NovelToon NovelToon

Kidung Kegelapan

Prolog

Magrib baru saja usai saat Mbah Priyo melewati jalan sepi di salah satu desa di kota Jombang.

"Ladalah … asem! Hampir saja aku jatuh," gerutu Mbah Priyo yang seketika menghentikan sepeda motornya. Ada hewan melata berwarna hitam dengan garis emas melintas di jalan yang sedang dilaluinya. Tak ayal, ular itu pasti terlindas dan mungkin saja mati.

Mbah Priyo membungkuk memeriksa dibawah motor, ular yang dilindasnya masih hidup dan melingkar terluka di roda belakang. Tidak terlalu besar, hanya seukuran lengan anak kecil. Mbah Priyo melepaskan ular itu perlahan setelah membacakan beberapa kalimat yang tidak biasa.

Belum sempat mata Mbah Priyo berkedip, ular hitam bergaris emas yang melata menuju pagar rumah tiba-tiba hilang. Mbah Priyo berdiri dengan seringai memahami, ular itu bukan makhluk daratan biasa. Ular itu mungkin sedang memberikan pertanda padanya agar melihat rumah besar kosong yang ada di hadapannya. Rumah dengan plakat kayu usang bertuliskan 'dijual cepat'.

Mbah Priyo mencatat nomor telepon yang tertera. Entah mengapa rumah dengan aura hitam dan wingit itu sangat menarik hatinya. Sisi mata batin Mbah Priyo mendapatkan gambaran siapa si pemilik rumah itu sebelum ditinggalkan dalam kondisi tak terawat begitu rupa. Pastilah orang pintar yang memiliki profesi yang hampir sama dengannya, seorang paranormal.

***

Empat puluh tahun lalu di lokasi yang sama ….

Rumah paranormal kondang bernama Pak Karman terlihat megah dan ramai pengunjung. Antrian membludak di hari Jumat Kliwon, hari yang katanya sakral untuk meminta bantuan beliau yang diagung-agungkan sebagai salah satu orang pintar di tanah Jawa. Bahkan masuk dalam jajaran paranormal terbaik di Nusantara.

Tapi bagi gadis bernama lengkap Dinara Sekar Sari, tidak ada rasa peduli sedikitpun dengan gelar atau pencapaian tersebut, bagi Dina paranormal tersebut adalah orang yang sangat jahat. Keluarga jauh yang sudah memporakporandakan hidupnya karena hal sepele, hal kecil yang memicu perang gaib dan berakibat sangat fatal.

Jika saja pria tua yang juga terkenal sebagai dukun santet itu tidak membunuh kakak iparnya, Dina mungkin tidak perlu datang untuk membalas dendam pada orang yang diakuinya sebagai 'Pakde' karena ikatan saudara yang masih lekat dari garis ayahnya.

Untuk melakukan semua rencana balas dendamnya, Dina rela duduk manis dalam kursi tunggu antrian. Dina memang datang kesorean sehingga mendapatkan nomor terakhir setelah satu putaran pertama yang berisi seratus orang telah selesai dengan urusannya masing-masing.

Dina mendapatkan putaran kedua dengan nomor tujuh belas atau dalam bahasa Jawa disebut pitulas. Dina sendiri mengartikan kata pitulas adalah sebuah pitulung (pertolongan) dan welas (belas kasih dari Yang Maha Kuasa).

Ketika pasien dengan antrian nomor enam belas sudah keluar dari ruangan Pakde Karman, Dina melangkahkan kaki menuju pintu yang masih tertutup rapat. Jalannya ringan tanpa beban, hal tersebut disebabkan Dina sudah bertekad akan mengakhiri semua kegilaan Pakdenya sore itu juga.

Pakde Karman yang berakhir dengan kehilangan kedigdayaan atau dia yang berakhir dengan kematian, sebuah pikiran sederhana yang terlintas di kepala Dina dari sejak berangkat dari rumah orang tuanya. Toh Dina juga sudah mendapatkan restu dari kedua orang tua untuk menyelesaikan masalah keluarganya.

Dina berani mendatangi paranormal hebat itu bukan tanpa persiapan, dia bukan saja seorang indigo yang bisa melihat penampakan kegaiban, tapi Dina terlahir dengan bakat supranatural yang disembunyikan.

