"Hap... lalu di tangkap!" dan putri kecil ku pun terkekeh sangat senang ketika aku memeluknya dengan gemas.
Akhirnya dia berhasil juga menghafalkan lagu cicak cicak di dinding yang aku ajarkan sejak tadi pagi.
"Mama, kapan kita sampai di rumah kakek?" tanya nya yang seperti nya sudah sangat bosan dengan perjalanan kami yang cukup lama.
Sambil terus memeluknya di kursi penumpang bagian belakang dan suami ku tercinta sedang fokus mengemudi di depan. Aku menjelaskan pada putri kecilku yang berusia 4 tahun yang sudah terlihat bosan ini.
"Sayang, rumah nenek dan kakek masih lumayan jauh. Bagaimana kalau kita belajar lagu lain saja?" tanya ku pada Mikaila putri kecil ku yang sekarang ini memakai dress bermotif bunga dengan warna biru muda. Dan dua kuncir di kepalanya yang membuatnya sangat lucu dan menggemaskan di mataku.
Nama ku Sila, Susilawati usiaku 25 tahun. Aku seorang ibu dengan satu orang putri cantik bernama Malaika Hadi, dan suami ku tentu saja Hadi, usianya terpaut 3 tahun lebih tua dariku. Dan tentu saja nama belakangnya di sematkan di nama putriku.
Saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju rumah ayah dan ibu suamiku, karena adik suamiku yang bernama Zain akan menikah. Kami berangkat dari jam 5 pagi dini hari tadi, rumah ayah dan ibu mertuaku memang masih satu provinsi dengan tempat tinggal ku dan suami ku tapi jaraknya lumayan jauh, bisa sampai setengah hari perjalanan.
"Mama, Mika ngantuk!" ucap putri kecilku yang memang sudah sejak subuh tadi dia aku bangunkan.
"Sayang mama ngantuk ya, ya sudah bobo sini. Mama peluk!" ucap ku lalu merangkul Mikaila di pelukan ku dan menepuk-nepuk lengannya perlahan.
"Mama pilih kasih, masak Mika terus yang di peluk. Papanya kapan?" tiba-tiba saja mas Hadi bicara dan membuatku langsung menoleh ke arahnya.
Aku hanya tersenyum menanggapi apa yang suami ku katakan itu. Kami pun melanjutkan perjalanan kembali, hingga sekitar lebih dari tengah hari kami tiba di rumah ayah dan ibu mertua ku.
Saat kami tiba, ayah mertuaku langsung keluar dari dalam rumah. Dia langsung menuju ke arah mobil kami padahal kami belum turun dari dalam mobil.
"Mika, mana ini cucu kakek?" tanya nya sambil mengetuk kaca mobil bagian belakang. Sepertinya ayah mertuaku memang sudah hafal sekali kalau aku dan Mika pasti akan duduk di kursi bagian belakang.
Aku dengan cepat membangunkan Mika yang memang masih tertidur lelap di pangkuan ku. Aku mencium pipi putih putri kecilku dan berkata padanya.
"Sayang, Mika. Kita sudah sampai ruang kakek, itu kakek sayang. Ayo bangun!" ujar ku.
Dengan gemasnya Mika mengucek matanya pelan dan langsung duduk melihat ke arah jendela. Begitu melihat ayah mertua ku, matanya langsung melebar.
"Kakek!" teriaknya dan langsung berusaha membuka pintu mobil. Aku membantunya dan begitu pintu mobil terbuka, dia langsung lompat ke pelukan kakeknya.
"Ha ha ha cucu kakek sudah semakin besar, sudah tinggi sekali kamu nak. Ayo masuk, kakek sudah membuat puding coklat kesukaan Mika!" ucap ayah mertua ku dan langsung mengajak Mika masuk ke dalam rumah.
Aku tersenyum melihat betapa ayah mertua ku menyayangi Mika. Meski anak dari kakak ipar ku juga perempuan dan tinggal bersama dengan ayah mertua, tapi ayah mertuaku selalu memprioritaskan Mika saat kami datang berkunjung.
Saat kami menurunkan tas kami, ibu mertuaku juga keluar dari dalam rumah.
"Hadi, sudah datang?" tanya nya sambil menghampiri kami.
"Ibu!" panggil ku dan langsung menyalami dan mencium punggung tangan ibu mertua ku.
