Sebuah rumah tampak sibuk seperti biasa. Dengan cuaca berkabut dingin di Bandung, Dara tetap seperti biasa semangat menjalankan tugasnya.
Dara telah menjadi seorang ibu tunggal di enam bulan ini. Ia begitu lihai memainkan perannya, tanpa sedikit pun terlihat canggung. Biasanya seorang perempuan yang menyandang status ibu tunggal terlihat lebih lesu, namun tidak dengannya.
Sebagai seorang yang perfeksionis, ia tahu apa yang ia inginkan dalam rumah tangga yang ia kelola sendiri saat ini. Setidaknya dengan kondisi saat ini, anak-anaknya tetap terjaga dalam rumah yang bersih, dan mendapatkan nutrisi yang baik.
“Ma! Kaos kaki di mana,” seru anak laki-laki sulungnya dari teras depan. Bocah itu kini telah duduk di bangku sekolah dasar. Untuk anak seumurannya, Kio terbilang cepat menjadi mandiri dalam hal-hal harian seperti bersiap ke sekolah, merapikan mainannya, juga terkadang membantu ibunya menjaga adik-adik ketika diperlukan.
Dara berlari kecil dari dalam rumah dengan tangan kiri menggendong bayi laki-laki berusia 1 tahun, serta tangan kanan yang berusaha memegang kotak bekal, kaos kaki, dan botol pelembab wajah untuk anak-anak.
“Kio. Apa kata mama? Jangan sampai lupa lagi ini, ya Nak” ujarnya sembari mengoleskan tipis pelembab pada wajah putranya itu.
Dengan cepat ia memasukkan kotak bekal serta botol minuman ke dalam tas Kio. Tak lupa juga merapikan sisipan kemeja sekolah yang sedikit asal-asalan. Sudah seminggu Kio masuk sekolah dasar. Dengan jadwal belajar yang sedikit lebih lama di sekolah, ibunya bisa sedikit ringan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, sembari bekerja mencari uang, dan mengurus dua orang bocah lainnya yang masih balita.
“Kio ingat ‘kan apa kata mama tentang menyeberang jalan?”
“Tengok kiri dan kanan, kalau kosong boleh menyeberang. Kalau takut, bisa minta bantuan orang dewasa di dekat situ. Iya ‘kan ma? Memangnya mama enggak bisa antar Kio hari ini, ya?” bocah laki-laki itu menjawab dan balik bertanya pada ibunya.
Dara selalu terenyuh hatinya dengan pertanyaan Kio seperti itu. Sebagai ibu, ia sadar benar bahwa Kio mulai kurang mendapatkan banyak waktunya.
“Mama ada kerja pagi ini, dan Jeje belum bangun. Besok kalau Jeje sudah bangun, kita semua pergi antarin Kio ke sekolah ya,” kali ini lagi-lagi ia harus bisa membesarkan hati sulungnya.
Beruntungnya, sekolah Kio tidak begitu jauh dari rumah yang ditempati mereka. Dara sengaja menyewa rumah itu karena memperhitungkan jarak dengan sekolah dasar. Selain itu, udara yang segar dan lingkungan yang tenang, tentu baik baginya dan anak-anak.
Kio berbagi kasih sayang dan perhatian ibunya dengan dua orang adiknya. Seorang bocah perempuan berusia 3 tahun bernama Jeje, dan bayi 1 tahun bernama Ray. Di usianya yang enam tahun, ia sudah bisa menjadi mandiri sedikit demi sedikit sejak melihat ibunya sendirian mengurus segala sesuatu di beberapa bulan belakangan.
Dara seorang pendatang baru dalam dunia orang tua tunggal. Namun tampaknya ia telah mempersiapkan dirinya sejak lama. Ia bisa dibilang terlatih dengan baik, sebelum akhirnya menyandang status tersebut. Di kesehariannya, ia merawat ketiga anaknya tanpa bantuan siapa pun. Ia bukan penduduk asli Bandung, melainkan dulunya seorang perempuan perantau yang akhirnya memutuskan menetap di kota kembang itu. Dengan tubuh yang kurus langsing, tidak ada yang menyangka ia mengerjakan semuanya sendiri. Bekerja sebagai seorang penerjemah, mengurus rumah dan anak-anak, juga sesekali mencari kesibukan lain yang bisa menyeimbangkan kesehatan otaknya.
Pada pukul 08.00 pagi itu, seperti biasa rumahnya telah bersih dari halaman depan ke halaman belakang. Semua tanaman herbalnya terlihat basah, rumah yang adam dengan wangi lemon dari pengharum lantai yang ia gunakan mengepel. Hampir tidak terlihat debu pada kaca jendelanya, juga wastafel yang sudah kosong dari tumpukan piring kotor.
Ia menarik gorden pada ruang tamu, sedikit menutupnya lalu berjalan ke sana kemari menidurkan Ray. Bayi itu biasanya akan tidur di jam-jam setelah kakak sulungnya berangkat ke sekolah. Tak butuh waktu lama, bayi yang sudah kenyang dengan sarapan bubur gandum dan buah, akhirnya tertidur pulas. Dara segera membaringkannya di tempat tidur, kemudian menutup rapat-rapat pintu agar Ray bisa tetap lelap selama mungkin.
Bukan bersantai yang ia dapatkan, Dara langsung duduk di kursi kerja miliknya, membuka laptop dan mengecek semua pesan masuk di email-nya. Salah satu keuntungannya yaitu pekerjaan yang ia lakukan dalam setahun belakangan ini dilakukan dari rumah saja, yaitu menerjemahkan berbagai dokumen bahasa asing ke Bahasa Indonesia. Dengan penghasilan itu, ia bisa terus hidup dalam kecukupan dengan anak-anaknya.
Sebagai perempuan yang pandai dalam bahasa asing, ia memiliki peluang kerja lainnya. Namun untuk saat ini, ia berharap agar lebih banyak mendapatkan pekerjaan dari rumah agar bisa terus mengawasi anak-anaknya.
Tangannya mengeklik dokumen satu per satu. Kali ini ada sebuah buku dengan isi beberapa bab yang harus ia terjemahkan. Dara menutup matanya sesaat. Ia bukan sedang berdoa, melainkan menutup mata, menarik dan menghembuskan nafasnya dengan tenang berkali-kali sebelum memulai pekerjaannya di hari itu. Tak lupa juga menyeruput kopinya yang sudah hampir dingin.
Pagi ini lagi-lagi semua selesai dengan sempurna. Cucian yang telah di jemur, sarapan yang telah tersedia, anak yang telah berangkat ke sekolah, dan dua balita yang tidur dengan nyenyak. Semua ini ia kerjakan mulai saat azan subuh berkumandang.
Pagi ini ia bangun lebih awal untuk mandi, dan mengeringkan rambutnya yang lurus sebahu. Ia terlihat begitu cantik meski tidak memakai riasan apa pun. Kulitnya yang kuning langsat, bibirnya yang merah, dan senyum yang selalu terulas ketika bertemu tetangganya, tidak ada yang menyangka Dara sudah hampir berkepala tiga. Sebuah kemujuran, ia memiliki tubuh ideal meski telah melahirkan tiga anak. Bukan hanya itu, akhir-akhir ini ia telah kembali menjadi dirinya yang sedikit lebih ceria dari biasanya. Setidaknya ia sudah memiliki minat lagi untuk berkebun, merawat rambutnya yang sangat jarang ia sisir ketika masih berada dalam pernikahan.
