Cewek bertubuh mungil dengan kulit putih itu tengah berjalan bersama teman sekaligus saudaranya, yang tubuhnya lebih tinggi dibanding dirinya. Keduanya menyusuri trotoar yang terbilang sepi karena masih pagi hari. Sepatu kets hitam yang membalut kakinya begitu kuat berpijak pada tembok kasar.
“Eh Mel, pulang sekolah nanti lo jualan pecel?” Tanya cewek bernama Nisa Permata, yang kini sedang mengimbangi langkahnya.
Cewek di sampingnya menoleh, tertulis dengan jelas di name tagnya Melodi Senja. “Iya dong, lo tahu sendiri kan gue suka banget jualan.” Ucap Melodi, seraya tersenyum pada Nisa. Sejak dulu, Melodi memang berbakat dalam bisnis, berbeda dengan Nisa yang angkat tangan duluan jika mendengar kata ‘jualan’.
Sebenarnya, bukan itu saja alasan Melodi berjualan pecel. Kenyataan pahit yang menimpanya sejak kecil mengharuskan ia melakukan hal ini. Ia ditelantarkan oleh orangtuanya begitu saja, sampai ia terdampar di sebuah panti asuhan yang diurus oleh Nilam Kusuma. Dulu, ia sempat berontak karena kehidupannya selalu diolok oleh temannya. Namun lama kelamaan, ia menyadari kalau tak seharusnya ia bertingkah seperti itu.
“Gue heran sama lo. Padahal ibu sering kasih uang saku ke kita. Tapi kenapa lo malah jualan pecel? Emang lo nggak capek?” Nisa selalu membayangkan bagaimana rasanya menjadi Melodi. Setiap pulang sekolah langsung menyiapkan perlengkapan untuk jualan, lalu berjalan menuju alun-alun kota untuk menjajakan makanannya di bawah terik matahari. Untung saja Melodi ditakdirkan berkulit putih. Kalau tidak, kulitnya pasti sudah gosong.
Melodi mengembangkan senyum, kemudian memegang kedua bahu Nisa. “Dengar nis. Gue lakuin ini karena emang gue suka. Lo pasti sering dengar kan, kalau punya bakat tuh harus terus dilatih. Dan gue percaya, kalau bakat gue ini bisa bikin gue jadi pemilik restoran!” Melodi berseru.
Nisa hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Melodi. “Ya deh terserah lo. Gue cuma bisa doain yang terbaik buat saudara gue yang satu ini.” Ujarnya sambil mengacak-ngacak rambut Melodi yang dikuncir kuda. Membuat pemiliknya melotot, karena tatanan rambutnya menjadi tidak rapi.
“Nisaaa...!!” Teriak Melodi karena tak suka dengan perlakuan Nisa tadi. Sementara, pihak yang diteriaki sudah berlari menjauh darinya.
Melodi mengejar saudaranya itu, sesekali Nisa juga menoleh ke belakang sambil menjulurkan lidah karena sukses mengusili Melodi pagi-pagi. Biasanya, Melodi yang selalu mengusili Nisa. Tapi kali ini, Melodi kalah cepat dari Nisa.
Nisa sedikit membungkuk, kedua telapak tangannya bertumpu pada lututnya, sepertinya ia merasa kelelahan. “Ah, gue capek.” Sahut Nisa sambil mengusap peluh yang sudah membasahi dahinya. Padahal, ia baru saja berlari beberapa meter dari kediaman Melodi tadi.
Melodi lekas menepuk punggung cewek itu, ketika ia sampai di tempat Nisa berada. “Makanya, lo nggak usah sok sok-an jailin gue, lo sendiri kan yang kena imbasnya.”
Nisa merasa menyesal karena kebodohannya sekarang. Fisiknya yang lemah memang tak bisa dinobatkan menjadi cewek jail seperti Melodi. Nisa hanya berjalan gontai memasuki gerbang sekolah, mengikuti Melodi yang sudah berjalan di depannya.
Setelah melambaikan tangan pada Nisa, Melodi masuk ke kelasnya, X IPA 2. Keduanya memang tidak satu kelas. Nisa menempati kelas X IPA 6.
Melodi masuk ke dalam kelasnya, ia sedikit heran dengan suasana kelas yang ramai melebihi pasar di kota ini. Melodi lekas duduk di singgasananya, mengabaikan keributan teman-teman kelasnya.
“Eh beneran tahu. Tadi gue dengar, katanya cowok itu bakal masuk kelas kita. Dia ganteng banget..!” Pekik Cindy, cewek berambut keriting sebahu. Suaranya melengking dan terkenal dengan sebutan ‘Mak Rempong’. Ia tengah bercerita tentang murid baru yang akan bergabung dengan X IPA 2. Dan katanya, murid baru itu tampan seperti oppa korea.
“Suut! Berisik!” Tio menyimpan telunjuk di depan bibirnya, pertanda bahwa Cindy harus menyudahi aktivitas tak berfaedahnya. Melihat gestur Tio, cewek itu langsung membungkam mulut dan duduk kembali di bangkunya. Sejak dulu, Cindy memang menyukai Tio, si ketua kelas. Hanya saja cintanya tak pernah terbalas. Dan, itulah jawaban kenapa Cindy selalu patuh setiap Tio melarangnya berbuat sesuatu.
