NovelToon NovelToon

Some Hours With Stranger

Prolog

Kau tahu rasanya ditinggalkan?!

Begitu jeritnya pada seluruh orang yang masih berlalu-lalang di jalanan. Namun, jeritannya hanyalah gaung dalam benak. Meski lemah, kuat merasuki sanubarinya. Ia berjalan gontai.

Rasanya tak ada yang tersisa selain dirinya sendiri. Semua orang seakan menjauh. Hidup silih berganti. Semua yang ada di sekitarnya memiliki perjalanan masing-masing. Dan ia bertanya-tanya bagaimana dengan dirinya setelah ini. Dunianya sejenak diliputi gempa. Begitu luluh lantak. Namun ia tahu, ia cuma mendramatisir seperti sad capther di novel-novel romantis yang juga berbumbu butir-butir bab madu manis.

Ia menghela nafas. Kalau saja....

Tapi, kalau saja itu adalah kata-kata payah. Sepayah dirinya sekarang. Kalau saja hanya frasa yang penuh penyesalan. Dan memang, banyak sekali yang ia sesali dalam hidupnya. Ia menyesali kata terlambat. Terlambat memutuskan sesuatu. Terlambat menyadari tindak-tanduk yang tak jelas. Terlambat mencari tahu. Terlambat menyadari semuanya. Terlambat memutuskan hubungan.

Kenapa aku jadi tolol begini! cerocosnya sendiri dalam hati.

Perempuan dengan scraft hijau gelap itu mempercepat langkahnya. Melewati jalan menuju ke Penn Station. New York membuatnya lelah. Akhir pekannya di kota riuh itu menjadi suram. Ia berubah pikiran dan ingin pulang. Padahal sedari awal, ia memutuskan tak akan kembali dulu ke rumah sederhananya.

Rencana semula adalah ia ingin menemui seseorang yang sudah lama tak menunjukkan batang hidungnya. Ia ingin memastikan sesuatu. Namun, rencananya mendadak buyar.

Kacau. Ia semakin tersuruk dan ingin marah. Menangis. Wajahnya sembab. Hampir sembilan jam perjalanan terasa percuma. Seharian ia berjalan dan mencari, tetapi sekarang yang ia pikirkan hanya kembali pulang. Ia hanya ingin pulang dan meringkuk seharian di dalam kamarnya yang nyaman.

Bayangan wajah seorang yang dinanti-nantinya mendadak jadi belati yang menghunus. Dadanya nyeri dan panas. Janji-janji seperti botol-botol anggur kosong yang tergeletak sembarangan di meja-meja bar.

Baginya kini, Danny adalah kata getir. Suatu kasih yang ia harap segera jadi sisa ampas kopi berjamur. Namun ia tahu, menjadikannya ampas berjamur bahkan butuh waktu. Entah berapa lama.

Ia mendengus, kayu saja butuh proses buat jadi lapuk, batinnya sembari membenarkan diri, bahwa sakit hati dan bergundah gulana itu tidak dapat dipungkiri. Tidak bisa hilang seketika secepat menjentikkan jari. Tapi, di satu sisi ia juga tak tahan jika harus menanggung getirnya kekecewaan terlalu lama. Pahit, memanglah pahit, sudah menjadi resiko menjalin suatu hubungan. Walau hubungannya itu sedikit lagi akan terlihat seperti kuncup bunga yang mekar indah. Ia lupa, badai bisa datang kapan saja. Ia lupa, siapa saja bisa membawa gunting dari arah tak disangka-sangka untuk mematahkan tangkainya.

Tuhan, tolong ambil saja hatiku yang sedang rapuh ini! Aku mau pulang dengan damai.

Ia bergerak cepat. Berlomba dengan waktu. Tak mau tertinggal jadwal terakhir hari ini. Ia ingin kembali ke Norfolk. Menjalani rutinitas seperti biasa setiap Senin dan seterusnya. Ia ingin segera kembali normal.

Selma... kau dimana?