Namun... Perempuan cantik dan pintar sepertinya ... Bagaimana mungkin sudah menjadi ibu tunggal di usia 26? Itu adalah pertanyaan yang tebersit di kepala setiap orang yang baru pernah berkenalan dengan Dara, namun tidak dengan teman-temannya.
Dara tidak memiliki banyak teman. Yang benar-benar ada dalam situasi apa pun? Ya, hanya hitungan jari. Dengan paras menarik, dan senyum yang selalu terpampang, tentunya ia akan mudah mendapatkan teman, namun ia telah bersikukuh kepada diri sendiri agar bisa memfilter lagi semua orang dalam hidupnya.
Di Bandung, ia pun sangat jarang memiliki waktu untuk keluar tertawa, berjalan-jalan, atau sekedar mendapat waktu menonton dengan teman-temannya. Untungnya mereka bukan sosok yang rewel tentang hal-hal itu. Para teman yang cenderung sebagai sahabat dekat, tahu betul posisi Dara sebagai ibu tunggal dengan tiga orang anak.
Dara seorang gadis rupawan. Ia lahir di tahun 1995, dengan wajah lebih mirip seperti gadis berketurunan Arab, orang tidak menyangka Dara berdarah asli Indonesia. Merawat diri adalah kesenangannya. Ia terlihat begitu anggun dengan rok sebatas lutut, dan baju yang selalu terlihat sopan. Rambut lurusnya yang berwarna coklat tua, dibiarkan terurai dan telah menyentuh setengah dari punggungnya ketika ia lulus.
Di tahun 2012 ia adalah seorang lulusan SMK berbakat dengan kemampuan bahasa asing yang otodidak. Ia juga unggul dalam berbagai mata pelajaran, dan keluar sebagai seorang bintang kelas yang terus menyabet peringkat pertama. Semua kemampuan ini membuatnya beruntung diterima kerja pada sebuah hotel bintang 4 yang baru saja akan buka di kota asalnya. Di Hotel Pandawa, ia sudah bekerja selama 1 tahun, dan mendapatkan dua kali promosi. Dara ahli dalam bekerja keras. Ia tahu kualitas seperti apa yang diharapkan oleh orang-orang yang berhak memberikan promosi dan kenaikan gaji. Bekerja lembur karena banyaknya event yang datang, sudah biasa ia lakukan. Dara menjadi pegawai sales yang paling sering pulang ketika hari sudah sangat larut, dan juga yang datang paling pagi. Ia tidak akan membiarkan aktivitas merias diri menjadi alasannya untuk terlambat datang bekerja. Empat puluh lima menit sebelum jam bekerja di mulai, ia biasanya sudah berada di dalam ruang loker karyawati. Mengeringkan rambutnya, mengenakan stoking, juga memoles wajahnya dengan riasan tipis, biasa ia lakukan dalam ruangan itu. Sarapan pun demikian, akan disantap di kantornya bersama tiga rekan didepartemennya. Tak perlu menu mewah, terkadang hanya sebungkus mi instan dan telur yang sudah ia siapkan dari rumahnya.
Dara bergegas menuju lantai basement, tempat kantornya di Hotel Pandawa. Seperti biasa, ruangan itu masih kosong. Ia orang pertama yang masuk kemudian menyalakan semua pendingin ruangan dan lampu. Dara duduk di kursinya menghadap pada meja yang penuh dengan berkas namun begitu rapi tertata. Ia mengeluarkan kotak bekal sarapannya, dan menguncir rambut ke belakang dan siap menyantap mi goreng yang didominasi oleh sayuran hijau.
“Dara! Hmmm sampai kapan sih kamu mau jadi penunggu kantor kita, hehe” temannya Fredy yang baru datang langsung menggodanya karena datang sangat pagi. Dara tersenyum dan cepat-cepat menelan makanannya.
“Fred. Rapi banget? Bukannya kalender event sudah penuh? Masih mau jualan juga hari ini. Gila, ya” Dara balik mengkritik teman kerjanya. Fredy yang sedikit kemayu menyimpan tas kerjanya di meja dan menggeser kursinya tepat di samping Maya. Matanya tampak mengawasi keadaan sekitar dengan cepat kemudian berbicara dengan suara pelan, “Dar... Emm... Hari ini kamu harus jadi teman seperjuangan. Hehe. Aku ada janji temu dengan orang penting, Dar. Bisa jadi juga peluang untuk kamu”
Dara berhenti makan sesaat lalu meneguk air mineral dari botol yang berembun karena dingin.
“Orang penting? Peluang? Ini soal penjualan di hotel kita kan? A ... Atau ...”
“Ssssttt. Bukan. Nakal sedikit enggak apa-apa kok, Dar. Kamu tahu hotel bintang lima yang lagi dibangun? Aku mau ketemu petingginya. Dengar-dengar sih, mereka lagi cari tim untuk hotelnya. Kamu enggak minat, Dar?” Fredy akhirnya membocorkan apa yang akan ia lakukan hari ini.
Dara sebenarnya tak keberatan dengan tawaran temannya itu. Ia dan Fredy cukup dekat selama ini. Mereka sering melakukan perjalanan tugas bersama-sama, dan kompak dalam hal apa pun.
“Dooor! Kalian lagi bicarain apa? Misi rahasia? Mau resign ya? Haha” Tia muncul tiba-tiba dan memecahkan keheningan. Kini perbincangan itu tak menjadi bincang-bincang rahasia lagi. Tia tampaknya sudah tahu apa yang direncanakan oleh kedua teman kerjanya.
Dara tersenyum lebar, dan memberi isyarat kepada Tya untuk memelankan suaranya. Ia selalu takut jika tembok pun memiliki kuping untuk mendengar. “Santai, sis. Kita memang harus pindah kalau memang gajinya oke. Kehidupan kan harus terus jadi lebih baik. Iya enggak, Fred?” ujar Tia meyakinkan Dara untuk meneruskan pembicaraan itu.
“Iya, Dar. Aku sih hanya sekedar menemui, tapi aku sudah bilang kalau aku mau bawa kamu, kamu juga lagi cari pekerjaan baru, begitu” sahut Fredy sambil tersenyum kepada kedua temannya.
“Pergi saja. Aku jaga kandang di sini. Karena aku yang paling enggak mungkin resign, aku ada pinjaman di kantor ini” Tia berusaha meyakinkan Dara untuk ikut bersama Freddy. Dara tersenyum lalu kembali menyantap sarapannya yang sudah mulai sedikit dingin.
Siang itu ia menepati janjinya kepada Freddy, bersama menemui orang penting yang dikatakan oleh rekannya itu. Mereka masuk dalam sebuah kafe yang sudah tak asing karena sering Dara lewati dalam perjalanan menuju tempat kerja.
Di meja nomor 5 duduk seorang laki-laki yang terbilang masih muda; mungkin hanya 10 tahun lebih tua dari Dara. Dengan setelan kemeja abu-abu muda, dan jas warna senada yang sedikit lebih gelap, ia tampak meyakinkan sebagai seorang petinggi. Rambutnya rapi tertata, mengilap memberi kesan segar pada wajahnya yang menarik perhatian. Sebuah jam tangan dengan desain minimalis melingkar pada tangan kirinya, serta kacamata minus dengan gaya yang sangat cocok dengan penampilannya.
Freddy menarik tangan Dara, mereka menghampiri lelaki itu, dan ia langsung menyadari keberadaan mereka, “Hai Fred! Apa kabar? Thank You, ya sudah sempat ke sini.”