Melihat kedatangan guru yang memiliki predikat killer kedua, kelas langsung sepi seketika. Layaknya orang yang sedang karaoke kemudian listriknya mati. Begitulah kondisi kelas Melodi saat ini. Seorang pria paruh baya yang bernama Darmawangsa atau yang akrab dipanggil Pak Darma kini telah berdiri di hadapan seluruh siswa. Di sampingnya, ada seorang cowok yang tingginya melampaui Pak Darma. Cowok itu memasang tampang mengerikan. Seakan-akan ingin menerkam mereka yang ada di dalam kelas.
“Oke anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru.” Ucap Pak Darma, suaranya menggelegar memenuhi ruangan.
Tanpa diperintah, cowok itu langsung memperkenalkan diri. “Hai, gue Gema Angkasa.”
“Oke Gema, silakan duduk.”
Gema langsung menuruti perintah Pak Darma, ia mencari bangku yang kosong. Dan kebetulan bangku itu berada di sebelah meja Melodi. Ia menghempas bokongnya begitu saja, lalu membuka jaketnya dan menyampirkannya di sandaran bangku.
Tanpa sengaja, Melodi memperhatikan gerak-gerik cowok itu. Sekaligus membenarkan gosip Cindy tadi—yang katanya murid baru itu tampan bak oppa korea yang digandrungi wanita masa kini. Namun, setelah ditelusuri dari ujung kepala sampai ujung kaki, Melodi tak menemukan sesuatu menarik satu pun. Ia hanya mendapati rambut hitam yang sedikit gondrong tanpa pomade, lalu setelan asal layaknya berandalan. Untungnya, kulit putih dan brand mahal yang dikenakannya mampu menutupi kecacatannya.
“Woy! Lo suka ya sama gue?” Tuduh Gema tiba-tiba, membuat Melodi langsung memalingkan wajah, karena ketahuan tengah memperhatikan Gema.
Melodi menghela nafas, kemudian menjawab tuduhan bodoh yang dilontarkan oleh Gema. “Lo gila ya? Gue aja baru kenal lo. Mana bisa gue suka sama lo.”
Gema menyipitkan mata, “Lo emang kenal gue, tapi gue nggak kenal lo tuh!” Gema mengambil sebuah buku dalam tasnya, kemudian menulis sesuatu di secarik kertas. “Ini. Kabarin gue kalau lo udah suka sama gue.” Gema mengedipkan matanya.
Melodi melihat kertas yang tadi diberikan oleh Gema. Disana terpampang deretan angka yang ia duga sebuah nomor ponsel. Melodi mendelik, tak habis pikir dengan tingkah cowok yang baru dikenalnya beberapa menit lalu. Tapi, tanpa sadar ia malah menyimpan kertas tadi di dalam silikon bergambar hello kitty yang membungkus ponselnya.
***
Bel istirahat yang selalu berdering nyaring setiap hari tiba. Menyisakan kelas kosong tak berpenghuni. Terkecuali kelas X IPA 2. Disana, terdapat seorang cewek dan cowok. Yang cewek sedang membuka kotak bekalnya, sementara yang cowok tengah tertidur pulas, seperti tak mempunyai beban hidup.
Melodi, bukannya menyantap makanan di hadapannya, malah memilih memperhatikan cowok itu—lagi. “Tapi benar sih yang Cindy bilang, dia tampan kayak oppa korea.” Gumam Melodi meralat penilaiannya beberapa jam yang lalu.
“Woy! Lo lihatin gue lagi. Kayaknya firasat gue benar, kalau lo suka sama gue.” Ucap Gema sambil mengerjapkan mata, melirik ke arah cewek yang tertangkap basah sedang menikmati ketampanannya.
Bodoh! Bodoh! Rutuk Melodi dalam hati. Ini kali kedua ia kepergok oleh Gema.
“Nah kan, lo nggak bisa jawab. Itu artinya lo benaran suka sama gue..”
Melodi angkat bicara, karena tak terima dengan ucapan Gema. “Eh dengar ya. Gue itu udah punya pacar. Dan pacar gue itu nggak kalah tampan dari lo!” Bantah Melodi.
Gema menaikkan sebelah alis, “Oh ya, cowok mana yang mau sama cewek jutek kayak lo?”
“Bukan urusan lo!” Melodi menyendok nasi goreng yang daritadi ia biarkan karena perdebatan dengan Gema.
Gema berdiri, melangkah mendekati Melodi. “Sebentar, nama lo Mel..” Gema hampir selesai membacanya, sebelum Melodi menutup name tagnya dengan jaket. Melodi bangkit dari kursinya, nasi goreng yang baru ia makan satu sendok mendadak hambar setelah melihat Gema. Melodi hendak berjalan, namun karena kakinya tersangkut kaki meja, ia menjadi kehilangan keseimbangan, dan jatuh di pelukan Gema.
Tangan besar yang dimiliki oleh Gema mampu menangkap tubuh mungil yang limbung itu. Selanjutnya, terjadilah adegan saling tatap menatap antar keduanya. Gema merasa ada yang tidak beres dengan jantungnya sekarang. Degupan kencang itu hampir saja terdengar oleh Melodi jika Gema tidak buru-buru melepas tubuh Melodi dari pelukannya.
“Ih! Lo lancang ya pegang-pegang gue!” Omel Melodi karena Gema tak sengaja menyentuh tubuhnya.
