mereka saling berpelukan satu sama lain begitu hangat dan terlihat romantis "Makasih sayang. Kamu adalah yang terbaik di dunia ini..." ucap Marsha bahagia seraya memeluk tubuh Hans makin erat.

... Saat keduanya sedang saling mengasihi satu sama lain. Sebuah dering ponsel mulai membuyarkan ke indahan di antara keduanya yang saat ini tengah terjalin itu.

Tttrrrrr...

"Sayang... ponselmu berdering..." Ucap Marsha menatap wajah Hans yang sedang terpejam itu.

"Biarkan saja. Paling si Richi... dia memang suka mengganggu. Soalnya diakan Jomlo..." Gumam Hans masih memejamkan matanya dalam posisi berdiri dan masih memeluk Marsha.

"Angkat dong... Siapa tahu ada hal yang penting" pinta Marsha.

"Biarkan saja... mereka memang pengganggu" Bantah Hans enggan mendengarkan permintaan Marsha untuk mengangkat ponselnya. Akhirnya ponsel Hans pun berhenti berdering.

lalu kemudian... Ponsel Marsha yang malah berdering beberapa kali. Himgga Marsha mendorong Hans dan lekas mengangkat ponselnya.

"Sayang mau kemana? Jangan pergi?" Pinta Hans.

"Pasti produser ku yang telpon" Pekik Marsha dengan nada tinggi.

"Baiklah terserah kamu..." Hans pasrah atas penjelasan wanita itu. Hans pun duduk di matras Marsha, Sedangkan Marsha nampak bingung ketika menatap layar ponsel di depannya.

"Namber tak di kenal?" bisik Marsha.

"Siapa sayang?" tanya Hans.

"Nggak tahu nih..." Marsha lekas mengangkat ponselnya dan memulai sebuah percakapan.

"Hallo dengan siapa?" tanya Marsha. sebenarnya dia enggam mengangkat ponsel nya tapi karna ia tak ingin di telor iapun putuskan untuk mengangkat ponsel tersebut.

"Hallo. Nak Marsha apakah Hans ada di sana?" tanya seseoang di balik telpon itu. Suara tersebut terdengar panik dengan nada yang terengah-engah.

"Anda siapa? kenapa kenal saya? Lalu kenapa anda juga kenal dengan Hans? Dia adalah Ceo ternama di perusahaan Elexrltro producty. Bagai mana anda bisa asal bicara seprti itu. Sungguh tidak sopan!" Bentak Marsha cukup marah dan nyolot.

"Jaga bicara mu nak. Saya adalah ayah nya Hans... Tuan besar Rangga Buana Wijaya Kusuma. Suruh Hans segera kerumah sakit sekarang! nyawa ibunya sedang ada kritis!!" Jelas Ayah hans marah.

"A-apa... Ayah hans...Sial apa yang aku lakukan tadi?" bathin Marsha menggumam.

"Datang segera ke rumah sakit Citra Harapan..." bentak Tuan Rangga lekas menutup ponselnya.

"Hallo... Hallo..." Marsha sungguh terpatung seketika setelah ia tahu bahwa yang barusan ia bentak itu adalah Ayah nya Hans.

"Sayang siapa? Kok wajahmu jadi pucat begitu?" tanya Hans mulai bangun dari duduknya lalu menghampiri Marsha yang masih menatap layar ponselnya.

"Sayang... kamu baik-baik saja?" Tanya Hans menepuk pundak Marsha.

"Ibumu Kristis. Tadi ayahmu menelponku agara segera kerumah sakit Citra Harapan sesegera mungkin..." jelas Marsha.

Hans pun kaget dan tak percaya "Ah yang benar?!" tanya Hans syok.

"Ia... bisakah kamu temui ayahmu sekarang?" tanya Marsha.

"Tentu. Tapi kamu juga ikut" pinta Hans mencengkram tangan Marsha.

"Ti-tidak... Aku tidak bisa ikut denganmu..." Desah Marsha menolak.

"Aku akan tetap mengajakmu sekalian memperkenalkan mu pada Kluargaku..." jelas Hans.

Akhirnya mau tak mau Marsha pun ikut bersama Hans ke rumah sakit di mana ibunya tergeletak tak sadarkan diri.

Bersambung...

Wasiat ibu...

***

Sesuai arahan yang di terima Marsha lewat telpon. Hans dan Marsha tergesa-gesa menuju tempat tersebut. Dan di saat mereka sampai di tempat itu. Hans sungguh kaget hingga bola matanya terbelalak ketika menyaksikan keadaan yang cukup mengharukan. Di mana Hans melihat Ayah dan adik perempuan Hans tengah saling merangkul dalam sebuah tangisan.