Fredy menjabat tangan lelaki itu, kemudian mata lelaki tersebut langsung tertuju kepada Dara yang berdiri di sebelah kanan Freddy. Bagaimana tidak, seorang gadis muda dengan rok sedikit mini, kaki yang mulus, paras cantik, dan harum elegan dari parfumnya.
“Ini pasti Dara, ya ‘kan? Saya Bima Arya. Panggil saja Mas Bima, atau Bima saja. Senyamannya Dara saja,” Bima begitu ramah dengan Dara. Matanya pun mencuri-curi sesekali melihat wajah wanita itu ketika mereka bertiga mengobrol. Dara kelihatan sangat menyenangkan dalam pembicaraan itu. Dengan usianya yang baru 19 tahun, ternyata sudah lumayan banyak ilmu dalam lingkungan kerja yang telah ia serap, dan membuat Bima terpukau dengan kepintarannya. Dara juga seorang pegawai departemen penjualan yang banyak membawa klien, dan membantu timnya untuk mencapai target yang tidak sedikit.
Bukan rahasia bahwa Dara telah menjadi ‘anak emas’ bagi General Manager hotelnya dan beberapa petinggi di sana. Mereka terkesan dengan pencapaiannya, terlepas dari usia muda dan almamaternya. Itu yang terus saja dibicarakan oleh Freddy kepada Bima dalam 30 menit terakhir, dan membuat Dara sesekali tersenyum menanggapi pujian Freddy. Bak seorang promotor, ia terus saja menceritakan sosok teman kerjanya ini.
Tak ada banyak hal serius yang diobrolkan. Bima seorang General Manager Hotel bintang 5 yang akan segera dibuka. Ia baru saja tiba di kota itu dua minggu yang lalu, dan sekarang tinggal di sebuah rumah yang disewakan untuknya oleh pemilik hotel tersebut. Rupanya ia seorang lelaki lajang yang sudah lumayan lama berkecimpung di dunia perhotelan, dan sudah sampai bekerja di beberapa hotel ternama di luar negeri. Merintis karier di dapur hotel pada usia sangat muda seperti Dara, Bima kini mendapatkan posisi yang sangat nyaman untuk menambah pundi-pundinya.
“Jadi kapan Dara bisa bergabung dengan Hotel Savana? Secepatnya bukan?” Bima berceletuk ketika Dara sedang menyeruput kopinya.
“Saya? Tapi saya hanya mengantarkan Freddy di sini, Pak Bima ... Sa ... saya ...” Dara sedikit tercengang karena tidak sesuai dengan skenario yang disusun oleh Freddy.
Freddy terkekeh bersama Bima. Sepertinya keduanya menikmati ekspresi Dara yang sedikit kaget dengan pertanyaan itu.
“Dar. Jadi, Mas Bima ini, perlunya yang perempuan untuk bergabung di timnya. Kalau aku sudah ada kok tempat baru untuk bergabung, di hotel yang baru saja ditinggalkan Mas Bima. Mau, ya? Ini juga brand ternama, kamu pasti melesat cepat di sana. Sayang loh, umurmu masih sangat muda,” sesuai dugaan, Freddy ternyata sengaja menyusun pertemuan ini untuk Dara.
Otak Dara berputar cepat, hanya dalam sekejap ia memikirkan mengenai keuntungan dan kerugian, bergabung pada hotel yang cukup ternama ini. Lagi pula, ini bisa menjadi ajang naik kelas untuknya.
“Tiga puluh hari, Mas ... ng ... maksud saya Pak Bima. Saya butuh tiga puluh hari untuk bergabung. Tapi bagaimana dengan rincian hak yang akan saya dapat?” Dara akhirnya memutuskan secepat itu.
“Oke, tiga puluh hari. Gampang. Nanti saya minta HRD saya untuk email ke Dara. Tolong tinggalkan kartu nama, ya” Bima tersenyum puas dan memberikan kartu namanya kepada Dara, yang juga kemudian memberikan hal yang sama.
Bima bisa merasakan lembutnya jari-jari Dara ketika mengambil kartu nama dari tangannya. Setiap kali gadis ini bergerak, aroma lembut dari parfumnya selalu singgah pada penciuman Bima.
Hari itu, Bima menepati janjinya. Dara menerima email berisi rincian gaji, jabatan, dan hal lain yang akan ia dapatkan ketika bergabung. Secara logika, ia tak akan dapat menolak tawaran yang memberikan gaji 2 kali lipat lebih besar. Sebagai tulang punggung di keluarganya, ia membutuhkan hal tersebut agar mengurangi sedikit beban pikirannya.
Tanpa pikir panjang, ia menandatangani kontrak kerja yang dikirimkan dan membalas email dari HRD calon tempatnya bekerja. Dengan cepat ia menyusun surat pengunduran dirinya, dan bergegas menuju ruang HRD. Tak banyak yang bisa ditanyakan oleh Dewi, Manajer HRD. Sebagai sesama pegawai, ia sangat paham dengan keputusan Dara untuk mengundurkan diri. Dalam hatinya ia berharap mendapat kesempatan yang sama dengan Dara.
Meskipun terjadi banyak penawaran dan negosiasi dengan beberapa petinggi di Pandawa, mereka akhirnya bisa menghargai keputusan Dara untuk pergi. Setidaknya, Dara terbuka dengan alasannya pindah, dan tentunya didukung oleh beberapa petinggi di sana. Mereka sadar Dara berbakat untuk mengembangkan kariernya lebih jauh lagi.
...****************...
Semua tampak berjalan lancar, dalam waktu satu bulan Dara menyelesaikan pekerjaannya di Pandawa, dan hari pertamanya di Savana terbilang cukup mulus. Ia tak bertemu Bima di hari pertamanya. Di kantor barunya ini banyak perubahan. Tentu saja; ia sudah biasa bekerja bersama Tia dan Freddy, namun kali ini ia harus membiasakan diri dengan rekan kerja baru. Hotel yang bahkan belum di cat itu, memiliki ruang kantor yang sudah dahulu selesai dikerjakan oleh para tukang.
Dara berjalan menuju kantornya, di hari keempat ini, ia sudah lebih baik beradaptasi dengan 6 orang wanita rekan setimnya. Tepat di samping ruang kantornya, adalah ruangan dengan jendela kaca begitu bening, tanpa tirai. Mirip seperti akuarium, ia bisa melihat sebuah meja kayu coklat muda, dengan marmer di atasnya, juga sebuah kursi kerja besar yang tampak begitu mewah. “GM Office” begitu bunyi sebuah tanda pada pintu ruangan itu. Dara cukup lama memperhatikan ruangan itu, ia bisa melihat uap dari sebuah difuser pewangi ruangan.
“Morning! Sudah sampai saja, Dara?” sebuah suara yang tak asing mengagetkannya. Dara berbalik ke belakang, melihat Bima yang entah sudah berapa lama di sana memperhatikannya. Seperti biasa, Bima begitu penuh dengan senyum ramah, dan wanginya dengan mudah singgah pada penciuman Dara. Kali ini ia menggunakan kaos polo seragam sama seperti Dara.
“Pagi Pak. Iya, baru saja sampai kok...” Dara tersipu menjawab. Ia sedikit menunduk karena Bima tetap memandanginya. Dalam hati, ia banyak berpikir apakah mungkin ada yang salah dengan riasannya hari ini?
Bima memegang pundak Dara seketika dan membuat gadis itu hampir terperanjat, “Jam makan siang, keluar sama saya ya, Dar. Ada yang mau saya temui siang ini.”
“Baik, Pak. Apa Bu Monik perlu saya ajak?” Dara memastikan apakah ia perlu mengajak Manager Departemennya.