“Lo bukannya bilang makasih malah marah-marah nggak jelas. Lo beruntung tadi ada gue, kalau nggak, lo bisa aja jatuh terus benjol deh.”
Melodi kembali ke kursinya, mengurungkan niat untuk menghindari Gema. “Lagian siapa juga yang mau ditolongin sama lo?” Sinis Melodi.
“Wah, macam-macam sama gue. Lo belum tahu ya siapa gue?” Gema membusungkan dada, seraya menepuk-nepuknya. “Gue ini Gema Angkasa. Cowok yang bisa memikat hati cewek dalam sekejap. Gue yakin, lo pasti deg degan kan tadi?” Ucapnya membanggakan diri.
Melodi menautkan alis, “Kok gue mendadak mual ya dengarnya?”
Gema mendekatkan wajahnya ke arah cewek itu, menyisakan dua sentimeter di antaranya. Bahkan, Melodi juga bisa merasakan hembusan nafas Gema yang menggelitik wajahnya. “Gue pastiin, lo bakal jatuh cinta sama gue dalam waktu satu minggu dari sekarang.” Gema tersenyum, lalu kembali ke tempat duduknya.
Melodi memilih untuk menutup telinganya, tak mempedulikan Gema yang semakin gila karena tingkahnya sendiri.
***
Informasi yang baru saja dikabarkan oleh Tio bahwa guru-guru akan mengadakan rapat membuat Melodi dengan segera mengemas alat tulisnya. Kalau sudah ada informasi itu, artinya siswa diperbolehkan untuk pulang. Dengan senyum ceria, Melodi melenggang meninggalkan kelasnya.
Tadinya, Melodi berniat mengunjungi Nisa agar mereka bisa pulang bersama. Namun baru saja sampai di depan pintu kelas, Rendi, pacar Melodi menghalangi jalannya.
“Ayo pulang sama gue.” Rendi mencengkeram pergelangan tangan Melodi, membuat Melodi sedikit meringis.
“Aduh, aduh ren. Sakit..” Melodi mencoba melepaskan cengkeraman, namun tak kuasa.
“Lo kenapa sih? Nggak mau pulang sama gue?” Tanya Rendi, matanya menatap tajam kornea coklat milik pacarnya.
Belum sempat Melodi menjawab, Gema tiba-tiba menyambar. “Lepasin. Dia pulang bareng gue hari ini.” Gema melepas paksa cengkeraman Rendi, lalu menarik tubuh Melodi hingga ke belakang tubuhnya.
“Lo siapa?” Rendi mendongakkan dagu.
“Gue pacar dia mulai detik ini.”
Baik Melodi maupun Rendi sama-sama terkejut, tak percaya dengan ungkapan palsu yang baru saja dikatakan oleh Gema.
Melodi berbisik dari balik punggung Gema, “Lo gila ya? Itu pacar gue..”
Tapi, Gema mengabaikan bisikan Melodi, ia malah menarik tangan cewek itu, meninggalkan Rendi. Keterkejutan Rendi, membuatnya tak berkutik sama sekali melihat pacarnya dibawa kabur oleh cowok lain.
Sampai di area parkir, Melodi melepas paksa tangan yang digenggam oleh Gema. “Pokoknya gue nggak mau tahu. Lo harus tanggung jawab sama masalah tadi. Rendi pasti salah paham sama gue..”
Seakan tuli, Gema tak menjawab perkataan Melodi, ia malah menyuruh Melodi naik ke atas motornya. Tapi, bukan Melodi namanya kalau ia langsung begitu saja menuruti perintah orang lain, apalagi orang asing yang belum dikenalnya sehari penuh. Melodi tetap berdiam disana, tak mempedulikan Gema sama sekali.
Gema gemas melihat tingkah Melodi, ia turun dari motornya. Dengan cekatan ia menggendong tubuh mungil itu dan membuatnya terduduk di atas motornya. Tak peduli cewek itu meronta-ronta minta diturunkan. Dalam sekejap, motor yang dikendarai olehnya telah melesat pergi.
Karena sudah terlanjur, Melodi tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya menggerutu sepanjang perjalanan, sementara cowok di depannya terdengar menertawainya.
“Argh! Rendi pasti marah besar sama gue. Ini semua salah lo!” Melodi memukul-mukul punggung besar milik Gema.
“Lo mau sekeras apapun mukul gue, gue nggak akan ngelepasin lo gitu aja.”
Melodi berdecak, “Sebenarnya salah gue apa sih sama lo? Sampai lo mesti ikut campur di hubungan gue? Harusnya tadi tuh lo biarin gue pulang sama Rendi..”
Gema menghentikan motornya, lalu menoleh ke belakang dan membuka helmnya. “Salah lo ya cuma satu. Bikin gue pengen dapatin hati lo.”
***
Melodi membuang jauh-jauh percakapan dengan Gema saat di motor tadi. Ia beranjak dari kasur, berjalan menuju dapur untuk menyiapkan bahan dan peralatan dalam membuat pecel.
“Mel, sampai kapan sih kamu mau jualan pecel? Emang uang saku yang ibu kasih nggak cukup?” Tanya Nilam sambil membantu Melodi menyiapkan segalanya.
“Bu, aku tuh jualan pecel bukan karena uang saku yang ibu kasih nggak cukup, tapi karena aku suka banget sama yang namanya jualan. Kan aku mau..”