"A-yah..." kelu lidah Hans saat mengucap demikian. Suara lembut itu terdengar hingga telinga Ayahnya dan membuat sang ayah menoleh ke arah anaknya itu "Hans..." sang ayah lekas menyeka air di wajahnya yang terjun begitu deras seakan menceritakan sebuah kepedihan yang amat dalam.

"Ayah. Apa yang terjadi pada ibu? Tadi pagi ia masih baik-baik saja?" Tanya Hans panik menghampiri sang ayah dengan langkah yang begitu gemetaran.

"Ibumu kena serangan jantung nak. Lekaslah menikah... itu yang di minta ibumu" jelas sang ayah menyentuh bahu kekar sang anak seraya mengelusnya.

"Apa? Kenapa ibu meminta hal demikian? Ini konyol dan begitu mendadak untukku" Dengus Hans kesal.

"Tolong kabulkan keinginannya... Siapa tahu, dengan kamu menikah sekarang juga. Ibumu bisa sehat kembali... Mungkin ia ingin melihat anak kesayangannya menikah dan bahagia..." Jelas sang ayah memaksa.

Hans melamun dan menoleh ke arah Marsha yang saat itu masih tertatih di belakang punggung kekar Hans.

"Ia kakak. Tolong selamatkan nyawa ibu. Mungkin ia ingin melihat kakak bahagia..."Ujar sang adik.

"Tapi Gin. Kakak belum siap..." Imbuh Hans menelan salivanya sendiri.

"Keterlaluan! Egois sekali kamu Hans. Bahkan kamu tak ingin menyelamatkan nyawa ibumu sendiri!" Bentak Tuan Rangga marah besar setelah permintaannya di tolak mentah-mentah.

"Tapi Yah. Ini sangat mendadak sekali... Kami belum bisa memutuskan nya sekarang" Jelas Hans menolak lagi.

"Baik jika ini yang kau pilih. Pergilah sekarang juga. Tapi... ayah tak akan memberimu apapun, selain pakaian yang kau kenakan saat ini. Segala pasilitasmu akan Ayah cabut... terutama saham penuh atas Nama perusahaan yang sadang kamu pimpin saat ini" Jelas sang Ayah

Cetttaaaarrrr!

Bagai di sampar petir hati Hans kaget setengah mati "Apa maksudmu ayah?" tanya Hans panik. Bahkan keringat dingin mulai bercucuran di jidaknya.

"Maksudku. Aku akan menghapus mu dari anggota keluarga... Hingga kau pun tak akan mendapatkan sepeser uang pun dariku" Jelas sang ayah. Hans makin takut, Lalu saat suasana makin kacau... Ginaya mulai mendekati sang ayah dan mulai meluluhkan amarahnya "Ayah... jangan marah, jangan paksa kakak seperti ini..." Pinta Ginaya.

Sang ayah menoleh "Pilih saja salah satu... Egomu. Ataukah kluarga ini..." Tuan Rangga nampak amat marah, Bahkan ia menatap wanita di samping Hans begitu tajam. Sungguh, saat itu tuan Rangga memperlihatkan amarahnya yang dalam.

Tuan Anggara dan Ginaya mulai menjauhi Hans. Sementara Hans dan Marsha saling terdiam tak berkata satu sama lain.

Hans menoleh kearah Marsha, ia mulai berlutut di bawah kaki wanita itu, nampaknya Hans sedang memohon "Sayang. Ku mohon... demi ibuku, demi kebahagiaan ibu... tolong terimalah lamaran ku ini..." Pinta Hans menyentuh kaki Marsha penuh penyesalaan.

Marsha malah mundur dari Hans dan membuang Wajahnya. Hans kaget dengan keangkuhan Marsha yang tampak sekali bahwa Marsha memang tak ingin menikah dengannya.

"Maaf... Aku tidak bisa..." jelas Marsha. Hans sungguh hancur. Tak ada satupun yang bisa ia harapkan.

"Kapan...? lalu kapan kita akan membina rumah tangga yang indah itu?" tanya Hans menahan amarahnya. Hati Hans sungguh hancur saat ini.

"Maaf. Aku sungguh tak bisa menentukan waktunya. Maafkan aku... aku tak bisa membantumu Hans"

Degh!

Hans mulai tersadar, Marsha sama sekali tak ingin menikah dengannya. Hans sungguh merasa patah hati, tapi sebisa mungkin ia menahan kesedihannya.

"Sungguh... kamu tak akan menyesal?" tanya Hans mulai memejamkan matanya. Lalu ia berdiri perlahan dan tertatih-tatih di hadapan sang kekasih yang tengah menolaknya secara mentah-mentah itu.

"Aku sungguh yakin dengan pilihanku ini..." Jelas Marsha mulai mundur lagi. Lalu memutar kakinya seakan tak perduli pada Hans. Hans sungguh terpukul atas perlakuan Marsha yang begitu dingin padanya itu. Hingga ia mulai menahan air matanya yang hampur jatuh itu karna terlalu sakit.