Dalam garis keluarga besar Dina, bukan hanya Pakdenya yang memiliki kesaktian dalam dunia kegaiban, ayah Dina juga pemilik kemampuan supranatural yang sama besar meskipun jalan akhir yang dilalui berbeda. Ayah Dina memilih menjadi orang biasa dan menggunakan ilmunya hanya sekedar menolong orang yang membutuhkan bantuan.

Dina adalah satu yang terbaik di antara anggota keluarga besarnya dalam ilmu kebatinan. Dina lahir di hari Selasa Wage, hari yang konon katanya milik para penguasa gerbang dua alam, dengan kekuatan besar laksana samudra dia mampu melintasi alam gaib dengan mudah.

Dengan bakat alaminya itu, seluruh mata batin Dina terbuka luas ketika melangkah masuk ruangan praktek pakdenya, sang dukun ilmu hitam. Tak lupa, Dina memasang pelindung gaib atau yang biasa disebut rangket sebesar ruang praktek tersebut. Dina tidak ingin ada yang datang mengganggu urusannya dengan Pakde Karman, baik itu dari bangsa manusia atau lelembut. Dina ingin mendapatkan waktu khusus untuk berbicara dengan sepupu ayahnya, empat mata saja antara pakde dan ponakan.

Siluman buaya perewangan (peliharaan) pakdenya sedang berwujud sebagai manusia saat Dina masuk ruangan. Sebagai laki-laki dengan ikat kepala dan baju hitam berperawakan gagah seperti pendekar dalam film laga kuno.

Dina menyunggingkan senyum masam pada pria siluman tersebut, sementara Pakde Karman belum juga menyadari siapa pasien terakhir yang ingin bertemu dan memiliki urusan dengannya. Mata dan tangannya terlalu sibuk pada tungku pembakaran dupa.

Dina langsung duduk di depan pakdenya tanpa permisi diiringi tatapan siluman buaya yang dilihat Dina menyeringai aneh. Mungkin orang biasa tidak bisa melihat makhluk gaib tersebut, tapi bagi Dina itu bukan hal aneh. Dina terbiasa melihat yang orang lain tidak bisa, juga mendengar dan merasakan kehadiran makhluk gaib di sekitarnya dengan sangat peka.

"Apa kepentinganmu kesini, Wong ayu? Susuk, pelet, penglaris, saingan bisnis atau lebih dari itu? tanya Pakde Karman santai sesaat sebelum melihat kalau yang duduk di depannya adalah sang keponakan jauh.

"Saya ada kepentingan lain!"

Pakde Karman mendongak dan menatap skeptis pada tamunya. "Dinara? Kamu datang sama siapa, Cah ayu?"

"Iya, ini Dina yang berkunjung, Pakde! Saya datang sendiri, tapi ada salam dari bapak buat Pakde," jawab Dina sopan.

Pakde Karman menutupi rasa terkejut dengan tersenyum dan berusaha berbicara ramah. Namun, wajahnya yang selalu pucat terlihat sedikit menegang.

"Kamu punya tujuan apa datang sendiri ke sini, Nduk? Tidak mungkin kamu mengunjungi pakdemu ini karena iseng atau kangen!" Pakde Karman menatap menusuk jantung Dina, berusaha memperingati dan mempengaruhi pikiran keponakannya, juga mengukur kekuatan gadis yang sedang duduk santai di ruangannya itu.

"Saya hanya ingin penjelasan, Pakde! Kenapa semua ini harus terjadi dalam keluarga kita? Kenapa Pakde harus menghilangkan nyawa kakak ipar saya?" Dina bertanya sinis, dia menolak terpengaruh aura hitam milik Sang Dukun. Dina membalas menatap dengan ketajaman yang sama.

Dina sedang menantang pakdenya.

Suara dua pria tertawa terdengar menghina Dina. Pakde Karman mengejek, begitu juga siluman buaya yang ada di dekatnya. "Ha ha ha … semua yang sudah terjadi tidak ada hubungannya dengan keluarga kita, Dinara! Ini murni masalah pribadi, soal hidup dan mati pakdemu ini, jangan salah paham!"

"Saya masih tidak mengerti arah pembicaraan ini, Pakde! Saya juga tidak ingin menjadi arwah gentayangan karena penasaran tidak tau alasan kenapa saya dan keluarga harus mati di tangan pakde, orang yang seharusnya menjadi pelindung keluarga karena kesaktiannya!"

"Dengar Cah ayu! Pakde tidak akan bertele-tele menjelaskan semua. Intinya untuk mendapatkan semua kekayaan dan kejayaan ini, pakde punya perjanjian gaib dengan bangsa lelembut."