Nilam memotong, “Mau jadi pemilik restoran kan?”
Melodi nyengir, ibunya memang sudah tahu bahwa keinginannya sejak dulu adalah memiliki restoran sendiri dan membuka cabang-cabang di kota ini. Walau sebenarnya, hobinya itu tak sejalan dengan kemampuannya. Melodi cenderung lebih memiliki bakat di bidang seni.
“Ya udah, tapi kamu jangan terlalu capek ya. Ibu nggak mau kamu sakit.” Nilam mengusap puncak kepala anaknya itu, kemudian mengecupnya cukup lama.
Melodi mengangguk patuh, lalu memeluk erat tubuh ringkih wanita paruh baya di depannya ini. Ia merasa beruntung sekali memiliki seorang ibu yang perhatian padanya dan juga begitu menyayanginya.
Dengan menenteng keranjang makanan, Melodi berjalan menuju alun-alun kota, tempat paling strategis untuk menjajakan apapun. Hari ini, ia ditemani oleh Beno, adik kecilnya. Terlihat tangan mungilnya menjinjing plastik berisi alat-alat, dan senyuman terukir di wajahnya.
Setelah sampai di alun-alun, Melodi mulai menyiapkan segalanya. Ia menyimpan bahan dan alat tadi di meja berukuran sedang. Melodi memang tak menyewa kios karena keterbatasan modal, ia hanya menyewa satu buah meja dan dua buah kursi, sehingga ia harus mengeluarkan biaya sebesar sepuluh ribu rupiah setiap harinya.
“Pecel.. pecel..” Melodi mulai menjajakan dagangannya. Sesekali Beno juga mengikuti, suaranya begitu menggemaskan.
"Kak Mel, Beno ingin itu." Beno menunjuk permen kapas yang dijual oleh seorang bapak-bapak.
Melodi memberikan selembar uang lima ribu, menyerahkannya pada Beno.
"Hati-hati ya Beno, kalau udah langsung balik lagi."
"Iya Kak Mel."
Beno berlari menuju penjual permen kapas. Namun karena ia terlalu bersemangat, dia tidak melihat ada batu di depannya. Beno terantuk batu dan terjatuh. Lututnya terluka. Dia menangis sejadi-jadinya. Bersamaan dengan itu, datang seorang pria. Dia berjongkok, mencoba menenangkan Beno.
"Kamu kenapa?" Tanya Gema sambil memperhatikan Beno yang meringis kesakitan.
"Aku jatuh kak, sakit." Beno menunjuk lututnya yang terluka.
"Emangnya kamu mau kemana?" Tanya Gema lagi.
"Aku mau beli permen kapas itu.."
"Ya udah, kamu tunggu disini ya. Aku beliin buat kamu."
Beno mengangguk, mengiyakan perkataan Gema. Tidak lama kemudian, dia datang dengan membawa satu plastik permen kapas.
"Ini buat kamu." Gema memberikan permen kapas tersebut pada Beno.
"Terimakasih kak." Beno mengusap air matanya.
"Kamu lagi apa disini?" Gema memakaikan plester di lutut Beno.
"Aku lagi bantu Kak Mel jualan pecel." Jawab Beno sambil memakan permen kapas tersebut.
"Oh gitu. Namamu siapa?"
"Beno." Ucap Beno singkat.
"Namaku Gema." Gema mengulurkan tangan, memperkenalkan. Beno meraih uluran tangan Gema, menjabatnya.
"Ayo, kuantar ke tempat kakakmu." Gema menuntun Beno dengan cekatan.
Beno menghampiri Melodi seperti orang ketakutan. Melodi tak tahu apa yang membuatnya seperti itu. Beno duduk di samping Melodi, tak menceritakan kejadian yang telah menimpanya. Tetapi, Melodi terkejut dengan orang yang ada di hadapannya kini.
"Gema? Ngapain dia disini?" Tanya Melodi dalam hati.
Tak lama, Beno menceritakan kejadian sebenarnya. Melodi sempat ingin marah pada Beno, namun dia mencoba menahannya.
"Makasih udah nolongin Beno." Ucap Melodi pada Gema.
"Iya, sama-sama. Melodi Senja." Gema tersenyum, jenis senyuman yang mampu membuat hati para cewek lumer, namun tidak mempan bagi Melodi.
Seakan teringat sesuatu, Melodi berkata lagi. “Tunggu! Ngapain lo disini? Lo buntutin gue ya?” Tanya Melodi menginterogasi.
Gema mengerutkan kening, “Buntutin? Haha.. lo itu lucu ya. Gue tuh kesini karena emang gue suka datang ke tempat ini.” Ucapnya. “Ngomong-ngomong, lo jualan pecel?”
“Iya, emang kenapa? Lo mau ngejek gue? Seorang Melodi nggak cuma anak panti tapi juga jualan pecel. Gitu?” Melodi nyolot. Entah kenapa, semenjak perlakuan Gema padanya tadi, ia menjadi sangat jengkel. Karena, ini menyangkut kelanjutan hubungannya dengan Rendi.
"Sorry ya. Gue bukan tipe orang yang peduli sama aktivitas orang lain." Jawab Gema santai. “Oh ya, mumpung gue disini, sekalian aja deh gue beli pecelnya. Tiga porsi dibungkus ya, nggak pake lama!” Gema menekankan tiga kata terakhir tepat di telinganya. Melodi sempat ingin menolak sebenarnya, namun urung dilakukan.