“Oh, tidak perlu. Ini cukup saya dan kamu, Dar. Lagian kamu orang asli sini. Akan lebih cocok kalau sama kamu,” lagi-lagi Bima menjawab dengan senyumnya yang khas.
Dara mengangguk memberi tanda ia paham dengan instruksi atasannya, kemudian bergegas menuju ruangannya.
Bak takdir, di tempat kerja lama maupun yang baru ini, ia lagi-lagi menjadi orang pertama yang datang, menyalakan lampu dan pendingin ruangan. Dara bekerja bersama 6 orang lainnya di dalam ruangan itu. Ia memiliki seorang Manajer, Asisten Manajer, pada bagian marketing. Dua orang pegawai administrasi yang akan membantunya, seorang Graphic Designer, dan seorang Public Relation.
Sejauh ini mereka adalah tim yang solid, dan menyenangkan. Dara masih mencatat rekor sebagai pegawai termuda. Ia juga begitu disukai oleh teman-teman setimnya karena kepribadiannya yang menyenangkan, suka berceletuk hal-hal lucu, dan sangat lugas dalam berbicara.
Di formasi ini, Dara beruntung berada di bawah manajer, dan asisten manajer yang sudah berpengalaman ke sana kemari. Mereka banyak mengajari Dara ilmu-ilmu baru, juga memotivasinya agar mengembangkan kariernya. Di usia belasan itu, Dara sudah berpikiran sangat dewasa untuk menjadi tulang punggung keluarganya. Ia punya ibu, dan seorang adik yang masih duduk di bangku sekolah, sehingga berkuliah bukan hal yang tepat. Dara tidak pernah lagi bertemu dengan ayahnya sejak ia duduk di bangku SD kelas 2. Lelaki itu hilang bagaikan ditelan bumi, dan tidak pernah lagi muncul hingga ia dewasa. Namun tentunya semua itu tak lagi ia pikirkan. Dengan ibu yang bekerja serabutan, dan adik-adiknya yang sekolah, ada banyak hal yang harus lebih dulu ia pikirkan dibandingkan dengan rasa penasaran atau kesedihan tentang ayahnya.
Dara menepati janjinya, siang itu ia merapikan tas jinjingnya untuk pergi bersama Bima. Ada perasaan campur aduk dalam hatinya, sehingga ia putuskan untuk memberitahu manajernya bahwa ia akan pergi keluar bersama Bima.
“Oh ya? Hmmmm. Sya! Dara diajak nge-date sama Bima” Monik membocorkan apa yang diberitahukan Dara kepada Tasya si asisten.
“Hah? Serius? Sukanya dara muda ya, hahahaha” Tasya ikut menggoda Dara bersama Monik.
“Serius, dia baik banget orangnya, Dar. Belum terlalu tua, kok. Kita berdua sudah 4 tahun ngikut kerja sama dia. “ Monik berusaha meyakinkan Dara yang berusaha memberi isyarat agar manajernya itu bisa mengecilkan volume suraranya.
“Bu Monik, Bu Tasya. Ini keluar karena katanya ada yang mau ditemuin kok. Aduh kok jadi kemana-mana,” Dara berusaha membela diri, namun kedua atasannya itu terus saja mengganggunya hingga ia pergi dari ruangan itu dengan tersipu.
...****************...
“Jadi, Dara punya rencana apa di usia sekian? Maksud saya, kamu sangat muda, cantik, dan cerdas. Apa kamu punya rencana dalam waktu dekat ini? Misal kuliah?” Bima membuka pembicaraan di sesi makan siang itu. Ia meneguk iced latte-nya lalu kembali menatap Dara.
“Kul ... kuliah ... sepertinya belum bisa, pak. Saya mau terus kerja saja sampai selesai sekolah adik-adik saya. Mungkin setelah itu baru kuliah”
“Kamu membiayai adik-adik? Maaf bukan bermaksud menyinggung, Dar. Ng ... Saya hanya mau tahu saja. Itu hak, Dara untuk bercerita atau tidak,” Bima tidak dapat menyembunyikan kekagumannya pada sosok Dara. Apa lagi yang kurang dari gadis ini? Ia tahu ia tertarik dengan Dara sejak Freddy merekomendasikannya.
Dara merapikan poninya sembari tersenyum tipis, “Iya enggak apa-apa, Pak. Memang betul aku tulang punggung. Papa sudah enggak kelihatan sejak aku SD. I Guess enggak banyak pilihan. Hehe”
Ia bukan seorang yang pandai berlakon. Dara selalu terlihat canggung ketika membicarakan tentang keluarganya. Di masa sekolah, ia sering bingung menjelaskan keberadaan ayahnya yang tidak ia ketahui. Kendati demikian, ia tetap bisa terus mengulas senyum di wajahnya dan berlaku positif.
Bima hanyut dalam obrolan dengan Dara. Ia suka melihat gestur wanita muda itu. Meskipun masih sangat muda, Dara sangat berwawasan ketika berbicara, dan rendah hati dengan setiap pujian yang diberikan.
“Pak. Yang mau kita temui di mana orangnya?” Dara teringat alasan ia pergi dengan Bima.
Bima terlihat sedikit kikuk dan tertawa kecil untuk menutupinya. Bertemu seseorang tentunya hanya alasan belaka yang ia buat. Sesungguhnya, jauh hari ia memang ingin mengajak Dara mengobrol, atas dasar ketertarikannya.
“Mmmm. Sepertinya orangnya enggak jadi datang, Dar. Vendor untuk pengadaan barang di hotel. It’s ok ‘kan?” Bima berusaha tetap menutupi tujuan sebenarnya.
Dara tersenyum sedikit lebih lebar, dan mengangguk. Ia dalam hati bisa tahu bahwa GM-nya hanya membuat-buat alasan agar bisa keluar makan siang dengannya.
Berbeda ... Itu satu kesan yang Bima tangkap tentang Dara.
Rasanya satu sesi makan siang ini tidak akan cukup untuk meruntuhkan rasa penasarannya tentang Dara.
...****************...
Savana tentu saja menjanjikan jenjang karier yang baik untuk wanita cerdas seperti Dara. Kelebihan lainnya yaitu karena Bima telah jatuh hati kepadanya.
Bima bukan pria yang mudah jatuh hati dengan sembarang wanita. Ia memiliki standar yang lumayan tinggi, dan tampaknya kali ini ia tidak bisa terpaku pada standar yang dibuatnya sendiri.
Lebih dari dua kali ia telah berhasil mengajak Dara untuk pergi makan siang bersamanya. Akan tetapi, mungkin Dara menganggapnya hanya persoalan antara sesama rekan kerja.
Dibalik perasaannya kepada Dara, ia tetap dapat menilainya secara profesional. Dengan hasil pekerjaan Dara, ia tahu pilihannya untuk meminta gadis itu bergabung, adalah sesuatu yang tepat.
Bunyi ponsel Bima memecahkan sunyi di ruang kerjanya. Sebuah pesan WhatsApp rupanya.
Tomi: [ Hai bro. Landing nih! See you di Savana! ]
Bima membalas dengan emoticon jempol.
Tomi adalah temannya yang sudah sering pergi ke sana kemari, berpindah dari hotel satu dan lainnya dengan Bima. Karier mereka tentu berbeda, karena ketekunan Bima telah membawanya hingga di posisi tertinggi saat ini.
Dengan tim yang belum lengkap, Bima sengaja merekrut Tomi untuk bergabung menjadi Manajer Restoran di Savana. Tomi tak bisa di pandang sebelah mata, karena banyak pengalaman yang ia geluti di bidang itu mulai dari domestik hingga mancanegara.