Pesan masuk itu bisa saja menahannya pergi. Tapi, membacanya saja sudah membuat hatinya kusut dan remuk. Ingin sekali ia tak peduli. Ingin sekali ia tak ambil pusing. Ingin sekali ia menghapus pesan itu. Tapi, jarinya malah menggantung. Menimbang-nimbang. Padahal sedari tadi ia ingin tak mudah terbujuk.

Hatinya iya dan tidak. Balas atau tidak. Hampir saja ia menekan kata balas di layar ponselnya. Tapi, ia urungkan karna satu pesan masuk berikutnya dari seorang yang lain.

Kau oke?

Selma pun menghela nafas. Dan mulai mengetikkan sesuatu.

Bab 1 - 11.25 am

Selma: Sebenarnya tidak, Ansel. Aku ingin segera kembali ke Genth. Segera.

Selma membalas pesan singkat itu. Ia tak ingin Ansel mengkhawatirkannya. Lelaki itu terlalu baik untuk mempedulikan hal remeh seperti yang dialaminya. Ansel partner yang melebihi itu, sudah beruntung Ansel tulus mengemban banyak hal di bisnis kecil yang mereka bangun, di saat akhir pekan yang ramai, sementara ia memutuskan ke NYC sejenak.

Sepuluh menit lagi jadwal kereta menuju Norfolk berangkat. Penn Station tinggal beberapa puluh meter lagi ke arah selatan. Ia kerahkan semua emosinya yang campur aduk untuk mempercepat langkah kakinya yang berlari. Dadanya terasa terpukul bertubi-tubi. Kepalanya terasa meletup-letup. Panas. Memperparah nafasnya yang terengah-engah. Sudah dekat dengan jam makan siang. Tadinya ia sudah merasa lapar, tapi ia tak peduli lagi. Yang ia pikirkan kini hanya satu tempat. Rumah. Di mana ia bisa meringkuk nyaman dan meluapkan emosi sejadi-jadinya tanpa harus merasa malu dan mengganggu orang lain.

Mungkin Ansel yang terganggu, tapi dia selalu mau mengerti, batinnya.

Baru menjejakkan kaki sehari di kota terpadat ini, tapi Selma sudah tak peduli lagi dengan pesona yang ditawarkan. Ia tak peduli. Ia sudah lelah. Bahkan tak ambil pusing saat Madison Square terpampang di dekatnya. Di hadapannya. Ia langsung menumpahkan kelincahan kakinya di anak tangga stasiun bawah tanah itu. Terlambat enam puluh detik akan membuyarkan rencana pulangnya.

"Nona! Kau menjatuhkan sesuatu!" Suara laki-laki berteriak lantang padanya.

Selma tak menggubris. Ia langsung berbelok masuk. Berlari ke arah tempat kereta yang akan berangkat.

Namun, saat ia masuk ke area itu, kereta baru saja berangkat. Hatinya mencelos. Ia melihat jam tangan digitalnya.

11.35 am

Lewat 5 detik.

Ia hanya terlambat beberapa detik dan kereta sudah pergi.

Helaan nafas beratnya menyiratkan kesal yang menggunung. Sekarang aku harus apa? Ya Tuhan!

Lalu ia teringat tadi seseorang meneriakinya. Ia sadar ia menjatuhkan sesuatu. Barang mungil yang biasa melekat di jari manis kirinya. Cincin perak yang sudah sejam terakhir ia genggam terus. Mungkin tadi tangannya berkeringat dan cincin itu jatuh. Namun, tadi ia juga sudah tidak begitu peduli kalau barang itu hilang.

Tapi, mendadak ia malah berbalik. Siapa tahu untuk yang satu ini tidak terlambat. Ia menelusuri lorong lagi. Tapi, ia tak mendapati apa-apa, juga tidak pada orang yang meneriakinya tadi. Ia menghela nafas panjang lagi. Sudahlah! Sepertinya memang semua sudah berakhir.