Pakde Karman menghembuskan nafas berat, lalu menyambung kalimat sembari menyunggingkan seringai iblis. "Namun, akan ada masa dimana semua yang pakde miliki akan runtuh jika tidak ada yang mampu meneruskannya, dan penyebab runtuhnya adalah keluarga!"

"Lalu pakde dengan tega menuduh saya sebagai penyebab yang dapat meruntuhkan dan menjadi akhir kejayaan yang pakde miliki?"

"Jangan naif, Dinara! Pakdemu ini sudah menawarkan kekayaan dan kejayaan ini padamu, terimalah dan teruskan kalau tidak ingin semua keluargamu menyusul istri kakakmu ke alam baka! Seandainya saja ada anak turun pakde yang bisa melanjutkan perjanjian … pakde tidak perlu melakukan ini pada keluargamu! Tidak ada jalan lain!" Pakde Karman menyoroti Dina dengan kilatan gelap matanya.

Tanpa memutuskan kontak mata sedetikpun, Dina menjawab pernyataan Pakde Karman dengan ekspresi jijik, "Entah kenapa saya tidak berminat dengan semua ini, Pakde! Saya hanya ingin kehidupan normal, dan jika kejayaan pakde harus runtuh hari ini karena keluarga … biarkan saya yang menanggung dosanya!"

"Jadi kau menantang pakdemu, Cah ayu?"

"Tidak ada jalan untuk mundur, Pakde!"

***

Rumah Pilihan Paranormal

Cerita empat puluh tahun lalu itu disimpan Dinara. Kisah paling kelam dalam sejarah keluarga yang hanya diketahui oleh beberapa orang saja. Dinara memang membunuh pakdenya dengan tangannya sendiri, dengan caranya. Juga meruntuhkan kejayaan sang paranormal yang sedang dalam masa puncak kejayaan.

Namun, di tempat Pak Karman tinggal dulu, tidak ada yang tau pasti kenapa dukun sakti itu tiba-tiba sakit dan meregang nyawa. Meninggalkan warisan berupa kerajaan siluman di area rumahnya. Warisan yang sedang menunggu orang sakti lain yang bisa melanjutkan perjanjian atau setidaknya bisa dijadikan sebagai majikan.

Hari ini, keturunan Dinara ingin melihat kebenaran cerita neneknya itu. Hanya melihat, tidak lebih. Bagaimanapun mereka tidak berhak mencampuri takdir yang sudah berjalan. Perjanjian gaib yang mungkin tidak mudah diputuskan.

Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit dan bertanya dua kali di warung pinggir jalan, Mika mengemudikan mobil memasuki desa yang disebutkan Oma Dinara.

Jalan desa dan sungai yang diceritakan Oma di masa mudanya sudah mengalami banyak perubahan. Jalan tanah dan sungai kecil sudah berganti dengan aspal halus dan sungai yang lebih lebar, terlihat indah dengan deretan pagar buatan warga setempat. Belum lagi area persawahan yang sudah berubah jadi perumahan modern.

Wajar saja, situasi yang diceritakan oma sudah berlalu empat puluh tahun.

Mika memperlambat mobil di jalan utama menuju rumah Pakde Karman, mengamati rumah-rumah penduduk terlebih dahulu untuk menemukan mushola sebagai patokan.

"Bukankah seharusnya ada mushola?" tanya Mika mengingatkan.

"Mungkin sekarang sudah jadi Masjid ini, menepi … aku akan bertanya sebentar!" Pandji turun dari mobil, menghampiri sosok bapak tua yang baru keluar dari tempat ibadah.

Dari dalam mobil, Mika dan tiga temannya memperhatikan Pandji yang mengangguk dan mengucapkan terima kasih sesaat setelah bapak yang ditanya menunjuk ke satu arah.

Pandji kembali ke dalam mobil dan memperhatikan jalan. "Nanti berhenti di depan, Mika! Rumah pagar hitam, sekitar tiga puluh meter dari sini."

Mika melaju lamban dan berhenti tepat di depan rumah yang dimaksud Pandji. Rumah besar dengan halaman luas di balik pagar besi berkarat. Rumah yang dulunya mungkin dimiliki oleh orang kaya. Terlihat dari bangunannya yang masih megah meskipun tampak lawas dan kusam.