Melodi mengumpat sambil mengulek bumbu-bumbu untuk pecelnya. Gema sesekali melirik Melodi, ia tertawa melihat tingkah Melodi. Selagi Melodi membuatkan pecel, Gema dengan Beno bercanda. Tak jarang tawa menghiasi. Mereka terlihat sangat akrab. Padahal mereka baru bertemu hari ini. Tak jauh dari keberadaan mereka, datang seorang cowok yang sudah Melodi kenal. Ya, ia adalah Rendi.
"Mel, udah gue kasih tahu berkali-kali. Gue nggak suka lihat lo jualan pecel disini. Ini alun-alun Mel! Gimana kalau ada teman gue yang lihat? Apa tanggapan mereka? Mereka pasti bilang kalau seorang Rendi yang terkenal kaya raya punya pacar seorang penjual pecel! Mau taruh dimana mel, muka gue..." Rendi menghentak meja, membuat beberapa alat terjatuh.
"Emangnya kenapa Ren? Apa yang gue lakuin salah? Apa lo malu punya pacar kayak gue? Hah.. Harusnya gue nggak usah nanya itu ke lo. Udah jelas, gue emang selalu salah di mata lo. Apapun yang gue lakuin, nggak pernah benar di mata lo. Dan berbicara malu, tentu saja. Gue cuma cewek yang tinggal di sebuah panti. Sementara lo? Lo punya segalanya! Beda sama gue. Harusnya dari dulu kita nggak pernah lanjutin hubungan ini!" Hati Melodi tergores, bibirnya bergetar saat mengatakannya. Ia mencoba menahan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk mata.
Rendi hendak menampar Melodi, namun tiba-tiba saja sebuah tangan menepisnya. Gema, dia berdiri di depan Melodi. Mencoba melindungi Melodi dari serangan Rendi.
"Lo, jangan coba-coba nampar cewek. Kalau lo berani, lawan gue!" Tantang Gema.
"Lo lagi? Nggak ada capeknya ya lo ganggu urusan kita. Emang lo siapa, hah?” Rendi memukul Gema, namun Gema berhasil menghindarinya.
"Udah gue bilang, mulai hari ini Melodi pacar gue.” Gema tersenyum sinis. “Jadi, kalau gue lihat lo nyakitin Melodi lagi, lo berurusan sama gue!” Gema memukul perut Rendi.
Rendi menyerah, "Lo, awas ya! Gue bakal balas!" Ancam Rendi, kemudian pergi meninggalkan mereka.
Selepas kepergian Rendi, Melodi terpaku di tempat. Perlahan air matanya mulai keluar. Membasahi rok yang ia kenakan. Ia terisak. Tak pernah terbayangkan kalau Rendi begitu tega padanya. Gema yang cepat tanggap situasi langsung memeluk Melodi. Mengusap punggung Melodi dengan lembut, menyalurkan ketenangan. Melodi menangis di bahu Gema. Tak peduli dengan orang-orang sekitar yang memperhatikannya.
"Kak Mel nggak apa-apa?" Tanya Beno seraya memegang tangan Melodi.
"Kakak baik-baik aja kok." Melodi menghapus air matanya, sebisa mungkin ia mengukir senyuman, berharap Beno tidak khawatir. Lalu melepas pelukannya dari Gema.
"Dari kapan dia berbuat gitu sama lo?" Tanya Gema. Melodi bisa melihat kilatan dari mata hitam cowok itu. Antara cemas dan marah, Melodi tak bisa mengidentifikasinya.
"Udahlah. Nggak usah dibahas."
"Lo salah Mel. Masalah kayak gini itu harusnya nggak lo pendam sendiri. Ayo cerita sama gue. Kali aja gue bisa kasih solusinya."
Sambil membereskan dagangan, Melodi berkata, "Bukan karena lo udah nolongin gue, gue bisa seenaknya cerita sama lo. Gue juga nggak yakin kalau lo orang yang bisa dipercaya. Kita baru kenal tadi Gema.."
"Emang, kita baru kenal. Tapi asal lo tahu, gue nggak seburuk yang lo lihat. Lagian, orang juga bisa saling suka dalam waktu beberapa jam."
Melodi melirik cowok di sampingnya, "Ini bukan soal jatuh cinta atau sejenisnya. Lebih tepatnya, gue nggak mau lo ikut campur ke dalam hubungan gue. Lo nggak sadar ya, kalau lo malah bikin tambah rumit segalanya." Melodi dan Beno hendak pergi, namun tiba-tiba Melodi merasa kepalanya pening. Ia hampir saja terjatuh kalau tidak ada tangan seseorang yang menangkapnya--lagi.
"Biar gue antar lo. It's okay kalau lo nggak mau cerita masalah lo apa."
"Nggak usah, gue bisa pulang sendiri." Tolak Melodi.
"Gue janji nggak akan nanya apapun lagi. Lo bisa anggap gue bukan Gema, tapi taksi online yang lo pesan. Gimana?" Gema sedikit berteriak, karena Melodi sudah terlampau jauh darinya.