"Gimana perjalanannya, lancar kan. Ayo masuk, dan temui calon adik ipar kalian!" ujar ibu mertuaku dan aku dan mas Hadi pun masuk ke dalam rumah.
Kami bertemu dengan semua orang, ternyata sudah ramai. Ada paman, bibi dan juga semua saudara suami ku. Juga ada kedua orang tua dari gadis yang akan di nikahi Zain. Ayah masih memangku Mika sambil menyuapinya puding coklat dan memperkenalkan kami pada semua keluarga calon besan nya. Tapi saat kami sedang mengobrol, tiba-tiba ponsel mas Hadi berdering. Sebenarnya bukan hanya sekali ini tapi sejak berangkat tadi pagi, ponsel mas Hadi memang terus berdering. Tapi aku tidak tahu darimana, karena aku duduk di kursi belakang bersama Mika. Aku juga tidak bertanya, karena begitu melihat ponselnya mas Hadi meletakkan nya lagi.
"Permisi sebentar, ada telepon dari kantor!" ucapnya lalu meninggalkan ruang keluarga dan keluar dari rumah.
Aku hanya melihat mas Hadi dari jendela. Dia sepertinya sedang menjelaskan sesuatu pada orang yang menghubungi nya.
"Sila, Hadi sudah ijin kan, kalian akan menginap sampai acara selesai kan?" tanya ayah mertuaku.
Aku langsung mengangguk.
"Iya ayah, aku dan mas Hadi sudah minta cuti selama tiga hari!" jawab ku.
"Bagus kalau begitu!" sambung ibu yang juga terlihat senang mas Hadi akan tinggal disini lumayan lama.
Setelah membahas tentang acara akad nikah yang akan dilaksanakan besok. Kami semua makan malam dan istirahat. Aku juga sudah menidurkan Mika. Setelah itu aku meraih ponsel ku karena ingin menghubungi orang tua ku.
"Halo Bu, maaf aku baru telepon. Kami sudah sampai jam satu siang tadi!" ucap ku pada ibuku.
"Sila, semua baik-baik saja kan. Ibu kenapa dari kemarin rasanya perasaan ibu gak enak ya?" tanya ibu ku membuat ku termenung sejenak.
"Kami baik-baik saja ibu. Jangan cemas, Mika juga gak rewel kok. Ibu dan ayah tenang saja!" ucapku berusaha menenangkan ibu ku yang terdengar cemas dari suaranya.
"Syukurlah, kamu baik-baik disana ya. Ingat selalu sopan pada siapapun disana, jangan lupa saling sapa, dan kerjakan apa yang bisa kamu kerjakan disana. Jangan diam saja!" ucap ibuku menasehati ku.
Aku tersenyum, karena ibu memang seperti ini. Dia tidak mau kalau sampai aku di anggap malas atau tidak bisa apa-apa di rumah mertuaku.
"Iya Bu, assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam"
Aku menyimpan kembali ponselku, dan aku melangkah kembali menuju ke arah kamar dimana Mika sudah tertidur disana. Tapi saat berjalan dekat jendela, aku mendengar suara mas Hadi sedang bicara dengan seseorang. Rasa penasaran membuat ku ingin menghampiri mas Hadi. Tapi saat aku akan keluar dan membuka pintu, aku mendengar Mika menangis. Aku langsung berbalik dan bergegas masuk ke dalam kamar, ternyata Mika terbangun.
"Sayang, kenapa?" tanya ku melihat putri kecil ku menangis.
"Mama, Mika mimpi buruk!" jawab Mika.
Aku mengusap air matanya dan mengusap lembut kepala Mika.
"Mimpi apa sayang?" tanya ku pada Mika.
"Mika mimpi, papa di bawa pergi sama Tante jahat. Dia melotot sama Mika dan mama. Mika panggil papa tapi papa malah ninggalin Mika dan mama..!"
Aku langsung memeluk erat anakku. Entah kenapa setelah mendengar apa yang Mika katakan aku teringat pada ucapan ibuku dan hatiku menjadi sangat resah.
"Tidak apa-apa sayang, itu hanya mimpi. Papa sangat sayang sama Mika. Papa gak akan tinggalin Mika, papa gak akan tinggalkan kita!" ucapku menenangkan putriku meski hatiku sendiri sangat tidak tenang.
***
Bersambung...