Cat mengelupas di beberapa bagian dan ada atap yang hampir ambruk. Banyak semak liar di sekitar halaman, juga lumut kering yang memenuhi kolam ikan besar di samping kiri rumah, kolam dengan patung buaya di bagian tengahnya.

Daun kering berserakan di teras dan menyebar luas ke pagar yang dililit beberapa tanaman merambat. Dalam satu kali lihat, orang pasti langsung menilai bahwa rumah itu angker dan sudah tidak dihuni manusia sejak lama.

"Jadi ini dulu rumahnya Pakde Karman?" tanya Mika khawatir sekaligus kagum.

"Hm, aku rasa iya. Semua ciri persis dengan yang disebutkan oma, terutama kolam dengan patung buaya!" Pandji turun dari mobil dan menatap ke arah rumah. Semilir angin dingin menerpa wajahnya, menyibak rambut yang jatuh di dahi.

"Pandji …!" panggil Mika dari balik kemudi. Tanpa mematikan mesin mobil, Mika turun menyusul Pandji yang masih berdiri anteng di depan pagar hitam berkarat.

"Bahkan setelah kejayaannya runtuh, aura hitam tetap menyelubungi rumah ini. Tidak mungkin ada orang yang mampu bertahan tinggal di rumah dengan tingkat wingit seperti ini," kata Pandji dengan suara pelan.

"Kita pergi sekarang? Ada sesuatu yang hidup di dalam … sesuatu yang membuatku tidak nyaman," ujar Mika tak kalah lirih.

"Makhluk sisa-sisa kerajaan siluman dulu," sahut Pandji tak acuh.

"Siluman buaya?" tebak Mika.

"Hm iya … dan juga siluman jenis lainnya."

"Aku mencium bau pusaka, Pandji!" Mika menatap Pandji sekilas, lalu meneruskan matanya ke arah rumah tua yang hilang pamornya sejak ditinggal mati pemiliknya.

"Kita tidak sedang berburu pusaka, Mika! Kita hanya jalan-jalan ke sini, tidak seharusnya kita ikut campur urusan yang sudah selesai puluhan tahun lalu. Ayo ke lokasi wisata selanjutnya saja, bisa masuk angin berdiri lama-lama di sini!"

"Rumah yang menarik! Saudaramu ini dulunya pasti bukan orang sembarangan! Banyak hal tidak baik di dalam sana." Mika menerangkan pandangan batinnya. "Apa dulunya pemilik rumah ini memelihara perewangan untuk pesugihan?"

"Bukan … ini rumah paranormal kondang. Bukan pesugihan tapi sejenis ngelmu untuk sebuah kejayaan." Pandji menghembuskan nafas berat.

"Sayang sekali, kenapa tidak dijual murah saja ya? Lumayan buat investasi masa depan setelah semua aura jahat dibersihkan!"

Pandji tertawa kering, "Siapa juga yang mau tinggal di sana? Seluruh lahannya sudah dirajah, ada darah yang tidak bisa diangkat dari dalam tanah. Meskipun sudah dibersihkan, tetap akan meninggalkan hawa tidak enak untuk ditinggali manusia biasa!"

Baru saja Pandji menutup mulut, ada tiga pria dan dua wanita mendekati rumah.

"Mas sama Mbak ngapain disini?" tanya perempuan paruh baya sembari membuka gembok besar berwarna hitam.

"Cuma lihat-lihat," jawab Mika tersenyum canggung.

"Mau cari tempat buat pacaran ya?"

"Astaga, cuma penasaran sama rumah yang katanya angker, Bu! Nggak ada tujuan lain." Mika membela diri.

"Permisi, dilarang memotret, mengambil video apalagi membuat konten yang berhubungan dengan rumah ini ya, Mas!" kata salah satu pria sambil mengamati kamera yang tergantung di leher Pandji, lalu membantu si ibu menggeser pagar besar dengan bunyi derit yang menyakiti telinga.

"Dilarang uji nyali di tempat ini juga! Berbahaya buat anak ingusan seperti kalian!"

Pagar kembali ditutup dari dalam setelah semua orang yang membawa alat bersih-bersih masuk ke area halaman.

Mika memperhatikan dengan seksama selama beberapa saat sebelum berbicara lirih. "Sepertinya rumahnya akan dirapikan, mungkin baru saja laku. Jangan - jangan ada yang mau nempatin?!"