Akhirnya, dengan segenap amarah yang ada. Hans pun mulai berdiri tegap menatap kepergian Marsha yang berlalu begitu saja tanpa mempertimbangkan hubungan mereka lebih lanjut nya lagi.

"Marsha! Aku tak akan pernah melupakan hari ini. Hari di mana kamu mencampakanku demi Karirmu itu!" Bentak Hans. Hans mengepalkan tangannya dan memukul dinding di sampingnya.

Buak! Kerasnya pukulan Hans yang di bumbui amarah itu. Berhasil membuat dinding rumah sakit yang kokoh itu mulai gentar dan retak-retak halus. Sementara dinding putih rumah sakit trsebut mulai berwarna merah pekat, Akibat cairan darah dari tangan Hans yang menetes begitu derasnya. Tinjuan itu membuat kepalan tangan Hans sobek. Tapi luka di tangannya tak begitu parah, yang lebih parah adalah luka di hatinya yang tersayat habis akibat kata-kata Marsha yang begitu menyiksa.

"Kau... sungguh tak perduli padaku..." Hans melangkah longai bergontai menuju kamar ICU. Dimana ibunya tergeletak tak berdaya... Hingga akhirnya ayah Hans menjodohkan Hans dengan gadis desa yang di besarkan mantan supir pribadi kluarga Buana Wijaya Kusuma Sang manatan supir di pilih tuan besar Rangga karna ia telah berjasa menyelamatkan nyawa tuan besar itu. Sebab sebelah ginjal orang tua Kania telah rela di donorkan untuk tuan Rangga tersebut tanpa pamrih. Hingga untuk menghormati jasa tersebut, Tuan Rangga memutuskan untuk mengangkatnya menjadi besan.

Meski hans menolak keras, tapi pernikahan dadakan itu berjalan begitu Hikmat. Hingga ibu Hans sadar dan menyaksikan sumpah sakral yang terjalin di rumah sakit itu. Ibu Hans amat bahagia melihat anak sulungnya telah bersunting dengan gadis cantik yang luguh macam Kania.

Usai pernikahan... Beberapa hari kemudian, Ibu Hans menghembuskan napas terakhirnya. Ibu Hans yang bernama nyonya Kinanti, meninggal dengan bibir tersenyum seakan bahagia. Hans amat terpukul, saat itu Hans berniat menceraikan Kania. Namun sang ayah tak setuju dan mengancam akan tetap menghapus Hans dalam anggota keluarga jika ia tak bisa menjalankan amanah sang ibu.

Hingga Hans marah dan mengantarkan Kania ke desa. Beberapa hari tinggal di desa... Rupanya tak membuat Hans melupakan sosok Marsha. Ia malah menggebu dan malin rindu pada wanita yang paling ia cintai sedari remaja itu.

Hingga Hans terus mengacuhkan Kania yang selalu ada untuknya dan terus bersikap manis padanya itu.

***

Hans pun mulai membuka matanya setelah beberapa jam tertidur. Hans mulai mencercid-cercipkan matanya yang seakan ke silauan itu.

"Richi... Di mana ini?" tanya Hans seraya meregangkan tangannya yang terasa pegal itu.

"Kita ada di jalan utama bos..." balas Richi. Hans mulai menatap sekeliling dan mulai termenung "Lho. Kita di mana? kok rasanya mobil kita tak melaju sedikitpun?" Tanya Hans bingung.

"Ya tuan. Mobil kita tak maju sama sekali. Karna mogok... ini sedang menunggu tukang servis datang. Agak lama sih sebenarnya" jelas Richi.

"Sial! disaat seperti ini... Malah mogok" gumam Hans ngambek parah. ia mulai merogoh ponselnya dan lekas menelpon supir lainnya.

"Hallo. Joe... aku search lokasinya. Kamu langsung garcep ke mari" pinta Hans. Richi mulai memutar duduknya dan menatap smag tuan muda itu.

"Lho bos. Kok cari supir lain" tanya Richi kecewa.

"Ya. Aku akan naik mobil lain... kamu tunggu saja hingga servicenya selesai" Jelas Hans.

"Lho kok gitu?" Richi sungguh kacau.

"Bentar lagi Joe datang. Dan aku akan pulang barengan dia..." jelas Hans. Ia beberapa kali menatap jam di pergelangan tangannya.

Hans mulai keluar dan menunggu beberapa menit. Tak lama setelah itu, Mobil Joe datang dan lekas membawa tuan muda itu menuju tempat yang ia inginkan.

BRUUUUMMM!

Kini hanya Richi yang duduk di dalam mobil seorang diri.

Sial si bos. Kenapa dia malah memilih wanita itu ketimbang istrinya sendiri. Bathin Richi menggumam.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!