Sebenarnya Melodi ingin menolaknya kembali, namun karena tubuhnya sudah terlalu lemas dan tak sanggup untuk melangkah ia terpaksa memenuhi permintaan Gema. Kebetulan Gema membawa mobil hari ini, sehingga Gema bisa mengantar Melodi dan Beno. Perkataan yang Gema lontarkan saat di alun-alun tadi rupanya benar. Gema tidak mengajak Melodi berbincang, hanya alunan musik aliran barat saja yang memecah keheningan di antara mereka. Jujur, Melodi tak mengerti dengan jalan pikiran Gema. Mengapa Gema bisa begitu baik padanya padahal Melodi tak pernah memberikan respon positif?
"Gue turun disini aja." Ucap Melodi setelah mobil Mitsubishi Xpander tiba di depan gerbang panti.
Gema hanya menganggukkan kepala. Kemudian melambaikan tangan pada Melodi. Tak ada kata apapun yang terucap dari mulutnya. Gema yang Melodi tahu banyak bicara ternyata bisa membungkam demi dirinya. Berbeda dengan Rendi yang selalu terus menerus bertanya di tengah Melodi sedang mengalami masalah. Bukannya memberikan solusi, melainkan memarahi Melodi. Mungkin memang benar, kalau pertemuan pertamanya buruk, maka kelanjutan hubungannya juga buruk. Begitulah menurut buku percintaan yang pernah Melodi baca.
Melodi masih ingat jelas, bagaimana ia bisa bertemu dengan Rendi dan menjalin hubungan sampai saat ini. Kala itu, Melodi hendak berjalan menuju apotik, namun tiba-tiba saja dompetnya dicopet.
"Copeeet, tolong copeeet.." Teriak Melodi.
Dari arah selatan, muncul seorang cowok yang masih mengenakan seragam SMAnya, berhenti tepat di samping Melodi berdiri.
"Ada apa mbak?" Tanya Rendi.
"Itu mas, dompet saya dicopet." Ucap Melodi dengan segala kepanikannya. Bukan apa-apa. Di dalam dompet itu ada lima lembar uang seratus ribu. Maka Melodi tak rela kalau uang itu hangus begitu saja.
Tanpa basa-basi, Rendi langsung mengejar pencopet tadi dengan motor ninjanya. Sementara Melodi mengucap doa supaya dompetnya bisa kembali ke tangannya.
Beberapa menit kemudian, Rendi kembali. Ia lekas turun dari motor dan menyerahkan dompet Melodi.
"Makasih ya!" Sahut Melodi kegirangan.
Bukannya membalas ucapan terimakasih Melodi, Rendi malah mengulurkan tangan, "Gue Rendi Permana, panggil aja Rendi."
"Gue Melodi Senja, panggil aja Melodi."
"Nama lo bagus, sesuai sama orangnya."
"Maksudnya?" Tanya Melodi kebingungan.
"Iya, lo itu cantik." Rendi mengembangkan senyum. Pipi tirus Melodi mendadak blushing, malu karena pujian Rendi.
"Oh ya, lo mau kemana? Biar gue anterin."
Melodi menggelengkan kepala, "Nggak usah, gue cuma mau ke apotik disana doang kok." Tunjuk Melodi ke gedung yang terletak di seberang jalan.
"Ya udah, biar gue anterin. Gue nggak bisa lihat cewek kesusahan. Apalagi cewek kayak lo." Rendi mengedipkan mata, membuat Melodi menjadi salah tingkah karena perbuatannya.
Akhirnya, Melodi menuruti keinginan Rendi. Selepas membeli obat, Rendi mengantar Melodi pulang. Tak ada respon negatif sama sekali saat Rendi tahu bahwa Melodi tinggal di panti asuhan.
"Mau mampir?" Tanya Melodi ketika dirinya sudah menapakkan kaki di gerbang panti.
"Lain kali aja deh. Soalnya gue ada jadwal latihan basket." Rendi memutar balik motornya. "Oh ya, jangan lupa cek isi dompet lo."
Melodi menautkan alis, sementara bibirnya sudah melengkungkan senyuman sedari tadi. Setelah memberikan obat yang Nilam suruh beli, Melodi kembali ke kamarnya. Ia penasaran dengan ucapan terakhir Rendi. Melodi membuka dompetnya, mengecek isi-isi di dalamnya. Uangnya masih utuh. KTP dan ATM juga masih ada. Foto yang ia pasang juga ada.
"Maksud Rendi apa ya?" Tanyanya dalam hati.
Karena rasa penasaran yang semakin melanda, Melodi memutuskan mengeluarkan semua isi dompet. Dari benda-benda yang ia lihat, matanya tertuju pada sebuah kertas seukuran ktp. Melodi lekas mengambil benda itu. Rupanya, itu adalah duplikat tanda pengenal milik Rendi. Disana tertulis nama lengkapnya, statusnya, beserta nomor ponselnya. Sekelebat muncul pertanyaan di benak Melodi.
"Apa Rendi minta gue buat ngehubungin dia?"
Melodi bimbang. Pasalnya, ia belum pernah menghubungi cowok duluan. Ia terlalu sering dihubungi oleh para cowok. Namun, biar bagaimanapun, Rendi sudah menolongnya.
"Apa gue telepon aja ya?" Melodi berjalan mondar mandir, persis seperti setrika pakaian. Ponsel yang ia pegang layarnya masih menampilkan nomor ponsel Rendi. Tanpa sengaja, jarinya menekan tombol memanggil. Tak lama, terdengar suara sahutan dari seberang sana.