"Itu bukan urusan kita, ayo berangkat sekarang, Jatim Park sudah menunggu!" Pandji menarik Mika menuju mobil agar bisa segera meninggalkan tempat itu.

***

"Nar, temani resik-resik di kolam yuk!"

Merasa namanya disebut, Narto menggeleng singkat sebagai penolakan. "Nanti saja kita kerjakan belakangan, rame-rame! Sekarang bantu yang lain bersihkan yang ada di dalam rumah saja!"

"Yowes ayo, aku yo nggak berani kalau harus masuk ke kolam sendirian!" Lukman mengusap tengkuk dan kulit lengannya yang mendadak meremang, lalu berjalan memasuki rumah besar dengan langkah lebar.

"Siang-siang tapi kok hawane aneh ya, Luk? Tak ceritani kamu, aku itu selalu cari jalan lain kalau ada kepentingan lewat sini pas malam hari." Narto terkekeh malu karena merasa bukan orang yang cukup memiliki keberanian.

Lukman menimpali sembari berjalan dari satu ruang ke ruang lain di dalam rumah. Membuka semua pintu dan jendela lalu mulai membantu menyapu. "Nanti kalau sudah ditempati, angkernya pasti menghilang!"

BRAK!!!

Narto berjingkat dan berjalan cepat mendekati Lukman. "Bunyi apa itu tadi, Luk?"

"Mungkin jendela tertutup kena angin." Lukman menyembunyikan rasa takutnya.

Suara desau angin menghampiri wajah Narto, menamparnya lembut seperti belaian tangan tak terlihat. Narto menelan ludah dalam kengerian. "Aku bantu Lek Min aja, Luk!"

"Walah …." Lukman tidak bisa mencegah kepergian Narto yang meninggalkannya dengan setengah berlari.

Dengan berat hati, Lukman memeriksa jendela yang masih terbuka penuh. Merasakan udara semilir masuk membawa harum bunga kantil kuning yang berada tak jauh dari area kolam.

Meski tak paham dengan semua kebenaran rumor yang beredar di seluruh desa, tapi Lukman tidak memungkiri keberadaan makhluk halus di rumah itu ada banyak.

Lukman belum lahir saat rumah itu dulunya menjadi tolak ukur orang kaya di desa. Dia hanya mendapat cerita dari ibunya yang sudah meninggal, kalau Pak Karman, si pemilik rumah adalah orang sakti. Orang yang bisa menjungkirbalikkan kehidupan orang lain dalam satu kedipan mata.

"Luk-man …." Satu bisikan halus dan sangat samar menghampiri pendengaran pemuda yang langsung memasang wajah tegang. Suara yang diterbangkan angin dan merasuk ke dalam kepalanya dengan cara mistis itu membuat seluruh darahnya seperti membeku.

Detik berikutnya, Lukman berlari meninggalkan ruangan yang akan dibersihkannya secepat yang dia bisa, menyusul Narto dan berniat membantu pekerjaan Lek Min terlebih dahulu.

***

Membersihkan Rumah

Lukman nyaris menabrak Narto yang berdiri tidak jauh dari Lek Min. Nafasnya tersengal dan wajah pucatnya tidak bisa disembunyikan. Suara halus perempuan yang tadi mampir ke pendengarannya masih terbayang jelas.

"Kalian berdua ini kenapa? Siang bolong kayak baru lihat setan!" Lek Min mengamati wajah Narto, lalu berganti ke Lukman yang sedang menyeka peluh di dahinya.

"Kayaknya kami bantu-bantu di sini saja," ucap Lukman bergetar. Suara halus yang didengarnya tadi masih lekat terngiang di telinganya. Bulu kuduknya pun masih meremang hebat.

"Ya sudah semua dibersihkan, mulai dari lantai, dinding sampai plafon!" Lek Min tidak mempertanyakan alasannya, sudah cukup paham hanya dengan melihat gelagat ketakutan dua pemuda di dekatnya. Dirinya sendiri tidak bisa dibilang tidak memiliki rasa takut. Menahan raut wajah agar tetap tenang adalah cara untuk menenangkan rekan-rekan kerjanya.

"Iya, Lek! Siap laksanakan!" Narto langsung sigap memulai membersihkan ruangan dengan lebih santai.

Lek Min pria yang sudah berumur. Narto dan Lukman percaya kalau pria itu bisa dibilang bukan pengecut seperti mereka. Meski begitu, mereka beruntung karena ditawari kerja dan dibayar untuk membantu merenovasi rumah agar kembali layak huni.