Selma pergi dari sana. Ia membeli es soda di tengah jalan. Ia terus berjalan. Terombang-ambing.Tak berencana kemana pun. Menyusuri trotoar yang padat.

Kota ini begitu padat dan segalanya terasa berjejalan.Taksi kuning dimana-mana. Bangunan bertingkat berdempet-dempet dengan banyak kaca jendela. Toko menjamur. Apalagi tempat makan dan tempat hiburan, serta gedung perkantoran. Pusat perbelanjaan. Bank. Persis seperti di film-film. Sesaat Selma merasa sedikit lepas, menikmati keadaan yang jarang dilihatnya itu. Sesaat kemudian ia juga tersadar, begitu riuh suasana di sekelilingnya, tapi di dalam ia masih merasa sendirian. Tak berbeda dengan yang biasa ia rasakan tiap hari. Hanya saja kondisi kota yang tak kenal lelap dan ramai ini seakan semakin menegaskan dan mendramatisir kondisinya yang sedang mellow.

Selma mengambil ponselnya dari saku. Lalu ia banyak memotret di sepanjang 7th Ave. Begitu pun pada langit siang yang terlihat di antara lorong bangunan bertingkat. Masih sedikit mendung, tapi ia tak khawatir hujan melanda, toh hatinya sudah ditimpa hujan badai.

Selma pun membuka akun Instagram-nya. Ia mengetik sebuah caption, Langit siang di atas dunia yang menggila | , lalu ia unggah.

Beberapa tanda suka dari akun lain tertera di menu pemberitahuan. Dari beberapa orang, satu yang menarik perhatiannya. Ia tersenyum. Senyum asli pertama yang ia kembangkan sejak kemarin. Kenalan lama yang pernah sekali mampir ke kedainya dulu karena sedang tour musik.

Sebuah komentar menarik terselip di antara komentar lain. "@selmawood Semoga harimu tidak buruk dan menggila."

Senyum Selma merekah menjadi lebih lebar beberapa senti. Ini pertama kalinya ia merasa terhibur semenjak kemarin menginjakkan kaki di sini. Selma pun membalas komentar itu. "@ianwalsh lol dunia memang menggila. Tapi, trims. Semoga harimu menyenangkan."

Selma berjalan lagi. Ia merasa lebih ringan. Kakinya pun melangkah hingga Times Square. Persimpangan jalan utama di Manhattan itu mengingatkannya pada Ian Walsh. Lelaki itu pernah mengunggah video penampilan acoustic session-nya tak jauh dari sana. Dan Selma suka menontonnya.

Ia membuka instagram story Ian dan membalaskan sesuatu.

Selma: Hei, Ian... aku sedang di persimpangan Broadway dan Seventh Avenue.

Bab 2 - 12.18 pm

Selma tak pernah keluar Norfolk, jadi ia setengah syok. Kemeriahan kota berjuluk Big Apple itu seperti lautan manusia. Di setiap sisi Times Square banyak orang berlalu lalang, maupun duduk sekedar mengobrol atau makan dan minum. Seperti lebah berdengung. Dan banyak dialek yang ia dengarkan. Ia mengira-ngira, berapa banyak bahasa yang digunakan di kota besar ini. Sangat beragam. Begitupun papan-papan reklame yang ada di setiap sisi gedung yang ada di hadapannya. Belum lagi layar besar yang ada di hadapannya. Persis di gedung One Times Square.

Selma mencari tempat untuk duduk dan menu pengganjal perutnya. Ia mendapatkan satu bungkus sandwich dan segelas kopi. Sambil memandangi sekeliling, ia menyantap makan siangnya.

Selma berdecak kagum sekaligus miris. Kagum kemegahan kota ini dan miris menyadari ia menikmati ini semua sendiri. Seharusnya seseorang menemaninya sekarang. Namun, orang itu kini pergi, sudah tak lagi ada untuknya. Ia pun terkenang saat enam bulan yang lalu.