Tok... Tok...
Bunyi ruangan kerja departemen marketing diketuk. Seketika masuk Bima bersama seorang pria yang belum dikenal Monic dan timnya.
“Ladies. Kenalin, retaurant manager kita. Tomi,” Bima memperkenalkan pendatang baru itu.
Monic tampak lebar sekali tersenyum dan segera berdiri menjabat tangan Tomi, “Nyampe sini lu, Tom”
Rupanya Monic dan Tomi sudah saling mengenal. Bima turut saling bercanda dengan kedua orang itu. Satu per satu anggota tim itu datang menyalami Tomi, namun tidak dengan Dara.
Ia terus saja sibuk mengetik, sambil mendengar lagu di headphone-nya.
“Dara! Itu ada orang baru,” Monic coba memanggil staf kesayangannya itu. Dara tetap saja tidak bergeming.
“Dar! Dara! Da-“
“Sudah biar gue saja yang nyamperin,” Tomi memotong Monic.
Ia menghampiri meja kerja Dara dan menyelaraskan wajahnya tepat di depan wajah Dara membuat gadis itu terperanjat, dan melepaskan headphone-nya.
“Si ... siapa ya?” Dara sedikit memundurkan badannya dan terbata, membuat seluruh ruangan riuh tertawa.
“Sibuk banget. Hotel belum juga buka, bu” canda Tomi kepada Dara.
“Memangnya kalau hotel belum buka, jadi kerjanya harus main-main?” Dara sedikit ketus menjawab orang yang tak dikenalnya itu.
Tomi terkekeh, “Hehe. Jiwa muda, ya. Masih on fire. Saya Tomi, nanti jadi manajer resto di sini. Dara ‘kan?” Tomi memperkenalkan diri sembari melihat name-tag yang terpasang di sebelah kanan bajunya.
“Iya, Dara.” Dara singkat menjawab dan menjabat tangan Tomi cepat saja.
Bima memperhatikan interaksi kedua stafnya itu, dan segera memecahkan suasana.
“Tom. Dara ini bibit unggul di sini. Anak emasnya Monik,” Bima memuji Dara di depan seisi ruangan.
Tomi tersenyum, dan tidak dapat menyembunyikan ketertarikan tentang apa yang dilihatnya. Gadis muda dengan rambut berkilau, kulit putih segar, bibir yang merah natural, dan lagi-lagi wangi parfum lembut yang selalu menjadi kesan ketika orang bertemu dengan Dara.
“Iya, itu anak emas gue. Dar, hati-hati sama ini orang, ya. Tua-tua buaya. Jangan sampai kepincut,” Monik menjawab pujian Bima, dan diikuti tertawaan dari beberapa orang di situ.
“Tenang. Dara biar gue yang jaga,” Bima kembali menyahuti Monik, sambil menatap Dara dengan senyum khasnya.
Tomi dan Bima meninggalkan ruangan itu setelah bercengkrama dengan tim marketing. Bima tampak terus memperhatikan pujaan hatinya sepanjang pembicaraan. Di tengah pembicaraan itu, ia tetap melihat Dara yang terus melanjutkan pekerjaannya.
...****************...
“Bim. Lu sering banget ketemu di office sama dia. Haha. Lu suka ya sama tu bocah?” Tomi menggoda Bima di sesi makan siang mereka.
“Hah? Siapa?” Bima pura-pura tidak tahu siapa yang sedang dibicarakan.
“Dara. Dara kan namanya?”
“Ah. Iya, Dara. Ahh! Nggak bro. Gila lu. Dia masih muda banget.” Bima berusaha semaksimal mungkin menutupi ketertarikannya. Tomi memandang wajah Bima yang kikuk dan tersenyum mengejek.
“Benar ya? Kalo gue sih, kesan pertama tertarik sama cewek begitu. Cantik, attitude-nya beda, bro. Gue enggak dibilang nyalib ya, berarti?”
“Gila lu. Janganlah. Masih muda, bro” Bima menanggapi omongan Tomi dengan serius.
Tomi terkekeh. Ia tahu betul Bima tertarik dengan Dara. Namun di satu sisi, ia juga tidak bisa membohongi ketertarikannya dengan Dara sejak perjumpaan pertama itu. Kurang lebih sosoknya yang menawan telah membuat Tomi memiliki rasa penasaran kepada Dara.
Ia telah bergabung hampir tiga minggu dengan Hotel Savana, dan banyak kali melihat Dara dengan sikapnya yang begitu menarik perhatian. Dara terkenal tak banyak bicara pada orang-orang selain dari timnya. Akan tetapi, ia terlihat tetap ramah kepada siapa saja, dan berbicara dengan nada yang selalu santun kepada karyawan yang lebih tua. Ia juga sangat menawan dengan tampilan riasan yang natural, juga kulitnya yang begitu terawat.
Tomi sendiri bukan baru bertemu satu atau dua orang wanita. Ia sebenarnya adalah duda yang telah memiliki empat orang anak. Ia baru saja bercerai yang ketiga kalinya, dan berpindah lagi ke lain kota untuk bekerja. Tomi terbilang telah berpengalaman dalam kegagalan, dengan banyaknya perceraian yang sudah ia jalani. Akan tetapi, ia tidak kapok berusaha mencari peneman hidupnya lagi. Di usianya yang sudah berkepala tiga, ia makin merasa harus lebih cepat mencari pendamping yang baru.
Tomi mengambil ponsel pintarnya, dan membuka WhatsApp-nya. Dari tadi ia sedang menimbang apa kata yang tepat untuk memulai pembicaraan dengan Dara. Sejak perkenalannya dengan Dara, ia terus berusaha memulai pembicaraan, namun ia tahu wanita seperti Dara akan mengabaikannya jika hanya berbasa-basi.
[ Hai, Dara. Ini aku Tomi. Punya nomor WhatsApp Monik? ]
Tomi memberanikan diri mengirimkan pesan yang sangat kelihatan basa-basinya.
Drrtt, Drrtt!
Ponselnya bergetar, dan dengan cepat ia melihatnya.
Dara: [ Hai. Masa sih kamu enggak punya nomor ibu Monik? ]
‘Ah sial! Terlalu kelihatan berbasa-basi’, pikirnya dalam hati.
Dara: [ Ambil saja di grup, Pak Tomi. Atau tanya ke HRD. Kenapa harus ke saya? ]
Hmm ... Sama saja ... Ternyata Dara masih ketus kepadanya setelah pertemuan pertama mereka.
[ Maaf ya, kalo aku ngeselin awalnya. Aku baik kok aslinya. Iya sudah tadi dapat dari Bima. Ketahuan deh modusnya. Hehe ]
Semoga pesan kali ini mengubah sikapnya. Itu yang diharapkan Tomi sembari membalas pesan Dara.
Tampaknya harapannya tak sesuai. Pesan itu hanya dibaca oleh Dara, dan tidak dibalasnya lagi.
Tomi tersenyum sambil memandangi foto profil Dara. Gadis itu tak hanya cantik jelita, namun auranya juga sungguh berbeda.
Andai kata kali ini ia ditolak oleh Dara dalam pendekatannya, itu bukan hal besar bagi seorang penyintas dalam percintaan seperti Tomi. Lagi pula ia telah melihat kecenderungan Bima memang menyukai Dara, jadi mungkin saja harapannya sangat sedikit bisa mengajak gadis itu pergi berjalan-jalan berdua.