"Minggu depan orangnya minta semua sudah selesai, pekerjaan kita banyak karena rumah ini besar! Harus panggil tukang khusus untuk benahi atap dan instalasi listrik besok," ujar Lek Min mulai menaiki tangga untuk membersihkan dinding, mengupas cat lama yang sudah berkapur agar bisa segera di cat ulang.

BRUK!!!

Tiga kepala serentak mendongak ke langit-langit ruangan tempat suara seperti benda jatuh terdengar. Lalu sepi, sunyi, tidak ada suara apapun yang tertangkap telinga.

Narto menciut, jantungnya berdetak lebih kencang. Bukan lagi karena kaget, tapi karena hawa tidak enak menghampirinya. Kulitnya sakit seperti menangkap kehadiran makhluk lain di ruangan itu.

"Suara apa itu tadi, Lek? Maksudnya siapa yang jatuh?" tanya Narto dengan suara tercekat. Nada gemetar dalam suaranya mengindikasikan rasa takut yang ditahan sekuat mentalnya.

"Apalagi yang hidup di atas plafon kalau bukan tikus?" jawab Lek Min dengan ekspresi gusar. Bukan apa, dua orang yang berada dalam satu ruangan dengannya sekarang sama sekali tidak membantu menaikkan mentalnya. Yang ada malah membuat repot dan mempengaruhi keberaniannya.

"Tapi kalau tikus biasanya ada suara langkah larinya, Lek! Atau setidaknya ada suara cicitan, tikus jatuh bunyinya gak sebesar itu! Apa ada orang di dalam plafon ya, Lek?" Lukman bergumam sekaligus bertanya dengan suara pelan, menyangkal kalimat Lek Min yang memang hanya untuk menenangkan keadaannya.

"Logikamu nggak jalan, Luk! Siapa juga yang bakal sembunyi di plafon? Kayak nggak ada kerjaan lain aja mau nakut-nakutin kita!"

"Ya mungkin aja … misalnya orang gila. Namanya orang gila ya nggak perlu logika, dan memang mungkin nggak punya kerjaan makanya main petak umpet di rumah ini." Lukman berusaha bercanda untuk mengurangi ketegangan.

"Bener Lukman, Lek! Sebelah rumah ini … anaknya Bu Yuli kan kurang timbangannya! Sekilo kurang se-ons!" sahut Narto serius.

Lek Min mulai kesal dengan dua pemuda penakut yang mulai ngelantur tak jelas. "Maksudmu gimana, Nar? Timbangan warung Bu Yuli kurang anget gitu ya?"

Lukman terkikik geli, "Narto lagi bahas Mas Bambang, Lek! Kan orangnya memang agak aneh."

"Bambang yang matanya juling?"

"Iya," jawab Narto dengan senyum bersalah.

"Udah nggak usah diperpanjang lagi obrolannya, bukannya kerja malah rasan-rasan (bergosip), udah kayak emak-emak aja! Bisa nggak selesai-selesai nanti tugas kita!" Lek Min menengahi dengan bijak. "Kamu kenapa lagi, Luk?"

Dengan linglung, Lukman mendekati jendela mengikuti bisikan hati, sengaja menatap ke arah pohon kantil dekat kolam. Bayangan hitam serupa kabut berdiri diam di sana. Menatap Lukman dengan wajah kosong tanpa mata.

Lukman spontan membalikkan tubuhnya yang gemetar dan mengatur degup jantung. Dia tidak salah lihat, memang ada yang berdiri di bawah pohon penebar bau wangi itu.

Lukman masih penasaran dengan penglihatannya, ekor matanya kembali melirik untuk mengamati tempat terang di sekitar kolam dan pohon kantil. Namun, bayangan yang sekilas dilihatnya tadi sudah hilang tak berjejak. Tidak ada apapun di sana.

"Aku bisa gila dalam sehari kalau harus tinggal di rumah ini!" gumam Lukman. Matanya nanar menatap luar jendela dengan wajah tegang.

"Ada apa, Luk?" tanya Lek Min penasaran. Narto tertarik ikut mendekati jendela untuk melihat situasi di luar.

"Sepi banget kayak di tengah hutan ya rumah ini?!" Narto mengusap tengkuknya yang merinding. Tidak memahami yang dimaksud Lukman tapi sudah mengambil kesimpulan.