"Loh? Bodoh. Bodoh. Lo gimana sih Melodi?" Melodi merutuki dirinya.
Sementara, orang yang dipanggil terus menyahut menyebutkan kata halo berkali-kali. Dengan segala keberanian yang Melodi kumpulkan, ia menempelkan ponsel itu di telinganya.
"Iya halo." Ucap Melodi dengan ragu.
Seakan sudah hapal dengan suara Melodi, Rendi menjawab, "Oh Melodi ya. Ada apa?"
"Kok lo bisa tahu kalau gue Melodi?"
"Ya jelaslah. Cowok mana yang nggak ingat suara indah milik Melodi."
Melodi diam sesaat. Jujur saja, jantung Melodi sudah hilang entah kemana karena pujian Rendi.
"Halo Mel, besok gue.." Sambungan telepon terputus begitu saja karena mendadak ponsel Melodi mati.
"Ah! Sial! Ini hp nggak bisa lihat orang senang apa ya?"
***
Sepulang sekolah, Melodi diberi kejutan spesial. Lebih spesial dari martabak yang selalu Melodi dan Nisa beli di alun-alun kota. Rendi berkunjung ke panti. Kata Nilam, ia memberi donasi untuk panti. Kini, Rendi tengah bermain bersama anak-anak panti. Tak terlihat sedikitpun adanya perbedaan derajat di antara mereka. Karena setahu Melodi, Rendi merupakan anak dari konglomerat di kota ini. Dari tanda pengenal yang ia baca, sepertinya orangtuanya memiliki perusahaan ternama dan sudah memiliki banyak cabang.
"Mel, ikut gue yuk." Ajak Rendi setelah berhasil keluar dari kumpulan anak-anak panti yang begitu senang bermain bersamanya. Raut wajah mereka menggambarkan ketidakrelaan karena Rendi pergi menghampiri Melodi.
"Kemana?" Tanya Melodi.
"Udah, ikut aja. Sebentar kok." Rendi lekas meraih tangan Melodi.
"Kak Rendi mau kemana?" Cegah Beno sambil memegang tangan kiri Rendi.
Rendi menoleh ke belakang, "Beno, kak Rendinya dipinjam sama kak Melodi dulu ya. Kakak janji, kakak bakal sering-sering main kesini. Oke?" Rendi mengacungkan jari kelingkingnya.
Beno cemberut, lalu menyambut acungan jari kelingking Rendi. "Hm, ya udah deh. Tapi kakak janji ya. Awas aja kalau kakak bohong. Kakak nggak akan aku restuin sama kak Mel." Cibir Beno yang membuat Rendi mengacak-acak rambut keriting Beno. Sementara Melodi memberikan tatapan tajam pada Beno.
Rendi berbisik di telinga Beno, "Kakak janji. Doain kakak juga ya, biar kak Melodi terima kakak."
Beno ikut berbisik, "Kalau kak Melodi terima kakak kita dikasih apa?"
"Nanti kakak beliin permen, es krim sama coklat kesukaan kalian. Gimana?"
"Oke deh." Beno tersenyum menggemaskan.
Mobil Honda Jazz hitam itu perlahan meninggalkan panti. Melodi sudah bertanya berkali-kali kemana arah tujuan mereka, namun Rendi bersikukuh tidak menjawab. Dan yang lebih menyebalkan bagi Melodi, matanya ditutup menggunakan slayer. Entah apa rencana yang akan Rendi perbuat.
Rendi memapah Melodi dengan hati-hati, setelah mereka tiba di tempat tujuan. Kemudian, Rendi melepas slayer yang menutupi mata Melodi. Hal pertama yang Melodi lihat adalah ukiran rumput yang bertuliskan 'I love You Melodi'. Melodi takjub. Belum selesai sampai disitu, Melodi juga baru menyadari bahwa mereka tengah berdiri di ukiran rumput berbentuk love.
"Jujur, dari awal gue lihat lo, gue udah suka sama lo. Lo mau kan jadi pacar gue?" Rendi memberikan sebuket bunga mawar putih pada Melodi.
Melodi terdiam sejenak. Ia bingung harus menjawab iya atau tidak. Melodi juga menyukai Rendi, namun statusnya yang hanya anak panti rasanya tidak cocok jika disandingkan dengan Rendi yang jelas-jelas terlahir dari keluarga kaya raya.
"Tapi Ren, gue cuma anak panti.." Desah Melodi.
"Ya emang apa masalahnya?"
"Emang lo nggak malu, kalau lo punya pacar anak panti kayak gue."
Rendi menghembuskan napas, "Melodi, lo pasti udah tahu dong kalau cinta itu buta. Jadi, gue nggak peduli mau lo anak panti atau anak dari keturunan apapun. Cinta itu muncul dari hati, bukan dari status kehidupan."
"Tapi gue nggak pantes buat lo Ren.." Kukuh Melodi. Walau kenyataannya, ucapan dan hatinya berbanding terbalik. Melodi mau menjadi pacar Rendi.
"Mel, lihat ke sebelah sana." Tunjuk Rendi pada sepasang kekasih yang tengah tertawa. Prianya terlihat tak ada cacat sama sekali, namun wanitanya seperti ada sedikit kecacatan. Terlihat dari tongkat yang ia bawa. Dari sana Melodi bisa berasumsi kalau wanita itu mengidap kebutaan.