Terus terang saja meskipun aku mengatakan kalau mas Hadi tidak akan meninggalkan aku dan Mika. Namun aku juga tidak tahu kenapa aku merasa sangat resah, aku merasa sangat tidak tenang. Aku mengenal mas Hadi sudah lebih dari 7 tahun, 1 tahun kami berkenalan dan menjadi teman, 1 tahun kami berpacaran dan memutuskan untuk menikah setelah kami sama-sama punya penghasilan yang kami rasa cukup untuk membina rumah tangga kami ke depannya.
Mas Hadi juga sangat perhatian, dia baik, tidak pernah bicara kasar padaku. Dan selalu mengalah kalau ada pertengkaran yang tidak terduga antara kami kalau ada salah paham atau lainnya.
Prang
"Astagfirullah!" ucap ku karena aku menjatuhkan gelas yang aku lap dengan kain untuk membuat teh hangat untuk para tamu yang hadir pagi ini.
Karena memikirkan perkataan ibu dan juga mimpi Mika semalam aku malah tidak fokus dengan pekerjaan ku.
"Sila, astaga... itu kenapa gelasnya pada pecah?" tanya ibu mertuaku yang baru masuk ke dapur dan menegurku karena memang yang ku jatuhkan dari atas meja tidak hanya satu gelas saja, tapi tiga gelas keramik koleksi ibu mertua ku yang hanya akan keluar dari lemari koleksi nya kalau ada acara penting seperti ini.
"Maaf ibu, aku tidak sengaja!" ucapku pelan dan langsung berjongkok membersihkan pecahan gelas yang berserakan di lantai.
"Gimana sih, itu koleksi ibu dari luar kota loh. Mahal itu...!"
"Ibu, Sila kan sudah bilang dia tidak sengaja. Nanti kalau Hadi dinas keluar kota lagi, Hadi beliin yang baru buat ibu!" ucap mas Hadi yang ikut membantuku memunguti pecahan dari gelas keramik yang ku jatuhkan.
Ibu mertua ku tidak berkata apa-apa lagi dan langsung pergi meninggalkan dapur. Pandangan ku kembali beralih pada mas Hadi.
'Mas Hadi begitu baik dan menyayangi ku juga Mika, dia selalu menyempatkan akhir Minggu untuk mengajak kami liburan dan jalan-jalan. Dia juga tidak pernah mengeluh ketika aku harus pulang terlambat karena kerja lembur dan dia bahkan membantu mengasuh Mika. Dia juga selalu membela ku setiap kali ibunya atau saudara nya bicara tidak enak di dengar karena mereka selalu bilang kalau harusnya aku tidak bekerja dan hanya jadi ibu rumah tangga saja dan mengurus mas Hadi dan Muka dengan benar. Mas Hadi juga selalu mengatakan dia mencintai ku, dia juga ayah yang sangat baik. Tidak... pasti hanya pikiran ku saja!' batin ku berusaha menenangkan pikiran ku sendiri.
"Sayang, jangan di masukan ke dalam hati ya apa yang ibu katakan tadi. Sekarang kita harus bersiap, sebentar lagi acara akad nikah Zain di mulai!" ucap mas Hadi sambil membereskan sisa pekerjaan ku.
Kami pun bersiap, terlebih dahulu aku menyiapkan putri kecil ku. Lalu aku membantu mas Hadi, baru setelah itu aku bersiap-siap. Acara demi acara berlangsung dengan lancar. Kami pun foto bersama dan acara ramah tamah seperti biasanya juga lancar.
Sudah hampir siang, sejak setengah jam yang lalu aku tidak melihat mas Hadi. Adik ipar ku Anita, bilang kalau mas Hadi mengajak Mika berjalan-jalan karena Mika tadi bosan dan terus menangis. Sementara aku membantu keluarga yang lain menyambut para tamu dan memastikan makanan dan minuman untuk mereka terhidang dengan baik.
Tak lama setelah aku mencari mas Hadi, aku melihat Muka berlari sambil membawa sebuah box kaca yang di dalamnya terdapat air, mainan, dan juga ikan.
"Mama!" panggil Mika dan langsung memeluk kakiku.
"Mama lihat, papa beliin Mika ikan. Bagus kan?" tanya Mika sambil tersenyum senang.
Aku mengangguk dan juga tersenyum, aku melihat ke arah mas Hadi yang juga sedang tersenyum padaku.