"Entahlah, rasanya aku kok kayak lihat sesuatu di sana!" jawab Lukman pelan sembari menunjuk singkat ke arah kolam. Bayangan hitam.

Lek Min menengahi, "Sudahlah, mau sampai kapan kalian melihat ke arah pohon itu, kalaupun ada penghuninya ya wajar wong rumah ini kosong sudah lama. Yang penting kita tidak mengganggu, niat kita kerja bersihkan rumah karena sudah laku dan mau segera ditempati."

Narto dan Lukman mengangguk, melanjutkan pekerjaan dalam diam. Tidak berani berkomentar sedikitpun meski sesekali terdengar suara langkah orang berjalan dengan tergesa atau suara orang berbicara dengan nada rendah.

Lukman masih saja dihantui bayangan hitam transparan yang kadang berkelebat menembus tembok, mengintip dirinya yang menyibukkan diri memoles cat warna putih ke dinding kusam yang baru dibersihkan oleh Lek Min.

Sementara dua ibu-ibu yang menyiapkan area dapur sedikit-sedikit saling melihat jika mendengar suara aneh.

"Dulu aku masih kecil waktu rumah ini masih ditempati, kadang diajak bapak kerja mbagi antrian pengunjung dan narik uang parkir," cerita salah satu wanita yang sedang membersihkan tatakan kompor dari sarang laba-laba.

"Lah ya kamu udah biasa berarti merasakan hawa rumah ini. Bedanya apa dulu sama sekarang?"

"Hampir sama, hanya saja dulu tidak menyeramkan karena masih dihuni orang. Nggak nyangka kalau nggak ada yang kuat tinggal di rumah ini, bahkan anak keturunan Pak Karman saja tidak berani menempati!"

"Semoga penghuni yang baru kerasan yo, Yuk! Biar rumah ini nggak jadi sarang demit, nggak bikin takut warga kalau mau lewat di depannya, nggak jadi bangunan tua yang nggak berguna!"

"Dengar-dengar yang beli rumah ini paranormal. Mungkin mau buka praktek di sini," ujar wanita yang lebih muda.

"Ya semoga saja beliau bisa menundukkan isi rumah ini, bisa berjaya seperti Pak Karman dulu!"

WUSS!!!

Angin masuk ke dapur melalui pintu samping dengan kuat, membawa debu dan juga daun kering yang kembali mengotori lantai.

Dua ibu yang sedang bekerja kembali saling tatap, lalu yang lebih tua mengangguk dan memberi kode untuk mengunci mulut alias tidak banyak bicara. Mungkin penghuni gaib tidak suka mendengar mereka membahas rumah itu.

Bukan hal mudah bagi lima pekerja menyelesaikan tugas di hari pertama, terlalu berat dan penuh godaan kengerian hingga mereka hampir menyerah. Beruntung hari berikutnya, Mas Gun sebagai pemilik rumah menemani mereka bekerja sembari mengarahkan apa saja yang harus dibenahi sesuai permintaan pembelinya.

Meski tidak mewarisi kepiawaian ayahnya dalam dunia perdukunan, tapi Mas Gun juga bukan orang sembarangan. Memahami dengan baik dunia lain yang berbau kegaiban, dan kehadirannya membawa ketenangan bagi para pekerja yang disewanya.

Tujuh hari yang sangat menyiksa mental bagi Lukman dan semua orang yang dibayar mahal untuk merapikan tempat tersebut agar kembali bagus dan benar-benar layak untuk ditinggali.

Kolam sudah terisi air bersih dan benih beberapa jenis ikan sudah ditabur, pagar berkarat sudah bercat baru meskipun dengan warna hitam yang sama, sudah tidak ada derit bunyi logam beradu saat dibuka dan ditutup.

Rumah juga tampak bersih dan megah meskipun tetap ada unsur kuno dan ketinggalan model. Taman kecil dengan berbagai bunga dalam pot sudah menggantikan semak yang tadinya memenuhi teras.

Semisal yang punya rumah cukup kaya dan mampu melakukan renovasi lagi, rumah itu pasti bisa terlihat mewah sebagai rumah orang kaya baru di desa itu.

Mas Gun mengucapkan banyak terima kasih dan memberikan bonus pada warga yang sudah menyelesaikan semua tugas saat mereka pamit pulang.

"Semoga rumah ini tidak pernah kembali lagi padaku …. maafkan Gunawan, Pak!" gumam Mas Gun lirih seperti sedang bicara dengan ayahnya. Pak Karman.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!