Tomi berbaring sambil terus menatap foto profil pada akun WhatsApp Dara, sampai sebuah pesan masuk di ponselnya.
Bunyi pesan itu: [ Kapan kembali? Anak-anak ingin bertemu. Jangan lupa kiriman harus ditambah sedikit ]
Ia memijit sebentar dahinya, lalu menghembuskan nafas panjang. Mantan istrinya memang tak bisa dikompromi tentang ‘jatah’ bulanan untuk anak-anaknya. Wanita yang baru saja berpisah dengannya itu akan dengan santai terus meminta tambahan kepada Tomi. Apa boleh buat? Setidaknya ia masih membiarkan Tomi melihat anak-anaknya melalui foto.
Drrrt!
Ponselnya sekali lagi bergetar. ‘Sial! Apa lagi maunya kali ini?’, umpatnya dalam hati lalu membuka ponselnya dengan wajah mengerut.
Dara: [ Tinggal di mana di sini? Sama Pak Bima? ]
“Yes!” Tomi merasa umpannya telah digigit. Ia dengan cepat membalas pesan Dara, dan terus berusaha membalas pesan lain dari incarannya itu dengan cepat.
Ramah... Ternyata Dara tak segalak yang ia bayangkan. Mungkin cara Tomi memperkenalkan diri waktu itu kurang menyenangkan untuk orang seperti Dara. Buktinya tak perlu waktu lama, Dara sudah lebih bisa leluasa dan santai saling membalas pesan dengannya.
Berhasil!
Ruangan pantry tampak masih sepi. Ya! Sangat sepi, hingga suara sendok yang mengenai sisi-sisi cangkir terdengar jelas ketika Dara mengaduk kopi instannya. Ia hadir lebih pagi seperti biasa. Di dalam bangunan hotel yang sudah 85% rampung, dan akan segera diresmikan beberapa bulan lagi, Dara menjadi pencatat rekor setiap hari karena datang paling awal.
Tak seperti biasanya, kali ini ia terlihat berbalut busana serba tertutup. Sweater abu-abu dengan mode kancing di depan, membuatnya tampak anggun. Wajahnya sedikit lebih pucat, dan matanya sedikit sendu.
Ia sendiri sadar bahwa dirinya sedang tidak begitu sehat, tapi si keras kepala tetap saja berusaha memecahkan rekor lagi.
Seiring menyeruput kopinya yang masih hangat, Dara bisa merasakan kepalanya yang sedikit terasa pusing. Kakinya juga menjadi sedikit lemah seketika, dan pandangannya mulai tidak jelas. Ia mengambil langkah aman, menyimpan cangkirnya dan bergegas menuju ruangan kerjanya yang berada tepat di depan pantry.
Seketika itu, ujung jemari tangannya terasa begitu dingin, dan penglihatannya menjadi kian gelap. Ia mulai berhenti melawan tubuhnya, dan duduk sambil merebahkan kepala di atas meja kerjanya. Ia merasa begitu lemah kali ini. Bisa jadi karena sudah beberapa hari ia kesulitan tidur di malam hari.
Kakinya terasa melayang, namun sebenarnya sedang menapak di lantai, dan ia bisa merasakan seseorang menyentuh kepalanya.
“Dara? Kamu kenapa? Sakit?” itu Bima yang datang menghampirinya. Namun tak disangka, tubuhnya terlalu hebat mengalahkan keinginan Dara untuk bekerja. Ia terjatuh begitu saja, terkulai lemah dengan pandangan yang masih buram.
Bima tak pernah merasakan kepanikan seperti ini. Dia segera meletakan tasnya di meja dan mengangkat tubuh Dara yang terasa begitu dingin. Pintu ruangan kerja terbuka, dan ternyata orang-orang di tim Dara baru saja serempak datang. Bima tak berpanjang kata, dan mereka pun tahu apa yang harus dilakukan.
...****************...
“Kalau sakit di rumah. Mama sudah bilang, di rumah. Jangan pergi kerja. Kasihan kan orang kantor jadi repot,” meski belum sepenuhnya sadar, Dara tahu itu suara ibunya. Suara khas serak yang sering mengomeli dirinya karena bekerja hingga larut malam.
Ia berusaha membuka matanya, terlihat perlengkapan ruangan itu serba putih, dan sebuah selang infus yang telah terpasang di tangan kanannya. Tak seperti tadi pagi, kali ini badannya terasa sangat panas.
Di tengah ketidaksadarannya tadi, Dara tahu siapa saja yang membawanya keluar dari kantor. Suara yang paling dekat dengannya adalah Bima. Lelaki itu mungkin saja telah menggendongnya kesana kemari hingga terbaring di rumah sakit ini, pikirnya.
Dara meraih ponselnya sambil berusaha tidak terjatuh dari tempat tidur rumah sakit yang tinggi.
Kriiet! Bunyi pintu tua itu terbuka.
“Sudah bangun? Bu, maaf saya tadi pergi sebentar,” Bima terlihat senang mengetahui Dara sudah bangun dari tidurnya. Ia terlihat gagah seperti biasanya, dan parfum khas yang selalu ia pakai langsung menyinggahi penciuman Dara.
Bima menghampiri sebuah nakas kecil di samping kepala Dara dan meletakan beberapa kantong belanjaannya di situ. Dara tak bereaksi melihat atasannya itu sibuk kesana kemari seakan-akan mengurus putrinya yang sakit.
“Makasih pak,” hanya itu yang paling tepat diucapkan oleh Dara saat ini. Ia memandangi bosnya itu dengan wajah yang masih pucat pasi.
Bima menghampiri dan menepuk punggung tangan Dara dengan perlahan, “Jangan pikirin kerja. Sehat dulu ya, nanti masuk kerja lagi. Kali ini jangan keras kepala. Dengerin saja apa kata mama.”
Sepertinya sejak dirinya tidur, Bima sudah berbincang banyak dengan ibu Dara. Mata wanita tua itu tak bisa berbohong bahwa ia menyukai lelaki muda ini berada di samping putrinya.
“I .. iya pak.” Dara sedikit memalingkan pandangannya agar tidak melihat mata Bima yang sedari tadi tertuju kepadanya.
“Bu, saya pulang dulu, ya. Dar, istirahat ya, aku pulang dulu” Bima berdiri dan berpamitan singkat kepada ibu dan anak itu.
Aku? Ia biasa menyebut dirinya ‘saya’ ketika berbicara dengan pegawai di tempat kerja. Bima terlihat jelas sedang menunjukkan ketertarikan dan perhatiannya kepada Dara.
Ia meninggalkan kamar VIP itu, dan tersenyum begitu lebar.
Dara merasakan sesuatu yang lain. Lelaki itu jelas sekali terlalu detil memerhatikannya. Tentu saja ia adalah lelaki ideal yang Dara idam-idamkan selama ini. Gagah, tampan, karier yang bagus, dan begitu perhatian; sudah pasti ibunya akan dengan mudah memberikan lampu hijau.
Tapi ... Dara bukan sosok yang berani mengambil risiko berkencan dengan sesama rekan kerja, meskipun Bima memiliki jabatan tertinggi di Savana.
“Itu baik orangnya, Nak. Mama suka kamu bergaul dengan yang baik seperti itu. Sopan, dan halus bicara ke orang tua,” sesuai perkiraan, ibunya langsung menanggapi kehadiran Bima dengan positif.
Dara terlihat sedikit kikuk. Ia menarik selimut menutupi badannya, “Itu bos, mah. Enggak mungkin sering-sering berteman dengan Dara,”
Ya Tuhan ... Dara memang sangat ulung menutupi rasa sukanya. Ia jelas-jelas tertarik dengan atasannya itu.