'Aku benar-benar terlalu banyak berfikir!' batin ku.
Tiga hari berlalu, kami pun kembali ke rumah kami. Hari ini juga adalah hari anniversary pernikahan kami yang ke 5. Ketika aku akan berangkat bekerja, mas Hadi memelukku dari belakang.
"Happy Anniversary yang ke lima sayang, aku sangat mencintaimu!" ucapnya membuat senyum di bibir ku mengembang dengan. sempurna.
"Happy Anniversary juga mas. Aku juga sangat mencintai mas, apa tidak apa-apa kalau aku pergi bekerja hari ini?" tanya ku pada mas Hadi.
Sebenarnya aku sudah bilang akan minta cuti hari ini untuk menghabiskan satu hari dengan mas Hadi. Mika juga pagi-pagi sekali sudah di jemput ibuku. Karena ibu tahu ini hari anniversary pernikahan ku. Tapi mas Hadi bilang tidak apa-apa aku pergi bekerja saja, karena dia juga ada meeting penting. Dan kami sepakat untuk merayakan anniversary kami nanti malam saja.
"Tidak apa-apa sayang, pergilah bekerja. Pulang kerja nanti aku sudah siapkan hadiah istimewa untuk mu!" ucap mas Hadi.
Aku pun pergi bekerja, aku sebenarnya sudah tidak sabar lagi menunggu malam tiba. Setiap kali aku melihat jam di tangan ku, rasanya waktu berjalan sangat lamban. Tapi akhirnya waktu pulang kerja tiba juga. Aku sudah tidak sabar menuju ke arah mobil ku. Tapi ketika akan masuk ke dalam mobil, seorang gadis kecil menghampiri ku dan memberikan ku sebuah bungkusan dan setelah itu dia berlari begitu saja.
"Hei, ini apa? yah... dia malah lari!" gumam ku sambil membuka bungkusan itu yang ternyata adalah sebuah gaun yang sangat cantik dan sebuah kartu ucapan.
*Happy anniversary sayang, aku tunggu kamu di hotel Emerald kamar 1099, pakai gaun ini ya. Love you*
"Wah, mas Hadi. Romantis sekali!" ucapku lalu masuk ke dalam mobil.
Aku langsung menuju ke hotel yang mas Hadi sebutkan dalam kartu ucapan tadi. Sampai disana aku langsung menemui resepsionis dan entah bagaimana, saat aku belum bertanya resepsionis wanita itu sudah langsung tahu akan ke kamar 1099. Dia bahkan mengantarku dan memberikan aku welcome drink.
"Silahkan nyonya, kami juga sudah menyiapkan welcome drink. Silahkan di coba, ini adalah minuman terbaru hotel kami!" ucapnya dengan sopan.
Aku melihat name-tag nya dan namanya adalah Gina.
"Terimakasih!" ucap ku.
Gina pun pergi dan menutup pintu, aku berpikir untuk langsung mandi dan berganti pakaian dan menunggu mas Hadi datang. Tapi karena aku haus, jadi aku minum welcome drink itu lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Rasanya segar sekali, setelah bekerja seharian mandi air segar memang sangat nyaman. Aku juga sudah bersiap dengan gaun merah dan juga make up yang aku sesuaikan. Tapi aku merasa aneh, semakin lama kenapa aku merasa tubuhku menjadi sangat panas.
"Huh, AC nya mati atau gimana sih ini. Panas sekali!" gumam ku.
Aku mencoba mengambil remote AC sepertinya tidak ada masalah. Aku berusaha menghubungi layanan kamar tapi teleponnya tidak berfungsi. Aku mengambil ponsel di tas ku, tapi baterai nya juga lemah dan baru aku mau menghubungi mas Hadi ponsel ku mati. Aku berfikir untuk meminjam telepon kamar sebelah saja, karena kalau aku mencari petugas hotel dengan pakaian minim bahan begini pasti akan menarik perhatian dan mungkin saja mereka akan menganggap ku perempuan yang tidak baik.
Aku pun keluar dari kamar, tapi entah kenapa semakin lama aku merasa tubuhku semakin tidak nyaman. Rasanya tenggorokan ku haus sekali. Tanpa bisa berpikir jernih, aku mengetuk pintu kamar yang ada di sebelah kamar ku. Rasanya kakiku juga sangat lemas.
'Ada apa ini, kenapa aku?' batin ku.