"Lihat? Ceweknya punya kekurangan kan? Tapi cowoknya fun fun aja tuh." Kini, sepasang kekasih itu tengah saling suap menyuap. "Jadi, setiap hubungan itu pasti ada kekurangan dan kelebihannya, tergantung kita. Apa kita bisa menutupi kekurangan itu dan menonjolkan kelebihannya? Lo pasti udah sering dengar dong, kalau segala sesuatu nggak ada yang sempurna. Begitu juga dengan kita."
Melodi sedikit mendapat pencerahan dari penjelasan Rendi. Ucapan Rendi memang benar. Melodi memantapkan hati, lalu menjawab pertanyaan Rendi. "Iya, gue mau jadi pacar lo."
***
Dua bulan hubungan mereka berjalan, semuanya terasa baik-baik saja. Rendi selalu menjemput dan mengantar Melodi setiap pergi dan pulang sekolah. Rendi juga tidak malu mengenalkan Melodi pada teman-teman terdekatnya. Setiap akhir pekan atau hari libur, Rendi selalu mengajak Melodi pergi ke suatu tempat. Melodi sangat beruntung menjadi pacar Rendi. Bukan hanya itu, Melodi sangat senang bersamanya.
3 Januari 2019. Pada hari itu, kedua orangtua Rendi meninggal dunia karena kecelakaan mobil. Rendi sangat terpukul dengan kejadian itu. Rendi mengurung diri dalam kamarnya selama satu bulan penuh. Melodi selalu berkunjung ke rumah Rendi, membawakan makanan dan menyimpannya di atas nakas. Namun, Rendi tidak pernah mau melihat Melodi. Sepanjang hari Rendi hanya menangis. Tepat di hari ke tiga puluh, Rendi tidak bersuara sama sekali. Melodi khawatir dengan kondisi Rendi, akhirnya Melodi masuk ke kamar Rendi. Di sudut ruangan, Melodi melihat Rendi sudah terkulai lemas dengan tangan yang mengeluarkan banyak darah. Melodi panik, dan langsung menelepon ambulans.
Rendi dibawa ke rumah sakit. Untung saja Melodi tidak terlambat membawanya. Karena jika terlambat sedikit saja, kemungkinan Rendi sudah kehilangan nyawa. Melodi tidak ingin kehilangan Rendi. Seminggu sudah Rendi terbaring di bangsal itu. Wajahnya yang selalu terlihat ceria, berubah menjadi pucat. Melodi tidak sanggup melihatnya.
Melodi masuk ke dalam ruang rawat Rendi, duduk di samping bangsal. Memegang tangan Rendi, berharap Rendi membuka matanya kembali. Menyebutkan nama Melodi dan mengusap air matanya.
"Rendi, buka mata lo. Ini gue Melodi, pacar lo. Lo janji kan sama gue bakal terus temanin gue, tapi kenyataannya apa? Lo malah terbaring lemah tidak berdaya seperti ini. Mana Rendi yang gue kenal begitu kuat? Yang selalu melindungi gue? Mana Ren. Buka mata lo, gue kangen lo Ren." Melodi menggoyangkan tubuh Rendi, sambil menangis sejadi-jadinya.
Seperti mukjizat dari Tuhan, tiba-tiba saja tangan Rendi menyentuh puncak kepala Melodi. Rendi sudah siuman. Melodi senang bukan main. Rendinya telah kembali. Melodi memeluk Rendi karena kerinduannya.
Setelah tiga hari Rendi siuman, akhirnya dia diperbolehkan untuk pulang. Melodi membereskan barang-barang Rendi dan mengantarnya pulang. Sesampainya di rumah, telah berdiri seorang wanita di ruang tamu. Rupanya itu adalah Lusi, Tante Rendi. Setelah kepergian kedua orangtuanya, Lusi menggantikan mereka untuk merawat Rendi. Namun, semua tidak seperti yang diharapkan. Lusi selalu menyiksa Rendi. Melodi selalu melihat bekas luka yang dibuat oleh Lusi.
Perlahan segalanya terungkap. Ternyata penyebab kematian orangtua Rendi adalah Lusi. Dia sengaja merusak rem mobil sehingga terjadi kecelakaan. Itu dilakukan karena dia ingin menguasai harta orangtua Rendi. Mendengar itu, Rendi tidak tinggal diam. Dia mencoba untuk melaporkan Lusi ke polisi, namun selalu gagal. Akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan rumah itu. Kini, dia tinggal di villa peninggalan orangtuanya. Semenjak itu, dia mengalami gangguan psikis. Dia selalu berteriak sendiri, bahkan mencoba mengiris tangannya. Namun, Melodi selalu mencegahnya.
Berbulan-bulan Rendi harus merasakan sakit. Melodi selalu mengajaknya ke psikiater untuk berkonsultasi. Dan perlahan, Rendi mulai sembuh dari penyakitnya. Tetapi, hal aneh terjadi setelah Rendi sembuh. Rendi menjadi posesif pada Melodi. Segala amarahnya selalu dilampiaskan pada Melodi. Awalnya Melodi merasa, mungkin Rendi kesepian karena tidak punya siapa-siapa lagi. Dan Melodi siap menjadi bahan pelampiasannya. Tapi semakin hari, sikap posesifnya semakin menjadi-jadi. Melodi kewalahan dibuatnya. Dan Melodi merasa benci dengan sikap Rendi sekarang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!