Ponselnya bergetar berkali-kali. Dara segera mengangkat panggilan itu.
“Ingat tidur. Jangan angkat telepon lagi, Dar. See you soon!” lagi-lagi Bima kembali mengingatkannya.
Untuk beberapa hari kedepan, ia tak akan bisa bertemu Bima. Thypus bukan penyakit yang mudah untuk disembuhkan dalam semalam. Kali ini ia harus sedikit bersabar agar bisa pulih total dan bertemu lagi dengan rekan-rekan kerjanya, dan tentunya Bima.
Dengan beberapa kali pergi makan siang dengan Bima, Dara bisa menangkap kesimpulan dengan cepat bahwa lelaki itu bisa ia jadikan seseorang yang disukai. Ditambah lagi dengan aksinya menyelamatkan Dara ketika tumbang di kantor, ia makin melekat saja dalam pikiran.
...****************...
Bima memang seorang pria yang tidak bisa mengendalikan perasaannya. Meskipun sedang berada di lingkungan kerja, ia terus saja memperlakukan Dara dengan spesial. Beruntungnya, tidak ada satu pun wanita di Savana yang terlihat keberatan dengan hal itu, karena jika dipikir-pikir Bima bisa saja menjadi idola setiap karyawati di sana.
Ia menjadi lebih sering datang awal di kantor untuk berpapasan dengan Dara ketika kantor belum begitu ramai. Tentu saja Dara melakukan hal yang sama, dan tak berusaha membatasi Bima untuk bertemu di sela waktu membuat kopi di pagi hari.
Dara takkan berusaha munafik kepada diri sendiri. Seandainya Bima mengajaknya untuk sebuah makan malam berdua, ia pasti akan menjawab ‘ya’ dengan mudahnya. Sejauh ini lelaki itu terlihat sangat santun meski rasa sukanya terlihat begitu mencolok di mata Dara.
Siang itu begitu panas, dan beruntung sekali Dara memiliki kantor dengan pendingin ruangan yang sangat baik. Dara dan timnya sedang berusaha membereskan beberapa hal untuk merampungkan pekerjaan mereka sebelum hotel di resmikan. Dara bekerja lembur sudah empat hari berturut-turut, begitu juga dengan timnya.
Kring! Kring! Telepon di mejanya berbunyi.
Ia bisa mendengar Bima berbicara di telepon, dan menyuruhnya pergi ke kantor GM.
‘Apalagi kali ini?’ pikirnya dalam hati.
Ia menarik turun roknya sedikit dan merapikan rambutnya dengan jari sebelum berjalan menuju kantor Bima. Ia bisa melihat Bima telah menunggunya di sana. Dengan hati-hati ia membuka pintu kaca itu lalu menutupnya kembali dan duduk kursi di depan Bima.
“Mmm... Ini bukan soal pekerjaan. Boleh kita keluar sebentar malam? Saya yang jemput, supaya minta izin ke mama kamu,” Bima berbicara dengan suara pelan, tak seperti biasanya. Tentu saja. Ia berusaha agar pembicaraannya tidak didengar oleh sekretarisnya yang duduk tepat di luar pintu ruangannya.
“Ke mana, Pak?” Dara berusaha tetap tenang menjawab dan menyembunyikan kegirangannya.
“Cari udara segar, mungkin dinner? Berdua? Ini enggak memaksa, Dar. Say-“
“Jam 7. Saya tunggu jam 7 ya, pak” Dara memotong Bima yang mulai berusaha menjelaskan panjang lebar.
Bima tersenyum kepada gadis itu. Ia tentunya sangat bahagia karena setelah berbulan-bulan, ia berani mengajak Dara keluar berdua di malam hari.
“Tolong nanti panggil saya, Bima saja. Mmmm aku, bukan saya,” Bima berusaha membuat Dara agar lebih santai saat berbicara dengannya. Dengan tertawa kecil, Dara menanggapi ujaran Bima tadi.
Hari itu berlalu begitu saja. Biasanya jam berada di tempat kerja seakan begitu panjang. Namun kali ini, waktu berputar begitu cepat hingga Bima menjemput Dara di rumahnya.
Dengan kaos polos putih, dan celana jeans panjang berwarna biru gelap, ia sudah menunggu Dara beberapa menit di depan rumah Dara. Rumah itu tampak begitu rapi terurus dan dipenuhi dengan pot bunga dengan berbagai jenis. Rima, ibu dari Dara memang sangat gemar bertanam. Ia seorang ibu tunggal yang ditinggal oleh suami entah kemana. Sudah belasan tahun kini ia membesarkan putra-putrinya seorang diri. Ia bukan seorang wanita dengan pekerjaan dan gaji yang tetap. Ia dilarang bekerja ketika suaminya masih ada, dan di umur yang sudah tidak muda lagi saat lelaki itu pergi, Rima tidak dapat mendapatkan pekerjaan di mana pun. Akan tetapi kegigihannya berhasil membuatnya membesarkan Dara dan adik-adiknya, dan membeli sebuah rumah kecil sederhana cukup untuk berlindung dari panas matahari dan hujan.
Bima bisa melihat Dara yang sedang memakai sepatu di depan pintu rumahnya. Seperti biasa, gadis itu tampak begitu segar dan cantik. Meski di malam hari, ia terlihat sangat memesona. Dara dengan mudah menarik perhatian Bima, meski ia bukan tipikal perempuan pada umunya yang senang mengikuti tren fashion, atau memakai barang-barang mewah untuk menunjang penampilan.
Rima tampak mengantarkan Dara keluar dari pintu rumah. Wanita tua itu tersenyum dan melambaikan tangan kepada Bima yang telah menunggu di dalam mobil. Mereka harus cepat pergi karena jalan kompleks rumah itu tidak akan muat untuk dua mobil jika saling berpapasan.
Dara menyemprotkan parfumnya sebelum membuka pintu mobil. Bima tersenyum melihatnya masuk, dan membantu memakaikan sabuk pengaman. Mereka pun berlalu pergi, menuju tempat yang sudah ditentukan.
“Jadi ke mana, Bim?” Dara berusaha agar tidak terdengar seperti berbicara kepada atasannya. Bima tersenyum puas, karena kini Dara sudah bisa memanggilnya dengan lebih santai.
“Makan? Ya? Aku lapar. Hehe” ia mengusap perutnya sebentar memberi isyarat. Dara mengangguk.
Mereka menyusuri jalanan kota yang masih cukup ramai di malam itu. Hening sekali di dalam mobil. Baik Bima maupun Dara saling canggung memulai percakapan, namun sesekali saling berpandang dan tertawa kecil.
“Kamu pernah bicara sama Tomi?” pertanyaan Bima membuat Dara sedikit kaget. Ia memang akhir-akhir ini sering bertukar cerita dengan Tomi, dan beberapa kali pergi makan siang bersama. Ia sudah lumayan tahu banyak tentang Tomi, dan lebih santai gaya bicara mereka.
“Pak Tomi? Iya. Beberapa kali. Ada apa?” Dara berharap tidak ada hal aneh sebagai buntut dari kedekatannya di dunia maya dengan Tomi.
“Eng ... enggak. Hanya saja, aku mau kamu tahu dari sekarang. Tomi itu sudah menikah. Dia punya anak yang masih kecil-kecil. Mereka tinggal di kota lain,” kali ini apa yang dikatakan oleh Bima, membuat dada Dara seperti sedang melewati lomba lari. Ini topik yang menarik, dan sepertinya Bima tahu banyak tentang siapa Tomi.