Tok tok tok
Beberapa kali aku mengetuk, dan pintu kamar di sebelah kamar ku terbuka.
"Permisi, bisa pinjam...." aku tidak bisa meneruskan ucapan ku, kepalaku sangat berat dan tiba-tiba saja semuanya menjadi gelap.
Brukk
***
Bersambung...
Perlahan aku membuka mataku, tapi ketika berusaha untuk melihat ke arah sekeliling, aku merasa seluruh tubuhku begitu remuk, sangat remuk. Mataku langsung melebar ketika aku melihat kalau aku sedang berada di atas sebuah tempat tidur dengan selimut yang menutupi tubuhku yang ternyata setelah aku lihat ke dalam selimut tidak mengenakan sehelai benang pun.
Jantungku berdetak sangat cepat, tangan ku gemetaran, nafasku rasanya tercekat. Terlebih saat aku lihat ini bukanlah kamar dimana seharusnya aku berada. Aku mengarahkan pandangan ku ke seluruh ruangan kamar ini, dan sangat jauh berbeda dari kamar yang pertama aku masuki, yang merupakan kamar yang dipesan oleh mas Hadi. Aku segera melihat ke arah jendela, dan sepertinya sudah siang karena cahaya matahari mampir menembus menerobos tirai putih penutup jendela kamar hotel ini.
Aku mengusap wajah ku kasar, dan tanpa terasa air mataku juga sudah mengalir tanpa henti.
"Bagaimana ini, apa yang sudah terjadi?" tanya ku pada diriku sendiri.
Aku bahkan bisa melihat gaun merah pemberian mas Hadi sudah robek dan tergeletak begitu saja di lantai di dekat tempat tidur dimana aku sedang duduk dan meratapi kebodohan yang aku lakukan.
Aku berusaha untuk turun dari tempat tidur meski pinggangku rasanya mau patah. Aku masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan tubuhku yang rasanya sangat lengket. Air mataku bahkan mengalir lebih deras saat aku melihat tanda merah menghitam yang ada di sekujur tubuh ku.
"Bagaimana ini semua bisa terjadi? kenapa aku begitu ceroboh?" tanya ku sambil menggosok seluruh tubuhku dengan sangat keras.
Bahkan saat melakukan hubungan itu dengan mas Hadi, hal seperti ini tidak pernah terjadi. Dan seluruh tubuhku tidak pernah terasa se remuk ini. Aku terjatuh ke lantai kamar mandi dengar air mata yang semakin deras.
Rasanya aku benar-benar tidak punya muka lagi untuk bertemu mas Hadi. Bagaimana bisa aku melakukan ini, bagaimana bisa ini terjadi padaku. Bagaimana aku akan menjelaskannya pada mas Hadi. Dan siapa pria itu pun aku tidak tahu, wajahnya aku tidak ingat sama sekali.
Aku terus memukul kepalaku yang tidak bisa mengingat apapun yang terjadi semalam.
Hampir saru jam aku berada di dalam kamar mandi, aku juga tidak tahu pakaian apa yang harus aku pakai keluar dari kamar mandi ini. Karena gaun yang aku pakai semalam sobek. Ku edarkan pandangan ku ke seluruh kamar mandi, dan aku melihat sebuah jubah mandi tergantung disana. Dengan cepat aku meraihnya dan memakainya. Aku ingat kalau tas dan pakaian kerja ku ada di kamar yang sebelumnya.
Sambil terus menyeka air matanya yang tidak mau berhenti mengalir aku berjalan perlahan menuju ke kamar 1099.
Aku terus menautkan ke sepuluh jemariku sambil terus menggumamkan kata maaf pada untuk mas Hadi.
Ketika tiba di depan pintu kamar 1099, aku membuka pintu itu perlahan.
"Sila!" lirih sebuah suara yang sangat aku kenali siapa pemiliknya.
Tanpa sadar air mataku mengalir begitu deras, aku sama sekali tidak berani melihat ke arah mas Hadi.
Suara langkah kaki mas Hadi yang mendekatiku juga semakin membuat tubuhku gemetar dan berkeringat dingin.
"Sila, aku menunggu mu semalaman. Kamu kemana semalam? dan ini, apa ini?" tanya mas Hadi sambil memegang jubah mandi Ayng aku pakai.
Tangan mas Hadi perlahan menjauh ketika dia menyingkap sedikit bagian leher dan melihat tanda merah yang ada disana.