***

Sudah setengah hari sejak Danny berpamitan pada Selma dan juga ibunya. Selma mengantar lelaki itu sampai stasiun. Ia memberikan sebuah buku sebagai tanda perpisahan untuk sementara. Danny menerimanya dengan senyum sangat mengembang. Tahu bahwa kekasih yang sudah hampir tiga minggu dilamarnya itu memberikannya kenang-kenangan yang sangat ia sukai. Kumpulan puisi Rumi.

Mereka sangat menyukai puisi. Selma menulis. Danny membacanya. Sesimpel itu, tapi saling melengkapi. Selma tak suka mempertunjukkan dirinya di muka umum, sedangkan Danny bak seorang aktor. Selma yang tak banyak cakap dan tak banyak tingkah. Danny adalah pusat perhatian. Selma dan Danny. Sangat bertolak belakang. Namun, lima tahun sudah mereka saling mendukung dan mengisi.

Beberapa saat Danny tiba di kota besar itu, ia dengan sangat bersemangat menelepon Selma. Perempuan itu ikut bahagia mengetahui orang yang dicintainya begitu gembira.

Danny berkata,"Kau harus kemari Sel! Harus! Di sini sangat.. wow! Entahlah aku harus bilang apa."

"Ya ampun Danny, Kau bersemangat sekali! Apa kau tidak lelah? Istirahatlah!"

"Kau pasti tidak percaya. Begitu tiba di apartemen, lelahku malah menghilang."

Selma tertawa, "Bagaimana bisa? Jadi, kau sedang apa sekarang?"

"Entahlah, aku merasa bersemangat berada di sini. Kau tidak akan percaya kalau sekarang aku sedang menyeruput kopi di Times Square. Akan kukirim fotoku padamu setelah ini supaya kau percaya. Di sini sangat ramai, tapi menyenangkan duduk dan melihat banyak orang berlalu-alang di sini. Kuharap kau bakalan kemari, dan kalau pertama kali kau sampai di sini nanti, aku dan kau bisa duduk berdua di sini. Kita bisa menikmati suasananya sambil ngobrol-ngobrol berdua."

Selma tersenyum mendengarnya. "Apa itu sebuah janji?"

"Janji."

"Aku harap begitu. Suatu saat aku akan ke sana menemuimu. Well Dan, aku harus tutup teleponnya. Pelanggan sangat banyak. Telpon aku lagi nanti."

"Oke. Aku akan menelponmu lagi nanti."

"Jaga dirimu baik-baik, Dan."

"Tentu, sayang. Kau juga."

Sesaat kemudian mereka menutup telepon masing-masing. Selma sibuk dengan kedai donat dan kopinya, sementara Danny kembali menyesap kopi panasnya. Lelaki itu bersiap-siap menyelesaikan agendanya.

***

Ia teringat dengan janji konyol itu. Lalu menjadi semakin konyol tatkala menyadari semua hanya uap yang sudah terbang ke angkasa. Tetap saja hatinya mencelos. Seandainya ada satu orang saja, duduk di sini bersamanya. Hanya duduk, meskipun itu bukan Danny.

Ia mengangkat ponselnya ke udara. Membidik satu sudut yang sangat familiar dan identik dengan Big Apple. Times Square dengan One Times Square di tengah-tengah, di hadapannya.

Sekali lagi ia mengunggah sebuah foto. Lalu ia mengetikkan sesuatu untuk foto itu.

"Seharusnya tidak sendiri di sini. #timessquare"

Setelah selesai ia menghela nafas. Ia menghabiskan sandwich di tangannya dan meminum habis kopinya. Dan belum sempat ia akan pergi dari sana, sesuatu menahannya.

Sebuah balasan singkat untuk pesannya tadi masuk. Pesan yang sanggup membuatnya tersengat sekaligus berdegub-degub, padahal ia tadi hanya iseng dan tidak begitu memikirkan akan mendapat respon.

Ian: Hai Selma, Apa kau sekarang masih di sana? Apa seharusnya kita bisa bertemu?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!