Dara terdiam sejenak. Ia ingat betul, Tomi berkata bahwa dirinya adalah seorang duda yang memiliki anak.
“Istri? Dia bukan duda?” ia bertanya untuk memastikan.
Bima tersenyum kecil, “Tomi itu orangnya tertutup soal percintaan. Tapi selalu terbuka untuk wanita lain. Kamu paham maksudku, Dar? Dia menarik bukan, untuk laki-laki seumurannya? Kita enggak pernah tahu apa betul dia duda, atau masih status suami orang.”
Dara tak tahu bagaimana harus bereaksi. Tomi jelas-jelas mengatakan bahwa dirinya adalah seorang Duda. Ia mengabaikan rasa penasarannya itu, dan kembali berbincang dengan Bima dengan topik lainnya.
Bima tahu dan sudah menduga Tomi akan mendekati Dara. Dara sudah pasti seorang wanita polos yang sangat menarik untuk lelaki liar seperti Tomi. Seandainya Bima tidak tertarik pada Dara, ia bisa saja membiarkan Tomi. Kali ini ia betul telah jatuh hati kepada gadis ini. Ini bukan saat yang tepat untuk menyia-nyiakan kesempatan mendapatkan gadis baik hati seperti Dara.
Bima sudah mendengar banyak mengenai Dara. Ia juga mengetahui posisi Dara sebagai tulang punggung keluarganya. Dara menurutnya seorang aktris yang pandai berakting karena tidak pernah terlihat penuh beban di tempat kerja. Ia seorang karyawati yang menyenangkan, dan ramah terhadap siapa saja.
Bima memarkir mobil di depan kafe yang sudah tak asing. Itu adalah tempat pertemuannya dengan Dara pertama kali. Wanita muda itu tersenyum lembut lalu turun dari mobil.
Dada Bima terasa terhujam dengan detak jantung yang begitu cepat. Ia menimbang apakah ia perlu menggenggam tangan pujaannya itu ketika mereka masuk ke kafe.
‘Jangan sekarang!’ pikirnya dalam hati dan mengikuti Dara yang telah berjalan dahulu. Kafe itu sedang memutar musik instrumental yang begitu menenangkan. Aroma kopi yang kuat bisa tercium seketika mereka duduk di kursi paling pojok dekat dengan kolam ikan. Seorang pelayan menghampiri dan mencatat semua pesanan mereka, kemudian meninggalkan lagi meja itu.
“Dar ... Pertanyaan yang sama. Waktu itu di sini saya pernah tanya apa rencana kamu. Sekarang apa sudah ada rencana yang lain?” Bima sangat berharap Dara memikirkan untuk memiliki pacar, atau sekedar teman dekat saja.
“Mmm ... Jawaban yang sama, Bim ... Aku masih mau bekerja ... Tapi mungkin perlu love life juga. Teman-teman seangkatan rata-rata sudah bawa gandengan. Hehe” sesuai harapan, Dara sudah memikirkan apa yang Bima pikirkan.
“Aku bisa digandeng kok.” Bima menjawab dengan nada bergurau dan disambut dengan tawa ringan dari Dara.
“Aku tahu kamu bisa digandeng, Bim. Tapi kelas kita terpaut jauh. Kamu tahu maksudku kan?”
“Hmm ... Aku belum terlalu tua, Dar ...” Bima pura-pura tak paham dengan apa yang disampaikan Dara.
“Bukan, Bim. Kamu itu atasan di tempat aku bekerja. Kita enggak bisa gandengan semudah itu.”
Bima menatap Dara dengan penuh kagum. Sebenarnya apa yang dikatakan Dara itu benar. Pegawai lainnya bisa saja berdesas-desus yang tidak-tidak tentang hubungan mereka dan mengait-ngaitkannya dengan pekerjaan di kantor. Dengan hubungan yang mereka inginkan, Dara bisa saja berubah status menjadi ‘pegawai beruntung’ dan bukan seorang pekerja keras di mata pegawai lain.
“Aku tahu. Sebenarnya, aku akan segera pindah dari Savana, begitu hotel itu diresmikan. Aku sudah punya project lain. Atau kamu juga bisa bergabung dengan project lain. Kalau seperti itu, apa kita bisa jadi teman dekat?” Bima begitu berharap dapat menjadikan Dara orang yang spesial dalam hidupnya.
Beberapa bulan ini, ia tentu sudah memikirkan semua risikonya. Bima sudah pada umur yang cukup untuk menjalankan sebuah hubungan serius. Mendapatkan gadis cantik, dan cerdas seperti Dara adalah sebuah hal yang baik untuknya. Bukan hanya itu, ia juga baik hati, dan masih muda. Itu akan menjadi sebuah kombo. Gadis seperti Dara jelas-jelas tipe idaman ibu dan ayahnya, sehingga Bima sangat yakin mendekatkan dirinya kepada Dara.
“Ya, tentu saja. Tapi aku enggak bisa janji untuk serius saat ini. Aku masih ada tanggungan, Bim. Juga aku punya beberapa orang yang mau aku kenali lebih dekat.” Jawaban dara memberi rasa lega di hati Bima. Setidaknya ia tidak mengatakan bahwa ia sudah punya teman lelaki atau pacar.
“Tomi? Apa kamu dekat dengan Tomi?” Bima merasa ia sering melihat Dara dan Tomi pulang kerja bersama. Mereka juga lebih sering menyapa ketika bertemu di rapat. Meskipun mungkin gadis seperti Dara akan berpikir seribu kali untuk menjadi wanita bagi Tomi, namun tetap saja semua yang ia lihat begitu mengganggu.
“Aku enggak sedekat itu dengan Tomi. Tapi kami bertukar cerita,” Dara tersenyum. Ia bisa melihat sebuah rasa penasaran tersirat di wajah Bima.
“Kamu masih muda, Dar. Aku pasti suport kamu dengan tujuan karier kamu.” Bima terdengar serius kali ini. Hal itu membuat Dara merasa sedikit canggung. Akan tetapi, ia merasa bahagia karena tahu Bima menyukainya.
Keduanya begitu serasi duduk berhadapan. Bak sepasang yang memang sudah lama berdua, mereka terlihat begitu nyaman satu sama lain, dan bercengkerama menghabiskan waktu di sudut kafe yang masih ramai.
Bima tak banyak menjalin hubungan dengan wanita. Ia beberapa kali telah gagal sebelum bisa menjalin hubungan yang lebih serius. Di kafe yang penuh aroma kopi itu, ia menceritakan beberapa pengalaman konyol ketika didekati wanita yang hanya mengincar materinya saja. Selain itu, beberapa wanita lain yang berusaha mendekatinya, tahu betul Bima adalah anak lelaki satu-satunya dengan orang tua yang cukup mampu dalam perekonomian.
Wanita-wanita itu dengan mudah ditendang oleh takdir dari hidup Bima. Sejak terakhir kali ia ditipu oleh seorang wanita yang mengencani pria lain di belakangnya, Bima mulai merasa tidak percaya pada wanita metropolitan. Ia langsung jatuh hati kepada Dara. Gadis itu tidak berasal dari kota besar. Ia berasal dari kota kecil dengan pesisir, dan atraksi wisata yang memukau. Ia terlihat begitu mandiri, dan tidak sedikit pun berusaha mendekati Bima dengan cara yang dilakukan wanita lain.
Sempurna ... Yang terpenting malam ini, Bima sudah bisa menyatakan dengan jujur apa yang ia rasakan terhadap Dara.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!