"Sila... kamu...!" suara mas Hadi terdengar gemetar.
Mulutku juga tidak bisa terbuka dan bicara, hanya menangis yang aku bisa.
Mas Hadi bahkan terjatuh ke lantai, dengan suara lututnya uang begitu keras membentur lantai.
"Sila, apa salah ku? kenapa kamu melakukan ini padaku Sila?" tanya mas Hadi yang meletakkan kedua tangannya di atas kepalanya.
Aku mendengar mas Hadi terisak, dan saat mendengarnya hatiku rasanya seperti di tusuk dengan ribuan jarum yang sangat tajam.
Aku masih berusaha untuk mengeluarkan suaraku, tapi sangat sulit. Aku juga terjatuh ke lantai begitu saja. Sambil menunduk dan menjatuhkan semua air mata yang terus mengalir dengan tangan gemetaran.
"Maafkan aku mas!" lirih ku berusaha meminta maaf pada mas Hadi atas apa yang terjadi semalam.
"Sila, aku sangat mencintaimu. Aku bisa memaafkan apapun kesalahan mu...!" mas Hadi menjeda kalimat yang ingin dia ucapkan lalu berdiri perlahan.
Dengan air mata yang terus menetes aku hanya mampu tertunduk di depan mas Hadi. Karena aku menyadari kalau aku lah yang memang bersalah, meskipun aku merasa kalau semua ini sepertinya ada yang tidak benar.
"Tapi tidak yang satu ini... Susilawati binti Prio Utomo...!"
Mendengar mas Hadi menyebut nama ku dan nama ayah ku aku langsung mendongak dan menyentuh tangan mas Hadi. Namun dengan cepat mas Hadi menepis tanganku.
"Jangan sentuh aku dengan tangan kotor mu itu, wanita macam apa yang sudah bersuami tapi melakukan hal tercela seperti itu dengan pria lain, bahkan di malam anniversary pernikahan nya...!" mas Hadi bicara dengan berteriak.
Aku kembali menunduk dan menangis, karena apa yang mas Hadi katakan itu benar. Aku benar-benar wanita yang kotor, bagaimana bisa aku malah seperti ini.
"Susilawati binti Prio Utomo, aku Hadi Tama menalak kamu dengan talak tiga, mulai sekarang kamu bukan istriku lagi!"
Jeger
Bak petir di siang hari hariku rasanya sangat sakit, bahkan nyawaku sepertinya terbang sekilas dari ragaku. Aku masih tercengang mendengarkan ucapan talak dari suami ku. Sampai dia melewati ku aku baru sadar dari ketertegunanku. Aku langsung meraih kaki mas Hadi dan memeluknya.
"Mas, mas jangan talak aku mas. Aku tidak tahu kenapa semua bisa seperti ini, aku datang ke hotel ini seperti pesan yang kamu kirimkan, aku mengganti pakaian ku dengan gaun yang kamu berikan, tapi aku tidak... aku tidak tahu apa yang terjadi mas...!" aku terus memeluk kaki mas Hadi yang berusaha untuk dia langkahkan.
"Aku bersyukur melihat semuanya sendiri Sila, jika tidak mungkin aku masih akan tertipu sikap lugu dan baik mu yang hanya sandiwara itu. Jika aku tidak bisa memuaskan mu, kenapa tidak terus terang...!"
Aku langsung menarik tangan ku ketika ucapan itu terlontar dari mulut mas Hadi.
Memang akulah yang salah, memang aku lah yang tidak benar.
"Mas, aku... mas kamu tidak... !" aku sungguh tidak bisa mengatakan apapun yang sudah ada di pikiran ku.
Mas Hadi lalu pergi berjalan menuju ke arah pintu, tapi saat dia akan pergi dia pun berbalik dan berkata.
"Aku tidak akan memaafkan pengkhianatan mu ini Sila, dan aku tidak akan biarkan Mika tinggal dengan ibu seperti mu!" ucapnya lalu membanting pintu kamar hotel dengan kencang.
Aku hanya bisa memeluk lutut ku dan meratapi apa yang sudah terjadi padaku. Satu hari setelah anniversary pernikahan ku yang kelima. Suamiku menjatuhkan talak padaku.
Apalagi yang bisa aku lakukan selain menangis dan meratapi betapa bodohnya diriku.
***
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!